“Mundur, Red.” Padahal King menyaksikan sendiri kalau adiknya sama sekali tidak melangkah maju, melainkan tetap di tempat, namun dia begitu suka melihat kepanikan di wajah Red yang selama ini hidup aman dan tenang di bawah naungan keluarga besar mereka. Red perlu diguncang.
“Jangan mengujiku,” geram Red sambil mengepal tinju. “Kau rupanya sengaja menggunakan ibu untuk memancingku datang bersama Mina.”
King terkekeh pelan, menyeret mulut pistolnya dari pelipis Mina, turun ke pipi, lalu menuju leher, memberi penekanan di sana. “Kau terlalu tegang, Red. Santailah sedikit. Aku cuma ingin melihat wajah saksi yang menonton perbuatan kita tempo hari.”
Mina memasang ekspresi datar. Terlihat tidak gentar. “Aku tidak dengan sengaja menonton aksi pembunuhan yang kalian lakukan.”
Pistol King menjauh dari leher Mina. Tertawa pelan, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Mina. “Aku mengawasimu, Mina Allerick. Jangan kira dengan menikahi adikku semuanya selesai.”
“Akan kuingat ancamanmu dengan baik.” Balasan Mina yang terdengar santai bergetar, membuat King merasa senang.
King melepas Mina. Pria itu melangkah ke samping, ke arah mobil yang baru datang. Mina tetap di sana, mengawasi pergerakan King. Sebelum masuk ke mobil yang pintunya sudah dia buka, King memperingati adiknya. “Mulai sekarang, kau sendirian.”
Red tidak menanggapi, malah didera sakit kepala hebat. Apa-apaan itu? Seharusnya King tidak lagi di sini sejak kejadian beberapa hari lalu. Kasus pembunuhan brutal yang juga melibatkan Red membuat Logan marah, lalu mengusir King. Bagi Logan, King selalu memperparah situasi yang memang sudah rumit.
Prinsip Logan sedari awal, bahwa tidak ada keterlibatan pihak tidak sebanding dalam setiap kegiatan ilegal mereka, apalagi bunuh membunuh orang-orang yang tidak bersalah.
King sering kali gelap mata. Seperti haus darah, berkebutuhan membunuh yang tidak bisa berhenti dilakukan bila sudah memulai. Logan meragu, tidak bisa membuat si sulung memimpin. Pria tua itu berniat menggeser King dengan segera. Mengusirnya pergi dari negara ini salah satu caranya, namun bukan King Blackwood namanya kalau bersedia patuh.
“Tidak jadi masuk?” Mina bertanya pada Red yang fokus menatap kepergian mobil yang membawa King.
Red tersentak. Menatap Mina yang juga menatapnya. “Ayo, masuk.”
Mereka disambut oleh Jemima yang sudah pulih sepenuhnya. Wanita hangat yang langsung memperlakukan menantunya dengan sangat baik.
“Maafkan aku karena tidak hadir di upacara pernikahan kalian.” Meremas tangan Mina, Jemima berharap dimaafkan. Senyumnya hangat, tulus.
“Tidak apa-apa, Ibu. Pernikahan kami juga mendadak dilakukan,” jawab Red sebagai pembicara awal agar Mina mudah meneruskan basa-basi.
“Benar. Kenapa bisa mendadak dilakukan?” Pertanyaan polos Jemima mengundang senyum Mina terkembang sempurna.
“Karena aku hamil, Ibu.” Kebohongan yang tidak perlu. Terlalu berisiko. Membuat Red menoleh, menguliti Mina dengan tatapan tajamnya.
“Oh, Tuhan!” Jemima spontan memeluk Mina. Mendekap penuh kasih sayang, membelai-belai rambut lurus panjang Mina yang sedikit bergelombang. “Ya, Tuhan, terima kasih.”
Mina terus diberkati lewat semua ucapan baik dan harapan tulus Jemima sampai akhirnya Red tidak nyaman, malah mengajak Mina pulang dengan menggunakan berbagai alasan. Namun Jemima terus menahan Mina. Bahkan ibunya Red mengusir putra bungsunya itu untuk pergi saja duluan, selagi meminta Mina menetap hanya agar bisa terus mengusap-ngusap perut Mina yang isinya cuma sandwich.
