Share

Bab 11

Penulis: Alita novel
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jawaban Mas Aksa membuat amarahku naik sampai ke puncaknya. Dia tidak paham dengan apa yang aku katakan tadi jika uangku tidak cukup untuk biaya pernikahan adiknya. Walaupun apa yang aku katakan hanya kebohongan semata, tetapi mendengar sendiri Mas Aksa yang terus merongrong uangku untuk memenuhi kebutuhan keluarganya membuatku menjadi semakin merasa tidak berguna di matanya. Aku ini hanyalah pemuas nafsu sekaligus sumber uang untuk mereka.

Kedua tanganku terkepal erat di atas paha. Kutahan lisan yang hendak mengeluarkan segala bentuk caci maki untuknya. Kutahan juga air mata agar tidak menggenang. Jangan pernah mempermalukan diri sendiri di depan orang lain hanya karena orang jahat seperti Mas Aksa. Aku harus bisa menanggapinya tanpa harus marah-marah di depan para pembeli.

“Maaf mas. Aku nggak bisa meyisihkan karena kebutuhan warung memang sedang habis. Belum lagi dengan harga kebutuhan pokok seperti tabung gas yang meroket tinggi. Hari ini semua pegawaiku juga akan gajian. Mana mun
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 12

    Dadaku berdegup kencang. Perkataan Mas Aksa memang ada benarnya. Aku memang menyembunyikan sesuatu. Di lantai dua aku menyimpan emas, sertifikat bangunan, bpkb motor dan barang berharga lainnya di dalam brankas. Letak brankas juga di samping tempat tidur. Begitu menginjakan kaki di lantai dua brankas itu akan terlihat. Tidak ada pembatas yang akan menghalangi.Mas Aksa masih menunggu jawabanku sambil tersenyum. Sudah jelas jika mereka merencanakan sesuatu. Mungkin dalam benak Ibu dan Mas Aksa ingin mengambil perhiasan emasku yang sudah tidak lagi tersimpan lagi di rumah. Aku melihat dari rekaman CCTV jika Mas Aksa sudah berhasil membuka pintu lemari. Mencari ke setiap sudut kamar dan seisi rumah. Tetap saja perhiasan emasku tidak di temukan. Dia sudah pasti menduga jika aku akan menyimpannya di toko ini. Tapi, tanpa mereka ketahui aku juga menyimpan barang berharga lainnya.“Bukan begitu. Aku tidak akan melarangmu untuk bertemu anak-anak di warung. Tapi, lihat deh Mas sekarang jam be

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 13

    “Oh ini HP-nya Mas Aksa,” jawabku begitu melihat HP yang di pegang Hanin.“Kok ada nama kontak Arumi cantik. Jangan-jangan Mas Aksa selingkuh,” tebak Hanin yang punya pikiran yang sama denganku.Aku hanya mengedikan bahu. Karena memang selama ini aku tidak pernah memeriksa hp Mas Aksa. Buat apa? Yang ada dia akan marah saat aku menyentuh barangnya seperti di awal pernikahan kami dulu. Aku hanya menngangkat telpon dari Ibu. Bukannya berterima kasih, Mas Aksa justru menghardikku.“Kamu berani banget sih Nia.” Hardik Mas Aksa lalu merebut HP-nya yang sedang aku pegang kala itu. Matanya menatapku nyalang penuh amarah.“Aku hanya mengangkat telpon dari Ibu mas. Siapa tahu penting.” Aku membela diri karena tidak ingin dia marah.“Nggak perlu di angkat juga. Lain kali cukup langsung berikan HP ini padaku. Jangan usik privasi masing-masing. Karena aku juga tidak akan pernah membuka HP-mu,” perintahnya dengan wajah penuh amarah. Dia meninggalkanku di dalam kamar.Sejak saat itu aku tidak perna

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 14

    “Apa kamu melihat HP-ku yang tertinggal Nia?” tanya Mas Aksa panik.Aku tetap mempertahankan ekpresi datar agar dia tidak curiga. Kugelengkan kepala acuh lalu menoleh pada Hanin. “Kamu lihat HP lain di dapur tadi Nin?”“Nggak Mbak. Orang aku hanya ambil minum saja di kulkas,” jawab Hanin sambil memainkan HP-nya. Sama sekali tidak melihat Mas Aksa.“Mungkin tertinggal di dapur Mas. Sebentar aku tanyakan pada pegawaiku kalau ada yang melihat.”Kakiku melangkah menuju tangga. Turun bersama Mas Aksa yang mengikuti di belakangku. Diam-diam aku menghela nafas lega karena Mas Aksa ternyata tidak melihat pegawai Hanin yang membawa brankasku pergi. Sudah ada Tika yang sedang makan di dapur.“Kamu lihat HP warna merah di meja atau kursi Tik?”Tika menganggukan kepalanya.”Aku lihat mbak. Aku kira itu HP-nya Mbak Nia atau Mbak Hanin. Jadi, aku taruh di gerobak biar bisa kalian ambil.”“Bukan. Itu HP suamiku. Terima kasih ya.”Kami berjalan lagi menuju gerobak yang tengah di jaga oleh dua pegawaik

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 15

    Lampu yang sudah menyala membuatku bisa melihat sosok Varo yang berdiri di depanku dengan senyum yang mengerikan. Matanya terbelalak kaget ketika melihat keberadaan Hanin yang datang bersama kami. Wajahnya sedikit ketakutan. Dengan cepat ekpresi wajah Varo sudah berubah. Seolah dia bisa menguasai keadaan dengan cepat.“Maaf Nia. Aku tidak sengaja. Kukira kamu Rosi yang tadi pergi keluar. Aku ingin memberi kejutan padanya.”“Memang kamu tidak bisa melihat dari jendela siapa yang datang? Jangan asal peluk orang seperti itu dong,” seru Hanin kesal menarik tanganku ke sisinya.Tubuhku masih mematung dengan dada berdegup kencang. Tidak percaya dengan perkataan Varo barusan. Seperti yang di katakan Hanin, dia bisa melihat kedatangan kami dari luar jendela. Kenapa juga langsung memeluk orang. Apa mungkin Varo memiliki maksud lain?“Maaf. Aku akan menunggu di kamar Rosi saja,” kata Varo pelan. Belum sempat aku bicara dia sudah berlalu dari hadapanku.“Aneh banget. Kenapa dia harus masuk ke da

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 16

    Walaupun aku sudah berusaha melepaskan cekalan tangan Mas Aksa, aku tetap tidak bisa. Tenaga suamiku terlalu kuat. Kutatap wajahnya yang menatap penuh amarah padaku. Padahal dulu Mas Aksa tidak pernah berbuat senekat ini. Satu-satunya kekerasan yang dia lakukan padaku hanya tamparan itu. Lalu, Mas Aksa akan minta maaf karena takut aku laporkan ke polisi.“Lepas Mas. Kalau sampai tanganku terluka aku akan melaporkanmu ke polisi,” ancamku seperti biasa. Namun, Mas Aksa masih bergeming. Dia masih mencengkram tanganku sangat erat. Kutahan ringisan yang hendak keluar agar tidak terlihat lemah di depannya.“Laporkan saja. Varo bisa membereskan semuanya untukku. Sebagai teman sekolahnya dulu kamu pasti tahu bagaimana status keluarga Varo yang berkuasa.”Tentu saja aku tahu. Karena itulah dulu aku tidak berani melaporkan kejahatan yang Varo lakukan padaku. Bahkan aku juga tidak berani menceritakan hal itu pada Ibu dan Hanin. Memendamnya seorang diri. Hingga aku bisa melupakan kejadian itu ber

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 17

    Astaghfirullah. Segera kuucap kalimat istighfar berulang kali. Teganya Ibu memfitnahku seperti itu. Segera kucari rekaman kamera CCTV di HP yang menunjukkan keadaan rumah kami saat aku membereskan semua kekacauan setelah pulang kerja. Lalu berjalan menghampiri mereka. Berdiam diri untuk sementara waktu guna mendengarkan apalagi fitnah yang akan di lontarkan Ibu untukku.“Kalau saya jadi Dania malah lebih parah Bu balasannya untuk keluarga suami. Orang Dania yang sudah membiayai kehidupan kalian selama ini,” bela tetanggaku yang seumuran.“Benar sih. Dania itu hebat banget bisa bertahan. Kalau saya sih terabas saja. Nggak peduli sama status janda. Daripada menghidupi keluarga suami yang seperti benalu,” balas tetangga yang lain.Aku masih berdiri diam di belakang mereka. Beberapa orang yang menyadari kehadiranku saling senggol dengan orang di sebelahnya. Tidak berani menatap wajahku yang masih diam sambil bersedekap tangan di dada.“Tetap saja apa yang di lakukan Dania salah. Lagian aku

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 18

    Aku pura-pura duduk di salah satu meja saat Varo menoleh padaku. Begitu dia membayar lalu keluar dari warung, aku menghela nafas lega. Sekarang tidak hanya keluarga Mas Aksa yang menjadi beban tetapi juga ambisi Varo untuk menguasai warung ini. Pikiranku jadi tambah kalut.“Ayo kita naik ke atas mbak. Lagi lihatin siapa sih?” tanya Hanin yang langsung menarik tanganku untuk melangkah menaiki tangga menuju lantai dua.“Tadi ada Varo yang baru beli makanan di warung ini. Karena penasaran aku berjalan mendekat dengan memakai masker. Aku tidak sengaja mendengar jika Varo ingin menguasai warung ini agar bisa di jadikan franchise. Lalu orang tuanya akan menerima Varo kembali.”Hanin berdiri terpaku dengan mata membulat tidak percaya. Wajahnya sudah berubah merah menahan amarah. Aku menarik tangannya untuk duduk di tepi tempat tidur lalu memberikan segelas air agar Hanin lebih tenang. Sejenak kulihat Mawar dan Melati yang masih terlelap di tempat tidur.“Kurang ajar,” desis Hanin lirih.Buka

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 19

    “Memang kita mau berhubungan dimana? Nggak mungkin di kamar ini karena aku tidak ingin mengganggu tidur anak-anak. Nggak baik juga kalau mereka mendengar suara kita walau sedang tidur. Kalau dua kamar lain sudah di pakai oleh Ibu dan kedua adikmu,” tantangku menunggu jawabannya. Aku masih penasaran apa tujuan Mas Aksa bersikap baik padaku malam ini.“Di hotel saja. Aku dapat bonus yang bisa kita gunakan untuk menginap di hotel semalam. Semuanya akan aman tanpa ada yang terganggu. Anak-anak bisa di tinggal di rumah karena ada Ibu, Rosi dan Syntia,” jawab Mas Aksa cepat. Seolah dia sudah lebih dulu mengetahui pertanyaanku sebelum aku bertanya.“Baguslah, tetapi maaf Mas. Bagaimana kalau minggu depan kita pergi ke hotelnya? Baru saja siang ini aku kedatangan tamu bulanan.”Wajah Mas Aksa seketika memberengut kesal. Dia melepaskan pegangannya di tanganku. Pandangannya justru menoleh pada kalender di dinding yang memang sering aku coret sebagai pengingat. Terutama tentang tamu bulanan. Men

Bab terbaru

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 90

    Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 89

    Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 88

    Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 87

    Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 86

    “Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 85

    Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 84

    Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 83

    Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 82

    “Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia

DMCA.com Protection Status