Sepasang mata biru jernih mematri pandangannya padaku. Menyiratkan sebuah kekagetan, sebuah ketakutan yang membuatnya gentar.
"Anya?!" suaranya yang tenang tadi sudah tertelan.
Semua begitu cepat. Alexey sekarang sama dengan orang-orang bising yang bersahut-sahutan di lorong penuh kepanikan. Ia melempar lengan-lengan pemuda yang baru menggerayanginya sekonyong-konyong.
Tak mengatakan apapun, Alexey langsung menggenggam erat tanganku. Begitu besar dan penuh. Ia menarik tubuhku menyusuri lorong-lorong rumah opera. Kembali ke orang-orang yang serampangan bercumbu di balik-balik sekat kain. Aku bisa melihat sebuah ketegangan di sekitar mulutnya. Wajah pria ini mengeras.
Aku ingin mengatakan yang lain. Aku ingin bertanya
Aku bisa mengendus wewangian yang ada di tubuhku, di gaun biru tuaku. Parfum dari Le Franc. Begitu kata Yulia. Itu salah satu hadiah dari Alexey. Entah berapa harganya. Pastilah mahal sekali. Botolnya saja dari kristal. Wanginya manis seperti buah-buah musim gugur dilumuri madu murni. Manis yang lembut, membuatku ingin memakan seluruh tubuhku sendiri.Aku menaruh cangkir di pisinnya. Earl grey siang ini tidak serta merta membuatku merasa lebih santai seperti biasanya. Aku gugup. Tetapi, Alexey yang duduk di sebelahku nampak kalem. Mungkin dia sudah biasa menghadapi masalah-masalah seperti ini. Atau mungkin yang lebih rumit lagi."Apa dia akan benar-benar datang?" tanyaku memastikan."Anak itu memang menyulitkan. Sulit untuk membujuknya. Tetapi Sergei bukan orang yang aka
Aku anak yang beruntung. Dulu Ayah adalah bangsawan yang kaya meski kami tinggal di desa yang jauh dari hiruk pikuk dan keramaian kota. Guru-guruku didatangkan dari berbagai tempat. Guru geografi, guru sejarah, guru menyulam, guru dansa, guru musik, dan guru matematika. Aku tidak bisa bilang aku suka matematika. Hanya saja, syarat Ayah yang mengharuskan aku bisa berhitung kalau aku mau main ke pabrik, membuatku mati-matian mempelajarinya.Kadang itu membuat ibu kesal dan mengomel, juga membuat guru menyulamku menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku bisa bolos pelajaran menyulam dan ikut dengan Ayah ke pabrik tanpa memberi tahu ibu. Aku tidak pernah menyesal sedikit pun belajar matematika, belajar mengatur keuangan. Uang adalah hal yang penting bagi semua orang."Masih ada yang lain?" tanyaku pada Vadim.
"Apa maksudmu?! Aku berhutang?! Justru kaulah yang membuatku membayar semua utang-utang yang kau tinggalkan! Sementara kau kabur seperti pengecut!"Susah payah aku menahan suaraku agar tak berteriak di ruang tamu."Hehe. Kau kira aku orang bodoh, hah?" sindir Dmitri. "Kau kira kau bisa membodohiku? Kau pikir aku tidak tahu berapa nilai asetku jika dibandingkan dengan utang-utangku?" Dmitri mulai menaikkan suaranya padaku."Asetmu?!" pekikku jengkel. "Bunga utangmu membengkak! Mansion, gudang dan pabrik kita bahkan tidak bisa melunasi semuanya!" sanggahku. Aku sudah tidak bisa menahan diri. Kubiarkan Vadim yang sedari tadi berdiri di sudut ruang tamu mendengarku. Aku sudah masa bodoh. "Kerjamu cuma minum-minum dan berjudi!"
