Di sebuah Mall di kota itu, Bella berjalan di antara ramainya pengunjung, ia nampak hanya berjalan santai tanpa tujuan.
"Hmm...! Kak Arman sudah berpisah dengan istri kampungannya, itu! Mulai sekarang, aku bisa meminta uang tambahan belanja, donk!" ucap Bella tersenyum, sambil melihat ke arah etalase penjual perhiasan."Waahh, bagus-bagus banget sih! Tunggu saja, jika aku sudah punya uang nanti! Akan aku beli, apa yang aku mau!" Bella masih asyik berjalan sambil melihat-lihat, sampai tiba-tiba "Bruk..!" "Awwh...!" Bella yang ditabrak pun, terduduk di lantai."Maaf, Mbak! Saya nggak sengaja!" ucap Indra merasa bersalah, karena ia juga tak sengaja menabraknya.Bella, yang masih sibuk memukul kecil bagian pantatnya, langsung memandang ke arah Indra.Sesaat Bella terdiam, ia tak percaya jika akan bertemu dengan seseorang pria, yang menurutnya memiliki ketampanan sempurna."Mbak...!" panggil Indra mengulangi."Eh..eh..ya, MasDengan langkah yang penuh percaya diri, Sherly memasuki kantor Arman. Ia tak peduli dengan tatapan para pegawai yang terkesan sinis.Beberapa pegawai kantor, yang mengetahui status Sherly, hanya melihat dan membiarkan wanita cantik itu berjalan dan masuk ke dalam lift. Yang mereka tau, Sherly adalah kekasih dari bos mereka. Tanpa mengetuk pintu, Sherly membuka pintu dan masuk begitu saja."Sayang..!" sapa Sherly sambil berjalan mendekati kursi kebesaran Arman.Arman yang tau, siapa pemilik suara, hanya diam. Arman tak menggubris sapaan Sherly, ia hanya sibuk dengan beberapa dokumen di hadapannya."Sayang...! Kok aku dicuekin sih! Kamu gak kangen ya?" tanya Sherly sambil merangkul Arman dari belakang.Arman yang merasa terganggu, mencoba untuk menghindar dari pelukan Sherly "Bisa tolong jangan ganggu aku, nggak?" ucap Arman tanpa memandang ke arah Sherly."Nggak bisa! Aku akan terus ganggu kamu, kalau kamu cuekin aku beg
"Mas Indra bagaimana sih? Kan tempo hari saya udah bilang! Kalau ada yang terasa sakit di tubuh saya, maka saya akan menghubungi Mas Indra!" Bella pun mulai memulai rencananya untuk mendekati Indra."Jadi maksudnya kamu sakit? Kalau gitu, kamu harusnya ke Rumah Sakit donk, bukannya melapor pada saya!" jawab Indra kesal."Nah ...itu dia Mas! Saya maunya Mas Indra yang menemani saya berobat! Masa saya harus pergi sendiri, 'kan Mas Indra yang udah buat saya seperti ini!" ucap Bella."Maaf saya gak bisa! Saya bukan baby sitter kamu! Kalau ingin berobat, kamu pergi sendiri, setelah itu kamu bawa nota kwitansi dari Rumah Sakit pada saya!" ujar Indra yang langsung memutuskan panggilan.Namun baru saja Indra mengantongi handphone nya, kembali ia mendengar nada panggil dari benda pipih tersebut "Apa lagi sih? Kamu tau nggak kalau saya sedang sibuk! Jadi tolong jangan buang-buang waktu saya dengan permintaan konyol kamu!" ucap Indra kesal karena merasa terg
Senyap, mungkin itu kata yang pantas untuk suasana yang ada ada di ruang perawatan Nisa, saat ini. Kehadiran Arman yang tiba-tiba, membuat semua orang terdiam dan saling pandang."Mengapa kamu tidak memberitahukan, jadwal kepulangan kamu sama aku, Nisa?" tanya Arman memandang satu persatu orang yang berada di depannya."Maaf Mas, aku memang tidak memberitahukan siapapun, selain Dinda!" jelas Nisa datar."Lalu, bagaimana orang asing ini bisa berada di sini?" tanya Arman menyudutkan Nisa."Hei, siapa yang orang asing bagi Nisa?" sambar Indra tak terima dirinya dikatakan orang asing.Sejenak Nisa memandang Arman intens "Kamu gak percaya sama aku, Mas?" tanya Nisa."Aku tidak memberitahu siapapun di antara kalian tentang jadwal kepulanganku, hari ini" tegas Nisa memandang lekat."Bagaimana dia bisa datang, tepat di saat kau akan pulang? Apa ini sebuah ketidak kesengajaan?" tanya Arman membentak tajam."Hei
