“Jangan Bu. Ada kamera CCTV di rumah ini,” ucap Mas Aksa yang membuat Ibu menghentikan gerakan tangannya. Tidak jadi menamparku membuatnya mendesah kesal.
Aku membuka mata sembari menatap mereka datar. Rupanya Mas Aksa bisa membaca rencanaku. Aku memang sudah berulang kali mengatakan jika ia atau keluarganya main tangan maka ia dan keluargakan akan di laporkan ke polisi. Belum lagi dengan fakta jika aku yang sudah menjadi tulang punggung keluarga maka akan membuat posisi Mas Aksa semakin berat di mata hukum. Karena ia tidak pernah memberikan nafkah yang layak untukku. Dengan santai kakiku melangkah menuju sofa lalu duduk disana. Di ikuti dengan Mas Aksa dan Ibu yang sudah duduk di sofa lain. Rupanya mereka masih mau marah hanya karena aku menggunakan uang untuk kebutuhan pokok dalam menghidupi keluarga ini. “Apa kamu nggak punya tabungan lain Nia? Gimana sama penghasilan hari ini? Pasti cukup untuk bayar sebagian DP yang sudah kami janjikan pada MUA.” Ibu kembali mencecarku. Seharusnya dia melakukan hal ini pada anak lelakinya. Bukan padaku yang hanya sebatas menantu untuknya. “Nggak ada Bu. Bahan makanan untuk jualan habis. Belum lagi aku juga harus beli beberapa merek minuman instan untuk persediaan toko yang belum terbeli dengan keuntungan hari ini. Sisanya sudah di belanjakan untuk kebutuhan rumah ini dan rumah Ibu. Termasuk bahan makanan kita untuk seminggu ke depan. Tuh masih ada di dapur. Belum aku tata. Satu lagi buat bayar kredit motor anak bungsu Ibu.” Tunjukku mengarah ke dapur. Wajah Ibu semakin masam mendengar penjelasanku. “Bukannya kamu dapat keringanan membayar ruko hanya lima juta untuk setahun? Kata Aksa kemarin uang tabungan kamu ada tiga puluh juta.” Perkataan Ibu mertua membuatku memandang Mas Aksa tajam. Padahal aku sudah berulang kali mengatakan padanya untuk tidak mengatakan jumlah uang tabungan yang tersimpan di dalam lemari. Karena itu semua untuk kebutuhan kami. Belum lagi jika Ibu sudah minta barang-barang mahal. Ia sering kali marah jika aku tidak mau menyanggupinya. Entah sudah berapa juta kali aku dan Ibu adu mulut karena gaya hidupnya yang hedon. Aku memang menyanggupi untuk memenuhi kebutuhan pokok Ibu dan kedua adik iparku. Namun tidak dengan memberikan uang hanya untuk shopping demi bisa bergaya seperti orang kaya. “Maaf sebelumnya Bu. Jangan mencari uang tabunganku karena itu untuk kebutuhan kita semua. Jangan bicara dulu karena aku belum selesai.” Kalimat peringatan itu keluar saat Ibu sudah membuka mulutnya. Hendak menyela seperti biasa. “Aku adalah tulang punggung untuk keluarga ini. Bukan anak lelakimu yang hanya punya gaji dua juta saja. Itupun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian semua. Tadi Ibu marah karena aku tidak menunda membayar kontrakan, asal kalian tahu kakak sepupuku sudah menjual semua rukonya di pasar pada seorang temannya. Aku tetap dapat keringanan karena permintaan kakak sepupuku.” Mas Aksa dan Ibu membelalakan mata mereka kaget. Aku memang baru memberi tahu mereka hari ini. Walaupun masih ada sedikit rahasia yang aku sembunyikan. Ucapanku tadi tidak sepenuhnya jujur. “Karena itulah aku tidak bisa lagi menunda pembayaran ruko seperti dulu. Saat Mas Aksa minta di belikan mobil dengan kredit. Alasannya untuk keluarga, tapi aku dan anak-anak jarang memakainya. Oh iya, pembayaran kredit mobil dan rumah juga jatuh tempo kemarin. Tentu saja aku tidak bisa menundanya lagi bukan?” Ibu terdiam. Dia bisa hidup enak dengan gaji Mas Aksa yang di kuasai hampir sepenuhnya. Di tambah lagi uang dariku. Selama ini aku berpikir dengan membiayai kebutuhan Ibu maka hati Mas Aksa akan luluh. Tidak pernah lepas dalam setiap doa aku berharap agar perangai Mas Aksa berubah. Tidak berat sebelah pada ibunya. Karena aku masih memegang janji pada Ibuku bahwa tidak akan menggugat cerai selama bukan KDRT atau perselingkuhan. Keheningan melingkupi ruang tamu ini. Wajah Ibu dan Mas