"Alila, kau tidak bercanda kan dengan yang kau minta tadi?""Tidak, Tante Rein. Aku memang ingin benar-benar belajar. Tapi itu jika kau memang mengizinkanku."Sejujurnya perubahan Alila lainnya terlalu drastis dan Rein hampir tidak mempercayai apa saja yang dia minta."Ya ampun, maafkan aku Sayang. Sebenarnya aku senang dengan semua perubahanmu. Kau sekarang sangat rajin sekali dan aku lihat kau yang paling bersemangat di sini bekerja. Lalu sekarang kau ingin belajar berbagai macam hal yang baru. Mamamu pasti akan sangat bangga sekali padamu.""Tapi aku lakukan ini semua bukan buat Mama." Alila jujur karena memang ada orang lain yang ingin sekali dibuatnya percaya kalau dia memang bisa menjadi wanita yang bisa diandalkan.Sayangnya memang Alila tidak bisa bercerita pada siapapun.Cuma Rein yang menghargai sekali perubahan seseorang dia cukup tersentuh dengan Alila sehingga dia pun tidak menolaknya."Kita akan mulai belajar besok jika kau mau.”“Benarkah? Aku senang sekali. Apa saja ya
"Kau tidak perlu menawarkan padanya, Paula. Tidak ada makan malam untuknya."Lagian siapa juga mau makan malam dengan makanan sisa dari bekas romantic dinner diantara mereka berdua? Tak sudi. Aku juga sudah tidak lapar, pikir dalam hati Alila yang tidak mau menjawab pertanyaan dari pria yang kini menatapnya"Setahuku pulang sekolah itu jam 03.00. Bukan jam 10.00 malam, apa yang kau lakukan di luar sana?""Belajar bersama teman-temanku."Alila menjelaskan dan dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya."PR dan tugasku banyak, jadi aku sibuk di luar.""Sibuk di luar."Pandangan mata Arthur terlihat tak suka. Dia berjalan mendekat pada Alila dan berdiri dengan jarak 1 meter dengan kedua tangannya dilipat di depan dadanya."Belajar sampai jam segini, kau pikir aku percaya?""Jika kau tidak percaya tidak masalah. Aku memang belajar dengan Shaun, anaknya tante Rein."Alila memang tidak ingin berbohong. Dia khawatir juga kalau dia diikuti andai dia tidak jujur soal ke rumah Rein. Arthur juga su
"Halo Alila, selamat pagi. Kau ingin makan bersama dengan kami? Menunya kali ini lebih bergizi. Tidak cepat saji seperti sandwich. Kau bisa lihat yang ada di meja. Big breakfast special dengan salad juga!”Sebelum Alila menyapa, dia sudah disapa lebih dulu oleh wanita yang sudah duduk di meja makan."Ini luar biasa, Paula. Kapan kau memasak?"Dan sungguh dalam hati, Alila merasa sangat sakit sekali mendengar pujian seorang pria pada wanita yang kini tersenyum merasa puas dengan pujian itu."Aku akan memaksakkan makanan yang bergizi untukmu setiap harinya."Dan kini matanya melirik Alila lagi."Jangan malu-malu. Kalau kau mau, kemarilah! Makanlah!”"Aku bisa memasak sendiri. Kalian tidak perlu memikirkanku.”"Memasak, katamu?"Dan kini pria yang tadi memuji Paula, melirik tajam pada Alila."Kau pikir, aku akan mengizinkanmu memasak dengan bahan-bahan makanan yang aku beli?""Arthur, apa maksudmu?""Kau tahu, apa yang sudah kau lakukan?"Arthur menggelengkan kepalanya dan dia tetap tida
"Untung kau datangnya cepat. Terima kasih sudah menjemputku, Shaun.""Alila, ini sapu tanganku. Kau bisa menghapus air matamu pakai ini."Shaun memang tipikal pria perhatian. Dia melihat sudut mata Alila yang basah dan dengan cepat dia mengambil sapu tangannya untuk Alila.Dia memang tipe pria yang lebih cenderung action daripada terlalu banyak bicara dan jelas saja membuat Alila sangat malu sekali."Aku minta maaf, karena kau harus melihatku menangis.""Semua orang pasti pernah melihat orang yang dekat dengannya menangis. Dan itu tidak ada masalah. Yang penting sekarang kau sudah tenang."Lega Alila mendengarnya, tapi ada rasa penasaran juga di dirinya."Kau tidak ingin tahu kenapa aku menangis?""Jika kau ingin memberitahuku, aku akan mendengarkan, tapi jika kau belum siap untuk menceritakannya, aku tidak akan mengganggumu."Dan lagi Alila menemukan surprise di sini."Kenapa begitu? Kau tidak penasaran dan kau tidak ingin tahu?"Dia mengejar lagi, karena menurut Alila, sangat aneh s
