Nisa yang mendengar, langsung membenarkan posisi duduknya menghadap Indra.
"Apa gak salah, In? Apa maksudmu, meminta kami berdua tinggal di rumahmu?" tanya Nisa serius."Iya In! aku tau, maksud kamu adalah agar kamu bisa menjaga Nisa dan Ahmad, iya 'kan? Tapi kamu pikir donk, posisinya!" timpal dinda pula tak setuju dengan saran Indra."Dengar deh, Nisa udah ditalak oleh Arman! Aku akan mengurus perceraian mereka, agar hubungan di antara mereka secepatnya berakhir!" ucap Indra semangat mengutarakan pendapatnya.Lagi-lagi, Nisa dan Dinda hanya saling toleh."Kamu serius, In?" tanya Dinda ragu."Ya iyalah! Memangnya wajah aku menggambarkan gurauan?" sanggah Indra yang tak terima."Iya deh, maaf! Tapi maksud aku itu, apa tanggapan orang tentang kehadiran Nisa dan Ahmad di rumah kamu? Sementara kalian belum menikah!" ucap Dinda pelan seolah berkata pada diri sendiri.Nisa memandang wajah Indra dan Dinda bergantian,Indra saat ini dalam suasana hati bahagia, semua itu terlihat dari wajahnya yang tak lepas dari senyuman. Nisa semakin bingung menghadapi semua rencana yang dicetuskan Dinda, sahabatnya."Kayaknya gak bisa, deh In!" ucap Nisa pelan."Lho..kok gitu Nis?" tanya Indra "Apa yang dikatakan Dinda itu, benar lho!" ujar Indra meyakinkan."Tapi In! Semua gak semudah itu juga!" jawab Nisa perlahan."Terus, apa yang membuat kamu ragu?" kejar Indra."Kamu itu harus memikirkan masa depan dan kebahagiaan, anak kalian Nis! Jangan hanya karena trauma atau apalah itu, kamu jadi menyakiti diri sendiri. Yang ujung-ujungnya berdampak pada kesehatan mental anak kamu!" urai Dinda panjang lebar."Aku setuju dengan apa yang dikatakan, Dinda!" timpal Indra pula."Lagian, apa sih yang membuat kamu ragu menikah denganku, Nisa?" tanya Indra kemudian."Em....! Aku belum siap, untuk membangun rumahtangga kembali!" jawab Nisa sambil
"Om ini siapa, Bunda?" tanya Ahmad yang baru menyadari ada orang asing di antara mereka.Nisa memandang Indra sejenak, seolah meminta ijin untuk mengenalkan dirinya pada buah hati mereka.Indra yang masih asyik memandangi dua orang itupun langsung tanggap, dan menganggukkan kepala.Nisa menghela nafas sesaat, ia berpikir keras bagaimana cara menyampaikan kata, agar putranya bisa mengerti."Ahmad sayang...! Dulu, saat kita masih tinggal di desa, kita hanya tinggal bertiga sama kakek 'kan sayang?" ucap Nisa perlahan. Ia ingin agar putranya benar-benar mengerti."Iya, Bun! Terus..?" tanya Ahmad lagi."Saat itu, sebenarnya Ahmad sudah memiliki Ayah! Cuma, Ayah Ahmad saat itu masih harus sekolah, jadi..! Ayah Ahmad, gak bisa kumpul bersama kita, sayang!" lanjut Nisa."Karena Ayah saat itu gak ada bersama kita, makanya Bunda menikah sama Ayah Arman?" tutur Nisa lagi."Oh... gitu ya, Bun! Lalu sekarang, Ayah Ahmad yang
"Wah...wah...! Tadi aja wajahnya bete', giliran Nisa datang langsung deh, sumringah!" ucap Dinda sambil membawakan minuman dingin pesanan Indra sekaligus buat mereka bertiga. Dinda juga menyiapkan cemilan untuk mereka."Lho...aku kebagian jatah, nih?" tanya Nisa melihat Dinda membawa tiga gelas minuman."Harus donk, kan aku bestie kamu! Aku tuh tau Nis, kalau kamu bakalan pulang. Makanya aku udah siapin sekalian!" jawab Dinda tersenyum. 'Kalian aja yang gak menyadari, Jika dari tadi aku di sini!' batin Dinda."Terimakasih ya, bestie! Kamu memang terbaik!" jawab Nisa memberi jempol memuji sahabatnya."Dinda ini memang paling the best, Nis! Susah lho cari teman kayak dia!" timpal Indra pula."Iya, aku tau kok!" jawab Nisa tersenyum membenarkan ucapan Indra."Aah, biasa aja kali Nis! Kamu juga sering bantu aku, aku bisa seperti sekarang juga atas bantuan dari kamu, kok!" jawab Dinda tulus.
