Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.
Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.
“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.
Diam saja seperti patung. Kutatap kaca di meja rias. Wajahku yang semula pucat sudah berangsur pulih. Aku menganggukan kepala sebagai jawaban pada Mas Aksa. Menatap matanya dengan pandangan datar. Raut wajahnya masih terlihat sangat khawatir.
“Iya aku bisa mendengarmu,” jawabku yang membuat ia menghela nafas lega.
“Makanya kamu jangan menghina keluargaku. Mereka itu bukan benalu. Sebagai istri sudah sewajarnya kamu membantu_”
“Uang yang kuberi selama ini adalah sedekah. Seperti yang aku katakan tadi, suami tidak punya hak mengambil uang istrinya. Jangan menolak fakta jika keluargamu adalah benalu. Mereka bergaya hedon dengan menggunakan uangku.”
Aku sengaja memancingnya agar membuat Mas Aksa jadi semakin emosi. Dia mengepalkan tangan erat. Wajahnya sudah memerah dengan urat leher yang tercetak jelas. Tidak seperti tadi, dia justru mengalihkan pandangan pada kamera CCTV yang sengaja aku pasang di kamar ini dengan alasan agar tidak ada orang lain yang mencuri saat aku tinggal ke warung. Padahal aku punya alasan lain memasang semua kamera CCTV di rumah ini.
“Sudahlah kamu keluar dulu memanggil anak-anak. Mereka pasti sudah lapar. Aku akan keluar sebentar lagi setelah berganti baju. Atau kau ingin istirahat saja?” tanya Mas Aksa membuatku menggelengkan kepala. Aku sudah tidak merasa pusing lagi. Tidak perlu istirahat di dalam kamar.
Segera kuraih hp lalu mengotak-atiknya sebentar. Sembari berjalan keluar kamar. Sejenak aku berhenti. Menoleh pada Mas Aksa yang masih memperhatikan kamera CCTV yang terpasang di langit-langit kamar. Aku jadi penasaran apa yang akan dia lakukan dengan kamera CCTV itu?
Biarkan sajalah. Toh Mas Aksa tidak tahu apa saja yang sudah aku lakukan di belakangnya. Lebih baik pergi ke kamar anak-anak yang pasti sudah berganti baju sendiri. Baru saja aku membuka pintu, anak-anak sudah menghambur dalam pelukanku. Wajah mereka terlihat ketakutan. Bahkan si sulung sudah hampir menangis.
“Kalian pasti mendengar pertengkaran ayah dan ibu tadi ya. Ibu minta maaf karena sudah membuat kalian takut,” kataku yang membuat si kembar menganggukan kepala mereka.
Sikap Mas Aksa memang kasar padaku. Bukan secara fisik. Tapi dari kata-katanya yang menyakiti hati. Sejak tiga tahun lalu aku memasang kamera CCTV di rumah ini. Tujuan awalnya adalah untuk memantau keadaan rumah selama aku tinggal pergi untuk bekerja di warung. Sedangkan alasan yang sebenarnya adalah untuk mengumpulkan bukti sikap buruk Mas Aksa selama pernikahan kami. Sembari menunggu dia melakukan dua hal yang membuat Ibu mengijinkanku untuk berpisah.
Mas Aksa sadar jika aku bisa melaporkannya kapanpun ke polisi jika dia berani melakukan kekerasan padaku. Karena itulah meskipun dia sering marah-marah, namun sikapnya akan kembali melunak tanpa berani membantahku lagi. Seperti yang ia lakukan tadi. Entah kenapa kali ini Mas Aksa sampai tega menamparku. Padahal kami sudah sering berdebat tentang keluarganya. Tapi, tidak masalah karena aku tidak akan melanggar janji pada Ibu saat memutuskan untuk berpisah dari Mas Aksa kelak. Dia sudah menamparku yang artinya melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
“Kita pergi ke ruang makan sekarang ya. Kalian harus sarapan lalu berangkat ke sekolah.”
Aku membawa tas si kembar yang sudah berjalan lebih dulu menuju ruang makan. Mas Aksa sudah duduk di kursinya. Kami menyantap sarapan dalam diam. Karena anak-anak memang takut bicara dengan Ayah mereka. Mas Aksa yang sudah selesai makan beranjak berdiri tanpa membereskan piring dan gelasnya. Ia pergi bekerja tanpa pamit padaku dan anak-anak.
