Share

Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!
Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!
Author: Alita novel

Bab 1

Author: Alita novel
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Cklek

“Apa yang kamu lakukan mas?” Teriakku kaget melihat kamar yang sudah seperti kapal pecah.

Baju sudah berhamburan di atas tempat tidur. Bahkan di lantai. Make up yang seharusnya tertata rapi di atas meja rias sudah berantakan. Sementara suamiku, Mas Aksa masih sibuk mengobrak-abrik lemari. Seperti kesetanan saja.

“Dimana kamu menyimpan uang tabunganmu itu Nia?” Mas Aksa justru balik bertanya padaku. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Seolah dia sedang mencari hartanya yang sudah di curi. Padahal tabungan yang ia maksud berasal dari pendapatanku mengelola warung.

“Kenapa kamu pakai menanyakan uang tabungan yang kusimpan di lemari? Tidak seperti biasanya saja,” jawabku kesal karena harus merapikan baju yang di keluarkan olehnya. Menumpuk semua baju itu di atas tempat tidur lebih dulu sebelum di lipat kembali.

“Untuk dp jasa tukang rias pengantin dan gedung untuk acara pernikahan adikku.”

“Apa?” Gerakan tanganku seketika terhenti. Kutatap manik matanya yang serius. Untuk yang ke sekian kalinya Mas Aksa meminta uangku lagi untuk kebutuhan keluarganya.

Kuhela nafas untuk meredakan segala emosi yang sudah berkecamuk. Setelah selama ini aku mengalah dengan membiayai kebutuhan kami, Mas Aksa masih melonjak dengan memintaku untuk membiayai pernikahan adiknya. Keterlaluan sekali.

“Mana uangnya? Aku butuh sekarang untuk di berikan pada Ibu.” Paksa Mas Aksa sambil menadahkan tangan padaku. Dasar tidak tahu malu. Padahal posisinya sebagai suami dan kepala rumah tangga tidak bisa memberikan nafkah yang layak untukku.

Kembali ku ambil baju di lantai lalu meletakannya di atas tempat tidur. Dengan santai aku menggantungkan tas lalu mengambil jurnal keuangan yang tersimpan di laci meja rias. Menunjukkan jurnal itu tepat di depan wajah Mas Aksa.

“Sudah aku pakai untuk bayar kontrakan ruko. Selain itu, aku_”

“Apa kamu tidak bisa meminta keringanan? Pemilik ruko itukan kakak sepupumu sendiri. Kalau memang uangnya sudah terpakai untuk bayar ruko, masih ada sisa sepuluh juta lagikan? Kemarin aku hitung uang tabunganmu ada tiga puluh juta,” terang Mas Aksa membuatku menganga tidak percaya.

Meskipun ini bukan pertama kalinya Mas Aksa mengambil uang yang aku tabung untuk kebutuhan Ibu dan adiknya, namun tetap saja hatiku terasa berdarah. Selalu keluarganya yang di utamakan. Tanpa memikirkan kebutuhan hidup istri dan kedua anak kembarnya. Kepalaku terasa pusing jika sudah membicarakan perihal uang dengan Mas Aksa.

“Kamu lupa apa gimana sih Mas? Kemarin itu jatuh tempo bayar kredit rumah dan mobil. Tidak ada uang yang tersisa dari tabungan yang sudah aku kumpulkan. Bahkan untuk makan besok saja kita harus sedikit berhemat karena bahan makanan untuk jualan besok juga sudah habis. Jadi di putar dulu untuk belanja warung dan kebutuhan rumah tangga. Belum lagi aku masih harus membayar kredit motor adik bungsumu.”

“Masa sih?” Tanya Mas Aksa tidak percaya.

“Kamu pasti mengarang karena tidak mau memberikan uang pada keluargakukan, Nia?” Tunjuknya tanpa tedeng aling-aling. Seolah dia lupa ingatan saat merengek minta di belikan mobil secara kredit.

Aku melemparkan buku jurnalku yang di abaikan padanya. Dengan mata yang mendelik tajam sebagai isyarat untuknya mengambil bukuku yang terjatuh. Mas Aksa sudah mengambil buku itu lalu melihat catatan jurnalku untuk kebutuhan kemarin.

“Ada kwitansi bukti pembayaran kredit juga. Lihat tanggalnya baik-baik,” ucapku penuh penekanan. Tidak ingin berteriak lagi agar tidak mengganggu anak-anak yang sudah tertidur.

Baru setengah jam yang lalu aku dan anak-anak sampai ke rumah. Setelah enam jam berkutat di warung untuk jualan. Aku membuka usaha warung kebab, burger dan sosis. Di tambah dengan es teh, es jeruk, aneka jus buah dan minuman sachet kemasan. Dalam sehari aku bisa menghasilkan omset kotor sebesar tujuh ratus ribu sampai satu juta rupiah jika sedang ramai. Kalau sedang sepi sekitar dua ratus sampai lima ratus ribu rupiah. Semuanya kucatat dalam buku jurnal untuk membagi pengeluaran warung dengan pengeluaran rumah tangga.

Sudah tiga tahun ini Mas Aksa hanya memberikan nafkah lima puluh ribu untuk semingu. Itu semua karena gajinya yang hanya UMR di berikan pada Ibu dan kedua adiknya. Dengan alasan mereka masih sekolah. Namun, setelah lulus kedua adik Mas Aksa tetap menggantungkan hidup padanya karena mereka hanya bekerja sebagai pegawai toko kelontong dan warung makan dengan gaji yang kecil. Jika uang Mas Aksa habis maka akulah yang harus memenuhi kebutuhan hidup mereka.

“Kenapa semua kredit harus jatuh tempo di saat yang bersamaan sih?” Gumam Mas Aksa seorang diri. Ia sudah mengacak rambutnya frustasi.

Aku sendiri tengah sibuk melipat pakaian yang tadi di acak-acak oleh suamiku. Rasanya tubuh sudah sangat lelah. Ingin segera mencatat di buku jurnal lalu tidur. Agar besok pagi bisa bangun tepat waktu seperti biasa. Malah harus merapikan kekacauan yang di buat Mas Aksa.

“Salah sendiri kamu maksa kredit mobil saat kita juga masih membayar kredit rumah. Padahal aku sudah bilang kalau pembayaran kredit rumah dan kontrakan ruko itu sangat besar. Pengeluaran akan bertambah jika kita harus kredit mobil juga.” Jawabku sinis.

“Apa kamu tidak punya uang tabungan lagi di bank Nia? Masa sih warungmu yang ramai hanya cukup untuk kebutuhan hidup kita dan bayar kredit?” Kini Mas Aksa sudah duduk di sampingku.

Warungku memang ramai karena lokasinya yang sangat strategis. Awal membangun usaha aku menyewa ruko milik kakak sepupuku di pinggiran pasar. Ada SD, SMP, SMA, Mts, MA bahkan pondok pesantren di dekat pasar. Sehingga jualanku selalu habis. Aku akan stok bahan untuk jualan dua atau tiga hari sekali. Mas Aksa tahu hal itu dari Ibu yang kadang minta uang padaku di warung.

“Semua harga barang sekarang naik Mas. Untuk kebutuhan kita dan si kembar saja dalam sebulan bisa habis sepuluh juta. Itu semua untuk memenuhi gizi anak-anak. Kamu juga selalu minta di buatkan makanan yang enakkan?” terangku menunjuk jurnal dan resi dari toko yang aku dapat.

“Belum lagi si kembar yang sudah masuk TK besar tahun ini. Uang jajan dan bekal mereka itu cukup banyak. Kalau uangku ada sisa setelah di tabung untuk membayar ini dan itu, aku berikan pada Ibu setiap beliau datang ke warung. Uang untuk Ibumu juga aku catat agar tidak bingung mengatur daftar belanja untuk hari berikutnya. Oh iya, kebutuhan rumah tangga di rumah Ibu sebagian besar juga masih aku tanggung. Jadi, mana bisa aku menyisihkan uang lain di bank?”

Mas Aksa terdiam. Dia membanting bukuku ke lantai lalu keluar dari kamar. Suara pintu depan yang terbuka dan tertutup menandakan jika Mas Aksa pergi. Pasti ke rumah Ibunya yang ada tepat di samping rumah ini. Mungkin untuk mengadu jika aku tidak bisa membantu biaya pernikahan adik perempuannya. Selalu seperti itu. Setiap kami bertengkar maka dia akan pergi ke rumah Ibunya untuk mengadu.

Air mataku sudah mengalir deras. Kutahan isakan yang hendak keluar agar tidak mengganggu tidur anak-anak. Kupaksa tangan tetap bekerja melipat baju. Enam tahun pernikahan yang tidak membahagiakan ini tidak bisa kuakhiri begitu saja. Teringat dengan pesan mendiang Ibu saat aku memaksa menikah dengan Mas Aksa karena cinta.

Bahwa aku tidak boleh memutuskan bercerai jika Mas Aksa tidak pernah selingkuh dan main tangan. Memaafkan semua sikapnya sambil berdoa agar suamiku bisa berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Tapi, aku sudah tidak sanggup lagi Bu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku lelah menjadi tulang punggung untuk keluarga mereka.

***

“Daniaaaa.” Teriak Ibu mertua begitu masuk ke dalam rumah. Belum ada setengah jam Mas Aksa pergi ke rumah Ibunya. Mereka sudah datang kesini.

Aku keluar dari kamar. Mas Aksa hanya kembali dengan Ibunya. Tidak ada kedua adik iparku yang biasanya minta jatah uang.

“Kenapa kamu bodoh sekali sih? Uang untuk bayar kontrakan ruko bisa di pending dulu. Setidaknya cukup untuk memberikan dp pada tukang rias,” ucap Ibu penuh amarah.

“Kenapa aku harus ikut memikirkan pernikahan anak Ibu? Aku juta butuh uang untuk menjalankan usahaku,” balasku tidak terima.

“Dasar menantu tidak tahu diri.”

Tangan Ibu sudah melayang hendak menamparku. Aku masih berdiri tegak dengan mata terpejam. Siap menerima tamparannya.

Related chapters

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 2

    “Jangan Bu. Ada kamera CCTV di rumah ini,” ucap Mas Aksa yang membuat Ibu menghentikan gerakan tangannya. Tidak jadi menamparku membuatnya mendesah kesal. Aku membuka mata sembari menatap mereka datar. Rupanya Mas Aksa bisa membaca rencanaku. Aku memang sudah berulang kali mengatakan jika ia atau keluarganya main tangan maka ia dan keluargakan akan di laporkan ke polisi. Belum lagi dengan fakta jika aku yang sudah menjadi tulang punggung keluarga maka akan membuat posisi Mas Aksa semakin berat di mata hukum. Karena ia tidak pernah memberikan nafkah yang layak untukku. Dengan santai kakiku melangkah menuju sofa lalu duduk disana. Di ikuti dengan Mas Aksa dan Ibu yang sudah duduk di sofa lain. Rupanya mereka masih mau marah hanya karena aku menggunakan uang untuk kebutuhan pokok dalam menghidupi keluarga ini. “Apa kamu nggak punya tabungan lain Nia? Gimana sama penghasilan hari ini? Pasti cukup untuk bayar sebagian DP yang sudah kami janjikan pada MUA.” Ibu kembali mencecarku. Sehar

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 3

    Tubuhku rasanya sudah sangat lemas. Tidak ada tenaga lagi yang tersisa. Kutekuk kedua kaki untuk tempat bersembunyi saat menangis. Ya Allah. Sudah dapat di pastikan jika Mas Aksa yang mengambil semua perhiasanku tadi. Saat dia mengacak-acak lemari karena mengira aku menyembunyikan uang tabungan di bawah baju. Dia melihat kotak perhiasan yang sudah aku beli sejak tahun lalu tanpa sepengetahuan Mas Aksa dan Ibu mertua. Teganya dia melakukan ini padaku. Perhiasan emas yang ia serahkan sebagai mahar sudah aku jual sebagai tambahan modal untuk membuka warung. Seharusnya dia tahu jika semua perhiasan di dalam kotak itu adalah milikku karena bentuknya berbeda dengan perhiasan yang di berikan olehnya dulu.Nyatanya aku memang sudah teledor dalam hal ini. Dengan yakin menyimpan kotak perhiasan di bawah tumpukan baju. Merasa Mas Aksa atau ibu tidak akan pernah mengetahuinya karena Mas Aksa tidak pernah mau mengambil pakaian sendirinya. Padahal perhiasan yang aku simpan tergolong mahal. Jika di

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 4

    Pandanganku sempat berkunang-kunang sejenak. Rasa pusing yang menyergap membuatku tidak merespon ucapan Mas Aksa yang sudah memapah tubuhku untuk duduk di sisi tempat tidur. Aku bisa melihat ia bicara memalui mulutnya yang bergerak. Tapi, tidak ada suara yang masuk ke gendang telinga. Aku tidak bisa mendengar Mas Aksa bicara.Anehnya aku sama sekali tidak merasa sedih dengan tamparan yang di berikan Mas Aksa. Justru aku merasa sangat senang. Teringat dengan janji pada Ibu yang tidak akan pernah menggugat cerai jika Mas Aksa tidak melakukan KDRT atau perselingkuhan. Kini dia sudah melakukan salah satu pantangan dalam janji kami. Membuatku bisa mengajukan gugatan cerai kapanpun aku mau.“Dania aku minta maaf. Aku benar-benar tidak sengaja sudah menamparmu. Dania apa kamu mendengarku?” tanya Mas Aksa panik karena sejak tadi aku sama sekali tidak merespon ucapannya. Walaupun pendengarkanku sudah kembali seperti semula. Aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Mas Aksa.Diam saja sepert

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 5

    Kedua orang itu terus menggedor pintu rumah Ibu mertua. Hingga membuat para tetangga juga keluar dari rumah mereka. Aku kembali masuk ke dalam untuk mencari Mas Aksa. Tapi, tidak bisa menemukan keberadaannya di rumah ini. Mungkinkah dia sudah berada di rumah Ibunya sejak tadi? Kakiku kembali melangkah menuju pintu depan. Sudah ada Pak RT yang bertanya alasan kedua orang itu menggedor rumah mertuaku sepagi ini. Sampai mengganggu ketenangan warga sekitar.Dapat aku dengar salah satu pria itu sudah bicara jika Ibu punya hutang dua puluh juta pada rentenir. Dengan bunga yang sudah berlipat ganda karena jarang di bayar. Pak RT kemudian memanggil nama Ibu agar membuka pintu. Tidak lama kemudian wajah Mas Aksa sudah muncul dari rumah itu. Ternyata benar jika dia sudah lebih dulu datang ke rumah Ibunya. Mungkin masuk lewat pintu belakang karena kedatangan dua rentenir itu.Tanpa mempedulikan keributan yang terjadi, aku masuk ke dalam rumah. Membangunkan anak-anak untuk sholat subuh. Memandika

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 6

    Astaghfirullah. Ibu benar-benar bikin malu saja. Dia masih berdebat dengan pegawaiku tentang pesanan itu. Padahal tinggal bilang di awal jika dia mau aku mengirimkan makanan ke rumah. Pasti akan aku lakukan. Biasanya juga seperti itu. Atau jika Ibu butuh uang, maka dia akan pergi saat sore hari. Makanya dia tidak pernah bertemu dengan pegawaiku yang hanya mengambil shift malam.Gegas kumatikan kompor. Melepas sarung tangan plastik. Agar bisa melerai perdebatan mereka. Para pembeli pasti tidak nyaman melihat adegan ini. Ibu selalu berteriak jika marah. Dia mulai mendorong pegawaiku yang bernama Lila hingga hampir terjatuh. Untung saja aku dengan sigap menahannya.“Cukup Bu. Jangan bikin malu di warungku. Kenapa tadi tidak minta aku antarkan makanan ke rumah?” tanyaku sudah berdiri di depannya. Wajah Ibu masih merah padam.“Ini semua juga gara-gara kamu yang tidak menyiapkan makanan apapun untuk kami. Seharusnya sebagai istri kamu tetap ingat dengan kewajiban menyediakan makanan untuk s

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 7

    “Mempermalukan gimana? Aku hanya bertanya kenapa Ibu datang ke warung tanpa menelponku dulu. Biasanya juga aku yang mengantar kalau Ibu pesan kebab atau burger. Malah di balas Ibu yang mengatakan jika aku tidak bisa menjadi istri yang baik karena omset usaha sudah lebih tinggai dari gaji suaminya. Kamu tahu Mas, Ibu mengatakan semua itu di depan para pembeli dan pemilik ruko yang lain. Belum lagi ada beberapa orang yang tengah merekam. Aku harus melakukan klarifikasi terhadap tuduhan Ibu,” bantahku tidak terima.Sejak kami menikah watak Mas Aksa memang tidak pernah berubah. Dia seratus persen percaya pada perkataan Ibu dan kedua adiknya. Tanpa bertanya dulu padaku tentang detail kejadian yang sebenarnya. Siapa yang sudah menyebabkan masalah hingga membesar. Selalu aku saja yang di salahkan.“Perkataan Ibu benar kok. Kamu memang nggak becus jadi istri. Buktinya hari ini kamu tidak memasakan banyak makanan. Padahal kamu tahu kalau Ibu dan kedua adikku sudah pindah ke rumah ini Nia.” Mas

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 8

    “Iya saya memang menantunya Bu Yana. Ada apa ya Bu?” tanyaku masih mencoba untuk sabar. Karena sudah ada banyak pelanggan yang mengantri untuk membeli kebab atau burger mini. Aku tidak mau mereka terganggu oleh masalah yang di sebabkan Ibu mertua.“Ibu mertuamu sudah pinjam uangku sebesar tiga juta. Bagimu yang punya usaha seperti ini pasti kecilkan? Tapi, bagiku uang tiga juta itu sangat berarti. Aku sudah berulang kali menelpon dan mengirim pesan padanya. Selalu di abaikan. Hingga pagi ini aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Ternyata sudah di ambil karena tidak bisa bayar hutang. Lalu aku pergi ke rumahmu karena menurut para tetangga Jeng Yana sekarang tinggal bersama anak dan menantunya. Dia tidak bisa mengelak lagi. Jeng Yana mengatakan padaku bisa menagih hutangnya padamu,” jelas wanita itu yang tidak kuketahui namanya.Ibu benar-benar keterlalun. Walaupun ini bukan pertama kalinya aku di suruh membayar hutang. Selama ini aku selalu bisa berkelit dengan alasan tidak punya u

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 9

    Aku segera membilas tangan lalu berlari ke kamar mandi. Ibu sudah menggedor pintu panik. Begitu juga dengan Mas Aksa dan Sintya, adik bungsu suamiku. Sementara aku justru takut jika pintu kamar mandi jebol. Siapa yang akan memperbaikinya? Tentu saja aku.“Buka pintunya Ros. Kalau tidak Mas jebol sekarang,” seru Mas Aksa yang membuatku terbelalak kaget.“Kalau kamu jebol aku nggak mau ganti Mas. Pakai gajimu sendiri,” ancamku sambil melotot.Suara tangisan Rosi masih terdengar dari dalam kamar mandi. Ibu sudah mendelik marah mendengar perkataanku pada Mas Aksa, tapi tidak ada ucapan yang keluar dari mulutnya karena sibuk memanggil nama Rosi. Sang empunya nama justru terus berkata tidak mungkin berulang kali. Entah apa penyebab Rosi bisa sampai histeris seperti ini.“Jangan berkata seperti itu dong mbak. Situasi panik seperti ini malah mikirin pintu kamar mandi,” jawab Sintya ketus. Aku balas melotot padanya.“Aku ini sudah pusing bayar cicilan rumah, mobil dan motormu bulan depan. Belu

Latest chapter

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 90

    Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 89

    Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 88

    Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 87

    Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 86

    “Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 85

    Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 84

    Kami pergi ke rumah Pak RT bersama. Bapak di rumah bersama anak-anak. Aku memastikan Bapak mengunci pagar dari dalam lalu keluar. Tidak lupa kuingatkan Bapak untuk mengunci semua pintu di rumah termasuk menambahkan gembok. Walau dengan perasaan tidak nyam, kami tetap harus pergi ke rumah Pak RT. Di rumah Pak RT, Varo diikat dengan tali tambang dan mulut yang ditutup serbet. Melihat kedatanganku, mata pria itu melotot tajam. Salah satu warga lalu melepas serbet yang menutup mulutnya agar dia bisa bicara saat di interogasi. Setelah penutup mulutnya terlepas, Varo justru terdiam. Dia tidak lagi mengerang seperti tadi.“Kenapa anda berusaha masuk ke rumah Bu Nia dengan membawa pisau kecil? Anda tahu itu termasuk tindak kejahatan yang bisa membuat anda dijebloskan ke penjara?” tanya Pak RT langsung pada intinya. Varo tidak menjawab apapun. Dia hanya menunduk. Entah kenapa sekarang dia justru diam. Padahal sosok Varo yang kukenal tidak seperti ini.“Tindakan anda bisa dikatakan sebagai aksi

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 83

    Pekerjaan hari ini tidak banyak setelah aku dan Rani pulang dari sekolah bersama anak-anak. Bapak yang tengah menonton TV hanya menyapa kami lalu bermain bersama kedua cucunya seperti biasa. "Bagaimana sekolah hari ini?" tanya Bapak lembut seperti saat aku masih kecil dulu. Kenangan indah yang hampir saja terlupakan setelah puluhan tahun berlalu. "Seru Kung," jawab Mawar dan Melati pendek. Tidak pernah tertarik jika ditanya tentang sekolah. Justru mereka susah meletakan tas di sofa lalu menarik tangan Bapak untuk pergi ke kamar beliau mengambil mainan mereka. Aku membawa tas anak-anak naik ke lantau dua. Membiarkan anak-anak bersama Rani dan Bapak lalu turun ke bawah. Bapak tidak menceritakan masalah apapun. Berarti tidak ada orang yang mencoba bertamu karena tadi pagi aku melihat Ana yang mengintai rumah ini. Aku duduk di sofa ruang tengah untuk menonton TV yang seperti biasa menayangkan kartun kesukaan anak-anak. Walaupun tidak ditonton karena mereka sibuk bermain kartu bergamba

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 82

    “Ada yang mau aku bicarakan denganmu Mas,” ucapku begitu kami masuk kamar usai melaksanakan salat subuh berjamaah. Waktu kami tidak banyak karena anak-anak sudah mengajak ayah mereka untuk menyiram bunga bersama dengan Bapak. Mungkin kami hanya bisa bicara di kamar untuk beberapa hari ke depan. Selama Mawar dan Melati masih ingin menikmati waktu dengan ayah mereka sepenuhnya, tidak akan ada waktu berdua untuk kami. “Ada apa Nia?” tanya Mas Aksa lembut. Dia mencatolkan kemeja dan sarung lalu meletakan kopiah di dalam nakas. Padahal dulu Mas Aksa adalah tipe orang yang berantakan. Dia akan menyuruhku mencatolkan baju yang diletakan begitu saja di atas tempat tidur. Tidak lupa Mas Aksa berganti baju dengan memakai kaos oblong berwarna hitam dan celana pendek. Pakaian bersantai yang sudah ia pakai sejak lama. Mas Aksa lalu duduk disampingku. Dari jarak sedekat ini aku bisa mencium aroma parfumnya yang tidak berubah. Sungguh wajah Mas Aksa terlihat berkal-kali lipat lebih keren saat dia

DMCA.com Protection Status