Share

Bab 3

Penulis: Alita novel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Kutekuk kedua kaki untuk tempat bersembunyi saat menangis. Ya Allah. Sudah dapat di pastikan jika Mas Aksa yang mengambil semua perhiasanku tadi. Saat dia mengacak-acak lemari karena mengira aku menyembunyikan uang tabungan di bawah baju. Dia melihat kotak perhiasan yang sudah aku beli sejak tahun lalu tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan Ibu mertua. Teganya dia melakukan ini padaku. Perhiasan emas yang ia serahkan sebagai mahar sudah aku jual sebagai tambahan modal untuk membuka warung. Seharusnya dia tahu jika semua perhiasan di dalam kotak itu adalah milikku karena bentuknya berbeda dengan perhiasan yang di berikan olehnya dulu.

Nyatanya aku memang sudah teledor dalam hal ini. Dengan yakin menyimpan kotak perhiasan di bawah tumpukan baju. Merasa Mas Aksa atau ibu tidak akan pernah mengetahuinya karena Mas Aksa tidak pernah mau mengambil pakaian sendirinya. Padahal perhiasan yang aku simpan tergolong mahal. Jika di total semuanya ada lima belas juta. Satu set lengkap mulai dari anting-anting, kalung, gelang dan dua cincin. Di tambah perhiasan untuk si kembar yang akan aku berikan pada mereka kelak saat sudah dewasa.

Sejak awal semua ini salahku yang melawan perintah mendiang Ibu untuk membatalkan pernikahan dengan Mas Aksa. Kini kehidupan seperti ini yang harus aku jalani. Entah sampai kapan aku harus bertahan dengan Mas Aksa. Namun, aku tidak bisa membiarkannya mengambil perhiasan emas yang aku beli dari hasil jerih payahku sendiri. Aku harus bertanya langsung pada Mas Aksa. Urusan perhiasan emas itu harus di selesaikan malam ini juga. Dia bisa merampas uang yang kuhasilkan, tapi tidak dengan perhiasan itu.

Aku bangkit lalu berjalan keluar kamar. Ruang tamu dan ruang tengah sudah kosong. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara Mas Aksa yang sedang bicara dari arah teras. Dengan langkah perlahan aku berjalan agar mereka tidak menyadari kehadiranku. Rupanya Mas Aksa dan Ibu tengah bicara sambil duduk di kursi teras. Kuambil hp lalu menyalakan video untuk merekam semua perkataan mereka sebagai bukti. Jika memang aku terpaksa melaporkan hal ini ke kantor polisi.

“Kamu yakin kalau semua perhiasan ini punya Dania, Sa?” tanya Ibu skeptis. Dari balik jendela aku bisa melihat jika Ibu memegang kantong plastik hitam. Ia mengeluarkan kalung emas yang merupakan milikku.

“Aku yakin sekali Bu. Dania tidak akan bisa mengelak karena perhiasan ini di simpan di bawah tumpukan baju. Ada untungnya juga tadi aku mengacak-acak isi lemari. Setelah menemukan kotak perhiasan segera aku ambil isinya lalu menyembunyikan kotak itu di bawah lemari.”

“Kalau Dania tanya bagaimana?”

“Nggak perlu khawatir. Dania tidak akan berani melawan Bu. Dia pasti akan ikhlas jika Ibu menggunakannya," jawab Mas Aksa yang menggampangkan masalah.

Memang selama ini aku selalu membiarkan mereka mengambil uang tabungan atau bahkan sampai meminta uang ke warung. Karena aku berpikir toh uang juga akan habis. Aku juga masih punya tabungan dalam bentuk lain yang tidak pernah di ketahui oleh Mas Aksa. Salah satunya adalah satu set perhiasan emas yang tersimpan rapi di bawah tumpukan baju. Kali ini aku tidak akan mau mengalah karena sudah mengantongi bukti berupa video. Kusimpan video itu dalam beberapa file.

Cklek

Suara pintu depan yang terbuka mengalihkan perhatian mereka. Mas Aksa tidak nampak terkejut melihat kehadiranku. Ibu sempat gelagapan sejenak sebelum akhirnya tersenyum dengan wajah mengejek. “Kamu bilang nggak punya simpanan. Dasar pembohong. Untung saja Aksa berhasil menemukan perhiasanmu.” Kata Ibu sambil menggoyang kantong plastik di tangannya.