"Wah, Amar, sudah lama sekali kau tidak datang ke sini. Apa kabarmu?"Rein tak sangka akan bertemu dengan teman lamanya. Seseorang yang sudah lama sekali seakan menghilang dan tidak pernah lagi muncul."Maaf, aku baru sempat mampir. Bukan bermaksud sombong. Kuharap kau tidak marah padaku.”"Tentu saja tidak."Senyum kembali muncul di bibir Rein. Dia juga menyahut uluran tangan Amar dan membuka tangannya untuk memeluk Amar."Aku dan Neil sangat merindukanmu. Dia pasti akan sangat senang sekali, kalau nanti dia pulang danmelihatmu.""Ah, iya, Neil. Sudah lama aku juga tidak bicara dengannya. Apa kabar, dia?""Kau tidak ikut memfollow I*******m media sosialnya, kah? Harusnya kau tahu, karena dia sangat senang sekali membagikan semua momen-momen pentingnya di media sosial. Aku juga heran kenapa dia lebih aktif daripada aku."Ada senyum dan tawa di bibir Rein dan Amar pun juga menimpali dengan sesuatu yang sama sebelum matanya mengarah pada dua orang yang ada di samping Rein."Mereka ….""A
Syukurlah, bocah itu akhirnya pergi juga. Karena aku tidak bisa menceritakan banyak tentang masa laluku.Bisik di dalam hati Amar. Dan sebetulnya, bukan hanya Amar yang merasa lega dengan kepergian Alila."Amar, maaf ya. Aku tidak bermaksud membawa masa lalumu kembali. Tapi tadi ….""Eh, sudah, bukan salahmu. Anak itu memang sangat besar sekali rasa ingin tahunya. Dan dia sedikit cerewet. Hehehe … aku tidak menyangka saja Rania akan punya anak seberisik itu! Karena seingatku dulu, Rania sangat pendiam.”"Mungkin di hadapanmu dia pendiam, Amar. Tapi tidak di depan kami.""Maksudmu?"Amar paham."Rania itu sangat berisik. Tidak jauh berbeda dengan putrinya. Hanya saja, Alila memang terlalu dimanja, jadi dia lebih berani.""Rania berisik. Aku baru tahu soal ini. Haha …."Amar bahkan sampai terkekeh. Karena memang setahunya, Rania itu sangat menjaga dirinya. Tidak sembarang bersikap, tapi berbeda mungkin dengan teman seangkatannya. Seperti Neil dan Rein, mereka pasti berkomunikasi dengan R
"Iya, Amar. Lalu, apa maksudnya? Kau menjadi keluarga dengan Rania ... bagaimana? Dan setahuku, adikmu itu juga sudah menikah dengan seorang pebisnis dari Indonesia, bukan?""Bukan, bukan Sita. Dan apa yang dibawa oleh Sita untuk menyerang Reza itu, semua aku rasa ... hanya akal-akalannya Sita. Dia sempat buta dengan Reza. Melihat ketampanan Reza yang membuat dirinya lupakan segalanya. Tapi aku tidak yakin, Reza bisa melakukan sesuai yang dikatakan Sita."Amar justru membela Reza di hadapan sahabat-sahabat Rania. "Nanti soal ini?""Tidak." Memang Amar tidak menyimpan bukti apa pun tentang skandal yang dibuat oleh adiknya di masa lalu."Tapi aku percaya pada Reza, dia sangat mencintai Rania. Jadi tidak mungkin dia mengkhianati Rania untuk seseorang yang dia tidak mengenalnya betul."“Jadi menurutmu, ini adalah masalah yang dibuat adikmu?""Sepertinya begitu. Dan maksudku, masalah kekeluargaan bukan seperti yang kalian bayangkan. Tapi lebih dari itu." Amar juga agak ragu menjelaskanny
Amar : Ada apa dengannya? Oh, tak perlu dijawab, Mama. Aku akan segera pulang sekarang.Amar cepat-cepat menutup teleponnya dan dia mendekati dua orang yang masih duduk di kursi yang sama di tempat mereka tadi mengobrol."Maaf, aku rasa aku sudah kemalaman. Caca sepertinya membutuhkanku.""Ya, kita mengobrol sampai jam setengah satu malam.”"Aku permisi dulu. Dan Rein, Neil, terima kasih karena kalian sudah mau menolongku.” Tak mau buang waktu. Amar pun buru-buru pergi dan untungnya kedua orang itu tidak bertanya banyak padanya.Amar mengendarai mobilnya cukup cepat. Dia khawatir sekali dengan kondisi istrinya. Dia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya.Dan biasanya dia membutuhkan waktu sekitar setengah jam di pagi dan siang hari seandainya lalu lintas agak padat.Tapi saat ini, dalam waktu kurang dari seperempat jam dirinya sudah sampai ke rumahnya.Amar pun buru-buru masuk untuk melihat bagaimana kondisi istrinya. "Mama di mana, Pa?"“Di kamar istrimu. Dia sepertinya mimpi buruk