Rumah tangga seperti inilah yang sudah aku jalani selama enam tahun terakhir. Tidak ada lagi kehangatan seperti pasangan suami istri pada umumnya. Atau seperti Ayah dan putri mereka. Dia tidak hanya sudah mengacuhkanku. Tapi, juga sudah mengacuhkan anak-anak hanya karena anak pertama bukanlah anak laki-laki seperti yang di inginkan Ibunya.
“Ibu, apa Ayah meminta uang lagi sampai Ayah jadi marah?” tanya si sulung yang bernama Mawar. Putriku baru berani bicara setelah Ayahnya pergi.
“Nggak kok sayang. Ayah hanya lagi pusing karena masalah pekerjaan.”
“Kenapa sih Ayah marah terus? Aku takut Bu. Lebih baik kita tinggal di warung saja daripada disini,” kali ini si bungsu yang bernama Melati yang bicara.
Bukan hanya kali ini anak-anak menyatakan rasa tidak nyaman terhadap Ayah mereka sendiri. Terlebih pada Ibu yang tidak pernah menganggap keberadaan kedua cucunya. Hanya saja aku terus meminta mereka bersabar sampai saat yang tepat.
“Sabar ya sayang. Mungkin mulai bulan depan kita akan tinggal di warung. Jadi, kalian nggak perlu khawatir lagi pada Ayah. Tapi, jangan lupa setelah selesai sholat selalu doakan Ayah agar suatu saat dia mau berubah.”
“Iya Bu,” jawab si kembar kompak.
Kami pergi dengan naik motor menuju TK tempat Mawar dan Melati sekolah. Tidak lupa juga aku membawa perhiasan emas yang akan aku simpan di brankas warung. Kali ini aku pergi lebih awal. Selain untuk menyimpan perhiasan, juga untuk memindahkan beberapa baju yang sudah aku bawa dari rumah. Tidak ada lemari di lantai dua ruko. Sepertinya aku harus mulai menata barang-barang apa saja yang aku butuhkan untuk tinggal di ruko ini.
***
Jam sembilan malam aku dan anak-anak baru sampai di rumah. Seperti biasa aku meminta mereka untuk membasuh kaki, berganti baju lalu tidur. Sementara aku mencuci piring dan menata semua barang yang berantakan. Mas Aksa sudah terlelap di dalam kamar kami. Linggis milik Ibu aku temukan di bawah tempat tidur. Rupanya Mas Aksa masih berusaha membuka lemari sebelah kanan yang sengaja aku kunci. Untuk mengecohnya jika aku masih menyembunyikan perhiasan emas disana. Biar saja dia berusaha membukanya. Toh Mas Aksa tidak akan bisa menemukan perhiasanku lagi karena aku sudah menyimpannya di tempat yang aman.
Drrrr….
Drrtttt…
Drrrttt…
Suara dering hp Mas Aksa yang menandakan ada pesan masuk membuatku penasaran. Diam-diam aku mengambil hp yang tergeletak di samping bantal. Membuka layar hp dengan menggunakan ibu jarinya. Membuka wa untuk mengatur setting centang biru pesan lalu membuka pesan dari Ibu mertua. Agar Ibu tidak sadar jika pesan sudah terbaca.
[Kapan kamu berhasil mengambil perhiasan emas Dania, Sa? Tadi pihak MUA sudah datang ke rumah ini untuk menagih uang DP.]
[Kalau sampai Ibu terpaksa menjual perhiasan milik Ibu kamu wajib menggantinya. Jangan mentang-mentang perhiasan Ibu cukup untuk membayar DP kamu jadi mengandalkan Ibu. Ingat tanggung jawab kamu untuk membiayai kebutuhan kedua adikmu sampai menikah nanti.]
[Baca pesan Ibu dong Sa. Kamu ini lagi ngapaih sih?]
Apa? Ibu juga punya perhiasan emas yang cukup banyak? Apakah selama ini Ibu membelinya dari uangku? Lalu kenapa mereka masih memanfaatkanku seperti ini? Memikirkan semua itu membuat kepalaku jadi pusing lagi.
“Astaghfirullah,” hanya kalimat istighfar yang bisa aku ucapkan. Mungkin aku memang harus mengikhlaskan perhiasan itu. Sama seperti aku akan ikhlas meninggalkan rumah dan mobil tanpa meminta ganti rugi pada Mas Aksa.
Biarlah. Yang penting aku bisa hidup tenang dengan anak-anak. Setelah merasa lebih baik, mataku terasa berat hingga aku terlelap dalam alam mimpi. Rasanya baru sebentar aku tertidur saat mendengar keributan di luar. Aku segera keluar rumah tanpa mempedulikan sekitar. Ada dua orang berbadan besar yang tengah menggedor pintu rumah Ibu mertua.
