Arman, yang secara tak sengaja menemukan keberadaan Nisa, merasa begitu bahagia. Hal yang ditakutkannya tak menjadi kenyataan.
Arman bergegas menghampiri, namun langkah kaki Arman terhenti tiba-tiba, saat ia melihat wanita yang ia cintai duduk bersama laki-laki yang begitu ia benci "Nisa...!"Mendengar suara yang begitu ia kenali memanggilnya, Nisa mencari sosok tersebut. Sontak Nisa melototkan mata, mengetahui jika Arman menghamipirinya.Saat menyadari, jika saat ini ia masih duduk bersama orang yang dulu pernah berseteru dengan mantan suaminya, membuat Nisa serba salah.Indra yang menyadari kedatangan Arman, nampak santai. Ia bahkan sekarang lebih percaya diri."Apa-apaan ini, Nisa?" tanya Arman begitu sampai di dekat Nisa dan Indra."Tenang brother! Bisa suaranya dipelankan sedikit?" ujar Indra sambil berdiri mendekati Arman."Tutup mulutmu! Dan jangan pernah ikut campur urusan rumahtangga kami!" ucap Arman sambil meMelihat Nisa yang menahan sakit, membuat kedua orang itu panik."Nisa, apa yang terjadi? Mengapa jadi begini, sih!" ucap Arman khawatir."Ini semua gara-gara kamu!" jawab Indra, yang menganggap kedatangan Arman menjadi penyebabnya."Heh..! Aku suaminya, jadi aku yang lebih berhak mendampinginya!" sarkas Arman."Jangan ngaku-ngaku donk! Cuma mantan juga, gayanya selangit!" balas Indra tak mau kalah."Aaawwwhhh....! Sakiiit...!" rintih Nisa pelan. Mendengar rintihan Nisa, Indra langsung menggendong Nisa dengan kedua tangannya."Hei...! turunkan Nisa!" bentak Arman."Kamu mau Nisa kenapa-kenapa, hah!" bentak Indra pula.Tak ingin membuat Nisa lebih sakit lagi, Arman terpaksa merelakan Nisa dibawa pergi oleh Indra.Indra bergegas membawa Nisa ke rumah sakit terdekat. Sampai di rumah sakit, Indra segera meminta perawat untuk menangani Nisa.Arman yang datang menyusul, segera mencari kebera
Pintu ruang perawatan terbuka, nampak seorang Dokter wanita keluar dari dalam di dampingi seorang perawat muda.Suster memandang ke arah dua orang pria yang nampak menunggu "Selamat siang, Pak! Siapa di sini suami dari ibu Annisa?" tanya perawat."Saya Suster..!" jawab Indra spontan."Saya Suster..!" jawab Arman sambil berdiri.Dokter yang berada di sisi perawat pun kaget Jawaban serempak keduanya, membuat Dokter tersebut merasa heran "Tolong serius ya, Pak! Saya tanya sekali lagi, siapa di antara Bapak berdua, suami dari ibu Annisa?" Dokter akhirnya bertanya menggantikan perawat tadi."Saya Dokter..! Saya suaminya!" sambar Arman mendahului."Dia bohong Dokter! Dia hanya mantan suami! Saya yang mantan, sekaligus calon suami dari pasien yang di dalam!" jawab Indra menjelaskan.Penjelasan Indra membuat Dokter semakin bingung. Dokter tersebut langsung memandang ke arah Arman, seolah meminta jawaban."Saya suam
Suasana nampak hening, di salah satu bangsal rumah sakit. Tak terdengar perbincangan sama sekali, hanya desah napas yang saling bersahutan dari para penghuni kamar."Maafkan aku, Nisa! Andai saja, aku tak melakukan kesalahan waktu itu, mungkin dia akan tetap baik-baik saja!" ucap Arman pelan, memecah keheningan."Sudah aku katakan, kamu gak pantas untuk wanita sebaik Nisa!" komentar Indra bersuara, ikut menyalahkan atas peristiwa yang telah terjadi."Hei...! Apa hak kamu bicara seperti itu, hah! Dan asal kamu tau, aku lebih tidak menginginkan ini terjadi!" sarkas Arman membantah tak terima."Aku hanya menginginkan kebaikan untuk, Nisa! Dan kamu, adalah laki-laki kasar yang hanya tau, cara menyakiti!" sanggah Indra lagi."Kamu...!" sambar Arman sambil bangkit dari duduknya."Cukup...!" ucap Nisa lirih."Apa kalian gak bosan berantem terus!" lanjut Nisa dengan wajah sendu."Maaf...!""Maaf Nisa! Aku hanya
Melihat kehadiran Indra di waktu yang tidak tepat, membuat Arman semakin menjadi."Kenapa? Apa ucapan aku salah, Nisa?" tanya Arman dengan senyum smirk."Bisa nggak sih kamu gak mengganggu Nisa?" ucap Indra cepat, sambil memberikan tas Nisa yang diambilnya."Aku, kau katakan menganggu! Sedangkan kamu di katakan menjaga!" "Lebih baik kamu pergi dari sini, dan jangan ganggu Nisa, lagi!" potong Indra."Apa seperti ini keinginan kamu, Nisa?" lagi-lagi Arman melancarkan kata-kata tajam."Awwhh..!" rintih Nissa dengan wajah meringis."Heh...brengsek! Kamu gak lihat kondisi Nissa?" bentak Indra yang tak terima, dengan perlakuan Arman pada Nisa."Siapa kamu, hah..! Yang ada, karena kehadiran kamu, Nisa jadi begitu ingin berpisah denganku!" Arman semakin sulit mengontrol emosinya."Kamu gak apa-apa, Nisa? Aku panggilan Dokter, ya?" tanya Indra pada Nisa, tanpa menghiraukan ucapan Arman."Gak apa-apa k
Di sebuah Mall di kota itu, Bella berjalan di antara ramainya pengunjung, ia nampak hanya berjalan santai tanpa tujuan."Hmm...! Kak Arman sudah berpisah dengan istri kampungannya, itu! Mulai sekarang, aku bisa meminta uang tambahan belanja, donk!" ucap Bella tersenyum, sambil melihat ke arah etalase penjual perhiasan."Waahh, bagus-bagus banget sih! Tunggu saja, jika aku sudah punya uang nanti! Akan aku beli, apa yang aku mau!" Bella masih asyik berjalan sambil melihat-lihat, sampai tiba-tiba "Bruk..!" "Awwh...!" Bella yang ditabrak pun, terduduk di lantai."Maaf, Mbak! Saya nggak sengaja!" ucap Indra merasa bersalah, karena ia juga tak sengaja menabraknya.Bella, yang masih sibuk memukul kecil bagian pantatnya, langsung memandang ke arah Indra.Sesaat Bella terdiam, ia tak percaya jika akan bertemu dengan seseorang pria, yang menurutnya memiliki ketampanan sempurna."Mbak...!" panggil Indra mengulangi."Eh..eh..ya, Mas
Dengan langkah yang penuh percaya diri, Sherly memasuki kantor Arman. Ia tak peduli dengan tatapan para pegawai yang terkesan sinis.Beberapa pegawai kantor, yang mengetahui status Sherly, hanya melihat dan membiarkan wanita cantik itu berjalan dan masuk ke dalam lift. Yang mereka tau, Sherly adalah kekasih dari bos mereka. Tanpa mengetuk pintu, Sherly membuka pintu dan masuk begitu saja."Sayang..!" sapa Sherly sambil berjalan mendekati kursi kebesaran Arman.Arman yang tau, siapa pemilik suara, hanya diam. Arman tak menggubris sapaan Sherly, ia hanya sibuk dengan beberapa dokumen di hadapannya."Sayang...! Kok aku dicuekin sih! Kamu gak kangen ya?" tanya Sherly sambil merangkul Arman dari belakang.Arman yang merasa terganggu, mencoba untuk menghindar dari pelukan Sherly "Bisa tolong jangan ganggu aku, nggak?" ucap Arman tanpa memandang ke arah Sherly."Nggak bisa! Aku akan terus ganggu kamu, kalau kamu cuekin aku beg