Aksa sangat muram. Frustasi bercampur bingung darimana bisa mendapat uang untuk menggelar pesta pernikahan adik iparku. Sistem pembayaran di desa berbeda dengan sistem pembayaran di kota. Pihak calon pengantin perempuan cukup memberikan DP pada MUA dan tukang dekor panggung. Sisanya akan di bayar dari uang sumbangan para tamu yang datang. Namun, uang DP itu yang tidak mereka miliki. Sehingga mengincar tabungan yang aku kumpulkan selama beberapa bulan ini. “Kalau tidak ada yang mau di bicarakan lagi, aku permisi dulu. Mau merapikan kamar yang sudah di buat berantakan sama Mas Aksa,” sindirku lalu beranjak dari sofa. Baru saja aku hendak masuk ke dalam kamar, Ibu sudah memanggilku lagi. Aku berhenti melangkah lalu menoleh pada Ibu. “Ibu akan cari pinjaman untuk DP. Kumpulkan uang dari jualan di warungmu agar bisa membayar hutang itu,” ujar Ibu yang membuatku mengepalkan tangan geram. Seenaknya dia bisa bicara agar aku yang akan membayar hutangnya kelak. “Entahlah Bu. Karena urusan perut dan warung kita lebih penting untukku. Lebih baik Mas Aksa yang membayar hutang. Karena untuk kebutuhan makan saja Ibu masih ikut kutanggung. Ibu juga jangan lupa jika aku harus menabung untuk membayar kredit rumah, ,motor dan mobil bulan depan. Kalau mau aku membiayai pernikahan anak Ibu maka over kredit saja mobil itu agar tidak perlu mencicil lagi setiap bulan. Gampangkan?” “DANIA.” Bentak Mas Aksa tidak terima. Aku hanya tersenyum sinis padanya lalu masuk ke dalam kamar. Mengunci pintu agar Mas Aksa tidak bisa masuk ke dalam. Sekali lagi air mataku tumpah sudah. Aku benar-benar tidak kuat lagi menjalani pernikahan ini. *** Enam tahun membina biduk rumah tangga tidak menyisakan cinta lagi untuk Mas Aksa. Ini semua juga salahku yang menikah karena di butakan cinta. Tanpa mencari tahu lebih dulu bagaimana sifat aslinya. Tanpa mencari tahu lebih dulu bagaimana latar belakang keluarganya. Tiga bulan setelah perkenalan kami aku meminta agar kami menikah. Karena aku tidak ingin pacaran lebih lama yang bisa mengundang keinginan untuk berbuat zina. Awalnya aku masih bekerja sebagai teller di salah satu bank. Aku di tempatkan di desa lain yang jaraknya tiga puluh menit dengan mengendarai motor. Mas Aksa hanya memberiku nafkah lima puluh ribu untuk sebulan. Masalah yang menyulut pertengkaran kami. Setahun pernikahan benar-benar di warnai dengan cekcok. Aku hanya bisa menangis dalam diam karena tidak bisa curhat pada siapapun tentang masalah rumah tangga. Hanya pada adik perempuanku, aku bisa berkeluh kesah. Satu-satunya keluarga yang tersisa setelah Ibu meninggal. Enam bulan setelah aku menikah dengan Mas Aksa. Rasanya hati sudah mantap untuk berpisah. Karena Mas Aksa tidak mau memberikan nafkah yang layak. Namun janji pada Ibu selalu terngiang di kepala. Untuk tidak bercerai jika bukan karena masalah perselingkuhan atau KDRT. Aku paham kenapa Ibu membuat berjanji seperti itu. Stigma janda sangat negatif di mata masyarakat. Banyak hal yang tidak mengenakan di alami Ibu usai berpisah dari Bapak karena Ibu tidak mau di poligami. Pasang surut kehidupan yang kami lalui membuat Ibu benar-benar selektif dalam memilih pasangan untuk kedua putrinya. Namun akhirnya beliau setuju setelah aku membuat janji itu. Satu tahun setelah pernikahan aku hamil. Lalu memutuskan untuk resign karena dokter menyarankan bedrest. Ibu mertua uring-uringan karena uang Mas Aksa lebih banyak di habiskan untukku. Padahal itu semua juga demi kedua cucunya yang saat itu masih ada di dalam perut. Saat usia anak-anakku menginjak satu tahun, adikku memberi saran untuk membuka warung kebab, burger dan sosis di ruko depan pasar dari penjualan rumah Ibu yang sudah di bagi dua dengannya. Kebetulan pemiliknya adalah kakak sepupu. Awalnya aku menyewa ruko satu lantai dengan harga lima juta per tahun. Aku membayar separuh dari harga ruko karena kakak sepupu yang memaksa. Katanya sebagai saudara harus saling membantu. Usaha warung ini maju pesat karena terletak di lokasi yang strategis. Aku mengatur keuangan dalam buku jurnal. Agar masih bisa sedikit menabung karena uangku selalu habis untuk menambal kebutuhan dua rumah sekaligus. Yaitu rumah ini dan rumah Ibu mertua. Belum lagi dengan cicilan kredit rumah yang di bebankan padaku. Syukurlah aku bisa menyisihkan tabungan tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan keluarganya. Hingga aku pindah ke ruko dua lantai agar anak-anak bisa nyaman selama di ajak ke toko. Lamunanku buyar saat mendengar suara HP yang berdering. Ada pesan masuk dari adikku. Tangan ini menyeka air mata yang masih menggenang di pipi dan segera membalas pesannya. Turun dari tempat tidur lalu memasukan semua pakaian yang tadi sempat di acak-acak oleh Mas Aksa. Mataku tertuju pada kotak perhiasan yang terjatuh di bawah lemari. Seketika dadaku berdegup kencang. Kotak itu berisi perhiasan yang aku beli sebagai invetasi untuk diriku sendiri. Kotaknya sengaja di simpan di bawah tumpukan baju. Dengan tangan gemetar aku membuka kotak yang terjatuh. Isinya sudah kosong tanpa menyisakan perhiasan apapun.Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Kutekuk kedua kaki untuk tempat bersembunyi saat menangis. Ya Allah. Sudah dapat di pastikan jika Mas Aksa yang mengambil semua perhiasanku tadi. Saat dia mengacak-acak lemari karena mengira aku menyembunyikan uang tabungan di bawah baju. Dia melihat kotak perhiasan yang sudah aku beli sejak tahun lalu tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan Ibu mertua. Teganya dia melakukan ini padaku. Perhiasan emas yang ia serahkan sebagai mahar sudah aku jual sebagai tambahan modal untuk membuka warung. Seharusnya dia tahu jika semua perhiasan di dalam kotak itu adalah milikku karena bentuknya berbeda dengan perhiasan yang di berikan olehnya dulu.Nyatanya aku memang sudah teledor dalam hal ini. Dengan yakin menyimpan kotak perhiasan di bawah tumpukan baju. Merasa Mas Aksa atau ibu tidak akan pernah mengetahuinya karena Mas Aksa tidak pernah mau mengambil pakaian sendirinya. Padahal perhiasan yang aku simpan tergolong mahal. Jika di
Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.Diam saja sepert
Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandika
Astaghfirullah. Ibu benar-benar bikin malu saja. Dia masih berdebat dengan pegawaiku tentang pesanan itu. Padahal tinggal bilang di awal jika dia mau aku mengirimkan makanan ke rumah. Pasti akan aku lakukan. Biasanya juga seperti itu. Atau jika Ibu butuh uang, maka dia akan pergi saat sore hari. Makanya dia tidak pernah bertemu dengan pegawaiku yang hanya mengambil shift malam.Gegas kumatikan kompor. Melepas sarung tangan plastik. Agar bisa melerai perdebatan mereka. Para pembeli pasti tidak nyaman melihat adegan ini. Ibu selalu berteriak jika marah. Dia mulai mendorong pegawaiku yang bernama Lila hingga hampir terjatuh. Untung saja aku dengan sigap menahannya.“Cukup Bu. Jangan bikin malu di warungku. Kenapa tadi tidak minta aku antarkan makanan ke rumah?” tanyaku sudah berdiri di depannya. Wajah Ibu masih merah padam.“Ini semua juga gara-gara kamu yang tidak menyiapkan makanan apapun untuk kami. Seharusnya sebagai istri kamu tetap ingat dengan kewajiban menyediakan makanan untuk s
“Mempermalukan gimana? Aku hanya bertanya kenapa Ibu datang ke warung tanpa menelponku dulu. Biasanya juga aku yang mengantar kalau Ibu pesan kebab atau burger. Malah di balas Ibu yang mengatakan jika aku tidak bisa menjadi istri yang baik karena omset usaha sudah lebih tinggai dari gaji suaminya. Kamu tahu Mas, Ibu mengatakan semua itu di depan para pembeli dan pemilik ruko yang lain. Belum lagi ada beberapa orang yang tengah merekam. Aku harus melakukan klarifikasi terhadap tuduhan Ibu,” bantahku tidak terima.Sejak kami menikah watak Mas Aksa memang tidak pernah berubah. Dia seratus persen percaya pada perkataan Ibu dan kedua adiknya. Tanpa bertanya dulu padaku tentang detail kejadian yang sebenarnya. Siapa yang sudah menyebabkan masalah hingga membesar. Selalu aku saja yang di salahkan.“Perkataan Ibu benar kok. Kamu memang nggak becus jadi istri. Buktinya hari ini kamu tidak memasakan banyak makanan. Padahal kamu tahu kalau Ibu dan kedua adikku sudah pindah ke rumah ini Nia.” Mas
“Iya saya memang menantunya Bu Yana. Ada apa ya Bu?” tanyaku masih mencoba untuk sabar. Karena sudah ada banyak pelanggan yang mengantri untuk membeli kebab atau burger mini. Aku tidak mau mereka terganggu oleh masalah yang di sebabkan Ibu mertua.“Ibu mertuamu sudah pinjam uangku sebesar tiga juta. Bagimu yang punya usaha seperti ini pasti kecilkan? Tapi, bagiku uang tiga juta itu sangat berarti. Aku sudah berulang kali menelpon dan mengirim pesan padanya. Selalu di abaikan. Hingga pagi ini aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Ternyata sudah di ambil karena tidak bisa bayar hutang. Lalu aku pergi ke rumahmu karena menurut para tetangga Jeng Yana sekarang tinggal bersama anak dan menantunya. Dia tidak bisa mengelak lagi. Jeng Yana mengatakan padaku bisa menagih hutangnya padamu,” jelas wanita itu yang tidak kuketahui namanya.Ibu benar-benar keterlalun. Walaupun ini bukan pertama kalinya aku di suruh membayar hutang. Selama ini aku selalu bisa berkelit dengan alasan tidak punya u
Aku segera membilas tangan lalu berlari ke kamar mandi. Ibu sudah menggedor pintu panik. Begitu juga dengan Mas Aksa dan Sintya, adik bungsu suamiku. Sementara aku justru takut jika pintu kamar mandi jebol. Siapa yang akan memperbaikinya? Tentu saja aku.“Buka pintunya Ros. Kalau tidak Mas jebol sekarang,” seru Mas Aksa yang membuatku terbelalak kaget.“Kalau kamu jebol aku nggak mau ganti Mas. Pakai gajimu sendiri,” ancamku sambil melotot.Suara tangisan Rosi masih terdengar dari dalam kamar mandi. Ibu sudah mendelik marah mendengar perkataanku pada Mas Aksa, tapi tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya karena sibuk memanggil nama Rosi. Sang empunya nama justru terus berkata tidak mungkin berulang kali. Entah apa penyebab Rosi bisa sampai histeris seperti ini.“Jangan berkata seperti itu dong mbak. Situasi panik seperti ini malah mikirin pintu kamar mandi,” jawab Sintya ketus. Aku balas melotot padanya.“Aku ini sudah pusing bayar cicilan rumah, mobil dan motormu bulan depan. Belu
Dasar tukang teriak. Dia sama sekali tidak punya sopan santun di rumah orang lain. Walaupun rumah ini memang kelak akan menjadi milikku dan Mas Aksa. Aku tetap santai membantu membereskan buku pelajaran ke dalam tas untuk si kembar. Terdengar suara Ibu dan Mas Aksa yang sudah ikut nimbrung. Ibu tetap memaksa laki-laki bernama Varo itu untuk datang membawa keluarganya karena tidak mau malu di hadapan para tetangga. Sementara Varo juga tetap kekeh menolak.“Ibu kenapa Ayah dan Uti berantem sama orang asing di depan?” tanya Melati penasaran. Kami bertiga sudah pergi lagi ke dapur. Aku masih berdiri di depan kompor untuk membuat sarapan. Sedangkan Mawar dan Melati sudah duduk di kursi mereka.“Nggak tahu sayang. Biasa masalah orang dewasa. Kalian jangan tanya sama Ayah, Uti, Tante Rosi dan Tante Sintya ya,” pintaku agar mereka tidak di marahi. Si kembar menganggukan kepala mereka kompak.Kedua putriku sudah pintar untuk duduk sendiri di kursi. Entah saja kapan Mawar dan Melati tumbuh deng
Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan
Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?
Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa
Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak
“Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A
Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s
Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi
Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba
“Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia