"Kau tidak perlu menawarkan padanya, Paula. Tidak ada makan malam untuknya."Lagian siapa juga mau makan malam dengan makanan sisa dari bekas romantic dinner diantara mereka berdua? Tak sudi. Aku juga sudah tidak lapar, pikir dalam hati Alila yang tidak mau menjawab pertanyaan dari pria yang kini menatapnya"Setahuku pulang sekolah itu jam 03.00. Bukan jam 10.00 malam, apa yang kau lakukan di luar sana?""Belajar bersama teman-temanku."Alila menjelaskan dan dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya."PR dan tugasku banyak, jadi aku sibuk di luar.""Sibuk di luar."Pandangan mata Arthur terlihat tak suka. Dia berjalan mendekat pada Alila dan berdiri dengan jarak 1 meter dengan kedua tangannya dilipat di depan dadanya."Belajar sampai jam segini, kau pikir aku percaya?""Jika kau tidak percaya tidak masalah. Aku memang belajar dengan Shaun, anaknya tante Rein."Alila memang tidak ingin berbohong. Dia khawatir juga kalau dia diikuti andai dia tidak jujur soal ke rumah Rein. Arthur juga su
"Halo Alila, selamat pagi. Kau ingin makan bersama dengan kami? Menunya kali ini lebih bergizi. Tidak cepat saji seperti sandwich. Kau bisa lihat yang ada di meja. Big breakfast special dengan salad juga!”Sebelum Alila menyapa, dia sudah disapa lebih dulu oleh wanita yang sudah duduk di meja makan."Ini luar biasa, Paula. Kapan kau memasak?"Dan sungguh dalam hati, Alila merasa sangat sakit sekali mendengar pujian seorang pria pada wanita yang kini tersenyum merasa puas dengan pujian itu."Aku akan memaksakkan makanan yang bergizi untukmu setiap harinya."Dan kini matanya melirik Alila lagi."Jangan malu-malu. Kalau kau mau, kemarilah! Makanlah!”"Aku bisa memasak sendiri. Kalian tidak perlu memikirkanku.”"Memasak, katamu?"Dan kini pria yang tadi memuji Paula, melirik tajam pada Alila."Kau pikir, aku akan mengizinkanmu memasak dengan bahan-bahan makanan yang aku beli?""Arthur, apa maksudmu?""Kau tahu, apa yang sudah kau lakukan?"Arthur menggelengkan kepalanya dan dia tetap tida
"Untung kau datangnya cepat. Terima kasih sudah menjemputku, Shaun.""Alila, ini sapu tanganku. Kau bisa menghapus air matamu pakai ini."Shaun memang tipikal pria perhatian. Dia melihat sudut mata Alila yang basah dan dengan cepat dia mengambil sapu tangannya untuk Alila.Dia memang tipe pria yang lebih cenderung action daripada terlalu banyak bicara dan jelas saja membuat Alila sangat malu sekali."Aku minta maaf, karena kau harus melihatku menangis.""Semua orang pasti pernah melihat orang yang dekat dengannya menangis. Dan itu tidak ada masalah. Yang penting sekarang kau sudah tenang."Lega Alila mendengarnya, tapi ada rasa penasaran juga di dirinya."Kau tidak ingin tahu kenapa aku menangis?""Jika kau ingin memberitahuku, aku akan mendengarkan, tapi jika kau belum siap untuk menceritakannya, aku tidak akan mengganggumu."Dan lagi Alila menemukan surprise di sini."Kenapa begitu? Kau tidak penasaran dan kau tidak ingin tahu?"Dia mengejar lagi, karena menurut Alila, sangat aneh s
"Wah, Amar, sudah lama sekali kau tidak datang ke sini. Apa kabarmu?"Rein tak sangka akan bertemu dengan teman lamanya. Seseorang yang sudah lama sekali seakan menghilang dan tidak pernah lagi muncul."Maaf, aku baru sempat mampir. Bukan bermaksud sombong. Kuharap kau tidak marah padaku.”"Tentu saja tidak."Senyum kembali muncul di bibir Rein. Dia juga menyahut uluran tangan Amar dan membuka tangannya untuk memeluk Amar."Aku dan Neil sangat merindukanmu. Dia pasti akan sangat senang sekali, kalau nanti dia pulang danmelihatmu.""Ah, iya, Neil. Sudah lama aku juga tidak bicara dengannya. Apa kabar, dia?""Kau tidak ikut memfollow I*******m media sosialnya, kah? Harusnya kau tahu, karena dia sangat senang sekali membagikan semua momen-momen pentingnya di media sosial. Aku juga heran kenapa dia lebih aktif daripada aku."Ada senyum dan tawa di bibir Rein dan Amar pun juga menimpali dengan sesuatu yang sama sebelum matanya mengarah pada dua orang yang ada di samping Rein."Mereka ….""A
Syukurlah, bocah itu akhirnya pergi juga. Karena aku tidak bisa menceritakan banyak tentang masa laluku.Bisik di dalam hati Amar. Dan sebetulnya, bukan hanya Amar yang merasa lega dengan kepergian Alila."Amar, maaf ya. Aku tidak bermaksud membawa masa lalumu kembali. Tapi tadi ….""Eh, sudah, bukan salahmu. Anak itu memang sangat besar sekali rasa ingin tahunya. Dan dia sedikit cerewet. Hehehe … aku tidak menyangka saja Rania akan punya anak seberisik itu! Karena seingatku dulu, Rania sangat pendiam.”"Mungkin di hadapanmu dia pendiam, Amar. Tapi tidak di depan kami.""Maksudmu?"Amar paham."Rania itu sangat berisik. Tidak jauh berbeda dengan putrinya. Hanya saja, Alila memang terlalu dimanja, jadi dia lebih berani.""Rania berisik. Aku baru tahu soal ini. Haha …."Amar bahkan sampai terkekeh. Karena memang setahunya, Rania itu sangat menjaga dirinya. Tidak sembarang bersikap, tapi berbeda mungkin dengan teman seangkatannya. Seperti Neil dan Rein, mereka pasti berkomunikasi dengan R
"Iya, Amar. Lalu, apa maksudnya? Kau menjadi keluarga dengan Rania ... bagaimana? Dan setahuku, adikmu itu juga sudah menikah dengan seorang pebisnis dari Indonesia, bukan?""Bukan, bukan Sita. Dan apa yang dibawa oleh Sita untuk menyerang Reza itu, semua aku rasa ... hanya akal-akalannya Sita. Dia sempat buta dengan Reza. Melihat ketampanan Reza yang membuat dirinya lupakan segalanya. Tapi aku tidak yakin, Reza bisa melakukan sesuai yang dikatakan Sita."Amar justru membela Reza di hadapan sahabat-sahabat Rania. "Nanti soal ini?""Tidak." Memang Amar tidak menyimpan bukti apa pun tentang skandal yang dibuat oleh adiknya di masa lalu."Tapi aku percaya pada Reza, dia sangat mencintai Rania. Jadi tidak mungkin dia mengkhianati Rania untuk seseorang yang dia tidak mengenalnya betul."“Jadi menurutmu, ini adalah masalah yang dibuat adikmu?""Sepertinya begitu. Dan maksudku, masalah kekeluargaan bukan seperti yang kalian bayangkan. Tapi lebih dari itu." Amar juga agak ragu menjelaskanny
Amar : Ada apa dengannya? Oh, tak perlu dijawab, Mama. Aku akan segera pulang sekarang.Amar cepat-cepat menutup teleponnya dan dia mendekati dua orang yang masih duduk di kursi yang sama di tempat mereka tadi mengobrol."Maaf, aku rasa aku sudah kemalaman. Caca sepertinya membutuhkanku.""Ya, kita mengobrol sampai jam setengah satu malam.”"Aku permisi dulu. Dan Rein, Neil, terima kasih karena kalian sudah mau menolongku.” Tak mau buang waktu. Amar pun buru-buru pergi dan untungnya kedua orang itu tidak bertanya banyak padanya.Amar mengendarai mobilnya cukup cepat. Dia khawatir sekali dengan kondisi istrinya. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya.Dan biasanya dia membutuhkan waktu sekitar setengah jam di pagi dan siang hari seandainya lalu lintas agak padat.Tapi saat ini, dalam waktu kurang dari seperempat jam dirinya sudah sampai ke rumahnya.Amar pun buru-buru masuk untuk melihat bagaimana kondisi istrinya. "Mama di mana, Pa?"“Di kamar istrimu. Dia sepertinya mimpi buruk
"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Tidur saja.""Hei … aku bukan marah padamu. Aku hanya bertanya, apa yang ingin kau lakukan di malam hari begini?"Amar memang tadi bertanya agak sedikit tinggi suaranya. Tapi bukan meninggikan amarah. Karena tak tahu saja apa yang diinginkan oleh Caca.Seharusnya dia paham apa yang kuinginkan. Kenapa sih, dia tidak peka? Atau mungkin, hanya aku saja yang selalu menginginkan dia setiap kali kami bersama? Apa yang salah dengan otakku? Caca tidur menunggu Amar, karena dia juga bingung bagaimana harus menjelaskan apa yang dia inginkan.Ini seperti sebuah permainan baru dan kesenangan baru yang dia juga tak tahu bagaimana cara menghentikannya.Saat bersama dengan Amar, rasanya ingin selalu melakukan itu. Bermesraan dengannya dan melakukan sesuatu yang seharusnya memberikan rasa nikmat bagi mereka berdua."Caca. Jangan ngambek dong, kamu mau apa?" Amar tentu saja tahu kalau wanita itu sedang mengambek. Hati kecilnya sudah menduga. Dan meski lelah, dia mas
Delima: Mana ku tahu. Dia baru kembali beberapa jam yang lalu. Mungkin dia ingin memberikan surprise padamu.Shaun, dia menempuh kuliah S1 dan S2-nya di Jepang dan semuanya mendapat beasiswa. Hari ini kepulangannya dan Alila sungguh tak percaya kalau temannya itu sudah datang tanpa meneleponnya.Alila: Berikan teleponnya padanya.Shaun: Hai Alila.Delima pun menurut. Dan kini suara seseorang sudah membuat Alila begitu murka padanyaAlila: Kau. Sahabat macam apa kau pulang tidak bilang-bilang padaku?Shaun: Dengar dulu, aku-Alila: Tak mau. Aku lagi marah padamu Shaun.Yah, sudah terbayang memang bagaimana kesalnya Alila karena tidak diberitahukan tentang kedatangan pria itu. Padahal selama ini komunikasi mereka cukup lancar. Tapi kenapa dia harus tahu dari orang lain tentang kedatangan Shaun?Shaun: Baiklah, aku minta maaf, aku ingin kasih kejutan padamu.Alila: Maafmu tidak diterima. Cepat temui aku di plaza dan bantu aku mengurus empat monster kecil ini. Bawa juga Delima. Dia yang pa
"Alila, kau dengar aku tidaaaak?""Dengaaaar, sabarlah Darwin, kan aku masih berpikir!"Entah kenapa Alila jadi mengingat ini. Sampai dia diam beberapa detik dan Darwin mengomel.Bayangan tentang Arthur memang tidak bisa dilupakannya dengan mudah. Ini yang membuatnya kembali menunjuk pekerjaan pada Darwin."Jangan bilang kau akan menunda lagi. Atau jangan-jangan kau menunda terus supaya aku berpaling dari Delima padamu.""Dih, kau pikir aku menyukaimu Darwin? Ish.""Habis, lama sekali sih. Aku sudah tidak sabar. Apa kau tidak mendukungku bersama dengannya dan hanya menipuku selama ini?"Darwin memang tidak sabaran. Delima memang sangat cantik sekali dan Darwin menyukainya sejak pandangan pertama. Alila jadi terkekeh lagi melihat bagaimana kesalnya Darwin padanya.Hubungannya dengan Darwin tidak se-kaku hubungan antara Reza dengan David. Mereka tak pakai panggilan resmi. Di tempat kerja, panggilan nama seperti ini juga tak masalah. Tak jarang mereka juga ribut satu sama lain di depan k
"Amar, Caca akan melahirkan!"Cuma sebelum siapapun merespon, Alila sadar duluan. Darah segar pun mengalir begitu saja yang membuat Amar cemas, Alila memekik."Kenapa kau diam saja? Cepat bawa istrimu ke dalam!"Reza juga panik. Dia segera mungkin membuka ruangan dan memanggil dokter untuk mempersiapkan operasi kedua yang jaraknya bahkan tak lebih dari seperempat jam dari Rania yang baru selesai.Caca tidak bisa diminta lahiran normal karena masalah di kepalanya dikhawatirkan akan mengganggu kesehatannya.Sekarang saja masalah di otaknya belum sembuh betul. Ya memang kondisinya sudah lebih baik. Caca bisa bertahan mengingat seseorang lebih dari seperempat jam. Bahkan rekor, pernah setengah jam dia tak bertanya dan bisa fokus ke obrolan tanpa gangguan. Tapi tetap saja, lahiran normal ini resiko berat."Papa. Amar. Bisa tidak sih kalian tidak bolak-balik? Mengganggu penglihatanku saja!"Tadi saat Rania melahirkan, Reza masih bisa tenang hanya menggenggam tangan Alila dan merangkul putri
"Aku tidak jadi bicara denganmu. Akan kupikirkan lagi bagaimana aku harus menyingkirkanmu!"Lagi-lagi jawaban yang membuat kepala David pening."Reza kau ingin aku mengundurkan diri kah?"Amar tak mengerti apa yang sedang mereka perdebatkan tapi sepertinya dia melihat sisi positif dari sikap David yang menekan Reza ini."Kau tidak perlu mengundurkan diri kalau Reza memang membenciku, David. Dia masih berpikir kalau aku ingin merebut Rania-""BUKAN HANYA RANIA!" Reza memekik."Kau pikir masalahku denganmu hanya karena itu? Aku membencimu karena kau selalu mengganggu hidupku, selalu mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."Bingung juga Amar mencernanya. Karena dia merasa tidak mengambil apapun dan bahkan dia sudah mengembalikan Rania kepada Reza.Dia tidak mengganggu hubungan mereka selama mereka bersama, dia tidak datang kecuali dia ingin mengecek DNA Caca barulah dia muncul."Sudah Amar, tidak perlu dipikirkan. Reza hanya cemburu tentang Marsha. Kau bersama dengan Marsha dari d
"Kau jaga Marsha. Aku akan bicara dengan suaminya tentu dia sendirian di dalam kamarnya, temani dia."Tapi Reza tidak mengizinkan Alila ikut.Dan putrinya pun menurut meski saat ini David yang melihat ini dia menatap tak suka pada Reza."Kenapa kau?""Aku ikut kau bicara dengannya. Tapi jika kau berani mencoba mengganggunya maka aku akan menyelamatkannya Reza. Kau temanku tapi aku tahu kalau menyerang Amar adalah tindakan yang salah."Ini hanya sebatas kekhawatiran David kalau Reza akan melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh kakeknya Frederick dulu. Bersikap baik pada Rania tapi di belakang dia menusuk Rania. Membuat wanita itu kesulitan dan bahkan Frederick adalah orang yang patut disalahkan untuk semua kejadian yang menimpa Marsha.Tidak mungkin Marsha diculik dan mengalami luka di kepalanya yang parah jika Frederick melindunginya."Kau ingin menentangku?"Dan tentu saja pembicaraan ini terjadi setelah Alila keluar dan dia menuju kamar Caca dan Amar. Reza mengingin
"Papa?""Papa Reza, Marsha.""Sssh, Papa Rezanya Marsha, om Amar?""Hm, papanya Marsha. Papanya Marsha juga sudah kangen sekali dengan Marsha dan ingin sekali memeluk Marsha."Ada senyum dari wanita yang sedang ada dalam rangkulan Amar itu dan Reza juga menegang saat Amar mengatakannya.Tidak terbesit dalam pikiran Reza sama sekali kalau Amar akan membahas tentang dirinya pada Marsha dengan cara seperti ini setelah sebulan lebih Reza terus berpikir negatif tentang Amar dan cemburu padanya."Baca ini Reza."Amar memberikan handphone yang diambil David agar Reza baca.[Reza kemarilah. Putrimu yang ini juga ingin dipeluk olehmu. Dia memegang tanganku kencang sekali saat kau memeluk adiknya, Alila.]"Eh tentu Papa, kau harus memeluknya."Alila yang mengintip isi pesan itu, melepaskan diri dan dia khawatir sekali kalau kakaknya akan cemburu padanya.Dia meninggalkan Reza sendiri dan memberikan jarak agar papanya bisa mendekat pada Marsha di mana Amar juga memberikan jarak."Om Amar, dia pa
"Kenapa kau bicara begitu tentang Arthur? Kau siapa?" Caca sudah lupa lagi tentang siapa Alila.Tapi setiap kali membicarakan Arthur memang Caca selalu melindunginya dan ini yang membuat Amar tak setuju dengan rencana Alila."Tidak Alila. Aku tidak yakin. Kita akan melihat nanti seiring dengan berjalannya waktu.""Tapi kan ini sudah pasti. Dia menculikku!" sanggah Alila tak terima."Saat aku bertemu dengan mamamu untuk kedua kalinya dan dia hilang ingatan, tidak mengenal tentang Reza, aku sangat yakin sekali kalau papamu itu adalah orang yang sangat jahat. Dia menculik mamamu dan berusaha untuk membuat mamamu menyukainya. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku bisa melihat kalau Reza tidak seburuk yang dikatakan oleh Giyan. Jadi kurasa waktu selalu bisa menunjukkan siapa orang itu sebenarnya. Hanya perlu menunggu saja."Amar mengembalikan semuanya pada kejadian itu dan matanya kembali menatap Reza."Amar kau tidak percaya padaku kah? Aku sendiri yang bicara dengan ayahnya!"Ketim
"Tidak Amar kau salah jika berpikir kalau Arthur adalah orang baik. Justru semua masalah ini diawali darinya!"Tapi saat itu juga Alila menepis semua pikiran Amar tentang kebaikan Arthur. Dia mencoba memblok dirinya dan tidak mau terbuai dengan perasaannya lagi.Dia yakin sekali Arthur adalah sumber permasalahannya. Pria itu sangat jahat padanya dan keluarganya. Alila hanya ingin memperingati dirinya untuk membenci Arthur."Alila, apa maksudmu?" tapi sebetulnya Amar tidak setuju"Lagipula dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Dia sudah mendapatkan karmanya. Dia sudah mati. Jadi tak perlu dibahas lagi Amar."Reza kau berhasil menyingkirkan Arthur berarti sebentar lagi kau juga berusaha untuk menyingkirkanku karena keegoisanmu dan merasa dirimu yang paling benar. Tapi aku tidak akan pernah menyerah dan aku tidak akan pernah membiarkan Caca pergi dari hidupku. Apapun yang kau akan lakukan padaku, aku akan bertahan demi istriku.Cuma saat itu juga pikiran Amar memperingatkan dirinya kala
"Tuan pasien sudah bisa dibawa ke ruangan opname. Dan kami akan membawanya sekarang."Melihat kondisi Caca yang sedang tertidur sudah mulai stabil lagi, perawat menginfokan. Lagi pula dia sudah ada di dalam ruang observasi lebih dari dua jam.Mereka tidak bisa melakukan apapun untuk ingatannya agar kembali pulih seperti dulu. Tapi dari luka fisiknya tidak ada yang bermasalah. Luka di kepalanya juga stabil dan ini jadi pertimbangan dokter untuk memindahkan Caca ke kamar pasien.Dan kejadian ini berlangsung setelah kepergian Reza sekitar setengah jam."Baik. Kalau begitu silakan dipindahkan sekarang."Amar mengizinkan. Dan selama proses pemindahan dia tidak pergi ke manapun. Dia tetap menemani Caca di samping tempat tidurnya yang didorong oleh perawat ke ruangan opname.Amar juga hanya menunggu Caca di dalam ruangan itu sambil sesekali dia melihat handphonenya dan mengirim pesan untuk mengurus masalah bisnisnya juga.Bukan hanya masalah bisnis, ibunya yang ingin pamit pulang ke Indonesi