"Mas Indra bagaimana sih? Kan tempo hari saya udah bilang! Kalau ada yang terasa sakit di tubuh saya, maka saya akan menghubungi Mas Indra!" Bella pun mulai memulai rencananya untuk mendekati Indra."Jadi maksudnya kamu sakit? Kalau gitu, kamu harusnya ke Rumah Sakit donk, bukannya melapor pada saya!" jawab Indra kesal."Nah ...itu dia Mas! Saya maunya Mas Indra yang menemani saya berobat! Masa saya harus pergi sendiri, 'kan Mas Indra yang udah buat saya seperti ini!" ucap Bella."Maaf saya gak bisa! Saya bukan baby sitter kamu! Kalau ingin berobat, kamu pergi sendiri, setelah itu kamu bawa nota kwitansi dari Rumah Sakit pada saya!" ujar Indra yang langsung memutuskan panggilan.Namun baru saja Indra mengantongi handphone nya, kembali ia mendengar nada panggil dari benda pipih tersebut "Apa lagi sih? Kamu tau nggak kalau saya sedang sibuk! Jadi tolong jangan buang-buang waktu saya dengan permintaan konyol kamu!" ucap Indra kesal karena merasa terg
Senyap, mungkin itu kata yang pantas untuk suasana yang ada ada di ruang perawatan Nisa, saat ini. Kehadiran Arman yang tiba-tiba, membuat semua orang terdiam dan saling pandang."Mengapa kamu tidak memberitahukan, jadwal kepulangan kamu sama aku, Nisa?" tanya Arman memandang satu persatu orang yang berada di depannya."Maaf Mas, aku memang tidak memberitahukan siapapun, selain Dinda!" jelas Nisa datar."Lalu, bagaimana orang asing ini bisa berada di sini?" tanya Arman menyudutkan Nisa."Hei, siapa yang orang asing bagi Nisa?" sambar Indra tak terima dirinya dikatakan orang asing.Sejenak Nisa memandang Arman intens "Kamu gak percaya sama aku, Mas?" tanya Nisa."Aku tidak memberitahu siapapun di antara kalian tentang jadwal kepulanganku, hari ini" tegas Nisa memandang lekat."Bagaimana dia bisa datang, tepat di saat kau akan pulang? Apa ini sebuah ketidak kesengajaan?" tanya Arman membentak tajam."Hei
Bu Susy tersadar dari tidurnya kaget, melihat suasana berbeda dengan tempat yang ia tempati beberapa bulan terakhir. Dalam kebingungan, ibu Susy berteriak. Tak berapa lama, seorang perawat yang bertugas melayani para penghuni panti, datang. "Ada apa, Bu?" tanya perawat tersebut. "Hapa... hamu...?" tanya bu Susy heran. "Saya perawat di sini, Bu! Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya perawat yang telah terbiasa berinteraksi dengan orang stroke, membuat ia bisa mengartikan bahasa tak jelas dari ibu Susy."Hana, haman, haku hau haman!" "Maaf Bu, Bapak Arman sendiri, yang mengantarkan Ibu ke sini! Saat ini, Bapak Arman sudah pulang! Ibu bisa tenang, Ibu berada di tempat yang khusus merawat para orangtua, yang tak sempat, di rawat anak-anak mereka!"Betapa kagetnya bu Susy setelah mendengar penjelasan perawat. Ia nampak shock, tak menyangka jika ia akan dibuang oleh anaknya sendiri. Bu Susy menangis, ia menyesal
"Apaan sih, Mas! Aku malah bahagia, jika mereka bisa tetap bersama selamanya! Lagi pula, aku udah punya kamu, ngapain harus menyemburukan suami orang?" jawab Nisa sambil nyelendot di tangan Rasya. Hati Rasya berbunga-bunga, dengan ungkapan perasaan istrinya. "Terimakasih sayang! Aku harap, apapun masalahnya, kita bisa bicarakan baik-baik! Aku tak mau mengalami kegagalan, dalam rumahtangga kita!""Aamiiiin....! Sama-sama, sayang!" jawab Nisa tersenyum manis. Nisa merasa bahagia, dengan selesainya semua permasalahan yang ia rasakan selama ini, Nisa akhirnya bisa merasa lega. "Mas.... aku bahagia banget, masalalu yang dulu aku alami terasa berat, ternyata memberi kebahagiaan bagiku, di masa sekarang!" ucap Nisa memandang jalanan di depan. "Syukurlah, tapi aku akan berusaha, memberikan kebahagiaan bukan cuma saat ini, tapi selamanya!""Aamiiiin...!"Kedua suami istri tak jadi pulang ke rumah, tapi justru mereka