“Tadi King ke sini?” Red baru ingat untuk menanyakan perihal kakaknya pada ibu mereka.
Jemima menoleh karena Red mempertanyakan King. King selalu butuh perhatian khusus darinya, sehingga dia jarang melewatkan apa pun, kecuali yang memang tidak boleh dia tahu.
“Dia datang kemarin malam. Agak larut, jadi sekalian menginap.”
Kening Red mengernyit. Terbaca sudah niat King di benaknya. “Dia meminta Ibu mengundangku ke rumah?”
Jemima menggeleng. “Tidak, Nak. Justru aku yang memberitahukan rencanaku padanya, tapi dia malah pergi ketika kalian akan singgah.”
Red tidak mudah percaya begitu saja. Baginya, King adalah kesayangan ibunya, begitu pun sebaliknya. King mencintai ibu mereka melebihi siapa pun. Perpisahan Jemima dan Logan juga berkat campur tangan King yang tidak suka ibunya yang murni, terkontaminasi oleh ayahnya yang ‘kotor’ dengan segala bisnis ilegal yang dimiliki. Padahal sendirinya pun tidak lebih baik dari Red apalagi Logan.
Aneh. King tidak normal. Red setuju dengan penilaian ayahnya terhadap sang kakak.
Akhirnya diizinkan pulang setelah Jemima mewanti-wanti Red agar siap siaga setiap saat menjaga si istri, Mina malah mendapat perlakuan buruk pertamanya sejak peringatan Jemima terucap.
“Keluar,” usir Red tanpa menoleh. Mobil ditepikan di pinggir jalan yang ramai. Dia butuh ketenangan. Mina dan King membuatnya sakit kepala.
Mina tertawa pelan. “Kau marah karena aku membohongi ibumu?”
“Keluar, Mina Allerick.” Red masih berusaha mempertahankan kewarasannya.
“Okay, okay.” Mina membuka pintu mobil, lalu ingat kalau tadi keluar rumah dengan cara diangkut paksa tanpa sempat membawa apa-apa. “Berikan aku uang.”
Red menghela napas. Mengosongkan pikiran dari banyaknya hal rumit. “Bertahanlah di luaran tanpa uang.”
Dengan seribu gengsi, Mina tentu saja turun tanpa bersedia mengemis pada suaminya. Membiarkan kini dirinya ditinggal. Sekarang sudah lebih dari dua puluh menit.
Mina sengaja tidak pergi karena mengira mungkin saja Red cuma menggertak, mengujinya. Duduk di sana sambil melihat merpati mendarat dan terbang berkerumunan, sampai-sampai dia bosan dan menggerutu. “Sialan! Apa yang kuharapkan darinya? Mana mungkin dia akan kembali untuk menjemputku.”
Setelah akhirnya bertanya pada orang-orang sekitar kenapa tidak ada taksi yang melintas, seketika Mina sadar Red memang sudah berencana sejak awal menurunkannya di kawasan yang sulit menemukan kendaraan umum berlalu lalang.
Mina tidak mau bertindak gegabah. Cukup sekali saja dia mengalami kesialan terparah dan terbesar dengan menjadi saksi pembunuhan brutal yang bisa mengacaukan mentalnya. Di kesempatan lain, tidak boleh ada tindakan sembarangan yang dapat berakibat fatal.
Tidak mau membuang tenaga dengan berjalan kaki tanpa tentu arah, Mina tetap berusaha tenang—mempertahankan rasa bosan menonton kawanan merpati agar tetap terjaga, karena hari sudah sore. Dan ... terlihat gerimis mulai turun.
“Ayo, pulang ke rumahku.”
Mina menoleh ke samping. Pantas tidak terasa ditetesi gerimis yang makin deras, rupanya dia dipayungi oleh seseorang.
Seseorang yang seketika membuat raut wajah Mina menjadi datar, tanpa ekspresi. King! Pria itu kini tengah mengajak Mina pulang ke rumahnya.
