Setelah beberapa hari dirawat, Dinda akhirnya diijinkan untuk pulang, dengan catatan harus selalu menjaga emosi dan membatasi kegiatannya.
Indra berniat mengantar Dinda sampai pulang ke rumahnya. Walau sesungguhnya Indra belum bisa menerima Dinda sepenuhnya, namun sebagai suami, Indra akan berusaha menjaga dan melindungi istrinya.Walau belum adanya penjelasan tentang kelanjutan hubungan mereka, tapi Indra tak mau dianggap sebagai laki-laki tidak bertanggung jawab.Setelah semuanya beres, Indra menutup kembali pintu sebelah Dinda. Indra segera menjalankan mobilnya, meninggalkan parkiran Rumah Sakit."Dinda...!""Hmm.....!""Setelah sampai di rumah nanti, kamu kemaskan barang-barang kamu seperlunya, kamu ikut aku!Mulai sekarang, aku mau kamu tinggal di rumahku!"Dinda menoleh Indra sesaat, lalu menoleh ke depan kembali. "Huft...jika memang nggak bisa, jangan dipaksakan, In?" jawab Dinda pelan."Din...!" Indra meSetelah menghabiskan makanannya, Ahmad memandang wajah ibunya, ragu.Nisa yang juga telah menghabiskan makanannya, menatap wajah putranya heran "Ada apa, nak?" tanya Nisa, sambil membersihkan sekitar mulut putranya dengan tisu."Bunda...ee! Boleh nggak, Ahmad main di tempat bermain, seperti saat Ahmad sama Ayah dan Tante Dinda, tempo hari?" pinta Ahmad takut-takut.Mendengar ucapan putranya, kembali mengingatkan Nisa pada kedua sahabatnya, yang sekarang telah menjadi pasangan suami-isteri. Ada rasa perih dalam hati Nisa, saat mengingat batalnya pernikahan mereka.Rasya yang melihat bagaimana wajah penuh harap dari Ahmad, merasa prihatin. Dia segera menjawab "Kamu mau main, boy?" "Mas....!" potong Nisa. Sebetulnya Nisa bukan tidak ingin mengabulkan keinginan putranya, karena dari awal memang dia telah menjanjikan untuk bermain bersama. Nisa menunggu Rasya pergi, baru dia akan membawa putranya pergi ke tempat bermain.Ni
Nisa tak menjawab pertanyaan Rasya, dia masih dilema dengan semua.Kenangannya bersama Indra, dan juga saat menjalani pernikahan bersama Arman, seolah menjelaskan satu kesimpulan, bahwa berumahtangga tidak menjamin sebuah kebahagiaan.Jika dia harus jujur, karena kekecewaannya pada Indra dan Arman, membuat rasa yang pernah ada, itu telah sirna.Peristiwa malam panas bersama Rasya, telah memberi kesan berbeda dalam hatinya. Entah mengapa, dia seakan merasa jika dirinya adalah milik Rasya.Namun status Rasya yang begitu tinggi, menyadarkan Nisa, jika dirinya bukanlah wanita yang pantas untuk mendampingi Rasya.Melihat Nisa termenung, Rasya segera meraih tangan Nisa "Nisa....ijinkan aku, untuk menjadi bagian dari dirimu dan Ahmad!" ucap Rasya tulus.Nisa bergeming, namun ucapan Rasya terdengar jelas di telinganya."Jika kamu menilai aku tinggi, kamu salah Nis!" Rasya melepaskan tangan Nisa.Nisa menoleh Rasya denga
Setelah menghabiskan waktu bersama seharian, mereka akhirnya memutuskan pulang.Nisa segera membawa Ahmad ke motornya."Lho...mau kemana?" tanya Rasya saat melihat Nisa dan Ahmad berjalan ke sisi lain."Ya pulang donk, Mas!" "Kalau mau pulang, kenapa ke sana, Nisa!""Ya kan, kendaraan aku sebelah sana!" Nisa menunjukkan tempat motornya berada.Rasya menoleh ke arah telunjuk Nisa, "Hehe..maaf! Aku lupa kalau kamu naik kendaraan sendiri!""Gak apa-apa kok! Ya udah, terimakasih atas semua waktu, dan kebahagiaan yang Mas Rasya berikan, pada kami!" "Gak perlu berterima kasih. Aku ikhlas kok, justru kehadiran kalian, memberi kebahagiaan pada diriku!""oh ya Nis, biar aku aja yang mengantarkan kalian pulang, gimana?" "Nggak usah Mas, terimakasih! Kita bisa pulang sendiri, kok!""Gak apa-apa, sekalian aja aku antar. Ahmad, ayo ikut Om!" Rasya segera menggandeng tangan Ahmad."Lho M
Ada rasa perih di dalam hati Nisa, saat mendengar jika Rasya akan menikah "Oh ya..? Kapan Mas, sama siapa?" tanya Nisa dengan suara bergetar.Melihat gelagat Nisa, Rasya tau jika Nisa punya rasa yang sama dengannya, "Ya sama kamu donk, memangnya aku punya kandidat lain?" jawab Rasya percaya diri.Nisa tersenyum, entah mengapa saat mendengar ucapan Rasya kali ini, membuat hati Nisa berbunga-bunga. Tapi dia hanya beranggapan jika ucapan Rasya adalah gurauan. Nisa memandang lekat wajah Rasya, rasa minder pada perbedaan status mereka, membuat Nisa hanya menggelengkan kepalanya."Mau, nggak?" tanya Rasya.Nisa tetap bergeming, entah perasaan seperti apa yang ada dihatinya saat ini, yang jelas perasaan mau, dan tidak dalam waktu yang bersamaan."Apa kita harus melewati malam panas bersama lagi, untuk meyakinkan hatimu, hm..?" bisik Rasya di telinga Nisa.Sekujur tubuh Nisa meremang, dia gak nyangka jika Rasya akan kembali men
Rasya memeriksa semua berkas yang tergeletak manis di mejanya, "Beraninya kau menghina dan merendahkan wanitaku! Ternyata, waktu yang aku berikan, tidak mampu membuat kamu menyadari kesalahanmu!" gumam Rasya dengan mengepalkan tangannya.Rasya melepaskan maps berisi laporan kelakuan Arman tempo hari, dan kembali melihat berkas yang tersusun rapi menjadi acak-acakan.Saat dia memeriksa file demi file, matanya menangkap maps berwarna hitam."Apa ini..?" monolog Rasya sambil meraih maps hitam tersebut. Mata Rasya membelalak saat membaca laporan di dalamnya.Lama Rasya membaca semua file yang tertera, dikatakan jika ternyata kecelakaan orangtuanya, ternyata sesuai dugaannya, namun selama ini Rasya tidak mengetahui siapa dalang dibalik semua itu."Bangsat....! Ternyata benar dugaanku, jika kamu adalah dalangnya!" ucap Rasya geram dengan rahang mengancing, mengingat wajah ramah orang kepercayaan Papanya."Tak kusangka, orang yang begit
Seperti yang telah dijanjikan, Nisa menemui pemilik dari rumah yang ingin dibelinya.Setelah melakukan perjalanan setengah jam, Nisa akhirnya sampai.Di sinilah Nisa, dia duduk di salah satu kursi di sebuah kafe, Nisa memesan minuman dingin dan cemilan untuk menemaninya menunggu kedatangan si pemilik rumah.Nisa menikmati cemilannya, sambil melihat penataan interior kafe yang nampak elegan."Apa aku bikin cabang usaha kafe aja ya? Selain biaya yang lebih sedikit, juga bisa menjadi usaha yang mempunyai prospek yang bagus ke depannya!" gumam Nisa sambil menghitung dana yang harus ia persiapkan.Saat Nisa masih dalam lamunannya, sepasang suami-istri menghampirinya "Assalamualaikum..!" ucap salam seorang wanita yang berkisar pertengahan dua puluhan.Nisa kaget dan sontak menoleh, "Waalaikumsalam..!" jawab Nisa sambil bangkit dari kursinya."Dengan Ibu Nisa, ya?" tanya si wanita sopan."Iya benar, saya Nisa! Apa deng
Malam itu di rumah Indra, nampak suasana sepi.Indra duduk di ruang kerjanya, mengecek beberapa file kerja, yang sengaja dibawanya pulang.Melihat gelas minumannya telah kosong, Indra akhirnya keluar, untuk mengambil air ke dapur.Saat berjalan menuruni tangga, Indra melihat Dinda duduk di ruang keluarga, sambil membuka laptop dan beberapa buku nota.Indra tak menghiraukan dan langsung pergi ke dapur, dan membuat kopi untuknya. Saat dia ingin mengambil gula di tempatnya, Indra melihat satu kotak bergambar wanita hamil, di kemasannya.Indra meraih kotak tersebut dan membacanya. Akhirnya tau, jika itu adalah susu formula untuk wanita hamil.Indra segera membuatkan segelas susu, dengan petunjuk yang tertera di kemasan.Indra membawa susu dan kopi sekaligus, dia menghampiri Dinda, yang tak menyadari keberadaannya."Ini, diminum dulu!" ucap Indra sambil meletakkan gelas susu di hadapan Dinda.Dinda mendongak, dan mend
Malam itu, Nisa menceritakan tentang rumah yang telah dibelinya. Awalnya Pak Faisal kurang setuju dengan pembelian rumah tersebut, menurutnya hanya buang-buang uang saja. Karena Rumah Makan yang berupa ruko dua lantai, juga masih bisa ditempati, tapi mendengar alasan Nisa, yang ingin menjauhkan diri dari lingkungan orang-orang di masa lalunya, membuat Pak Faisal menyetujui."Yah, besok..! Rencananya, Nisa mau pulang ke desa. Nisa berencana mengambil semua barang-barang yang bisa digunakan."Nisa ingin, selamanya ayahnya ikut bersamanya. Itu mengapa, dia ingin mengambil semua barang-barang yang masih tertinggal, agar tiada alasan bagi ayahnya, untuk pulang ke desa lagi."Begini saja, nak! Daripada rumah di desa nggak terawat, bagaimana jika kita jual saja. Lumayan buat tambah-tambah modal usaha kamu, nantinya!" usul pak Faisal."Nggak usah deh, Yah! Nisa bukan menolak pemberian Ayah, tapi Nisa pikir lebih baik kita sewakan saja.