"Terimakasih atas saran lo, Nis! Aku akan lihat, bagaimana Indra menyadari kesalahannya! Jika memang dia pantas untuk dipertahankan, maka aku akan berusaha mempertahankannya!" jawab Dinda santai. "Bagus deh, semoga Allah memberikan kebaikan untuk rumahtangga kalian!""Aamiiin....!" balas Dinda atas do'a Nisa. "Oh iya Nis! Aku mau minta maaf, ya! Nama kamu, ikut digunakan oleh mendiang anakku!' jawab Dinda sedih teringat dengan kematian putri kecilnya. "Gak papa, kok! Lagian, nama itu 'kan belum aku bikinkan lisensinya, jadi siapa aja boleh menggunakannya! Apalagi aku cantik, aku yakin siapapun yang menggunakan nama itu, pasti cantik kayak aku!" jawab Nisa enteng. Dinda melongo dengan kenarsisan sahabatnya, sejak kapan, pikirnya "Lo baik-baik aja, 'kan, Nis?" tanya Dinda sambil menempelkan tangannya di dahi Nisa. "Apaan sih, Din! Orang sehat begini, malah dibilang sakit!" gumam Nisa sewot. "Tunggu.... tunggu! Sejak
"Assalamualaikum....!" ucap salam Nisa yang di depan sebuah rumah minimalis, ditemani suaminya. "Rumahnya, asri ya Mas!" ucap Nisa sambil melihat-lihat lingkungan rumah sahabatnya. "Kamu suka?" tanya Rasya merangkul tubuh istrinya kepelukan. "Banget, aku itu sukanya suasana alam, ya.... seperti taman ini, Mas!""Nanti kita beli satu, rumah yang ada tamannya!" jawab Rasya enteng. "Awh....!" jerit Rasya yang mendapat cubitan dari istrinya. "Apaan sih, sayang! Main cubit aja!" sungut Rasya sambil menggosok perutnya. "Kamu yang apaan, Mas! Beli rumah, kayak beli gado-gado, pemborosan tau!" protes Nisa. "Kan kamu ingin suasana seperti ini, sayang!" jawab Rasya membela diri. "Tapi nggak gitu juga konsepnya, kali...!" jawab Nisa heran dengan pola pikir suaminya. "Waalaikum salam....! Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita paruhbaya yang membukakan pintu. Rasya dan Nisa menoleh ke pintu
"Dasar, adik ipar perhitungan! Baru aja dimintai pertolongan beberapa kali, udah main kabur!" omel Arman di sepanjang jalan. Sampai di rumah, emosi Arman semakin membengkak! Ibunya yang duduk di atas kursi roda, melemparkan perabotan rumah yang tidak seberapa, ke segala arah. "Mama apa-apaan sih, Ma! Udah gak bisa bantu beres-beres, malah berantakin rumah begini!" Melihat kedatangan putranya, bu Susy tambah meradang. Semua barang benda yang dapat terjangkau oleh tangannya, ia lemparkan kepada Arman. "Huh.... huh...!" Sambil melempar, hanya kata gak jelas yang keluar dari bibirnya. "Ma.... jika Mama terus-terusan seperti ini, Arman pastikan Mama akan menyesal!" bentak Arman memandang tajam. "Mama mikir gak, sih! Mama baru aja keluar dari Rumah Sakit, bukannya istirahat malah marah nggak jelas begini!" omel Arman sambil mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai."Hamu... hak.. hecus, hurus hibu!" ujar bu