“Buka pintunya. Bayar hutangmu sekarang,” teriak salah satu pria yang memekakan telinga.
Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandika
Astaghfirullah. Ibu benar-benar bikin malu saja. Dia masih berdebat dengan pegawaiku tentang pesanan itu. Padahal tinggal bilang di awal jika dia mau aku mengirimkan makanan ke rumah. Pasti akan aku lakukan. Biasanya juga seperti itu. Atau jika Ibu butuh uang, maka dia akan pergi saat sore hari. Makanya dia tidak pernah bertemu dengan pegawaiku yang hanya mengambil shift malam.Gegas kumatikan kompor. Melepas sarung tangan plastik. Agar bisa melerai perdebatan mereka. Para pembeli pasti tidak nyaman melihat adegan ini. Ibu selalu berteriak jika marah. Dia mulai mendorong pegawaiku yang bernama Lila hingga hampir terjatuh. Untung saja aku dengan sigap menahannya.“Cukup Bu. Jangan bikin malu di warungku. Kenapa tadi tidak minta aku antarkan makanan ke rumah?” tanyaku sudah berdiri di depannya. Wajah Ibu masih merah padam.“Ini semua juga gara-gara kamu yang tidak menyiapkan makanan apapun untuk kami. Seharusnya sebagai istri kamu tetap ingat dengan kewajiban menyediakan makanan untuk s
“Mempermalukan gimana? Aku hanya bertanya kenapa Ibu datang ke warung tanpa menelponku dulu. Biasanya juga aku yang mengantar kalau Ibu pesan kebab atau burger. Malah di balas Ibu yang mengatakan jika aku tidak bisa menjadi istri yang baik karena omset usaha sudah lebih tinggai dari gaji suaminya. Kamu tahu Mas, Ibu mengatakan semua itu di depan para pembeli dan pemilik ruko yang lain. Belum lagi ada beberapa orang yang tengah merekam. Aku harus melakukan klarifikasi terhadap tuduhan Ibu,” bantahku tidak terima.Sejak kami menikah watak Mas Aksa memang tidak pernah berubah. Dia seratus persen percaya pada perkataan Ibu dan kedua adiknya. Tanpa bertanya dulu padaku tentang detail kejadian yang sebenarnya. Siapa yang sudah menyebabkan masalah hingga membesar. Selalu aku saja yang di salahkan.“Perkataan Ibu benar kok. Kamu memang nggak becus jadi istri. Buktinya hari ini kamu tidak memasakan banyak makanan. Padahal kamu tahu kalau Ibu dan kedua adikku sudah pindah ke rumah ini Nia.” Mas
“Iya saya memang menantunya Bu Yana. Ada apa ya Bu?” tanyaku masih mencoba untuk sabar. Karena sudah ada banyak pelanggan yang mengantri untuk membeli kebab atau burger mini. Aku tidak mau mereka terganggu oleh masalah yang di sebabkan Ibu mertua.“Ibu mertuamu sudah pinjam uangku sebesar tiga juta. Bagimu yang punya usaha seperti ini pasti kecilkan? Tapi, bagiku uang tiga juta itu sangat berarti. Aku sudah berulang kali menelpon dan mengirim pesan padanya. Selalu di abaikan. Hingga pagi ini aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Ternyata sudah di ambil karena tidak bisa bayar hutang. Lalu aku pergi ke rumahmu karena menurut para tetangga Jeng Yana sekarang tinggal bersama anak dan menantunya. Dia tidak bisa mengelak lagi. Jeng Yana mengatakan padaku bisa menagih hutangnya padamu,” jelas wanita itu yang tidak kuketahui namanya.Ibu benar-benar keterlalun. Walaupun ini bukan pertama kalinya aku di suruh membayar hutang. Selama ini aku selalu bisa berkelit dengan alasan tidak punya u
Aku segera membilas tangan lalu berlari ke kamar mandi. Ibu sudah menggedor pintu panik. Begitu juga dengan Mas Aksa dan Sintya, adik bungsu suamiku. Sementara aku justru takut jika pintu kamar mandi jebol. Siapa yang akan memperbaikinya? Tentu saja aku.“Buka pintunya Ros. Kalau tidak Mas jebol sekarang,” seru Mas Aksa yang membuatku terbelalak kaget.“Kalau kamu jebol aku nggak mau ganti Mas. Pakai gajimu sendiri,” ancamku sambil melotot.Suara tangisan Rosi masih terdengar dari dalam kamar mandi. Ibu sudah mendelik marah mendengar perkataanku pada Mas Aksa, tapi tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya karena sibuk memanggil nama Rosi. Sang empunya nama justru terus berkata tidak mungkin berulang kali. Entah apa penyebab Rosi bisa sampai histeris seperti ini.“Jangan berkata seperti itu dong mbak. Situasi panik seperti ini malah mikirin pintu kamar mandi,” jawab Sintya ketus. Aku balas melotot padanya.“Aku ini sudah pusing bayar cicilan rumah, mobil dan motormu bulan depan. Belu
