Ayunda duduk di sebuah kursi meja makan, ternyata yang lainnya sudah selesai sarapan pagi. Dia sebagai orang baru tentunya masih bingung harus bagaimana dan melakukan apa. Hingga dia pun hanya duduk sambil meneguk mineral dan mengedarkan pandangannya. Akan tetapi dia merasa orang-orang disana begitu ramah padanya. Hingga saat dia kebingungan seorang wanita pun menghampirinya. "Kamu Yunda kan? Pembantu baru?" tanya wanita tersebut dan sepertinya mereka berdua seumuran. "Iya," jawab Ayunda dengan suara pelan. "Kenalin, aku Gia. Aku pembantu juga disini, tadi Buk Nining pesan. Kalau kamu masih belum mengerti tentang apapun itu disini tanya aja sama aku," ucap Gia dengan ramahnya. "Terimakasih," Ayunda pun merasa lebih baik karena ada pembantu yang ternyata begitu ramah. "Sekarang kamu sarapan dulu, disini kita bebas mau ngapain aja. Karena ini dapur khusus untuk pembantu," terang Gia lagi. "Oh," Ayunda pun mengangguk mengerti. "Kamu pasti mau sarapan? Mau bikin sarapa
Ayunda menarik napas panjang setelah menghitung jumlah uang recehan miliknya yang baru dia keluarkan dari dompetnya. Dia hanya ingin membeli nasi goreng yang dijual di pinggir jalan sana. Entah kenapa dia ingin sekali makan nasi goreng malam ini.Untuk membeli makanan saja dia begitu kesulitan, jalan hidupnya benar-benar sangat rumit setelah malam bersama David terjadi.Ayunda sangat menyesali, sayangnya semua penyesalan tak ada gunanya sama sekali."Hidup ku benar-benar berantakan," gumamnya. Setelah mempertimbangkan antara pergi untuk membelinya atau tidak akhirnya dia pun memutuskan untuk pergi membeli. "Baiklah, kita beli nasi goreng," kata Ayunda sambil mengelus perutnya dan seakan berbicara pada calon anaknya.Ayunda tak dapat menahan keinginannya, sehingga dia akan berusaha untuk mendapatkannya. Dia pun mulai berjalan kaki untuk menuju tempat tujuannya, sebab jika menumpangi ojek apa lagi memesan taksi sudah pasti uangnya tidak cukup. Tapi, keinginan yang sudah begi
"Hatttccciiiim." Akibat kehujanan membuatnya menjadi bersin-bersin. Bahkan saat sudah mengganti pakaiannya pun dia masih saja merasa kedinginan. Tapi meskipun demikian dia tetap ingin memakan nasi gorengnya. Dengan handuk di kepala dia pun menuju dapur dan membawa nasi goreng miliknya. Setelah mengambil piring dia duduk di kursi meja makan. Tentu saja tempat makan khusus pekerja yang telah disediakan oleh pemilik rumah. "Hatttccciiiim." Ayunda masih saja bersin-bersin, sesekali tangannya mengucek hidungnya yang terasa gatal. Tapi tidak masalah karena dia masih bisa menahannya, sambil terus menikmati nasi goreng yang penuh perjuangan ini. "Yunda, kamu dari mana?" tanya Gia yang baru melihat Ayunda. "Eh, Gia, tadi aku beli nasi goreng," kata Ayunda. "Wah kelihatannya enak." "Kamu mau?" "Aku masih kenyang, abis makan bakso," ucap Gia. Ah, mendengar kata bakso membuat Ayunda jadi ingin memakannya. Aneh rasanya, padahal dia masih belum menghabiskan nasi gore