Mendengar keputusan Nisa, Indra yang tadi terlihat semangat langsung melemah. Ia menyandarkan tubuhnya."Kalau menurutku, saran Indra boleh juga kok, Nis! Seandainya dia ingkar janji, kamu bisa langsung meninggalkannya, dengan semua yang ia miliki!" usul Dinda setuju sambil tersenyum.Nisa bukannya tak mengerti dengan ucapan Indra, dia hanya tak ingin dianggap memanfaatkan perasaan Indra padanya. Lagi pula, dia masih ingin meyakinkan hatinya. Terlalu banyak janji Indra yang telah diingkari, dan juga terlalu banyak halangan baginya untuk bahagia."Begini saja, aku akan menyelesaikan urusan rumah tanggaku dengan mas Arman terlebih dahulu! Setelah itu, biarkan takdir Allah yang menentukan! Lagi pula, bukannya gak boleh ya, jika saat ini aku dilamar, atau menerima lamaran?" tanya Nisa tersenyum menghilangkan ketegangan di antara mereka.Giliran Indra dan Dinda yang saling pandang, mendengar ucapan Nisa."Iya juga, sih!" jawab Dinda
Arman duduk di kursi kebesarannya, dari tadi dia hanya membolak-balikkan kertas yang ada di depannya. Tak ada niat untuk menandatangani, apalagi membaca berkas laporan itu.Arman begitu pusing memikirkan apa yang harus dia lakukan, untuk bisa membuat Nisa kembali padanya."Huft.....!" Kembali Arman menghembuskan napas kasarnya, hal yang dari tadi berulang kali ia lakukan."Apa yang harus aku lakukan?" Pertanyaan itu terlintas di pikirannya, namun tak satupun jawaban yang terlintas."Sayaaang....! Kamu merindukan aku, ya?" ucap Sherly yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Kebiasaan Sherly yang biasanya selalu dibiarkanArman , namun tidak untuk kali ini."Apa kamu gak bisa mengetuk pintu sebelum masuk?" tanya Arman tak suka."Apaan sih, Mas? Biasanya juga kamu gak pernah mempermasalahkan, kok!" jawab Sherly cemberut."Bisa nggak kalau aku ngomong itu, jangan dibantah!" ucap Arman setengah membentak.
Bella keluar dari mobil, dengan dandanan yang cantik dan busana yang glamor, Bella berjalan dengan penuh percaya diri. Ia langsung masuk ke dalam Restoran tempat yang ia janjikan pada Indra untuk menemuinya.Bella sengaja memesan private room demi melancarkan semua rencananya.Seorang pelayan mengantarkannya pada salah satu ruang, yang biasanya dipakai oleh orang-orang yang ingin privasinya tidak ingin diketahui.Bella masuk ke salah satu ruangan yang luas, dan memiliki interior menarik.Pelayan segera mencatat pesanan Bella, dan kemudian pergi meninggalkan Bella sendiri.Tak berselang lama, pelayan tadi datang kembali dan membawa pesanan Bella. Setelah menata makanan dan minuman di atas meja, pelayan tersebut langsung permisi "Silahkan dinikmati, nona!" ucap pelayan sopan. Kemudian pergi meninggalkan Bella kembali."Oke...! Sekarang saatnya!" ucap Bella pada dirinya sendiri. Bella mengeluarkan sesuatu dengan kemasan ke