Dengan gerakan cepat aku merebut kantong plastik itu. Membuat Mas Aksa dan Ibu terbelalak kaget. Mas Aksa berdiri hendak meraih perhiasan emas yang berhasil aku amankan. Tapi, dia gagal karena aku terus melangkah mundur hingga ke pinggir jalan.

“Cepat serahkan perhiasanmu Dania. Ibu membutuhkannya untuk membayar dp agar pernikahan adikku bisa terlaksana.” Bentak Mas Aksa tidak peduli dengan lalu lalang kendaraan di jalan yang melihat pertengkaran kami.

“Kalau kamu memaksa aku akan menjatuhkan diri di jalan dan mengatakan pada semua orang jika Ibu yang sudah mendorongku agar bisa mencuri perhiasan emasku.”

“Apa? Istri kamu benar-benar sudah gila Sa. Dia pikir orang-orang akan percaya,” kata Ibu dengan mata melotot padaku.

“Tentu saja mereka akan percaya. Karena semua orang di desa ini tahu bahwa aku adalah tulang punggung untuk suami dan keluarga mertuanya,” balasku yang membuat Mas Aksa terdiam. Dia tampak berpikir keras. Menatap ke sekeliling rumah. Para tetangga sudah keluar melihat keributan kami.

“Baiklah. Ayo kembali ke rumah sekarang. Malu di lihat sama tetangga,” pinta Mas Aksa yang berubah jadi lembut.

Aku masih berdiri di tempatku semula. Menunggu Mas Aksa agar mundur dari hadapanku. Bergeming di depannya tanpa rasa takut sekalipun. Toh jika aku benar-benar jatuh maka tetangga akan menyalahkannya, “kamu harus pergi ke rumah Ibu sekarang. Jika tidak aku akan menarikmu agar kita jatuh ke jalan raya sekarang.”

“Dania.” Pekik Mas Aksa tertahan.

Ibu yang sudah terlanjur malu dengan para tetangga langsung menarik tangan anaknya pulang ke rumah. Rasakan. Mereka tidak akan berkutik di depan para tetangga. Karena semua orang tahu usahaku yang maju pesat dengan penghasilan yang jauh lebih tinggi daripada gaji Mas Aksa. Belum lagi Ibu yang sering pergi ke warung untuk meminta uang sudah jadi cibiran. Karena Mas Aksa mengandalkan aku untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Setelah memastikan mereka berdua pergi, aku segera masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu depan dan belakang. Kakiku melangkah masuk ke dalam kamar. Memasukan semua perhiasan ke dalam kotaknya. Tidak ada lagi tempat yang aman untuk menyimpan perhiasan ini. Terpaksa aku harus menyimpannya di brankas yang ada di warung.

Pagi harinya aku bangun seperti biasa. Kotak perhiasan masih aman di dalam sisi lemari khusus untuk menggantung baju. Kedua kuncinya sengaja aku ambil. Mas Aksa juga sudah kembali ke rumah untuk mandi dan berganti baju. Tanpa menyapaku dan kedua buah hatinya yang baru saja menunaikan sholat subuh. Wajahnya tertekuk masam setelah pertengkaran kami semalam.

Aku meminta anak-anak untuk mandi lebih dulu. Sementara aku harus melakukan pekerjaan rumah seperti biasa. Memasukan baju kotor ke dalam mesin cuci. Di lanjutkan dengan menyapu dari halaman depan sampai seisi rumah. Khusus untuk kamar utama akan aku sapu terakhir karena aku sedang malas berhadapan dengan Mas Aksa. Terakhir aku mengambil bahan makanan dari kulkas untuk membuat bekal anak-anak dan sarapan pagi ini. Baru setelah itu aku akan langsung pergi ke warung untuk menyimpan kotak perhiasanku.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Saatnya memanggil Mas Aksa dan anak-anak keluar agar kami bisa segera sarapan. Baru saja aku membuka pintu, terlihat Mas Aksa yang berusaha membuka pintu lemari terkunci dengan linggis yang sepertinya adalah milik Ibu.

“Apa yang kamu lakukan Mas?” tanyaku marah lalu mengambil linggis itu dari tangannya.

“Kenapa kamu harus mengunci pintu lemari yang satunya? Aku mau ambil baju kerjaku,” bentak Mas Aksa dengan wajah merah padam.

“Semua baju kerjamu sudah aku siapkan di atas tempat tidur. Apa kamu tidak bisa melihatnya?” aku kembali bertanya dengan nada tenang. Tanganku terarah pada kemeja dan celana panjang yang tertata rapi disana.

“Apa kamu mau mencuri perhiasanku lagi mas? Pakai bawa linggis dari rumah Ibu.” Kali ini aku yang bertanya dengan nada mengejek.

“Jaga ucapan kamu. Aku bukan pencuri. Kita ini suami istri. Sudah sewajarnya kamu ikut membantu ekonomi keluargaku,” kata Mas Aksa dengan wajah yang semakin merah padam.,

“Harta istri adalah milik istri. Suami sama sekali tidak berhak mengambilnya. Sedangkan harta suami adalah milik istri. Bahkan seorang istri juga harus mengikuti adab saat akan mengambil uang suaminya. Kalau yang kamu lakukan semalam itu namanya pencurian. Sudah cukup aku membiayai keluargamu selama ini. Jangan ambil perhiasanku untuk bekal sekolah si kembar kelak. Karena kamu tidak akan pernah bisa menyekolahkan si kembar hingga lulus SMA.”

PLAK

Mas Aksa sudah menampar pipiku hingga aku terhuyung ke belakang. Tubuhku menabrak lemari lalu melorot ke bawah.

Bab terkait

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 4

    Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.Diam saja sepert

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 5

    Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandika

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 6

    Astaghfirullah. Ibu benar-benar bikin malu saja. Dia masih berdebat dengan pegawaiku tentang pesanan itu. Padahal tinggal bilang di awal jika dia mau aku mengirimkan makanan ke rumah. Pasti akan aku lakukan. Biasanya juga seperti itu. Atau jika Ibu butuh uang, maka dia akan pergi saat sore hari. Makanya dia tidak pernah bertemu dengan pegawaiku yang hanya mengambil shift malam.Gegas kumatikan kompor. Melepas sarung tangan plastik. Agar bisa melerai perdebatan mereka. Para pembeli pasti tidak nyaman melihat adegan ini. Ibu selalu berteriak jika marah. Dia mulai mendorong pegawaiku yang bernama Lila hingga hampir terjatuh. Untung saja aku dengan sigap menahannya.“Cukup Bu. Jangan bikin malu di warungku. Kenapa tadi tidak minta aku antarkan makanan ke rumah?” tanyaku sudah berdiri di depannya. Wajah Ibu masih merah padam.“Ini semua juga gara-gara kamu yang tidak menyiapkan makanan apapun untuk kami. Seharusnya sebagai istri kamu tetap ingat dengan kewajiban menyediakan makanan untuk s

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 7

    “Mempermalukan gimana? Aku hanya bertanya kenapa Ibu datang ke warung tanpa menelponku dulu. Biasanya juga aku yang mengantar kalau Ibu pesan kebab atau burger. Malah di balas Ibu yang mengatakan jika aku tidak bisa menjadi istri yang baik karena omset usaha sudah lebih tinggai dari gaji suaminya. Kamu tahu Mas, Ibu mengatakan semua itu di depan para pembeli dan pemilik ruko yang lain. Belum lagi ada beberapa orang yang tengah merekam. Aku harus melakukan klarifikasi terhadap tuduhan Ibu,” bantahku tidak terima.Sejak kami menikah watak Mas Aksa memang tidak pernah berubah. Dia seratus persen percaya pada perkataan Ibu dan kedua adiknya. Tanpa bertanya dulu padaku tentang detail kejadian yang sebenarnya. Siapa yang sudah menyebabkan masalah hingga membesar. Selalu aku saja yang di salahkan.“Perkataan Ibu benar kok. Kamu memang nggak becus jadi istri. Buktinya hari ini kamu tidak memasakan banyak makanan. Padahal kamu tahu kalau Ibu dan kedua adikku sudah pindah ke rumah ini Nia.” Mas

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 8

    “Iya saya memang menantunya Bu Yana. Ada apa ya Bu?” tanyaku masih mencoba untuk sabar. Karena sudah ada banyak pelanggan yang mengantri untuk membeli kebab atau burger mini. Aku tidak mau mereka terganggu oleh masalah yang di sebabkan Ibu mertua.“Ibu mertuamu sudah pinjam uangku sebesar tiga juta. Bagimu yang punya usaha seperti ini pasti kecilkan? Tapi, bagiku uang tiga juta itu sangat berarti. Aku sudah berulang kali menelpon dan mengirim pesan padanya. Selalu di abaikan. Hingga pagi ini aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Ternyata sudah di ambil karena tidak bisa bayar hutang. Lalu aku pergi ke rumahmu karena menurut para tetangga Jeng Yana sekarang tinggal bersama anak dan menantunya. Dia tidak bisa mengelak lagi. Jeng Yana mengatakan padaku bisa menagih hutangnya padamu,” jelas wanita itu yang tidak kuketahui namanya.Ibu benar-benar keterlalun. Walaupun ini bukan pertama kalinya aku di suruh membayar hutang. Selama ini aku selalu bisa berkelit dengan alasan tidak punya u

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 9

    Aku segera membilas tangan lalu berlari ke kamar mandi. Ibu sudah menggedor pintu panik. Begitu juga dengan Mas Aksa dan Sintya, adik bungsu suamiku. Sementara aku justru takut jika pintu kamar mandi jebol. Siapa yang akan memperbaikinya? Tentu saja aku.“Buka pintunya Ros. Kalau tidak Mas jebol sekarang,” seru Mas Aksa yang membuatku terbelalak kaget.“Kalau kamu jebol aku nggak mau ganti Mas. Pakai gajimu sendiri,” ancamku sambil melotot.Suara tangisan Rosi masih terdengar dari dalam kamar mandi. Ibu sudah mendelik marah mendengar perkataanku pada Mas Aksa, tapi tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya karena sibuk memanggil nama Rosi. Sang empunya nama justru terus berkata tidak mungkin berulang kali. Entah apa penyebab Rosi bisa sampai histeris seperti ini.“Jangan berkata seperti itu dong mbak. Situasi panik seperti ini malah mikirin pintu kamar mandi,” jawab Sintya ketus. Aku balas melotot padanya.“Aku ini sudah pusing bayar cicilan rumah, mobil dan motormu bulan depan. Belu

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 10

    Dasar tukang teriak. Dia sama sekali tidak punya sopan santun di rumah orang lain. Walaupun rumah ini memang kelak akan menjadi milikku dan Mas Aksa. Aku tetap santai membantu membereskan buku pelajaran ke dalam tas untuk si kembar. Terdengar suara Ibu dan Mas Aksa yang sudah ikut nimbrung. Ibu tetap memaksa laki-laki bernama Varo itu untuk datang membawa keluarganya karena tidak mau malu di hadapan para tetangga. Sementara Varo juga tetap kekeh menolak.“Ibu kenapa Ayah dan Uti berantem sama orang asing di depan?” tanya Melati penasaran. Kami bertiga sudah pergi lagi ke dapur. Aku masih berdiri di depan kompor untuk membuat sarapan. Sedangkan Mawar dan Melati sudah duduk di kursi mereka.“Nggak tahu sayang. Biasa masalah orang dewasa. Kalian jangan tanya sama Ayah, Uti, Tante Rosi dan Tante Sintya ya,” pintaku agar mereka tidak di marahi. Si kembar menganggukan kepala mereka kompak.Kedua putriku sudah pintar untuk duduk sendiri di kursi. Entah saja kapan Mawar dan Melati tumbuh deng

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 11

    Jawaban Mas Aksa membuat amarahku naik sampai ke puncaknya. Dia tidak paham dengan apa yang aku katakan tadi jika uangku tidak cukup untuk biaya pernikahan adiknya. Walaupun apa yang aku katakan hanya kebohongan semata, tetapi mendengar sendiri Mas Aksa yang terus merongrong uangku untuk memenuhi kebutuhan keluarganya membuatku menjadi semakin merasa tidak berguna di matanya. Aku ini hanyalah pemuas nafsu sekaligus sumber uang untuk mereka.Kedua tanganku terkepal erat di atas paha. Kutahan lisan yang hendak mengeluarkan segala bentuk caci maki untuknya. Kutahan juga air mata agar tidak menggenang. Jangan pernah mempermalukan diri sendiri di depan orang lain hanya karena orang jahat seperti Mas Aksa. Aku harus bisa menanggapinya tanpa harus marah-marah di depan para pembeli.“Maaf mas. Aku nggak bisa meyisihkan karena kebutuhan warung memang sedang habis. Belum lagi dengan harga kebutuhan pokok seperti tabung gas yang meroket tinggi. Hari ini semua pegawaiku juga akan gajian. Mana mun

Bab terbaru

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 90

    Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 89

    Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 88

    Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 87

    Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 86

    “Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 85

    Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 84

    Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 83

    Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 82

    “Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia

DMCA.com Protection Status