Setelah beberapa saat diam mematung menatap 4 buah mangga di tangannya akhirnya Ayunda pun memutuskan untuk memakannya. Anehnya lagi buah mangga tersebut terasa begitu manis di lidahnya, dia bahkan sampai menghabiskan tanpa sadar. "Rasanya manis banget sih, enak banget," ucapnya sambil kembali menatap pohon mangga yang menampakkan begitu banyak buah yang menggantung. Bahkan Ayunda memakannya secara langsung tanpa menggunakan pisau sama sekali. Sungguh keinginan seorang wanita hamil terkadang sedikit berbeda dari wanita lainnya. Namun kini tidak lagi berusaha untuk mengambilnya, memilih untuk kembali ke kamar lalu tidur. Saat pagi harinya dia pun terbangun, tapi dia merasa tidak nyaman. Rasanya begitu dingin dengan tubuh yang menggigil. Kakinya terasa nyeri dan terlihat bengkak, dia juga bingung melihatnya. "Hatttccciiiim!" beberapa kali Ayunda pun menggosok hidungnya karena terasa tidak nyaman. Sepertinya karena semalam kehujanan membuatnya menjadi seperti ini. N
Sebenarnya Ayunda masih harus dirawat di rumah sakit, akan tetapi dia bersikeras ingin segera pulang. Selain karena merasa lebih baik, juga karena biaya yang dikeluarkan akan lebih banyak. Uang penjualan kalung miliknya tak seberapa, bahkan tidak sampai sepuluh juta. Sedangkan untuk satu hari di rumah sakit juga sudah terpakai beberapa juta karena mendapat penanganan yang bisa dikatakan cukup serius. Ayunda masih membutuhkan lebih banyak uang untuk biaya melahirkan, apa lagi dia belum membeli perlengkapan bayi sama sekali. Semuanya kini menjadi beban pikirannya, sejenak Ayunda kembali mengingat saat-saat dulu David memberikannya kalung tersebut. David mengatakan bahwa dia membeli kalung tersebut dari gajinya sewaktu bekerja dengan Zidan. Harganya memang tidak seberapa, tapi kenangannya begitu banyak. Namun, jika mengenang hanya membuat semakin terluka ada baiknya jika menjualnya, ini juga untuk keperluan dirinya dan darah daging David sendiri. Anggap saja itu sebagai
Padahal baru saja Ayunda merasa sesuatu yang sangat besar, rasa yang sangat berbeda ketika makanan yang dia makan tangan David yang memasak. Dia juga tidak tahu apa sebabnya, bahkan saat pertama kali memasukan nasi goreng ke dalam mulutnya, ada pergerakan dari dalam sana. Mungkin janin tersebut merasa bahagia karena kembali mendapatkan sesuatu dari hasil buatan tangan ayahnya. Meskipun Ayunda tidak mengatakan pada David tapi dia juga tidak menepis anggapan itu. Sebab sudah sering kali merasa pergerakan lebih aktif ketika berdekatan dengan David. Mungkin saja dia tahu bahwa kini sedang berdekatan dengan sang ayah, ikatan yang telah tercipta sejak dini itu benar adanya. Sayangnya rasa penuh dengan kebahagiaan itu harus dipatahkan oleh ucapan David yang sangat menyakiti hati. Perasaan sensitif dan hati yang memang kini begitu rapuh. Hingga dia harus menelan nasi dengan menahan sesak di dada. "Ternyata ada kamu disini." Ayunda yang mendengar suara pun mulai tersadar dari l
Isak tangis Ayunda pun pecah seketika itu juga, dia lupa akan janjinya pada calon anaknya sendiri untuk tidak lagi menangis. Dia lupa jika seharusnya lebih kuat dari sebelumnya. Kenyataannya hari-hari yang dia jalani terasa semakin menyakitkan hati. Dia bukan tidak ingin mengubah kesedihan menjadi kebahagiaan, mengubah kekecewaan menjadi kesenangan. Namun, hatinya belum mampu untuk tersenyum seperti yang dia inginkan. Dunia ini terlalu kejam baginya, setiap kali melangkahkan kaki serasa menginjak duri yang tajam. Luka tanpa darah jauh lebih menyakitkan dan lebih menyisak. Malam sebelumnya dia terlalu banyak menangis, malam ini dia lebih menangis lagi karena tamparan dari David. Ini sudah membuktikan bahwa Ayunda seharusnya tidak mengatakan apa-apa tentang anak yang ada dikandungannya pada David. Lagi pula David tidak akan pernah mengakuinya jika pun tahu sebenarnya, karena saat ini David telah menikah dengan seorang wanita yang pastinya dia cintai. Jika tidak rasan