“Untuk apa—”
“Ikut saja. Aku memaksamu.” King menodongkan pistolnya secara tersembunyi ditutupi oleh mantel panjangnya ke arah Mina. Tepat dari samping.
Mina merasakan mulut pistol ada di perut bagian samping. Menyerah daripada menerima tindakan tiba-tiba yang tidak bisa diprediksi. Dia kehilangan rasa takutnya. Kewarasannya pun entah ke mana.
Mina berdiri, menerima payung yang disodorkan King padanya. Tidak menoleh malah.
“Jalan.” Pistol disimpan King ke tempat asalnya, sementara lengan kanannya merangkul pinggang Mina. Membuat mereka merapat, berjalan beriringan.
Angin rupanya bertiup, menerbangkan payung yang digenggam pegangannya dengan setengah hati oleh Mina. Makin kencang berembus, Mina berniat mengejar, namun King menahannya.
“Biarkan saja.” King menggenggam tangan Mina, menarik kuat wanita itu agar mau berlari bersamanya menuju mobil.
“Hatchi!” Mina bersin-bersin. Seruangan mobil King ribut dengan suara ‘hatchi’ yang berulang-ulang.
Karena perjalanan menuju ke tempat mobil King terparkir cukup jauh, menyebabkan keduanya basah.
“Hei, jangan sentuh aku!” Mina menepis tangan King yang berusaha menarik blus basah yang menempel di tubuhnya.
“Semakin kau melawan, semakin kupaksa.” Kali ini King tidak mengancam menggunakan pistol.
“Coba saja.” Mina balas mengancam, lalu menjaga jarak aman. Kedinginan, biarlah. Kembali bersin, ribut bukan main.
King melepas mantel yang menjadi sedikit berat karena basah. Menyisakan sweater hitam yang lembab di tubuhnya. Melihat Mina makin menggigil, kembali tangannya memaksa.
Mina tetap melawan. Melayangkan kepalan tinjunya yang gemetar, namun berhasil ditangkap oleh King.
“Semakin kau melawan—”
“Aku akan terus melawan,” sela Mina, membantah, menantang. Satu tangannya yang bebas digunakan untuk mendorong dada King yang keras, kuat. Sadar kemudian bahwa tidak ada gunanya, Mina menggunakan cara lain. Menampar pipi kanan King yang langsung dibalas jambakan rambut oleh pria itu. Aksi mereka cepat. Saling serang, langsung balas.
Wajah King berada di atas ekspresi datar Mina yang kepalanya mendongak. “Seharusnya kubunuh saja kau sekalian dengan mereka malam itu. Kalau bukan karena berada di bawah perlindungan ayah, kupastikan kau cuma tinggal nama.”
Jambakan dihentak lepas oleh King. Saat kepala Mina terbebas, dia langsung meludahi wajah King tanpa ragu-ragu.
“Bunuh saja aku kalau kau bisa,” tantang Mina. Bersiap membuka pintu mobil, namun King lebih dulu menangkapnya.
“Bajingan—mmph!” Mina tidak meronta, namun meninju King semampunya. King menghisap dan menggigit bagian bawah bibir Mina. Ciuman tiba-tiba yang dipaksakan.
Mina mengangkat lutut, tapi King membuat mereka terjatuh ke belakang karena kursi diturunkan. King berada di atas tubuh Mina. Sehingga tidak sempat lagi bagi Mina untuk menendang King, sebab King segera menjepit kedua kaki Mina di antara sisi tubuhnya.
Selagi King menyiksa Mina dengan ciuman ganasnya, saat lidah King menyusup masuk ke dalam mulut Mina, di situlah Mina menggigit lidah King kuat-kuat.