Hati Indra terasa miris, melihat wanita yang biasanya selalu ceria, kini hilang ingatannya. Yang dipikirannya, hanya mengenai anak yang ia lahirkan, yang telah kembali ke pankuan ilahi. "Dinda, kamu udah makan obat?" tanya Indra duduk di bangku, yang ada di kamar mereka. "Udah donk, Mas! Aku kan harus sehat, agar bisa menjaga dede Nisa!" jawab Dinda semangat. "Iya, kamu harus minum obat terus ya, agar dede bayi juga ikutan sehat!" ucap Indra memotivasi istrinya agar tetap semangat untuk minum obat, walau harus mengikuti ke 'halu an' istrinya. "Gitu ya, Mas?" tanya Dinda dengan senyum di bibirnya. "Iya, donk! Jika kamu sehat, nanti kita bisa jalan-jalan!" tambah Indra. "Jalan-jalan...? Sama dede Nisa, Mas?" tanya Dinda dengab mata berbinar. Dinda duduk di pinggir tempat tidur, menghadap suaminya, seperti seorang anak yang ingin mendengar dongeng dari ibunya. "Iya..kita akan jalan-jalan, tapi pastikan
"Siapa istri pemuda itu..? Apakah istrinya, mengenalku? Semoga saja begitu, dengan demikian, aku mempunyai harapan selamat, dari balas dendam bocah itu!" ucap hati Tuan Frass. "Ada apa dengan Tuan! Nampaknya dia begitu bahagia!" Tanda tanya menghantui pikiran Jhon, tapi dia tetap menjalankan perintah Tuannya***Di rumah, Nisa nampak duduk dengan Ahmad,putranya. Ahmad begitu senang mendengar kabar kehamilan ibunya, "Bunda... berapa lama lagi adik Ahmad bisa diajak bermain, Bun?" tanya Ahmad semringah. "Hehe... sabar ya sayang, tunggu adik lahir dulu, terus tunggu adek gede, baru deh main sama kakak Ahmad!" ucap Nisa sambil membelai rambut putranya. "Kok lama banget! Sekarang adik di mana, Bun?" tanya Ahmad polos. Sambil tersenyum, Nisa memindahkan tangan Ahmad, ke perutnya yang masih datar. "Kok di sini, Bun? Apa gak sempit Bun? Terus, tempat adik bermain, dimana?" tanya Ahmad heran. "Nggak sempit don
Air mata Nisa tak dapat ia bendung, air mata bahagia, mengiasi wajah cantiknya. Nisa merasa tak percaya, baru satu bulan ia menikah, ternyata Allah kembali menitip kan karunia terbesar, pada dirinya. Ia benar-benar bersyukur, karena banyak di luar sana, yang telah sekian lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak. "Selamat ya, Bu atas kehamilannya!" ucap dokter wanita yang menanganinya. "Terimakasih, Dok!" ucap Nisa tersenyum haru. "Sudah menjadi tugas kami, Bu! Pesan saya, jaga emosinya agar jangan sampai stres, dan jangan lupa konsumsi makanan bergizi ya, Bu! Jangan lupa, perbanyak istirahat!" nasehat dokter. "Baik, Dok!" jawab Nisa, serius mendengar nasehat dokter. "Satu lagi, di sini saya tulis resep vitamin, juga obat penghilang mualnya, jangan lupa bulan depan datang lagi, kita cek perkembangan janinnya, ya Bu!" "In syaa allah, Dok!"Setelah menebus obat dan vitamin di apotik, Nisa, segera meninggalkan
Nisa baru ingat, jika bulan ini dia belum menstruasi. "Kenapa, nak? Kamu gak berencana menunda kehamilan, 'kan?" "Ee...nggak kok, Yah!" cicit Nisa."Syukurlah, gak baik kamu menunda kehamilan! Walau bagaimanapun, kamu harus menghargai keinginan suamimu! Lagi pula, Ahmad juga sudah besar, sudah sepantasnya punya adik!" nasehat Ayah Faisal. "Iya Yah, dari awal menikah, Nisa gak ada niat untuk menunda kehamilan! Tapi kalau belum hamil, ya sabar aja!" jawab Nisa, tapi dalam hati Nisa berkata lain. "Bagus itu, mumpung kamu masih muda, jadi peluang untuk hamil itu, masih besar! Ayah do'akan agar kamu secepatnya, bisa memberikan Keturunan buat Rasya!""Iya, Yah! Moga aja secepatnya dipercaya Allah!""In syaa allah, aamiiin!" doa ayah Faisal.Ia ingin, dengan kehamilan, dapat mempererat cinta dalam rumahtangga putrinya. Nisa yang masih terngiang pertanyaan ayahnya, dia mulai memikirkan perubahan yang terja