"Apa aku harus mencium kaki, Mbak Nisa? Agar kata maaf itu, aku dapatkan, Mbak?" tanya Bella sambil terisak memandang Nisa.
"Aku bukan orang sesuci itu, Bell! Aku hanya wanita biasa, yang juga bisa marah dan membenci!""Aku mohon Mbak! Mohon maafkan aku, apapun akan aku lakukan, asal Mbak mau memaafkan aku!" ulang Bella."Gak perlu...!" potong Nisa cepat."Jika kamu memang menyadari kesalahanmu, tolong katakan pada keluargamu, jangan ganggu kehidupan aku lagi!"Bella langsung memandang lekat wajah cantik di depannya, ia seakan tak percaya jika Nisa hanya memberikan syarat itu, untuk memaafkannya "Serius Mbak? Apa semudah itu?" tanya Bella dengan mata membola."Ya... dengan kalian tak mengusik kehidupanku, itu berarti, kalian telah memberi ketenangan dalam hidup aku, dan putraku!""Terimakasih Mbak, mulai saat ini, aku janji akan menjauh dari kehidupan Mbak Nisa, dan tidak akan mengusik kehidupan kalian lagi!" jawab Bel"Hehe...kalau Om kangen, kenapa nggak minta Sherly datang, sih! 'Kan Sherly paling bisa, membuat Om, melupakan semua masalah!" Sherly masih asyik ngobrol dengan seseorang di seberang sana, sama sekali tak menyadari keberadaan suaminya."Siapa yang menghubungi Sherly? Kok bisa terlihat akrab seperti itu?" monolog Arman."Ya udah, ntar malam Sherly ke sana, deh! Ingat ya, Om harus persiapkan segalanya! Sherly nggak mau gagal kayak tempo hari, lho!" ucap Sherly manja."Mau kemana kamu, Sher? Siapa yang kamu hubungi?" tanya Arman berdiri di samping Sherly."Eh..Mas Arman!" Wajah Sherly tiba-tiba memucat, melihat kehadiran suaminya yang tak ia sadari."Kenapa..? Kaget ya, siapa yang kamu hubungi?" tanya Arman sambil menatap tajam."Ehh, ini..cuma orang dari Agensi! Dia memintaku untuk menghadiri pertemuan sesama model, nanti malam!" ucap Sherly gugup."Jangan bohong kamu, Sherly!" "Siapa yang bohong, sih Mas! Lagipu
Gadis itu tersenyum malu saat ditatap intens oleh Rasya. Rona merah di pipinya, menambah kecantikan wajahnya."Owh iya ya, aku lupa deh ngenalin diri! Nama aku Annisa Hafizah kak, orang-orang manggil aku, Nisa!" jawab Nisa sambil memainkan ujung hijabnya."Nama kamu cantik, secantik wajah kamu!" ucap Rasya tak sadar.Nisa menunduk malu dengan pipi semakin merona. "Kamu masih sekolah, kelas berapa?" tanya Rasya."Aku kelas dua belas Kak!""Owh...gak lama lagi SMA donk!" "Iya, Kak!""Usia kamu berapa Nisa?" tanya Rasya antusias."Usia aku lima belas tahun, Kak! Kakak masih sekolah juga?" tanya Nisa balik, sambil memberanikan diri."Hehe..aku udah kuliah! Usia aku aja udah dua puluh tahun!" "Owh... berarti Kakak udah tua donk?" ucap Nisa serius."Hahaha....dasar anak kecil. Usia segitu ya masih muda donk, Nisa! Masa' udak tua, sih!" Sejenak Rasya melupakan rasa sakit pada luka
Indra keluar dari kamar perawatan Dinda, dia tidak dapat menghilangkan perasaan cemburunya, pada orang yang telah menolong Nisa, jika memanfaatkan kondisi nisa, malam itu."Akhhh....sial! Aku yang berusaha, dia yang menikmati!" ucap Indra sambil menendang-nendang ke segala arah."Aku harus cari tau, siapa dia sebenarnya? Mengapa seolah dia tau, kapan waktu yang tepat, untuk mencegah sesuatu terjadi pada Nisa!" gumam Indra.Indra termenung di kursi taman Rumah Sakit, sejenak ia lupa, jika keberadaannya di situ karena menemani istrinya."Jika aku mencari tau siapa laki-laki itu, apa sekiranya dia akan melaporkan aku, ya? Tapi, jika tidak bertanya padanya, apa aku harus bertanya pada Nisa, tentang peristiwa malam ini?" ucap Indra sendiri."Aakkhhhh....sialan! Jika aku bertanya pada Nisa, yang ada dia akan semakin membenciku." Indra begitu kacau memikirkan semuanya."Aku gak rela, jika Nisa dimanfaatkan oleh orang itu!" gumam Indra s
