Suasana nampak hening, di salah satu bangsal rumah sakit. Tak terdengar perbincangan sama sekali, hanya desah napas yang saling bersahutan dari para penghuni kamar.
"Maafkan aku, Nisa! Andai saja, aku tak melakukan kesalahan waktu itu, mungkin dia akan tetap baik-baik saja!" ucap Arman pelan, memecah keheningan."Sudah aku katakan, kamu gak pantas untuk wanita sebaik Nisa!" komentar Indra bersuara, ikut menyalahkan atas peristiwa yang telah terjadi."Hei...! Apa hak kamu bicara seperti itu, hah! Dan asal kamu tau, aku lebih tidak menginginkan ini terjadi!" sarkas Arman membantah tak terima."Aku hanya menginginkan kebaikan untuk, Nisa! Dan kamu, adalah laki-laki kasar yang hanya tau, cara menyakiti!" sanggah Indra lagi."Kamu...!" sambar Arman sambil bangkit dari duduknya."Cukup...!" ucap Nisa lirih."Apa kalian gak bosan berantem terus!" lanjut Nisa dengan wajah sendu."Maaf...!""Maaf Nisa! Aku hanyaMelihat kehadiran Indra di waktu yang tidak tepat, membuat Arman semakin menjadi."Kenapa? Apa ucapan aku salah, Nisa?" tanya Arman dengan senyum smirk."Bisa nggak sih kamu gak mengganggu Nisa?" ucap Indra cepat, sambil memberikan tas Nisa yang diambilnya."Aku, kau katakan menganggu! Sedangkan kamu di katakan menjaga!" "Lebih baik kamu pergi dari sini, dan jangan ganggu Nisa, lagi!" potong Indra."Apa seperti ini keinginan kamu, Nisa?" lagi-lagi Arman melancarkan kata-kata tajam."Awwhh..!" rintih Nissa dengan wajah meringis."Heh...brengsek! Kamu gak lihat kondisi Nissa?" bentak Indra yang tak terima, dengan perlakuan Arman pada Nisa."Siapa kamu, hah..! Yang ada, karena kehadiran kamu, Nisa jadi begitu ingin berpisah denganku!" Arman semakin sulit mengontrol emosinya."Kamu gak apa-apa, Nisa? Aku panggilan Dokter, ya?" tanya Indra pada Nisa, tanpa menghiraukan ucapan Arman."Gak apa-apa k
Di sebuah Mall di kota itu, Bella berjalan di antara ramainya pengunjung, ia nampak hanya berjalan santai tanpa tujuan."Hmm...! Kak Arman sudah berpisah dengan istri kampungannya, itu! Mulai sekarang, aku bisa meminta uang tambahan belanja, donk!" ucap Bella tersenyum, sambil melihat ke arah etalase penjual perhiasan."Waahh, bagus-bagus banget sih! Tunggu saja, jika aku sudah punya uang nanti! Akan aku beli, apa yang aku mau!" Bella masih asyik berjalan sambil melihat-lihat, sampai tiba-tiba "Bruk..!" "Awwh...!" Bella yang ditabrak pun, terduduk di lantai."Maaf, Mbak! Saya nggak sengaja!" ucap Indra merasa bersalah, karena ia juga tak sengaja menabraknya.Bella, yang masih sibuk memukul kecil bagian pantatnya, langsung memandang ke arah Indra.Sesaat Bella terdiam, ia tak percaya jika akan bertemu dengan seseorang pria, yang menurutnya memiliki ketampanan sempurna."Mbak...!" panggil Indra mengulangi."Eh..eh..ya, Mas
Dengan langkah yang penuh percaya diri, Sherly memasuki kantor Arman. Ia tak peduli dengan tatapan para pegawai yang terkesan sinis.Beberapa pegawai kantor, yang mengetahui status Sherly, hanya melihat dan membiarkan wanita cantik itu berjalan dan masuk ke dalam lift. Yang mereka tau, Sherly adalah kekasih dari bos mereka. Tanpa mengetuk pintu, Sherly membuka pintu dan masuk begitu saja."Sayang..!" sapa Sherly sambil berjalan mendekati kursi kebesaran Arman.Arman yang tau, siapa pemilik suara, hanya diam. Arman tak menggubris sapaan Sherly, ia hanya sibuk dengan beberapa dokumen di hadapannya."Sayang...! Kok aku dicuekin sih! Kamu gak kangen ya?" tanya Sherly sambil merangkul Arman dari belakang.Arman yang merasa terganggu, mencoba untuk menghindar dari pelukan Sherly "Bisa tolong jangan ganggu aku, nggak?" ucap Arman tanpa memandang ke arah Sherly."Nggak bisa! Aku akan terus ganggu kamu, kalau kamu cuekin aku beg
"Mas Indra bagaimana sih? Kan tempo hari saya udah bilang! Kalau ada yang terasa sakit di tubuh saya, maka saya akan menghubungi Mas Indra!" Bella pun mulai memulai rencananya untuk mendekati Indra."Jadi maksudnya kamu sakit? Kalau gitu, kamu harusnya ke Rumah Sakit donk, bukannya melapor pada saya!" jawab Indra kesal."Nah ...itu dia Mas! Saya maunya Mas Indra yang menemani saya berobat! Masa saya harus pergi sendiri, 'kan Mas Indra yang udah buat saya seperti ini!" ucap Bella."Maaf saya gak bisa! Saya bukan baby sitter kamu! Kalau ingin berobat, kamu pergi sendiri, setelah itu kamu bawa nota kwitansi dari Rumah Sakit pada saya!" ujar Indra yang langsung memutuskan panggilan.Namun baru saja Indra mengantongi handphone nya, kembali ia mendengar nada panggil dari benda pipih tersebut "Apa lagi sih? Kamu tau nggak kalau saya sedang sibuk! Jadi tolong jangan buang-buang waktu saya dengan permintaan konyol kamu!" ucap Indra kesal karena merasa terg
Senyap, mungkin itu kata yang pantas untuk suasana yang ada ada di ruang perawatan Nisa, saat ini. Kehadiran Arman yang tiba-tiba, membuat semua orang terdiam dan saling pandang."Mengapa kamu tidak memberitahukan, jadwal kepulangan kamu sama aku, Nisa?" tanya Arman memandang satu persatu orang yang berada di depannya."Maaf Mas, aku memang tidak memberitahukan siapapun, selain Dinda!" jelas Nisa datar."Lalu, bagaimana orang asing ini bisa berada di sini?" tanya Arman menyudutkan Nisa."Hei, siapa yang orang asing bagi Nisa?" sambar Indra tak terima dirinya dikatakan orang asing.Sejenak Nisa memandang Arman intens "Kamu gak percaya sama aku, Mas?" tanya Nisa."Aku tidak memberitahu siapapun di antara kalian tentang jadwal kepulanganku, hari ini" tegas Nisa memandang lekat."Bagaimana dia bisa datang, tepat di saat kau akan pulang? Apa ini sebuah ketidak kesengajaan?" tanya Arman membentak tajam."Hei
Nisa yang mendengar, langsung membenarkan posisi duduknya menghadap Indra."Apa gak salah, In? Apa maksudmu, meminta kami berdua tinggal di rumahmu?" tanya Nisa serius."Iya In! aku tau, maksud kamu adalah agar kamu bisa menjaga Nisa dan Ahmad, iya 'kan? Tapi kamu pikir donk, posisinya!" timpal dinda pula tak setuju dengan saran Indra."Dengar deh, Nisa udah ditalak oleh Arman! Aku akan mengurus perceraian mereka, agar hubungan di antara mereka secepatnya berakhir!" ucap Indra semangat mengutarakan pendapatnya.Lagi-lagi, Nisa dan Dinda hanya saling toleh."Kamu serius, In?" tanya Dinda ragu."Ya iyalah! Memangnya wajah aku menggambarkan gurauan?" sanggah Indra yang tak terima."Iya deh, maaf! Tapi maksud aku itu, apa tanggapan orang tentang kehadiran Nisa dan Ahmad di rumah kamu? Sementara kalian belum menikah!" ucap Dinda pelan seolah berkata pada diri sendiri.Nisa memandang wajah Indra dan Dinda bergantian,
Indra saat ini dalam suasana hati bahagia, semua itu terlihat dari wajahnya yang tak lepas dari senyuman. Nisa semakin bingung menghadapi semua rencana yang dicetuskan Dinda, sahabatnya."Kayaknya gak bisa, deh In!" ucap Nisa pelan."Lho..kok gitu Nis?" tanya Indra "Apa yang dikatakan Dinda itu, benar lho!" ujar Indra meyakinkan."Tapi In! Semua gak semudah itu juga!" jawab Nisa perlahan."Terus, apa yang membuat kamu ragu?" kejar Indra."Kamu itu harus memikirkan masa depan dan kebahagiaan, anak kalian Nis! Jangan hanya karena trauma atau apalah itu, kamu jadi menyakiti diri sendiri. Yang ujung-ujungnya berdampak pada kesehatan mental anak kamu!" urai Dinda panjang lebar."Aku setuju dengan apa yang dikatakan, Dinda!" timpal Indra pula."Lagian, apa sih yang membuat kamu ragu menikah denganku, Nisa?" tanya Indra kemudian."Em....! Aku belum siap, untuk membangun rumahtangga kembali!" jawab Nisa sambil
"Om ini siapa, Bunda?" tanya Ahmad yang baru menyadari ada orang asing di antara mereka.Nisa memandang Indra sejenak, seolah meminta ijin untuk mengenalkan dirinya pada buah hati mereka.Indra yang masih asyik memandangi dua orang itupun langsung tanggap, dan menganggukkan kepala.Nisa menghela nafas sesaat, ia berpikir keras bagaimana cara menyampaikan kata, agar putranya bisa mengerti."Ahmad sayang...! Dulu, saat kita masih tinggal di desa, kita hanya tinggal bertiga sama kakek 'kan sayang?" ucap Nisa perlahan. Ia ingin agar putranya benar-benar mengerti."Iya, Bun! Terus..?" tanya Ahmad lagi."Saat itu, sebenarnya Ahmad sudah memiliki Ayah! Cuma, Ayah Ahmad saat itu masih harus sekolah, jadi..! Ayah Ahmad, gak bisa kumpul bersama kita, sayang!" lanjut Nisa."Karena Ayah saat itu gak ada bersama kita, makanya Bunda menikah sama Ayah Arman?" tutur Nisa lagi."Oh... gitu ya, Bun! Lalu sekarang, Ayah Ahmad yang