King melepas ciuman mereka, tapi tidak membiarkan Mina lolos. Dicekiknya Mina, ditindih agar tidak mampu melawan. Dirasai lidahnya sendiri yang terluka dan berdarah.“Wah, wah. Kau pintar menggigit, ya?” King terkekeh. Menatap Mina yang terengah parah, tidak lagi kedinginan, karena mereka sedang bergumul panas. Bukan bercinta, bukan—namun lebih nikmat dari sensasi melayang karena penyatuan. Bagi King, sulit mendapatkan lawan yang mau bersikap kasar terhadap dirinya. Semua dari mereka—para wanita—patuh, menurut padanya.Diminta menjilat, pasti dilakukan. Diperintah mengulum, jelas dipatuhi. Tidak perlu memaksa mereka, karena dengan suka rela wanita-wanita itu bersedia telentang telanjang di tempat tidur King.Berpikir keras mencari cara membalas yang tepat, tidak ada niat dalam hati Mina untuk bernegosiasi dengan orang gila seperti King. Melawan. Cuma melawanlah yang harus dia lakukan.Walau dalam diam dengan mata saling bertatapan, King dan Mina merasa seolah memahami isi pikiran satu
Mina pikir, meski pelit memberikan informasi, setidaknya King akan menggertaknya dengan sesuatu mengenai pamannya. Dugaannya meleset? “Jadi, apa tujuanmu membawaku ke sini?”“Aku sedang bosan.” King tertawa tanpa beban. “Masuklah.”“Aku tidak mau.” Mina bertahan di tempat. Di dalam rumah, berduaan dengan lawan jenis, apalagi yang mau dilakukan? Mungkin akan ada orang lain di rumah King, namun melihat Red suka kesendirian, Mina yakin King pun tidak suka tinggal dengan orang lain.King tidak heran kalau dirinya ditolak lagi oleh Mina, walau sudah diancam menggunakan pistol sekalipun. Tanpa raut marah, ditatapnya Mina dengan senyum. Bagi Mina, King persis orang gila mesum.“Tadi aku ikut denganmu karena dipaksa. Kau juga menodong—”“Yap, karena aku menodongkan pistolku padamu agar kau ikut denganku,” sela King, tentu dengan kembali mengancam menggunakan pistol. Cepat sekali tangan itu bergerak, tiba-tiba sudah memegang senjata api laras pendek. Kali ini, sasarannya pelipis Mina. “Masuk.”
Mina keluar kamar setelah satu jam mengurung diri. Maksudnya, mandi selama mungkin sambil berpakaian sengaja dilambat-lambatkan.Red rupanya tidak mau menunggu. Mina senang karena batal membicarakan apa yang seharusnya dipertanggungjawabkan. Nanti. Biarkan dia bernapas lega dulu sejenak setelah insiden melarikan diri dari singa jantan dan mimpi buruk.Memastikan bahwa Red benar tidak berada di dalam, Mina pergi keluar rumah. Sepi. Mobil Red tidak ada di garasi, justru Mina baru ingat, mobil King-lah yang saat ini terparkir asal di halaman depan rumah Red. Dia benar-benar lupa telah mencuri mobil si berengsek itu kemarin.Berniat mendekat, sekitar dua puluh meter, Mina sama sekali tidak tahu apalagi menduga kalau ada seseorang di dalam mobil. Barulah dia sadar ketika kendaraan roda empat itu bergerak, maju dalam kecepatan tinggi.Tidak menghindar, Mina yakin si pengemudi cuma menggertak—walau entah siapa di dalam sana. Tidak akan menabrak, pasti berniat memperingatinya.“Jangan mati sia