Setelah beberapa hari dirawat, Dinda akhirnya diijinkan untuk pulang, dengan catatan harus selalu menjaga emosi dan membatasi kegiatannya.Indra berniat mengantar Dinda sampai pulang ke rumahnya. Walau sesungguhnya Indra belum bisa menerima Dinda sepenuhnya, namun sebagai suami, Indra akan berusaha menjaga dan melindungi istrinya.Walau belum adanya penjelasan tentang kelanjutan hubungan mereka, tapi Indra tak mau dianggap sebagai laki-laki tidak bertanggung jawab.Setelah semuanya beres, Indra menutup kembali pintu sebelah Dinda. Indra segera menjalankan mobilnya, meninggalkan parkiran Rumah Sakit."Dinda...!" "Hmm.....!""Setelah sampai di rumah nanti, kamu kemaskan barang-barang kamu seperlunya, kamu ikut aku!Mulai sekarang, aku mau kamu tinggal di rumahku!"Dinda menoleh Indra sesaat, lalu menoleh ke depan kembali. "Huft...jika memang nggak bisa, jangan dipaksakan, In?" jawab Dinda pelan."Din...!" Indra me
Setelah menghabiskan makanannya, Ahmad memandang wajah ibunya, ragu.Nisa yang juga telah menghabiskan makanannya, menatap wajah putranya heran "Ada apa, nak?" tanya Nisa, sambil membersihkan sekitar mulut putranya dengan tisu."Bunda...ee! Boleh nggak, Ahmad main di tempat bermain, seperti saat Ahmad sama Ayah dan Tante Dinda, tempo hari?" pinta Ahmad takut-takut.Mendengar ucapan putranya, kembali mengingatkan Nisa pada kedua sahabatnya, yang sekarang telah menjadi pasangan suami-isteri. Ada rasa perih dalam hati Nisa, saat mengingat batalnya pernikahan mereka.Rasya yang melihat bagaimana wajah penuh harap dari Ahmad, merasa prihatin. Dia segera menjawab "Kamu mau main, boy?" "Mas....!" potong Nisa. Sebetulnya Nisa bukan tidak ingin mengabulkan keinginan putranya, karena dari awal memang dia telah menjanjikan untuk bermain bersama. Nisa menunggu Rasya pergi, baru dia akan membawa putranya pergi ke tempat bermain.Ni
Nisa tak menjawab pertanyaan Rasya, dia masih dilema dengan semua.Kenangannya bersama Indra, dan juga saat menjalani pernikahan bersama Arman, seolah menjelaskan satu kesimpulan, bahwa berumahtangga tidak menjamin sebuah kebahagiaan.Jika dia harus jujur, karena kekecewaannya pada Indra dan Arman, membuat rasa yang pernah ada, itu telah sirna.Peristiwa malam panas bersama Rasya, telah memberi kesan berbeda dalam hatinya. Entah mengapa, dia seakan merasa jika dirinya adalah milik Rasya.Namun status Rasya yang begitu tinggi, menyadarkan Nisa, jika dirinya bukanlah wanita yang pantas untuk mendampingi Rasya.Melihat Nisa termenung, Rasya segera meraih tangan Nisa "Nisa....ijinkan aku, untuk menjadi bagian dari dirimu dan Ahmad!" ucap Rasya tulus.Nisa bergeming, namun ucapan Rasya terdengar jelas di telinganya."Jika kamu menilai aku tinggi, kamu salah Nis!" Rasya melepaskan tangan Nisa.Nisa menoleh Rasya denga