Pintu terbuka, nampak seorang Dokter wanita keluar dari dalam.Melihat kemunculan Dokter, Nisa bergegas menghampiri "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?" tanya Nisa cemas.Indra yang berdiri dibelakangnya hanya melihat dan tak bertanya."Ibu dan Bapak, apakah orangtua dari Ahmad?" tanya Dokter."Iya, Dok! Saya adalah Ayahnya, dan dia adalah Ibunya!" jawab Indra cepat.Sementara, Nisa hanya menoleh ke arah Indra sesaat, dan fokus menanti penjelasan dari Dokter."Begini Ibu, Bapak! Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, saat ini pasien sedang istirahat. Ananda hanya mengalami alergi dari daging yang ia konsumsi sebelumnya, Dan melihat dari gejalanya , apa sebelumnya pasien mengkonsumsi daging kambing?" tanya Dokter.Mendengar pertanyaan dari Dokter, Nisa mengingat jika sebelumnya memang ia membelikan anaknya daging kambing "Betul Dok!" jawab Nisa membenarkan."Alergi..?" tanya Indra. Ada rasa bangga, jika anaknya mempu
Bella begitu menyesal telah melakukan hubungan terlarang, bahkan lebih parahnya lagi, dia melakukan dengan orang, yang tidak mempunyai hubungan apapun dengannya."Si*l...! Ini semua karena, Mas Indra! Ya, aku akan meminta pertanggung jawaban dari Mas Indra!" ucap Bella melimpahkan semua kesalahan pada Indra.Rudy keluar dari kamar mandi, dengan santainya ia mengenakan pakaiannya di depan Bella.Bella yang melihat bagaimana seksinya tubuh kekar Rudy, dan melihat kotak-kotak yang terdapat di perut Rudy, nampak menelan ludah.Tak dapat dipungkiri, jika semua yang terlihat membuat pikirannya traveling kemana-mana 'Nggak, aku gak boleh begini..!' batin Bella, sambil menggelengkan kepalanya."Kenapa? Kamu mau lagi, hm..?" tanya Rudy sembari naik ke tempat tidur.Melihat Rudy yang sepertinya menginginkannya kembali, Bella langsung berlari ke kamar mandi, membalut tubuhnya dengan selimut dan membawa pakaiannya yang tergeletak di lantai.
Bu Susy tersadar dari tidurnya kaget, melihat suasana berbeda dengan tempat yang ia tempati beberapa bulan terakhir. Dalam kebingungan, ibu Susy berteriak. Tak berapa lama, seorang perawat yang bertugas melayani para penghuni panti, datang. "Ada apa, Bu?" tanya perawat tersebut. "Hapa... hamu...?" tanya bu Susy heran. "Saya perawat di sini, Bu! Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya perawat yang telah terbiasa berinteraksi dengan orang stroke, membuat ia bisa mengartikan bahasa tak jelas dari ibu Susy."Hana, haman, haku hau haman!" "Maaf Bu, Bapak Arman sendiri, yang mengantarkan Ibu ke sini! Saat ini, Bapak Arman sudah pulang! Ibu bisa tenang, Ibu berada di tempat yang khusus merawat para orangtua, yang tak sempat, di rawat anak-anak mereka!"Betapa kagetnya bu Susy setelah mendengar penjelasan perawat. Ia nampak shock, tak menyangka jika ia akan dibuang oleh anaknya sendiri. Bu Susy menangis, ia menyesal
"Apaan sih, Mas! Aku malah bahagia, jika mereka bisa tetap bersama selamanya! Lagi pula, aku udah punya kamu, ngapain harus menyemburukan suami orang?" jawab Nisa sambil nyelendot di tangan Rasya. Hati Rasya berbunga-bunga, dengan ungkapan perasaan istrinya. "Terimakasih sayang! Aku harap, apapun masalahnya, kita bisa bicarakan baik-baik! Aku tak mau mengalami kegagalan, dalam rumahtangga kita!""Aamiiiin....! Sama-sama, sayang!" jawab Nisa tersenyum manis. Nisa merasa bahagia, dengan selesainya semua permasalahan yang ia rasakan selama ini, Nisa akhirnya bisa merasa lega. "Mas.... aku bahagia banget, masalalu yang dulu aku alami terasa berat, ternyata memberi kebahagiaan bagiku, di masa sekarang!" ucap Nisa memandang jalanan di depan. "Syukurlah, tapi aku akan berusaha, memberikan kebahagiaan bukan cuma saat ini, tapi selamanya!""Aamiiiin...!"Kedua suami istri tak jadi pulang ke rumah, tapi justru mereka
"Terimakasih atas saran lo, Nis! Aku akan lihat, bagaimana Indra menyadari kesalahannya! Jika memang dia pantas untuk dipertahankan, maka aku akan berusaha mempertahankannya!" jawab Dinda santai. "Bagus deh, semoga Allah memberikan kebaikan untuk rumahtangga kalian!""Aamiiin....!" balas Dinda atas do'a Nisa. "Oh iya Nis! Aku mau minta maaf, ya! Nama kamu, ikut digunakan oleh mendiang anakku!' jawab Dinda sedih teringat dengan kematian putri kecilnya. "Gak papa, kok! Lagian, nama itu 'kan belum aku bikinkan lisensinya, jadi siapa aja boleh menggunakannya! Apalagi aku cantik, aku yakin siapapun yang menggunakan nama itu, pasti cantik kayak aku!" jawab Nisa enteng. Dinda melongo dengan kenarsisan sahabatnya, sejak kapan, pikirnya "Lo baik-baik aja, 'kan, Nis?" tanya Dinda sambil menempelkan tangannya di dahi Nisa. "Apaan sih, Din! Orang sehat begini, malah dibilang sakit!" gumam Nisa sewot. "Tunggu.... tunggu! Sejak
"Assalamualaikum....!" ucap salam Nisa yang di depan sebuah rumah minimalis, ditemani suaminya. "Rumahnya, asri ya Mas!" ucap Nisa sambil melihat-lihat lingkungan rumah sahabatnya. "Kamu suka?" tanya Rasya merangkul tubuh istrinya kepelukan. "Banget, aku itu sukanya suasana alam, ya.... seperti taman ini, Mas!""Nanti kita beli satu, rumah yang ada tamannya!" jawab Rasya enteng. "Awh....!" jerit Rasya yang mendapat cubitan dari istrinya. "Apaan sih, sayang! Main cubit aja!" sungut Rasya sambil menggosok perutnya. "Kamu yang apaan, Mas! Beli rumah, kayak beli gado-gado, pemborosan tau!" protes Nisa. "Kan kamu ingin suasana seperti ini, sayang!" jawab Rasya membela diri. "Tapi nggak gitu juga konsepnya, kali...!" jawab Nisa heran dengan pola pikir suaminya. "Waalaikum salam....! Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita paruhbaya yang membukakan pintu. Rasya dan Nisa menoleh ke pintu
"Dasar, adik ipar perhitungan! Baru aja dimintai pertolongan beberapa kali, udah main kabur!" omel Arman di sepanjang jalan. Sampai di rumah, emosi Arman semakin membengkak! Ibunya yang duduk di atas kursi roda, melemparkan perabotan rumah yang tidak seberapa, ke segala arah. "Mama apa-apaan sih, Ma! Udah gak bisa bantu beres-beres, malah berantakin rumah begini!" Melihat kedatangan putranya, bu Susy tambah meradang. Semua barang benda yang dapat terjangkau oleh tangannya, ia lemparkan kepada Arman. "Huh.... huh...!" Sambil melempar, hanya kata gak jelas yang keluar dari bibirnya. "Ma.... jika Mama terus-terusan seperti ini, Arman pastikan Mama akan menyesal!" bentak Arman memandang tajam. "Mama mikir gak, sih! Mama baru aja keluar dari Rumah Sakit, bukannya istirahat malah marah nggak jelas begini!" omel Arman sambil mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai."Hamu... hak.. hecus, hurus hibu!" ujar bu
Hati Indra terasa miris, melihat wanita yang biasanya selalu ceria, kini hilang ingatannya. Yang dipikirannya, hanya mengenai anak yang ia lahirkan, yang telah kembali ke pankuan ilahi. "Dinda, kamu udah makan obat?" tanya Indra duduk di bangku, yang ada di kamar mereka. "Udah donk, Mas! Aku kan harus sehat, agar bisa menjaga dede Nisa!" jawab Dinda semangat. "Iya, kamu harus minum obat terus ya, agar dede bayi juga ikutan sehat!" ucap Indra memotivasi istrinya agar tetap semangat untuk minum obat, walau harus mengikuti ke 'halu an' istrinya. "Gitu ya, Mas?" tanya Dinda dengan senyum di bibirnya. "Iya, donk! Jika kamu sehat, nanti kita bisa jalan-jalan!" tambah Indra. "Jalan-jalan...? Sama dede Nisa, Mas?" tanya Dinda dengab mata berbinar. Dinda duduk di pinggir tempat tidur, menghadap suaminya, seperti seorang anak yang ingin mendengar dongeng dari ibunya. "Iya..kita akan jalan-jalan, tapi pastikan
"Siapa istri pemuda itu..? Apakah istrinya, mengenalku? Semoga saja begitu, dengan demikian, aku mempunyai harapan selamat, dari balas dendam bocah itu!" ucap hati Tuan Frass. "Ada apa dengan Tuan! Nampaknya dia begitu bahagia!" Tanda tanya menghantui pikiran Jhon, tapi dia tetap menjalankan perintah Tuannya***Di rumah, Nisa nampak duduk dengan Ahmad,putranya. Ahmad begitu senang mendengar kabar kehamilan ibunya, "Bunda... berapa lama lagi adik Ahmad bisa diajak bermain, Bun?" tanya Ahmad semringah. "Hehe... sabar ya sayang, tunggu adik lahir dulu, terus tunggu adek gede, baru deh main sama kakak Ahmad!" ucap Nisa sambil membelai rambut putranya. "Kok lama banget! Sekarang adik di mana, Bun?" tanya Ahmad polos. Sambil tersenyum, Nisa memindahkan tangan Ahmad, ke perutnya yang masih datar. "Kok di sini, Bun? Apa gak sempit Bun? Terus, tempat adik bermain, dimana?" tanya Ahmad heran. "Nggak sempit don
Air mata Nisa tak dapat ia bendung, air mata bahagia, mengiasi wajah cantiknya. Nisa merasa tak percaya, baru satu bulan ia menikah, ternyata Allah kembali menitip kan karunia terbesar, pada dirinya. Ia benar-benar bersyukur, karena banyak di luar sana, yang telah sekian lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak. "Selamat ya, Bu atas kehamilannya!" ucap dokter wanita yang menanganinya. "Terimakasih, Dok!" ucap Nisa tersenyum haru. "Sudah menjadi tugas kami, Bu! Pesan saya, jaga emosinya agar jangan sampai stres, dan jangan lupa konsumsi makanan bergizi ya, Bu! Jangan lupa, perbanyak istirahat!" nasehat dokter. "Baik, Dok!" jawab Nisa, serius mendengar nasehat dokter. "Satu lagi, di sini saya tulis resep vitamin, juga obat penghilang mualnya, jangan lupa bulan depan datang lagi, kita cek perkembangan janinnya, ya Bu!" "In syaa allah, Dok!"Setelah menebus obat dan vitamin di apotik, Nisa, segera meninggalkan
Nisa baru ingat, jika bulan ini dia belum menstruasi. "Kenapa, nak? Kamu gak berencana menunda kehamilan, 'kan?" "Ee...nggak kok, Yah!" cicit Nisa."Syukurlah, gak baik kamu menunda kehamilan! Walau bagaimanapun, kamu harus menghargai keinginan suamimu! Lagi pula, Ahmad juga sudah besar, sudah sepantasnya punya adik!" nasehat Ayah Faisal. "Iya Yah, dari awal menikah, Nisa gak ada niat untuk menunda kehamilan! Tapi kalau belum hamil, ya sabar aja!" jawab Nisa, tapi dalam hati Nisa berkata lain. "Bagus itu, mumpung kamu masih muda, jadi peluang untuk hamil itu, masih besar! Ayah do'akan agar kamu secepatnya, bisa memberikan Keturunan buat Rasya!""Iya, Yah! Moga aja secepatnya dipercaya Allah!""In syaa allah, aamiiin!" doa ayah Faisal.Ia ingin, dengan kehamilan, dapat mempererat cinta dalam rumahtangga putrinya. Nisa yang masih terngiang pertanyaan ayahnya, dia mulai memikirkan perubahan yang terja