“Kau bukan suamiku.” Mina sibuk mencari di mana menyimpan pistol yang diberikan oleh Red padanya tadi.“Oh, harus jadi suami dulu baru boleh menidurimu?”Mina tidak menanggapi, sibuk mengingat di mana meletakkan benda berharga itu selagi seharusnya dia menjadikan pistol Red sebagai pelindung dari si singa jantan.King sudah berada tepat di belakang Mina, tanpa sempat disadari oleh Mina yang sibuk mengingat sambil mencari pistolnya.King melingkarkan kedua lengannya di sekeliling tubuh Mina. Bibirnya mengecup leher dan pundak Mina bergantian. “Mencari pistol milik Red yang diberikan padamu?”Mina berdebar bukan karena ketahuan, tapi tangan King yang mengusap lembut di sekitaran pusarnya sambil terus turun lebih ke bawah memberikan sensasi mengejutkan.Selagi Mina menahan diri, King terus memprovokasi.“Red tidak mungkin menyentuhmu dengan penuh perasaan sepertiku, Mina.”Nyaris lepas kontrol! Mina mengatur napas dan debar jantung yang tidak karuan. Dering dari telepon rumah menyadarkann
Mina sengaja menginjak kaki King, walau tahu kakinya yang kecil tidak memberi efek kesakitan pada pria itu sama sekali. Biar saja! Tujuan Mina bukan untuk menyakiti, tapi memperingati.King berniat membalas dengan sebuah ciuman ganas, namun getar sialan dari ponselnya membuat kemurkaan dalam hatinya.“Halo!” Sapaan pertama—bentakan, kasar.“Maaf kalau mengganggumu, Kawan. Aku cuma ingin memberitahumu kabar penting. Gabin sudah tewas.”King melirik Mina yang rupanya berjalan pergi meninggalkannya. Melangkah menuju dapur. “Ulah siapa?”“Bunuh diri.”King mendengus. “Mana mungkin.”“Hasil pemeriksaan sementara mengatakan begitu. Tetap saja perlu kuselidiki lagi.”“Tidak perlu. Biarkan saja.” Karena King tahu kemungkinan besar Red-lah yang melakukannya. Adiknya ahli melakukan pembunuhan yang seolah menggambarkan bunuh diri. Rapi, tidak terdeteksi. “Berhenti mencari tahu lebih jauh, ambil upahmu dan istirahatlah.”“Kerjasama kita berakhir?”“Yap. Gabin sudah mati. Tidak ada lagi yang bisa k
“Ibu juga sepemikiran denganmu tentang King yang tidak akan mau menikah. Tapi sepertinya harapanku mulai tumbuh lagi, karena kakakmu memberitahu kalau ada seseorang yang disukainya.”Red menahan diri untuk tidak mengatakan kalau King menyukai adik iparnya sendiri, alias istrinya. “Seseorang yang disukai belum tentu dinikahi.”Tepat sekali! Diajak berkencan sampai menjalani sebuah hubungan sekian lama saja, belum tentu berakhir dengan pernikahan. Apalagi cuma sekadar suka.Jemima memukul main-main pundak Red, bahkan sampai mencubit perut. “Langkah awal tentu dengan perasaan suka. Perlahan menjadi cinta, timbul rasa ingin memiliki. Selama aku masih hidup, akan kutunggu kalian menikah, lalu memberikanku cucu.”Kalau mau jujur, baru beberapa hari menjalani kehidupan pernikahan, rasanya terlalu mengikat. Red tidak suka, namun berusaha menekan rasa bencinya dengan mencoba memahami perasaan kedua orang tuanya, terutama ibunya.***Bangun-bangun, rupanya sudah pagi. Semalam, tanpa menunggu Red
“Sekarang Mina Allerick adalah keluarga kita. Dia salah satu dari Blackwood,” sela King. Tidak pernah mau menunggu ayahnya selesai bicara. “Gabin sangat merugikan. Manusia sampah. Untuk apa dibiarkan hidup? Dia akan mendatangi Mina dan menyiksanya lagi. Hal begitu mau ayah biarkan terjadi pada wanita yang sedang mengandung keturunan Blackwood?”Logan sudah dengar kalau Mina hamil. Namun dia tahu cuma akal-akalan Mina untuk mengerjai putra keduanya. Red sudah menceritakannya pada Logan, meminta si ayah tetap diam karena ibunya menganggap kebohongan Mina, nyata.“Kau—”“Kubongkar makamnya, kuambil mayat si berengsek itu lalu kubawa ke hadapan Mina. Kenapa? Ayah keberatan?” Lagi-lagi menyela, King menantang. “Biar kubakar saja mayatnya, daripada repot-repot dikubur dalam tanah. Selesai. Masih mau memperpanjangnya?”Logan menahan diri dengan mengembuskan napas kasar, menghirup udara cepat-cepat. Bersandar pada kursinya, memejamkan mata. “Kalau ada dari keluarga Gabin yang menuntut balas,