Setelah menghabiskan waktu bersama seharian, mereka akhirnya memutuskan pulang.Nisa segera membawa Ahmad ke motornya."Lho...mau kemana?" tanya Rasya saat melihat Nisa dan Ahmad berjalan ke sisi lain."Ya pulang donk, Mas!" "Kalau mau pulang, kenapa ke sana, Nisa!""Ya kan, kendaraan aku sebelah sana!" Nisa menunjukkan tempat motornya berada.Rasya menoleh ke arah telunjuk Nisa, "Hehe..maaf! Aku lupa kalau kamu naik kendaraan sendiri!""Gak apa-apa kok! Ya udah, terimakasih atas semua waktu, dan kebahagiaan yang Mas Rasya berikan, pada kami!" "Gak perlu berterima kasih. Aku ikhlas kok, justru kehadiran kalian, memberi kebahagiaan pada diriku!""oh ya Nis, biar aku aja yang mengantarkan kalian pulang, gimana?" "Nggak usah Mas, terimakasih! Kita bisa pulang sendiri, kok!""Gak apa-apa, sekalian aja aku antar. Ahmad, ayo ikut Om!" Rasya segera menggandeng tangan Ahmad."Lho M
Ada rasa perih di dalam hati Nisa, saat mendengar jika Rasya akan menikah "Oh ya..? Kapan Mas, sama siapa?" tanya Nisa dengan suara bergetar.Melihat gelagat Nisa, Rasya tau jika Nisa punya rasa yang sama dengannya, "Ya sama kamu donk, memangnya aku punya kandidat lain?" jawab Rasya percaya diri.Nisa tersenyum, entah mengapa saat mendengar ucapan Rasya kali ini, membuat hati Nisa berbunga-bunga. Tapi dia hanya beranggapan jika ucapan Rasya adalah gurauan. Nisa memandang lekat wajah Rasya, rasa minder pada perbedaan status mereka, membuat Nisa hanya menggelengkan kepalanya."Mau, nggak?" tanya Rasya.Nisa tetap bergeming, entah perasaan seperti apa yang ada dihatinya saat ini, yang jelas perasaan mau, dan tidak dalam waktu yang bersamaan."Apa kita harus melewati malam panas bersama lagi, untuk meyakinkan hatimu, hm..?" bisik Rasya di telinga Nisa.Sekujur tubuh Nisa meremang, dia gak nyangka jika Rasya akan kembali men
Bu Susy tersadar dari tidurnya kaget, melihat suasana berbeda dengan tempat yang ia tempati beberapa bulan terakhir. Dalam kebingungan, ibu Susy berteriak. Tak berapa lama, seorang perawat yang bertugas melayani para penghuni panti, datang. "Ada apa, Bu?" tanya perawat tersebut. "Hapa... hamu...?" tanya bu Susy heran. "Saya perawat di sini, Bu! Ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanya perawat yang telah terbiasa berinteraksi dengan orang stroke, membuat ia bisa mengartikan bahasa tak jelas dari ibu Susy."Hana, haman, haku hau haman!" "Maaf Bu, Bapak Arman sendiri, yang mengantarkan Ibu ke sini! Saat ini, Bapak Arman sudah pulang! Ibu bisa tenang, Ibu berada di tempat yang khusus merawat para orangtua, yang tak sempat, di rawat anak-anak mereka!"Betapa kagetnya bu Susy setelah mendengar penjelasan perawat. Ia nampak shock, tak menyangka jika ia akan dibuang oleh anaknya sendiri. Bu Susy menangis, ia menyesal
"Apaan sih, Mas! Aku malah bahagia, jika mereka bisa tetap bersama selamanya! Lagi pula, aku udah punya kamu, ngapain harus menyemburukan suami orang?" jawab Nisa sambil nyelendot di tangan Rasya. Hati Rasya berbunga-bunga, dengan ungkapan perasaan istrinya. "Terimakasih sayang! Aku harap, apapun masalahnya, kita bisa bicarakan baik-baik! Aku tak mau mengalami kegagalan, dalam rumahtangga kita!""Aamiiiin....! Sama-sama, sayang!" jawab Nisa tersenyum manis. Nisa merasa bahagia, dengan selesainya semua permasalahan yang ia rasakan selama ini, Nisa akhirnya bisa merasa lega. "Mas.... aku bahagia banget, masalalu yang dulu aku alami terasa berat, ternyata memberi kebahagiaan bagiku, di masa sekarang!" ucap Nisa memandang jalanan di depan. "Syukurlah, tapi aku akan berusaha, memberikan kebahagiaan bukan cuma saat ini, tapi selamanya!""Aamiiiin...!"Kedua suami istri tak jadi pulang ke rumah, tapi justru mereka
"Terimakasih atas saran lo, Nis! Aku akan lihat, bagaimana Indra menyadari kesalahannya! Jika memang dia pantas untuk dipertahankan, maka aku akan berusaha mempertahankannya!" jawab Dinda santai. "Bagus deh, semoga Allah memberikan kebaikan untuk rumahtangga kalian!""Aamiiin....!" balas Dinda atas do'a Nisa. "Oh iya Nis! Aku mau minta maaf, ya! Nama kamu, ikut digunakan oleh mendiang anakku!' jawab Dinda sedih teringat dengan kematian putri kecilnya. "Gak papa, kok! Lagian, nama itu 'kan belum aku bikinkan lisensinya, jadi siapa aja boleh menggunakannya! Apalagi aku cantik, aku yakin siapapun yang menggunakan nama itu, pasti cantik kayak aku!" jawab Nisa enteng. Dinda melongo dengan kenarsisan sahabatnya, sejak kapan, pikirnya "Lo baik-baik aja, 'kan, Nis?" tanya Dinda sambil menempelkan tangannya di dahi Nisa. "Apaan sih, Din! Orang sehat begini, malah dibilang sakit!" gumam Nisa sewot. "Tunggu.... tunggu! Sejak
"Assalamualaikum....!" ucap salam Nisa yang di depan sebuah rumah minimalis, ditemani suaminya. "Rumahnya, asri ya Mas!" ucap Nisa sambil melihat-lihat lingkungan rumah sahabatnya. "Kamu suka?" tanya Rasya merangkul tubuh istrinya kepelukan. "Banget, aku itu sukanya suasana alam, ya.... seperti taman ini, Mas!""Nanti kita beli satu, rumah yang ada tamannya!" jawab Rasya enteng. "Awh....!" jerit Rasya yang mendapat cubitan dari istrinya. "Apaan sih, sayang! Main cubit aja!" sungut Rasya sambil menggosok perutnya. "Kamu yang apaan, Mas! Beli rumah, kayak beli gado-gado, pemborosan tau!" protes Nisa. "Kan kamu ingin suasana seperti ini, sayang!" jawab Rasya membela diri. "Tapi nggak gitu juga konsepnya, kali...!" jawab Nisa heran dengan pola pikir suaminya. "Waalaikum salam....! Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita paruhbaya yang membukakan pintu. Rasya dan Nisa menoleh ke pintu
"Dasar, adik ipar perhitungan! Baru aja dimintai pertolongan beberapa kali, udah main kabur!" omel Arman di sepanjang jalan. Sampai di rumah, emosi Arman semakin membengkak! Ibunya yang duduk di atas kursi roda, melemparkan perabotan rumah yang tidak seberapa, ke segala arah. "Mama apa-apaan sih, Ma! Udah gak bisa bantu beres-beres, malah berantakin rumah begini!" Melihat kedatangan putranya, bu Susy tambah meradang. Semua barang benda yang dapat terjangkau oleh tangannya, ia lemparkan kepada Arman. "Huh.... huh...!" Sambil melempar, hanya kata gak jelas yang keluar dari bibirnya. "Ma.... jika Mama terus-terusan seperti ini, Arman pastikan Mama akan menyesal!" bentak Arman memandang tajam. "Mama mikir gak, sih! Mama baru aja keluar dari Rumah Sakit, bukannya istirahat malah marah nggak jelas begini!" omel Arman sambil mengumpulkan pecahan beling yang berserakan di lantai."Hamu... hak.. hecus, hurus hibu!" ujar bu
Hati Indra terasa miris, melihat wanita yang biasanya selalu ceria, kini hilang ingatannya. Yang dipikirannya, hanya mengenai anak yang ia lahirkan, yang telah kembali ke pankuan ilahi. "Dinda, kamu udah makan obat?" tanya Indra duduk di bangku, yang ada di kamar mereka. "Udah donk, Mas! Aku kan harus sehat, agar bisa menjaga dede Nisa!" jawab Dinda semangat. "Iya, kamu harus minum obat terus ya, agar dede bayi juga ikutan sehat!" ucap Indra memotivasi istrinya agar tetap semangat untuk minum obat, walau harus mengikuti ke 'halu an' istrinya. "Gitu ya, Mas?" tanya Dinda dengan senyum di bibirnya. "Iya, donk! Jika kamu sehat, nanti kita bisa jalan-jalan!" tambah Indra. "Jalan-jalan...? Sama dede Nisa, Mas?" tanya Dinda dengab mata berbinar. Dinda duduk di pinggir tempat tidur, menghadap suaminya, seperti seorang anak yang ingin mendengar dongeng dari ibunya. "Iya..kita akan jalan-jalan, tapi pastikan
"Siapa istri pemuda itu..? Apakah istrinya, mengenalku? Semoga saja begitu, dengan demikian, aku mempunyai harapan selamat, dari balas dendam bocah itu!" ucap hati Tuan Frass. "Ada apa dengan Tuan! Nampaknya dia begitu bahagia!" Tanda tanya menghantui pikiran Jhon, tapi dia tetap menjalankan perintah Tuannya***Di rumah, Nisa nampak duduk dengan Ahmad,putranya. Ahmad begitu senang mendengar kabar kehamilan ibunya, "Bunda... berapa lama lagi adik Ahmad bisa diajak bermain, Bun?" tanya Ahmad semringah. "Hehe... sabar ya sayang, tunggu adik lahir dulu, terus tunggu adek gede, baru deh main sama kakak Ahmad!" ucap Nisa sambil membelai rambut putranya. "Kok lama banget! Sekarang adik di mana, Bun?" tanya Ahmad polos. Sambil tersenyum, Nisa memindahkan tangan Ahmad, ke perutnya yang masih datar. "Kok di sini, Bun? Apa gak sempit Bun? Terus, tempat adik bermain, dimana?" tanya Ahmad heran. "Nggak sempit don
Air mata Nisa tak dapat ia bendung, air mata bahagia, mengiasi wajah cantiknya. Nisa merasa tak percaya, baru satu bulan ia menikah, ternyata Allah kembali menitip kan karunia terbesar, pada dirinya. Ia benar-benar bersyukur, karena banyak di luar sana, yang telah sekian lama menikah, namun belum dikaruniai seorang anak. "Selamat ya, Bu atas kehamilannya!" ucap dokter wanita yang menanganinya. "Terimakasih, Dok!" ucap Nisa tersenyum haru. "Sudah menjadi tugas kami, Bu! Pesan saya, jaga emosinya agar jangan sampai stres, dan jangan lupa konsumsi makanan bergizi ya, Bu! Jangan lupa, perbanyak istirahat!" nasehat dokter. "Baik, Dok!" jawab Nisa, serius mendengar nasehat dokter. "Satu lagi, di sini saya tulis resep vitamin, juga obat penghilang mualnya, jangan lupa bulan depan datang lagi, kita cek perkembangan janinnya, ya Bu!" "In syaa allah, Dok!"Setelah menebus obat dan vitamin di apotik, Nisa, segera meninggalkan
Nisa baru ingat, jika bulan ini dia belum menstruasi. "Kenapa, nak? Kamu gak berencana menunda kehamilan, 'kan?" "Ee...nggak kok, Yah!" cicit Nisa."Syukurlah, gak baik kamu menunda kehamilan! Walau bagaimanapun, kamu harus menghargai keinginan suamimu! Lagi pula, Ahmad juga sudah besar, sudah sepantasnya punya adik!" nasehat Ayah Faisal. "Iya Yah, dari awal menikah, Nisa gak ada niat untuk menunda kehamilan! Tapi kalau belum hamil, ya sabar aja!" jawab Nisa, tapi dalam hati Nisa berkata lain. "Bagus itu, mumpung kamu masih muda, jadi peluang untuk hamil itu, masih besar! Ayah do'akan agar kamu secepatnya, bisa memberikan Keturunan buat Rasya!""Iya, Yah! Moga aja secepatnya dipercaya Allah!""In syaa allah, aamiiin!" doa ayah Faisal.Ia ingin, dengan kehamilan, dapat mempererat cinta dalam rumahtangga putrinya. Nisa yang masih terngiang pertanyaan ayahnya, dia mulai memikirkan perubahan yang terja