Dasar tukang teriak. Dia sama sekali tidak punya sopan santun di rumah orang lain. Walaupun rumah ini memang kelak akan menjadi milikku dan Mas Aksa. Aku tetap santai membantu membereskan buku pelajaran ke dalam tas untuk si kembar. Terdengar suara Ibu dan Mas Aksa yang sudah ikut nimbrung. Ibu tetap memaksa laki-laki bernama Varo itu untuk datang membawa keluarganya karena tidak mau malu di hadapan para tetangga. Sementara Varo juga tetap kekeh menolak.“Ibu kenapa Ayah dan Uti berantem sama orang asing di depan?” tanya Melati penasaran. Kami bertiga sudah pergi lagi ke dapur. Aku masih berdiri di depan kompor untuk membuat sarapan. Sedangkan Mawar dan Melati sudah duduk di kursi mereka.“Nggak tahu sayang. Biasa masalah orang dewasa. Kalian jangan tanya sama Ayah, Uti, Tante Rosi dan Tante Sintya ya,” pintaku agar mereka tidak di marahi. Si kembar menganggukan kepala mereka kompak.Kedua putriku sudah pintar untuk duduk sendiri di kursi. Entah saja kapan Mawar dan Melati tumbuh deng
Jawaban Mas Aksa membuat amarahku naik sampai ke puncaknya. Dia tidak paham dengan apa yang aku katakan tadi jika uangku tidak cukup untuk biaya pernikahan adiknya. Walaupun apa yang aku katakan hanya kebohongan semata, tetapi mendengar sendiri Mas Aksa yang terus merongrong uangku untuk memenuhi kebutuhan keluarganya membuatku menjadi semakin merasa tidak berguna di matanya. Aku ini hanyalah pemuas nafsu sekaligus sumber uang untuk mereka.Kedua tanganku terkepal erat di atas paha. Kutahan lisan yang hendak mengeluarkan segala bentuk caci maki untuknya. Kutahan juga air mata agar tidak menggenang. Jangan pernah mempermalukan diri sendiri di depan orang lain hanya karena orang jahat seperti Mas Aksa. Aku harus bisa menanggapinya tanpa harus marah-marah di depan para pembeli.“Maaf mas. Aku nggak bisa meyisihkan karena kebutuhan warung memang sedang habis. Belum lagi dengan harga kebutuhan pokok seperti tabung gas yang meroket tinggi. Hari ini semua pegawaiku juga akan gajian. Mana mun
Dadaku berdegup kencang. Perkataan Mas Aksa memang ada benarnya. Aku memang menyembunyikan sesuatu. Di lantai dua aku menyimpan emas, sertifikat bangunan, bpkb motor dan barang berharga lainnya di dalam brankas. Letak brankas juga di samping tempat tidur. Begitu menginjakan kaki di lantai dua brankas itu akan terlihat. Tidak ada pembatas yang akan menghalangi.Mas Aksa masih menunggu jawabanku sambil tersenyum. Sudah jelas jika mereka merencanakan sesuatu. Mungkin dalam benak Ibu dan Mas Aksa ingin mengambil perhiasan emasku yang sudah tidak lagi tersimpan lagi di rumah. Aku melihat dari rekaman CCTV jika Mas Aksa sudah berhasil membuka pintu lemari. Mencari ke setiap sudut kamar dan seisi rumah. Tetap saja perhiasan emasku tidak di temukan. Dia sudah pasti menduga jika aku akan menyimpannya di toko ini. Tapi, tanpa mereka ketahui aku juga menyimpan barang berharga lainnya.“Bukan begitu. Aku tidak akan melarangmu untuk bertemu anak-anak di warung. Tapi, lihat deh Mas sekarang jam be
Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan
Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?
Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa
Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak
“Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A
Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s
Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi
Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia