Senyap, mungkin itu kata yang pantas untuk suasana yang ada ada di ruang perawatan Nisa, saat ini.
Kehadiran Arman yang tiba-tiba, membuat semua orang terdiam dan saling pandang."Mengapa kamu tidak memberitahukan, jadwal kepulangan kamu sama aku, Nisa?" tanya Arman memandang satu persatu orang yang berada di depannya."Maaf Mas, aku memang tidak memberitahukan siapapun, selain Dinda!" jelas Nisa datar."Lalu, bagaimana orang asing ini bisa berada di sini?" tanya Arman menyudutkan Nisa."Hei, siapa yang orang asing bagi Nisa?" sambar Indra tak terima dirinya dikatakan orang asing.Sejenak Nisa memandang Arman intens "Kamu gak percaya sama aku, Mas?" tanya Nisa."Aku tidak memberitahu siapapun di antara kalian tentang jadwal kepulanganku, hari ini" tegas Nisa memandang lekat."Bagaimana dia bisa datang, tepat di saat kau akan pulang? Apa ini sebuah ketidak kesengajaan?" tanya Arman membentak tajam."HeiNisa yang mendengar, langsung membenarkan posisi duduknya menghadap Indra."Apa gak salah, In? Apa maksudmu, meminta kami berdua tinggal di rumahmu?" tanya Nisa serius."Iya In! aku tau, maksud kamu adalah agar kamu bisa menjaga Nisa dan Ahmad, iya 'kan? Tapi kamu pikir donk, posisinya!" timpal dinda pula tak setuju dengan saran Indra."Dengar deh, Nisa udah ditalak oleh Arman! Aku akan mengurus perceraian mereka, agar hubungan di antara mereka secepatnya berakhir!" ucap Indra semangat mengutarakan pendapatnya.Lagi-lagi, Nisa dan Dinda hanya saling toleh."Kamu serius, In?" tanya Dinda ragu."Ya iyalah! Memangnya wajah aku menggambarkan gurauan?" sanggah Indra yang tak terima."Iya deh, maaf! Tapi maksud aku itu, apa tanggapan orang tentang kehadiran Nisa dan Ahmad di rumah kamu? Sementara kalian belum menikah!" ucap Dinda pelan seolah berkata pada diri sendiri.Nisa memandang wajah Indra dan Dinda bergantian,
Indra saat ini dalam suasana hati bahagia, semua itu terlihat dari wajahnya yang tak lepas dari senyuman. Nisa semakin bingung menghadapi semua rencana yang dicetuskan Dinda, sahabatnya."Kayaknya gak bisa, deh In!" ucap Nisa pelan."Lho..kok gitu Nis?" tanya Indra "Apa yang dikatakan Dinda itu, benar lho!" ujar Indra meyakinkan."Tapi In! Semua gak semudah itu juga!" jawab Nisa perlahan."Terus, apa yang membuat kamu ragu?" kejar Indra."Kamu itu harus memikirkan masa depan dan kebahagiaan, anak kalian Nis! Jangan hanya karena trauma atau apalah itu, kamu jadi menyakiti diri sendiri. Yang ujung-ujungnya berdampak pada kesehatan mental anak kamu!" urai Dinda panjang lebar."Aku setuju dengan apa yang dikatakan, Dinda!" timpal Indra pula."Lagian, apa sih yang membuat kamu ragu menikah denganku, Nisa?" tanya Indra kemudian."Em....! Aku belum siap, untuk membangun rumahtangga kembali!" jawab Nisa sambil
"Om ini siapa, Bunda?" tanya Ahmad yang baru menyadari ada orang asing di antara mereka.Nisa memandang Indra sejenak, seolah meminta ijin untuk mengenalkan dirinya pada buah hati mereka.Indra yang masih asyik memandangi dua orang itupun langsung tanggap, dan menganggukkan kepala.Nisa menghela nafas sesaat, ia berpikir keras bagaimana cara menyampaikan kata, agar putranya bisa mengerti."Ahmad sayang...! Dulu, saat kita masih tinggal di desa, kita hanya tinggal bertiga sama kakek 'kan sayang?" ucap Nisa perlahan. Ia ingin agar putranya benar-benar mengerti."Iya, Bun! Terus..?" tanya Ahmad lagi."Saat itu, sebenarnya Ahmad sudah memiliki Ayah! Cuma, Ayah Ahmad saat itu masih harus sekolah, jadi..! Ayah Ahmad, gak bisa kumpul bersama kita, sayang!" lanjut Nisa."Karena Ayah saat itu gak ada bersama kita, makanya Bunda menikah sama Ayah Arman?" tutur Nisa lagi."Oh... gitu ya, Bun! Lalu sekarang, Ayah Ahmad yang
"Wah...wah...! Tadi aja wajahnya bete', giliran Nisa datang langsung deh, sumringah!" ucap Dinda sambil membawakan minuman dingin pesanan Indra sekaligus buat mereka bertiga. Dinda juga menyiapkan cemilan untuk mereka."Lho...aku kebagian jatah, nih?" tanya Nisa melihat Dinda membawa tiga gelas minuman."Harus donk, kan aku bestie kamu! Aku tuh tau Nis, kalau kamu bakalan pulang. Makanya aku udah siapin sekalian!" jawab Dinda tersenyum. 'Kalian aja yang gak menyadari, Jika dari tadi aku di sini!' batin Dinda."Terimakasih ya, bestie! Kamu memang terbaik!" jawab Nisa memberi jempol memuji sahabatnya."Dinda ini memang paling the best, Nis! Susah lho cari teman kayak dia!" timpal Indra pula."Iya, aku tau kok!" jawab Nisa tersenyum membenarkan ucapan Indra."Aah, biasa aja kali Nis! Kamu juga sering bantu aku, aku bisa seperti sekarang juga atas bantuan dari kamu, kok!" jawab Dinda tulus.
Mendengar keputusan Nisa, Indra yang tadi terlihat semangat langsung melemah. Ia menyandarkan tubuhnya."Kalau menurutku, saran Indra boleh juga kok, Nis! Seandainya dia ingkar janji, kamu bisa langsung meninggalkannya, dengan semua yang ia miliki!" usul Dinda setuju sambil tersenyum.Nisa bukannya tak mengerti dengan ucapan Indra, dia hanya tak ingin dianggap memanfaatkan perasaan Indra padanya. Lagi pula, dia masih ingin meyakinkan hatinya. Terlalu banyak janji Indra yang telah diingkari, dan juga terlalu banyak halangan baginya untuk bahagia."Begini saja, aku akan menyelesaikan urusan rumah tanggaku dengan mas Arman terlebih dahulu! Setelah itu, biarkan takdir Allah yang menentukan! Lagi pula, bukannya gak boleh ya, jika saat ini aku dilamar, atau menerima lamaran?" tanya Nisa tersenyum menghilangkan ketegangan di antara mereka.Giliran Indra dan Dinda yang saling pandang, mendengar ucapan Nisa."Iya juga, sih!" jawab Dinda
Arman duduk di kursi kebesarannya, dari tadi dia hanya membolak-balikkan kertas yang ada di depannya. Tak ada niat untuk menandatangani, apalagi membaca berkas laporan itu.Arman begitu pusing memikirkan apa yang harus dia lakukan, untuk bisa membuat Nisa kembali padanya."Huft.....!" Kembali Arman menghembuskan napas kasarnya, hal yang dari tadi berulang kali ia lakukan."Apa yang harus aku lakukan?" Pertanyaan itu terlintas di pikirannya, namun tak satupun jawaban yang terlintas."Sayaaang....! Kamu merindukan aku, ya?" ucap Sherly yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Kebiasaan Sherly yang biasanya selalu dibiarkanArman , namun tidak untuk kali ini."Apa kamu gak bisa mengetuk pintu sebelum masuk?" tanya Arman tak suka."Apaan sih, Mas? Biasanya juga kamu gak pernah mempermasalahkan, kok!" jawab Sherly cemberut."Bisa nggak kalau aku ngomong itu, jangan dibantah!" ucap Arman setengah membentak.
Bella keluar dari mobil, dengan dandanan yang cantik dan busana yang glamor, Bella berjalan dengan penuh percaya diri. Ia langsung masuk ke dalam Restoran tempat yang ia janjikan pada Indra untuk menemuinya.Bella sengaja memesan private room demi melancarkan semua rencananya.Seorang pelayan mengantarkannya pada salah satu ruang, yang biasanya dipakai oleh orang-orang yang ingin privasinya tidak ingin diketahui.Bella masuk ke salah satu ruangan yang luas, dan memiliki interior menarik.Pelayan segera mencatat pesanan Bella, dan kemudian pergi meninggalkan Bella sendiri.Tak berselang lama, pelayan tadi datang kembali dan membawa pesanan Bella. Setelah menata makanan dan minuman di atas meja, pelayan tersebut langsung permisi "Silahkan dinikmati, nona!" ucap pelayan sopan. Kemudian pergi meninggalkan Bella kembali."Oke...! Sekarang saatnya!" ucap Bella pada dirinya sendiri. Bella mengeluarkan sesuatu dengan kemasan ke
Pintu terbuka, nampak seorang Dokter wanita keluar dari dalam.Melihat kemunculan Dokter, Nisa bergegas menghampiri "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Nisa cemas.Indra yang berdiri dibelakangnya hanya melihat dan tak bertanya."Ibu dan Bapak, apakah orangtua dari Ahmad?" tanya Dokter."Iya, Dok! Saya adalah Ayahnya, dan dia adalah Ibunya!" jawab Indra cepat.Sementara, Nisa hanya menoleh ke arah Indra sesaat, dan fokus menanti penjelasan dari Dokter."Begini Ibu, Bapak! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saat ini pasien sedang istirahat. Ananda hanya mengalami alergi dari daging yang ia konsumsi sebelumnya, Dan melihat dari gejalanya , apa sebelumnya pasien mengkonsumsi daging kambing?" tanya Dokter.Mendengar pertanyaan dari Dokter, Nisa mengingat jika sebelumnya memang ia membelikan anaknya daging kambing "Betul Dok!" jawab Nisa membenarkan."Alergi..?" tanya Indra. Ada rasa bangga, jika anaknya mempu