“Tentu saja. Sebelum diputuskan, sudah lewat diskusi antara tuan Logan dan Red terlebih dulu.”Menyebut nama Red tanpa panggilan hormat. Mina menebak mereka mungkin sepantaran atau berteman. “Oh, baiklah kalau begitu. Tapi aku sering tidak berada di luar rumah. Mungkin kau—”“Situasi sudah tidak lagi sama seperti sebelumnya, Mina. Meski di dalam rumah Red sekalipun, aku tetap harus berada dekat denganmu untuk memastikan bahwa kau aman.” Setelah menyela, diperjelas tegas dalam nada yang ramah.“Apa yang telah kulewatkan selama berhari-hari?” Mina bertanya-tanya dalam hati, sambil mengamati Indila yang sudah masuk tanpa dipersilakan. Sembilan hari tanpa sadar berlalu begitu saja, namun situasi rupanya berubah membingungkan untuknya.Gerak Indila terburu-buru, memeriksa setiap sudut rumah. Bahkan bantal yang tergeletak di sofa pun perlu diobrak-abrik isi dalamnya dengan memasukkan tangan ke dalam. Meski begitu, aksinya tidak ribut, rapi bahkan tak meninggalkan jejak sama sekali padahal ba
Red terlihat terkejut, lalu menunduk, menghindari tatapan Mina. “Mina ... aku minta maaf. A-aku tidak pernah bermaksud begini. Aku tidak mau kau pergi. Aku cuma ... butuh waktu untuk ini.”“Waktu?” Mina melangkah lebih dekat. “Waktu tidak akan menunggu anak-anak kita tumbuh. Mereka butuh stabilitas sekarang, Red. Kita harus jadi tim. Kalau kalian mencintaiku, kalian akan mencintai mereka juga. Menerima keputusan dan rencana yang ingin kulakukan untuk kita semua.”Sunyi melingkupi ruangan beberapa detik sebelum King mendekat, memegang erat tangan Mina. “Aku akan melakukan apa pun yang kau katakan, Mina. Tapi jangan coba-coba mengambil keputusan untuk meninggalkanku.”Mina menarik napas dalam, menatap King dan Red. “Bukan aku yang harus memutuskan, King. Itu ada di tangan kalian berdua. Ikuti aturanku atau tidak sama sekali. Aku bebas pergi, jika kalian memutuskan tidak setuju dengan aturanku.”***Mina merasa kontradiksi saat kontraksi pertama datang. Di satu sisi, dia merasa ketakutan
King menarik napas panjang sebelum tiba-tiba menyeringai penuh kepuasan. “Aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu kau akan memilihku. Kau pun tidak tahan untuk tidak mengandung bayi dariku.” Nadanya menggoda, tapi jelas sangat bangga.Namun, momen itu segera terganggu oleh suara pintu lain yang terbanting. Red masuk dengan wajah kecewa, menekan semua emosi sekuat tenaga. Dia memang masih Red Blackwood yang dulu, namun sejak Ophelia hadir, hubungan King dan Mina yang terlalu intim di matanya, tidak lagi terasa mengganggu.“Begitu rupanya.” Suaranya sedikit bergetar, tapi Red tertawa. “Aku dengar dari ibu, kalau kau mau mengandung bayi hasil dari hubungan dengan pria yang paling kau cintai. Itu artinya dia?”Mina berdiri, mencoba memberi penjelasan. “Red, ini bukan cuma soal cinta. Karena aku pun menyayangimu. Kalau kau ingin kita berpisah, aku tidak bisa melakukannya, karena itu artinya Ophelia harus bersamaku.”Mina menambahkan, agar tidak ada lagi kesalahpahaman. Sejak awal, bukan dia ya
King tentu menggunakan kesempatan itu untuk menyusup masuk.King memasuki kamar Jemima tanpa ragu, hampir tanpa suara. Dia ahli dalam bertindak begini. Sebelum pada tujuannya, ditatapnya sejenak bayi Mina dan Red.“Ophelia, jangan sampai terbangun, apalagi berisik kalau tidak ingin aku marah dan membawamu pada ayahmu. Tetap tenang,” ucap King dalam suara pelan dan berat.Kini matanya langsung tertuju pada Mina yang terlelap di sisi ranjang. Wajah si istri terlihat begitu tenang, rambutnya sedikit berantakan menyentuh pipi. Sesuatu di dalam dada King bergemuruh, seperti kebahagiaan kecil yang sulit dijelaskan. Belakangan, entah kapan tepatnya, ada banyak perasaan ‘brutal’ pada Mina jadi melemah, bukan berkurang, tapi seakan melembut dengan sendirinya.King berjalan mendekat, mengatur langkahnya agar tidak terlalu berat.Duduk di tepi ranjang, membiarkan ujung jarinya dengan lembut menyentuh rambut Mina, menyelipkannya ke belakang telinga. Reaksi Mina sedetik kemudian—menggeliat pelan,
Sudah dua hari berlalu dari seks agak lama di mobil dan kembali hal serupa terulang.Kali ini, tangga. Tangga menuju kamar atap, menjadi saksi selanjutnya. Mina sedang naik duluan, membawa sekeranjang pakaian kotor, saat King tiba-tiba menarik pinggangnya dari belakang.Mina hampir jatuh, tapi King memegangnya erat-erat, mendorong sampai punggung Mina menempel ke dinding tangga.King menarik celana Mina dengan cepat, tangannya masuk ke dalam, menyentuh Mina sampai si istri mengerang pelan. Mina mencengkeram pegangan tangga, mencoba menahan diri.King tidak bicara, langsung membuka celananya sendiri. Dia mengangkat satu kaki Mina, meletakkan di bahunya, lalu masuk ke dalam Mina dengan gerakan keras.Selain tangganya sempit, mereka harus cepat karena situasi tidak mendukung. Mina menggigit bibirnya agar tidak bersuara, tapi King menarik dagunya, mencium bibirnya kasar ketika akhirnya ada desah yang sempat lolos sedetik lalu.Mereka bergerak bersama, membawa getaran hebat yang menjalar p
Mina tahu perasaannya tak sederhana. Antara King dan Red. Ada dorongan yang tak bisa dibendung, perasaan yang terjebak antara dua dunia, dua suami yang sangat berbeda. Kali ini lebih menantang karena mereka berbaur bersama di satu atap. Beruntung sekarang Jemima sering berada di tengah-tengah mereka, mengurangi kegiatan sosialnya demi untuk cucu tercinta.Jemima-lah yang membuat jarak di antara King, Mina dan Red benar-benar punya celah. Dan itu sungguh bagus.Red sedang keluar, katanya bertemu Logan sementara Jemima tengah membawa Ophelia jalan-jalan di seputaran rumah—halaman depan, juga memamerkan si cucu pada tetangga.Mina ditarik King ke sini. Ditatapnya ke depan, mata terfokus pada pintu garasi yang tertutup rapat.Suasana di dalam mobil terasa sunyi. Cuma ada suara debar jantung Mina yang berdetak lebih cepat. King duduk di sampingnya, jarak mereka begitu dekat, namun tidak ada kata-kata yang keluar seperti kenakalan dan kebrutalan King yang biasa. Mungkin belum.“Kenapa harus
Red dan Mina masih duduk. Tanpa jarak di antara mereka. Mina menyandarkan kepalanya ke bahu Red, sementara pria itu menggenggam tangan si istri begitu erat—tidak menyakiti. Mereka menunggu, terus menanti.“Harusnya aku selalu ada di sisinya,” gumam Mina akhirnya, suaranya dipenuhi rasa bersalah. Dalam situasi dan kondisi begini, segala perasaan marah serta bencinya pada Zara, benar-benar hilang entah ke mana.Red menoleh, menatap Mina dengan sorot yang lembut tetapi tegas. “Sekarang kau sudah di sini. Kita akan melewati ini bersama."Sebelum Mina sempat menjawab, pintu ruang bersalin terbuka, dan seorang perawat keluar. Mereka berdua langsung bangkit serempak.“Bagaimana dia?” tanya Mina, nadanya nyaris panik.“Zara melewati masa kritisnya. Perdarahannya sudah teratasi, dan kondisinya mulai stabil,” kata perawat itu dengan senyum menenangkan. “Bayi perempuan, sehat dan sempurna.”Mina menutup wajah dengan kedua tangannya, terisak lega. Sementara Red entah bagaimana merasa sangat berbe
“Mina.” Suara King terdengar tegas dari luar mobil. Pria itu membuka pintu pengemudi dengan gerakan cepat, membuat Mina terkejut.“Hei, ada apa, King?” King menatapnya dalam, mata kelamnya dipenuhi ketegasan yang tidak bisa dibantah. “Kau tidak akan menyetir dalam kondisi seperti itu,” katanya sambil menarik tubuhnya menjauh dari pintu. “Pindah ke kursi penumpang.”“Seperti apa?” Mina tertawa, tawa yang kering.“Tanganmu gemetar, kau gelisah.”“Aku baik-baik saja.” Mina tetap bergeming, meski tahu argumennya tidak akan bertahan lama—King tidak pernah bisa dibantah.King mendekat lebih jauh, satu tangannya bersandar pada atap mobil, menciptakan bayangan besar di atas Mina. “Aku tidak akan mengulanginya, Mina. Pindah sekarang.” Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Mina segera menyerah tanpa banyak perlawanan.Mina menelan sisa protesnya, membuka sabuk pengaman, dan keluar dari mobil. “Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran?” tanyanya, menatap King yang kini mengambil alih posisi
Langkahnya terseok-seok menuju tempat tidur, mencoba meraih kursi dekat jendela, berpegangan pada meja kayu yang sudah mulai terlihat lusuh. Semua terasa begitu mencekam. Seperti ada banyak hal yang terpendam dalam dirinya, tapi rasa sakit itu memaksa dia untuk mengabaikannya. Semua terfokus pada satu hal—bayi yang semakin mendekat.Detik demi detik terasa lambat. Dia mengumpulkan kekuatan, meskipun lututnya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lelah. Sejak awal hamil, dia sudah terbiasa mandiri—tanpa bantuan Logan, tanpa banyak orang. Tapi ini berbeda. Inilah ujian terberatnya.Pikiran tentang Logan kembali menghantui. Bayangan wajahnya muncul di pikirannya, tetapi segera dia buang jauh-jauh. Tidak ada gunanya. Tidak ada gunanya menunggu sesuatu yang tidak pasti.Hingga akhirnya, sebuah teriakan keluar dari tenggorokannya. Sebuah teriakan yang penuh keputusasaan, namun di saat yang sama, penuh dengan kekuatan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dengan setiap tarikan napas ya
“Em, sepertinya begitu.” Berusaha tidak memperlihatkan kekesalan beserta kekecewaan, Red mengangguk, merelakan istrinya pergi menemui kakaknya. Mina sudah melepas diri sepenuhnya dari Red, tapi kemudian mengingat Zara. Didekatinya Red dengan cepat sambil berkata, “Jaga dia. Ingat, bayi kita ada padanya. Pastikan semua yang dia butuhkan terpenuhi. Andai kau keberatan, beritahu aku.”Red mengangguk, merebut wajah Mina sambil dihadiahkan sebuah ciuman kilat.Red menahan napas sejenak setelah bibirnya meninggalkan Mina. Matanya menelusuri wajah istrinya, mencoba menghafal setiap detail sebelum harus melepaskannya lagi—meskipun ini bukan pertama kalinya.“Pergilah,” katanya akhirnya, suaranya terdengar datar, tapi genggaman di pinggang Mina sedikit lebih erat sebelum dia benar-benar melepaskan.Mina menatap si suami pertama sejenak, seperti ingin memastikan semuanya baik-baik saja, lalu akhirnya berbalik, meninggalkan Red seperti biasa.Red menatap punggung Mina yang menjauh. Berat di dad