Tanpa sadar tangan Ayunda masih memegang tangan David dengan begitu kuatnya. Ternyata setelah diperiksa oleh dokter Ayunda mengalami kontraksi hebat dan bayinya pun harus segera dilahirkan. Padahal usia kehamilan masih sekitar 7 bulan, itu artinya bayi itu akan terlahir prematur. Pembukaan pun sudah mendekati sempurna, artinya sedikit lagi akan tiba waktunya untuk mengejan. Peluh yang membanjiri sekujur tubuhnya tidak dapat menutupi betapa kesakitannya dia kini. David terdiam sambil menatap wajah Ayunda yang memucat karena menahan rasa sakit. Kini dia hanya diam menatap wajah Ayunda dan tangannya masih dipegang dengan sangat erat. Hingga akhirnya pembukaan pun sudah lengkap, waktunya begitu cepat hingga Ayunda pun mulai mengejan. Beberapa kali dia terlihat berusaha untuk mengikuti arahan sang dokter namun masih belum berhasil. "Tarik nafas panjang, Bu." "Dokter, aku tidak bisa," kata Ayunda dia merasa tidak tahan lagi dengan rasa sakitnya dan lelahnya. Rasa sakit
David semakin menyesap rok*k nya, asapnya sudah mulai memenuhi sekitarnya. Belum juga satunya habis dia sudah mengambil yang lainnya dan menyesapnya kembali. Otaknya benar-benar tidak bisa dikondisikan karena ulah Ayunda. Entah seberapa besar pertahanan yang tersisa, yang jelas kini semakin tipis. David sendiri tidak tahu bisa menjamin dirinya bisa kuat atau tidak. Tapi kenapa? Apakah Ayunda sengaja melakukan semua ini? Apakah dia masih terlalu polos atau sangat bodoh hingga melakukan apapun dengan sesukanya. Polos? Rasanya tidak mungkinkan? Dia sudah dewasa dan mengerti akan kebutuhan pria dewasa. David pun meneguk mineral yang tersedia di kamarnya tersebut. Kamar yang sebelumnya telah dia tinggalkan karena mengikuti Ayunda yang berpindah kamar kini justru tempatnya untuk menyimpan rasa panasnya. Untuk menormalkan segala perasaan yang ada sungguh sangat menyiksa, bahkan tangannya terlihat bergerak sambil beberapa kali mengusap wajahnya. Drettt. Suara pon
Dekat terasa menyiksa, sedangkan jauh terasa rindu. Itulah yang dirasakan oleh David saat ini, dia terdiam duduk sambil menatap layar ponselnya dimana ada wajah Ayunda di sana. Sebenarnya David sendiri bingung dengan dirinya, keinginannya pergi ke Bali untuk bekerja sekaligus untuk menghindari Ayunda. Tapi apa? Baru sampai saja sudah membuatnya menjadi tidak tenang, rasa rindu mulai melanda. Sungguh dia sangat tersiksa. Ting tong! Suara bel berbunyi dan David pun melihat daun pintu. Ting tong! Lagi-lagi terdengar suara bel dan dia harus bangkit dari duduknya untuk membuka pintu. Alangkah terkejutnya dia melihat siapa yang berdiri di depan pintu kamarnya. "Yunda?" David benar-benar tidak percaya jika Ayunda ada di hadapannya. "Kak, jangan marah dulu ya. Yunda di paksa Mama nyusul, Kakak. Tadi dianterin sama Kak Zidan." "Tapi sekarang Kak Zidan udah balik lagi," jelas Ayunda. Ayunda takut diamuk oleh David, sehingga memilih untuk segera menjelaskan. Ingatkan