Nisa yang mendengar, langsung membenarkan posisi duduknya menghadap Indra."Apa gak salah, In? Apa maksudmu, meminta kami berdua tinggal di rumahmu?" tanya Nisa serius."Iya In! aku tau, maksud kamu adalah agar kamu bisa menjaga Nisa dan Ahmad, iya 'kan? Tapi kamu pikir donk, posisinya!" timpal dinda pula tak setuju dengan saran Indra."Dengar deh, Nisa udah ditalak oleh Arman! Aku akan mengurus perceraian mereka, agar hubungan di antara mereka secepatnya berakhir!" ucap Indra semangat mengutarakan pendapatnya.Lagi-lagi, Nisa dan Dinda hanya saling toleh."Kamu serius, In?" tanya Dinda ragu."Ya iyalah! Memangnya wajah aku menggambarkan gurauan?" sanggah Indra yang tak terima."Iya deh, maaf! Tapi maksud aku itu, apa tanggapan orang tentang kehadiran Nisa dan Ahmad di rumah kamu? Sementara kalian belum menikah!" ucap Dinda pelan seolah berkata pada diri sendiri.Nisa memandang wajah Indra dan Dinda bergantian,
Indra saat ini dalam suasana hati bahagia, semua itu terlihat dari wajahnya yang tak lepas dari senyuman. Nisa semakin bingung menghadapi semua rencana yang dicetuskan Dinda, sahabatnya."Kayaknya gak bisa, deh In!" ucap Nisa pelan."Lho..kok gitu Nis?" tanya Indra "Apa yang dikatakan Dinda itu, benar lho!" ujar Indra meyakinkan."Tapi In! Semua gak semudah itu juga!" jawab Nisa perlahan."Terus, apa yang membuat kamu ragu?" kejar Indra."Kamu itu harus memikirkan masa depan dan kebahagiaan, anak kalian Nis! Jangan hanya karena trauma atau apalah itu, kamu jadi menyakiti diri sendiri. Yang ujung-ujungnya berdampak pada kesehatan mental anak kamu!" urai Dinda panjang lebar."Aku setuju dengan apa yang dikatakan, Dinda!" timpal Indra pula."Lagian, apa sih yang membuat kamu ragu menikah denganku, Nisa?" tanya Indra kemudian."Em....! Aku belum siap, untuk membangun rumahtangga kembali!" jawab Nisa sambil
"Om ini siapa, Bunda?" tanya Ahmad yang baru menyadari ada orang asing di antara mereka.Nisa memandang Indra sejenak, seolah meminta ijin untuk mengenalkan dirinya pada buah hati mereka.Indra yang masih asyik memandangi dua orang itupun langsung tanggap, dan menganggukkan kepala.Nisa menghela nafas sesaat, ia berpikir keras bagaimana cara menyampaikan kata, agar putranya bisa mengerti."Ahmad sayang...! Dulu, saat kita masih tinggal di desa, kita hanya tinggal bertiga sama kakek 'kan sayang?" ucap Nisa perlahan. Ia ingin agar putranya benar-benar mengerti."Iya, Bun! Terus..?" tanya Ahmad lagi."Saat itu, sebenarnya Ahmad sudah memiliki Ayah! Cuma, Ayah Ahmad saat itu masih harus sekolah, jadi..! Ayah Ahmad, gak bisa kumpul bersama kita, sayang!" lanjut Nisa."Karena Ayah saat itu gak ada bersama kita, makanya Bunda menikah sama Ayah Arman?" tutur Nisa lagi."Oh... gitu ya, Bun! Lalu sekarang, Ayah Ahmad yang
"Wah...wah...! Tadi aja wajahnya bete', giliran Nisa datang langsung deh, sumringah!" ucap Dinda sambil membawakan minuman dingin pesanan Indra sekaligus buat mereka bertiga. Dinda juga menyiapkan cemilan untuk mereka."Lho...aku kebagian jatah, nih?" tanya Nisa melihat Dinda membawa tiga gelas minuman."Harus donk, kan aku bestie kamu! Aku tuh tau Nis, kalau kamu bakalan pulang. Makanya aku udah siapin sekalian!" jawab Dinda tersenyum. 'Kalian aja yang gak menyadari, Jika dari tadi aku di sini!' batin Dinda."Terimakasih ya, bestie! Kamu memang terbaik!" jawab Nisa memberi jempol memuji sahabatnya."Dinda ini memang paling the best, Nis! Susah lho cari teman kayak dia!" timpal Indra pula."Iya, aku tau kok!" jawab Nisa tersenyum membenarkan ucapan Indra."Aah, biasa aja kali Nis! Kamu juga sering bantu aku, aku bisa seperti sekarang juga atas bantuan dari kamu, kok!" jawab Dinda tulus.
Mendengar keputusan Nisa, Indra yang tadi terlihat semangat langsung melemah. Ia menyandarkan tubuhnya."Kalau menurutku, saran Indra boleh juga kok, Nis! Seandainya dia ingkar janji, kamu bisa langsung meninggalkannya, dengan semua yang ia miliki!" usul Dinda setuju sambil tersenyum.Nisa bukannya tak mengerti dengan ucapan Indra, dia hanya tak ingin dianggap memanfaatkan perasaan Indra padanya. Lagi pula, dia masih ingin meyakinkan hatinya. Terlalu banyak janji Indra yang telah diingkari, dan juga terlalu banyak halangan baginya untuk bahagia."Begini saja, aku akan menyelesaikan urusan rumah tanggaku dengan mas Arman terlebih dahulu! Setelah itu, biarkan takdir Allah yang menentukan! Lagi pula, bukannya gak boleh ya, jika saat ini aku dilamar, atau menerima lamaran?" tanya Nisa tersenyum menghilangkan ketegangan di antara mereka.Giliran Indra dan Dinda yang saling pandang, mendengar ucapan Nisa."Iya juga, sih!" jawab Dinda