"Halo Alila, selamat pagi. Kau ingin makan bersama dengan kami? Menunya kali ini lebih bergizi. Tidak cepat saji seperti sandwich. Kau bisa lihat yang ada di meja. Big breakfast special dengan salad juga!”Sebelum Alila menyapa, dia sudah disapa lebih dulu oleh wanita yang sudah duduk di meja makan."Ini luar biasa, Paula. Kapan kau memasak?"Dan sungguh dalam hati, Alila merasa sangat sakit sekali mendengar pujian seorang pria pada wanita yang kini tersenyum merasa puas dengan pujian itu."Aku akan memaksakkan makanan yang bergizi untukmu setiap harinya."Dan kini matanya melirik Alila lagi."Jangan malu-malu. Kalau kau mau, kemarilah! Makanlah!”"Aku bisa memasak sendiri. Kalian tidak perlu memikirkanku.”"Memasak, katamu?"Dan kini pria yang tadi memuji Paula, melirik tajam pada Alila."Kau pikir, aku akan mengizinkanmu memasak dengan bahan-bahan makanan yang aku beli?""Arthur, apa maksudmu?""Kau tahu, apa yang sudah kau lakukan?"Arthur menggelengkan kepalanya dan dia tetap tida
"Untung kau datangnya cepat. Terima kasih sudah menjemputku, Shaun.""Alila, ini sapu tanganku. Kau bisa menghapus air matamu pakai ini."Shaun memang tipikal pria perhatian. Dia melihat sudut mata Alila yang basah dan dengan cepat dia mengambil sapu tangannya untuk Alila.Dia memang tipe pria yang lebih cenderung action daripada terlalu banyak bicara dan jelas saja membuat Alila sangat malu sekali."Aku minta maaf, karena kau harus melihatku menangis.""Semua orang pasti pernah melihat orang yang dekat dengannya menangis. Dan itu tidak ada masalah. Yang penting sekarang kau sudah tenang."Lega Alila mendengarnya, tapi ada rasa penasaran juga di dirinya."Kau tidak ingin tahu kenapa aku menangis?""Jika kau ingin memberitahuku, aku akan mendengarkan, tapi jika kau belum siap untuk menceritakannya, aku tidak akan mengganggumu."Dan lagi Alila menemukan surprise di sini."Kenapa begitu? Kau tidak penasaran dan kau tidak ingin tahu?"Dia mengejar lagi, karena menurut Alila, sangat aneh s
"Wah, Amar, sudah lama sekali kau tidak datang ke sini. Apa kabarmu?"Rein tak sangka akan bertemu dengan teman lamanya. Seseorang yang sudah lama sekali seakan menghilang dan tidak pernah lagi muncul."Maaf, aku baru sempat mampir. Bukan bermaksud sombong. Kuharap kau tidak marah padaku.”"Tentu saja tidak."Senyum kembali muncul di bibir Rein. Dia juga menyahut uluran tangan Amar dan membuka tangannya untuk memeluk Amar."Aku dan Neil sangat merindukanmu. Dia pasti akan sangat senang sekali, kalau nanti dia pulang danmelihatmu.""Ah, iya, Neil. Sudah lama aku juga tidak bicara dengannya. Apa kabar, dia?""Kau tidak ikut memfollow I*******m media sosialnya, kah? Harusnya kau tahu, karena dia sangat senang sekali membagikan semua momen-momen pentingnya di media sosial. Aku juga heran kenapa dia lebih aktif daripada aku."Ada senyum dan tawa di bibir Rein dan Amar pun juga menimpali dengan sesuatu yang sama sebelum matanya mengarah pada dua orang yang ada di samping Rein."Mereka ….""A
Syukurlah, bocah itu akhirnya pergi juga. Karena aku tidak bisa menceritakan banyak tentang masa laluku.Bisik di dalam hati Amar. Dan sebetulnya, bukan hanya Amar yang merasa lega dengan kepergian Alila."Amar, maaf ya. Aku tidak bermaksud membawa masa lalumu kembali. Tapi tadi ….""Eh, sudah, bukan salahmu. Anak itu memang sangat besar sekali rasa ingin tahunya. Dan dia sedikit cerewet. Hehehe … aku tidak menyangka saja Rania akan punya anak seberisik itu! Karena seingatku dulu, Rania sangat pendiam.”"Mungkin di hadapanmu dia pendiam, Amar. Tapi tidak di depan kami.""Maksudmu?"Amar paham."Rania itu sangat berisik. Tidak jauh berbeda dengan putrinya. Hanya saja, Alila memang terlalu dimanja, jadi dia lebih berani.""Rania berisik. Aku baru tahu soal ini. Haha …."Amar bahkan sampai terkekeh. Karena memang setahunya, Rania itu sangat menjaga dirinya. Tidak sembarang bersikap, tapi berbeda mungkin dengan teman seangkatannya. Seperti Neil dan Rein, mereka pasti berkomunikasi dengan R
"Iya, Amar. Lalu, apa maksudnya? Kau menjadi keluarga dengan Rania ... bagaimana? Dan setahuku, adikmu itu juga sudah menikah dengan seorang pebisnis dari Indonesia, bukan?""Bukan, bukan Sita. Dan apa yang dibawa oleh Sita untuk menyerang Reza itu, semua aku rasa ... hanya akal-akalannya Sita. Dia sempat buta dengan Reza. Melihat ketampanan Reza yang membuat dirinya lupakan segalanya. Tapi aku tidak yakin, Reza bisa melakukan sesuai yang dikatakan Sita."Amar justru membela Reza di hadapan sahabat-sahabat Rania. "Nanti soal ini?""Tidak." Memang Amar tidak menyimpan bukti apa pun tentang skandal yang dibuat oleh adiknya di masa lalu."Tapi aku percaya pada Reza, dia sangat mencintai Rania. Jadi tidak mungkin dia mengkhianati Rania untuk seseorang yang dia tidak mengenalnya betul."“Jadi menurutmu, ini adalah masalah yang dibuat adikmu?""Sepertinya begitu. Dan maksudku, masalah kekeluargaan bukan seperti yang kalian bayangkan. Tapi lebih dari itu." Amar juga agak ragu menjelaskanny
Amar : Ada apa dengannya? Oh, tak perlu dijawab, Mama. Aku akan segera pulang sekarang.Amar cepat-cepat menutup teleponnya dan dia mendekati dua orang yang masih duduk di kursi yang sama di tempat mereka tadi mengobrol."Maaf, aku rasa aku sudah kemalaman. Caca sepertinya membutuhkanku.""Ya, kita mengobrol sampai jam setengah satu malam.”"Aku permisi dulu. Dan Rein, Neil, terima kasih karena kalian sudah mau menolongku.” Tak mau buang waktu. Amar pun buru-buru pergi dan untungnya kedua orang itu tidak bertanya banyak padanya.Amar mengendarai mobilnya cukup cepat. Dia khawatir sekali dengan kondisi istrinya. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya.Dan biasanya dia membutuhkan waktu sekitar setengah jam di pagi dan siang hari seandainya lalu lintas agak padat.Tapi saat ini, dalam waktu kurang dari seperempat jam dirinya sudah sampai ke rumahnya.Amar pun buru-buru masuk untuk melihat bagaimana kondisi istrinya. "Mama di mana, Pa?"“Di kamar istrimu. Dia sepertinya mimpi buruk
"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Tidur saja.""Hei … aku bukan marah padamu. Aku hanya bertanya, apa yang ingin kau lakukan di malam hari begini?"Amar memang tadi bertanya agak sedikit tinggi suaranya. Tapi bukan meninggikan amarah. Karena tak tahu saja apa yang diinginkan oleh Caca.Seharusnya dia paham apa yang kuinginkan. Kenapa sih, dia tidak peka? Atau mungkin, hanya aku saja yang selalu menginginkan dia setiap kali kami bersama? Apa yang salah dengan otakku? Caca tidur menunggu Amar, karena dia juga bingung bagaimana harus menjelaskan apa yang dia inginkan.Ini seperti sebuah permainan baru dan kesenangan baru yang dia juga tak tahu bagaimana cara menghentikannya.Saat bersama dengan Amar, rasanya ingin selalu melakukan itu. Bermesraan dengannya dan melakukan sesuatu yang seharusnya memberikan rasa nikmat bagi mereka berdua."Caca. Jangan ngambek dong, kamu mau apa?" Amar tentu saja tahu kalau wanita itu sedang mengambek. Hati kecilnya sudah menduga. Dan meski lelah, dia mas
"Kau benar-benar ingin? Gak capek, Ca?""Enggak, Amar. Aku mau … soalnya enak."Enak sih enak! Tapi kalau diminta terus begini, ya lemes, lah. Lama-lama pinggang bisa encok.Amar sebenarnya masih ingin beristirahat. Dia masih lelah. Cuma menatap wanita yang ada di hadapannya, lagi-lagi ada hasrat ingin memenuhi semua keinginan wanita itu, makanya dia kembali mengangguk.Bocah kecilku yang lugu. Sekarang sampai sebesar ini kau masih terus saja memaksaku melakukan apa saja yang kau inginkan.Ada geli di dalam diri Amar karena yang dipandangnya sebenarnya adalah seorang wanita cantik, tapi entah kenapa pikirannya juga melayang ke masa-masa dia mengajak putrinya Rania pergi bersama. Mengajak wanita itu pergi bermain. Amar juga tak paham. Satu sisi, dia melihat istrinya sebagai wanita dewasa, tapi disisi lain, dia tidak bisa bersikap layaknya pada seorang istri, tapi lebih memanjakan seperti kepada seorang anak. Sungguh membingungkan bagi dirinya."Aaakh, enak Amar."Rasa-rasanya, kalau ak