'Apa pernikahan kami cuma menutupi ketidak normalnya aja ya? Tapi apa iya? Iya juga sih, kenapa sebelum menikah dia berusaha mendekati aku terus dan sekarang biasa aja. Malahan udah tidur satu kamar, satu ranjang pula,' batin Ayunda. Semetara David kebingungan melihat wajah Ayunda yang terus memperhatikannya dalam diam. Apa yang ada dipikiran wanita di hadapannya tersebut sungguh membuat David penasaran. "Kak, sebenarnya pekerjaan Bimo apa sih?" tanya Ayunda berusaha untuk mencari tahu tentang Bimo. Tepatnya ingin tahu sebesar apa perasaan David terhadap Bimo. Apa perasaan? Kacau! Ayunda semakin berpikir jauh, tapi tentunya tidak boleh menyimpulkan sesuatu tanpa ada bukti yang akurat. Mari kita cari buktinya dulu. "Dia orang kepercayaan ku di sini," jawab David. "Menurut, Kakak dia gimana?" "Baik, dan jujur, bisa diandalkan dalam segala hal," terang David. "Segala hal? Contohnya?" Ayunda semakin penasaran dan merasa pertanyaannya semakin sengit. "Iya, semuany
Karena sudah tidak sanggup David pun segera pergi tanpa berpamitan sama sekali. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. "Kak!" panggil Ayunda yang merasa kebingungan. Melihat David yang tiba-tiba pergi, bahkan pintu pun sudah tertutup rapat. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya melihat David yang pergi begitu saja. "Kak David kenapa ya? Apa aku keterlaluan banget minta dipijat? Kayaknya aku keterlaluan deh, mungkin aja kan dia nggak suka di suruh-suruh," gumamnya dengan rasa bersalah. Ayunda pun tak lagi mempermasalahkan David yang pergi begitu saja. Dia memilih untuk tidur agar kembali pulih. Tok tok tok. "Yunda!" seru Wina. Ayunda pun terbangun dan ternyata hari sudah siang. Ternyata dia sudah tidur hampir seharian. "Ya, Ma," sahutnya sambil bergerak turun dari ranjang dan membuka pintu. "Kamu kok nggak sarapan pagi, nggak makan siang? Nanti tambah sakit lho," omel Wina. "Iya, Ma. Yunda mandi dulu ya." "Pengantin baru jam segini belum mandi
Tengah malam David belum juga bisa terlelap, dia pun segera pergi ke luar untuk mencari angin segar. Tepatnya untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia menuju taman belakang dan duduk di kursi sambil mengusap wajahnya beberapa kali. "Sedang apa kau di sini?" tanya Zidan. David pun menoleh dan ternyata dia melihat Zidan. "Mencari angin segar," jawab David. Setelah sekian lama akhirnya Zidan mengajaknya berbicara? Tentunya David merasa senang, semoga saja persahabatan mereka bisa kembali membaik. "Apa kabar?" tanya David kembali. "Kenapa bertanya soal kabar, apakah aku terlihat tidak baik-baik saja?!" sinis Zidan. "Bukan begitu, aku hanya ingin minta maaf pada mu," ucap David lagi. Zidan pun terdiam begitu juga dengan David. Hingga Zidan pun kembali bertanya, "Sampai kapan kau akan mencari angin segar di sini? Apakah kau tidak ingin tidur?" tanya Zidan penuh selidik. "Lalu bagaimana dengan mu, kenapa ada di sini juga?" David pun pun memutar balikan pertanyaan. S
Sesekali David menoleh pada Ayunda yang duduk di sampingnya, dia bingung karena sepanjang perjalanan menuju rumah Ayunda hanya diam saja. David berpikir jika Ayunda masih berpikir tentang apa yang dikatakan oleh temanya barusan. "Kamu masih kepikiran sama ucapan barusan?" tanya David secara langsung. Sudah susah payah dia berusaha untuk tetap membuat hubungan mereka baik tapi ada saja celah yang membuat David merasa terancam. "Nggak sih, Kak. Tapi kalau dipikir-pikir lagi nggak mungkin juga dia ngarang, buat apa?" jawab Ayunda. David pun menggaruk kepalanya karena bingung sendiri untuk membuat Ayunda mengerti. "Terserah, Kakak aja deh. Yunda nggak papa kok," Ayunda pun tersenyum sambil menunjukkan dua baris giginya. Ayunda mengatakan tidak apa-apa? Dia terlihat santai tanpa beban. Tapi reaksi Ayunda membuat David terluka, dengan begitu artinya Ayunda tak memiliki perasaan padanya. Sedalam apa luka yang dulu dia torehkan hingga mampu menghapus cinta Ayunda yang begi
Begitu banyak barang yang dibeli oleh Ayunda, karena pakaian anaknya juga mulai sempit akibat pertumbuhan Ken yang begitu cepat. Kenzie kini lebih gemuk dan semakin menggemaskan, apa lagi dia sudah bisa duduk. Tapi Ayunda yang bingung melihat sikap David. Sejenak dia menatap wajah David penuh tanya. "Kenapa?" tanya David menyadari tatapan mata Ayunda yang berbeda padanya. "Yunda perhatiin kok, Kakak lebih kalem ya. Maksudnya agak beda dari sebelumnya yang kerjanya bikin kesel terus," ujar Ayunda. David pun tersenyum mendengar ucapan Ayunda, tapi sebenarnya dia takut salah bicara dan membuat hubungan baik mereka malah kembali menegang seperti dulu. Jadi David lebih memilih untuk diam, karena kini sikap Ayunda begitu baik padanya. "Kak, kira-kira ini bagus nggak ya?" tanya Ayunda sambil menunjuk sebuah pakaian mungil untuk Kenzie. "Bagus," jawab David. "Apanya yang bagus, ini jelek," gerutu Ayunda. David hanya bisa diam, lihatlah wanita yang membingungkan ini. Wa
"Zidan," panggil Wina saat melihat anaknya melintas di ruang keluarga lagi. Kali ini Zidan sepertinya akan pergi padahal baru kembali. Tapi Wina tidak perduli dengan semua itu karena telah menjadi kebiasaan anaknya. "Ya, Ma?" jawabannya sambil menghentikan langkah kakinya. "Sebenarnya kamu berbuat apa pada Tere, kok dia sampai begitu ketakutan kalau lihat kamu," tanya Wina penasaran. Semetara Ayunda masih diam menunggu jawaban dari sang Kakak. Dia juga penasaran akan kehidupan yang dijalani oleh sahabatnya. Ayunda bahkan merasa jika Tere yang kini tidak dia kenali lagi. Terlihat hanya ada beban hidup yang dia pikul, bahkan untuk tertawa lepas seperti dulu saja tidak pernah dilihatnya lagi. "Memangnya dia tidak berbicara pada, Mama?" tanya Zidan kembali. Wina pun menggeleng kepalanya. "Zidan pikir dia sudah memberi tahu, tapi sejak kapan, Mama peduli?" tanya Zidan lagi yang malah bingung. Karena setahunya Wina juga tidak setuju jika Tere menjadi istrinya, bahkan
Krang!! Terdengar suara pecahan dari arah dapur seketika itu mengejutkan Ayunda dan David. "Kenapa ya, Kak?" tanya Ayunda. David pun menggelengkan kepalanya karena mereka berdua sama-sama tidak tahu. Dengan cepat Ayunda pun pergi menuju dapur disusul oleh David. Sesampainya di dapur ternyata ada Tere yang jatuh pingsan. Bahkan di dekatnya ada gelas yang pecah, Ayunda menebak jika suara pecahan sebelumnya berasal dari pecahan gelas tersebut. "Tere, bangun," seru Ayunda. Dia terlihat begitu panik melihat keadaan sang sahabat saat ini.Keadaan yang sangat memprihatikan. "Tere!" seru Ayunda tak hentinya. "Lho, dia kenapa?" tanya Wina yang juga melihat Tere tergeletak di lantai. "Nggak tahu, Ma. Mukanya pucat banget, kayaknya dia sakit," kata Ayunda lagi. Wina pun hanya bisa mengangguk sambil memperhatikan wajah pucat Tere. "Kak, tolong Tere," pinta Ayunda. Dia melihat yang lainnya hanya menonton saja sementara keadaan Tere cukup memprihatinkan.Apakah tak ada y