Entah sudah berapa lama aku cuma berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Gelisah. Bibirku merengut dengan kepalaku yang mungkin sudah berasap"Duh ... bagaimana ini," gumamku lirih."Apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, my lady?" tanya Yulia menggugahku. Wajahnya yang kalem nampak seperti dia akan mematuhi perintahku tanpa pertanyaan."Hhh. Bukan apa-apa. Kau ... tidak perlu khawatir.""Apa ini soal paman Anda, my lady?"Kakiku berhenti dengan sendirinya, aku memandang Yulia lemas."Ya. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa," keluhku lirih. "Aku cuma ingin dia segera pergi dari rumah ini. Aku t
Aku, Igor, Vadim, Alexey, Dmitri dan ... dua orang lagi yang kelihatannya sangat penting. Mereka adalah pegawai pemerintah, dari pengadilan.Dmitri begitu sumringah ketika dia tahu siapa orang-orang itu. Hanya dengan satu kalimat darinya, kami bisa langsung diseret ke gereja dan pengadilan untuk bercerai. Dia masih waliku."Saya tidak sangka kalau akan secepat ini, Your Grace. Apa Anda memang sangat buru-buru menginginkan restu dari saya?" katanya setengah mencemooh."Aku ingin menyelesaikan perkara aset-asetmu, Baron Levitski.""Tentu, tentu," jawab Dmitri dengan anggukan yang percaya diri. "Lebih cepat lebih baik. Aku tinggal tanda tangan untuk surat serah terimanya saja kan? Sesuai yang kita sepakati. Setelah itu
Makan malam.Aku dan Alexey masih belum bicara. Rasanya aku sangat lelah. Badanku pegal-pegal.Dmitri dibawa ke rumah tahanan bangsawan untuk penyelidikan. Nampaknya kejadian ini begitu serius. Aku tahu bangsawan bisa dicabut gelarnya apabila mereka melakukan pengkhianatan atau kegiatan-kegiatan kriminal lainnya. Aku baru pertama kali melihat sendiri kasus berat yang membuat orang lain terancam dengan pencabutan gelar."Apa kau mengkhawatirkan pamanmu?" tanya Alexey. Sepertinya ia menatap iba padaku.Aku menggeleng pelan. "Tidak.""Kau tidak makan?"Aku menghela. Daging panggang di atas piring rasanya tida
'Untuk adikku terkasih, Marchioness Seva Gusev.'Penaku telah melumuri kertas putih begitu kontras, tetapi tanganku berhenti.Selepas Paman Dimitri ditangkap, diadili dan dicabut gelarnya, situasi memburuk. Mereka bilang saat pengadilan berlangsung, dia menyebut-nyebut namaku. Meneriak-neriakkannya hingga melengking dan bikin suara serak. Namun kuasa hukum keluarga kami melakukan pekerjaannya dengan baik. Dia mewakiliku menjelaskan dan mengatakan segala yang diperlukan. Hingga aku sama sekali tidak perlu datang. Toh dari awal aku bukanlah tersangka.Meskipun begitu, aku dengar Alexey bicara pada Vadim tempo hari."Anya tidak boleh melihat orang itu lagi," begitu katanya. "Jangan pernah!"
"Kukira kau akan senang karena akan bertemu dengan adikmu," kata Alexey tiba-tiba."Maksudmu?""Kita sudah dua hari melakukan perjalanan jauh untuk datang ke pernikahan adikmu. Kukira kau akan senang."Tempat Seva memang jauh. Kediaman mereka dari wastuku di desa mungkin lebih jauh lagi. Seperti ada di ujung dunia. Bisa empat hari perjalanan. Sedangkan tempat Alexey sekarang hanya butuh dua hari."Bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya."Yang terdengar kini adalah suara derap kaki kuda yang riuh menjejak tanah. Mungkin hanya beberapa jam lagi kereta kuda kami beserta iring-iringan ksatria sampai di kediaman Marchioness Seva Gusev. Adikku.
Kami menuju perjalanan pulang. Aku dan Seva sudah berjanji untuk sering-sering mengirim surat mulai sekarang. Alexey juga berpesan pada Maxim, supaya dia tak perlu segan untuk meminta bantuan apapun jika diperlukan.Aku lega. Rasanya seluruh beban di pundakku terangkat. Aku tidak pernah merasa seringan ini.Meskipun begitu, aku kepikiran dengan pertanyaan Seva waktu itu. Seva mungkin tidak tahu banyak hal, tapi yang jelas dia jauh lebih tahu soal cinta daripada aku.Apa aku mencintai Alexey?Aku meliriknya. Sedari tadi ia masih menggenggam tanganku. Pria itu memandang keluar jendela kereta kuda. Hari mulai sore. Mungkin sebentar lagi kami akan tiba di kediaman, di Kota Balazmir. Di kastil yang menjulang paling tingg
Pipiku masih basah air mata, tapi bisa-bisanya Alexey punya pikiran seperti itu. Padahal barusan dia melihatku menangis hebat hingga sesenggukan. Dasar aneh.Aku tidak ingat kapan terakhir kali kami bercumbu atau bercinta. Sepertinya sudah lama sekali. Tapi di sinilah ia. Di tengah kunjunganku yang jauh dan melelahkan ke tempat adikku yang telah lama tidak bersua, dia malah merampas bibirku semena-mena.Kedua tangan Alexey menangkup wajahku, berusaha menguasaiku. Sementara bibirnya kian melumat seluruh mulutku. Aku tidak melawan, tentu saja. Meski ini begitu tiba-tiba, aku menikmatinya. Aku merindukan lelaki ini.Alexey melepas singkat ciuman kami. Ia memandangiku dekat."Manis," gumamnya. Kemudian ia kembali menciu
"Seorang janda menikahi ksatria dari bangsawan kelas rendah," ucap Seva luwes. "Aku sudah sering mendengar itu kok. Kalau mau bicara begitu, langsung saja. Aku tidak akan tersinggung, Your Grace~," cemooh Seva dengan nada memuakkan."Seva ... aku tidak-.""Lady Seva, aku sama sekali tidak mengungkapkan kalimat yang merendahkanmu, atau calon suamimu."Aku terkejut mendapati Alexey yang kian tenang. Sementara Maxim beringsut kebingungan. Aku juga mulai risau. Takut mereka berdua akan menghadapi apa yang mereka tidak ketahui soal Alexey. Bahwa dia adalah pria yang berbahaya."Aku tidak ada bedanya dengan Anda dan Kakak, Your Grace.""S-Seva ... apa maksudmu?"
"Kukira kau akan senang karena akan bertemu dengan adikmu," kata Alexey tiba-tiba."Maksudmu?""Kita sudah dua hari melakukan perjalanan jauh untuk datang ke pernikahan adikmu. Kukira kau akan senang."Tempat Seva memang jauh. Kediaman mereka dari wastuku di desa mungkin lebih jauh lagi. Seperti ada di ujung dunia. Bisa empat hari perjalanan. Sedangkan tempat Alexey sekarang hanya butuh dua hari."Bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya."Yang terdengar kini adalah suara derap kaki kuda yang riuh menjejak tanah. Mungkin hanya beberapa jam lagi kereta kuda kami beserta iring-iringan ksatria sampai di kediaman Marchioness Seva Gusev. Adikku.
'Untuk adikku terkasih, Marchioness Seva Gusev.'Penaku telah melumuri kertas putih begitu kontras, tetapi tanganku berhenti.Selepas Paman Dimitri ditangkap, diadili dan dicabut gelarnya, situasi memburuk. Mereka bilang saat pengadilan berlangsung, dia menyebut-nyebut namaku. Meneriak-neriakkannya hingga melengking dan bikin suara serak. Namun kuasa hukum keluarga kami melakukan pekerjaannya dengan baik. Dia mewakiliku menjelaskan dan mengatakan segala yang diperlukan. Hingga aku sama sekali tidak perlu datang. Toh dari awal aku bukanlah tersangka.Meskipun begitu, aku dengar Alexey bicara pada Vadim tempo hari."Anya tidak boleh melihat orang itu lagi," begitu katanya. "Jangan pernah!"
Makan malam.Aku dan Alexey masih belum bicara. Rasanya aku sangat lelah. Badanku pegal-pegal.Dmitri dibawa ke rumah tahanan bangsawan untuk penyelidikan. Nampaknya kejadian ini begitu serius. Aku tahu bangsawan bisa dicabut gelarnya apabila mereka melakukan pengkhianatan atau kegiatan-kegiatan kriminal lainnya. Aku baru pertama kali melihat sendiri kasus berat yang membuat orang lain terancam dengan pencabutan gelar."Apa kau mengkhawatirkan pamanmu?" tanya Alexey. Sepertinya ia menatap iba padaku.Aku menggeleng pelan. "Tidak.""Kau tidak makan?"Aku menghela. Daging panggang di atas piring rasanya tida
Aku, Igor, Vadim, Alexey, Dmitri dan ... dua orang lagi yang kelihatannya sangat penting. Mereka adalah pegawai pemerintah, dari pengadilan.Dmitri begitu sumringah ketika dia tahu siapa orang-orang itu. Hanya dengan satu kalimat darinya, kami bisa langsung diseret ke gereja dan pengadilan untuk bercerai. Dia masih waliku."Saya tidak sangka kalau akan secepat ini, Your Grace. Apa Anda memang sangat buru-buru menginginkan restu dari saya?" katanya setengah mencemooh."Aku ingin menyelesaikan perkara aset-asetmu, Baron Levitski.""Tentu, tentu," jawab Dmitri dengan anggukan yang percaya diri. "Lebih cepat lebih baik. Aku tinggal tanda tangan untuk surat serah terimanya saja kan? Sesuai yang kita sepakati. Setelah itu
Entah sudah berapa lama aku cuma berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Gelisah. Bibirku merengut dengan kepalaku yang mungkin sudah berasap"Duh ... bagaimana ini," gumamku lirih."Apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, my lady?" tanya Yulia menggugahku. Wajahnya yang kalem nampak seperti dia akan mematuhi perintahku tanpa pertanyaan."Hhh. Bukan apa-apa. Kau ... tidak perlu khawatir.""Apa ini soal paman Anda, my lady?"Kakiku berhenti dengan sendirinya, aku memandang Yulia lemas."Ya. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa," keluhku lirih. "Aku cuma ingin dia segera pergi dari rumah ini. Aku t
"Apa maksudmu?! Aku berhutang?! Justru kaulah yang membuatku membayar semua utang-utang yang kau tinggalkan! Sementara kau kabur seperti pengecut!"Susah payah aku menahan suaraku agar tak berteriak di ruang tamu."Hehe. Kau kira aku orang bodoh, hah?" sindir Dmitri. "Kau kira kau bisa membodohiku? Kau pikir aku tidak tahu berapa nilai asetku jika dibandingkan dengan utang-utangku?" Dmitri mulai menaikkan suaranya padaku."Asetmu?!" pekikku jengkel. "Bunga utangmu membengkak! Mansion, gudang dan pabrik kita bahkan tidak bisa melunasi semuanya!" sanggahku. Aku sudah tidak bisa menahan diri. Kubiarkan Vadim yang sedari tadi berdiri di sudut ruang tamu mendengarku. Aku sudah masa bodoh. "Kerjamu cuma minum-minum dan berjudi!"