"Sudahlah, tidak perlu dipikirkan. Tidur saja.""Hei … aku bukan marah padamu. Aku hanya bertanya, apa yang ingin kau lakukan di malam hari begini?"Amar memang tadi bertanya agak sedikit tinggi suaranya. Tapi bukan meninggikan amarah. Karena tak tahu saja apa yang diinginkan oleh Caca.Seharusnya dia paham apa yang kuinginkan. Kenapa sih, dia tidak peka? Atau mungkin, hanya aku saja yang selalu menginginkan dia setiap kali kami bersama? Apa yang salah dengan otakku? Caca tidur menunggu Amar, karena dia juga bingung bagaimana harus menjelaskan apa yang dia inginkan.Ini seperti sebuah permainan baru dan kesenangan baru yang dia juga tak tahu bagaimana cara menghentikannya.Saat bersama dengan Amar, rasanya ingin selalu melakukan itu. Bermesraan dengannya dan melakukan sesuatu yang seharusnya memberikan rasa nikmat bagi mereka berdua."Caca. Jangan ngambek dong, kamu mau apa?" Amar tentu saja tahu kalau wanita itu sedang mengambek. Hati kecilnya sudah menduga. Dan meski lelah, dia mas
"Kau benar-benar ingin? Gak capek, Ca?""Enggak, Amar. Aku mau … soalnya enak."Enak sih enak! Tapi kalau diminta terus begini, ya lemes, lah. Lama-lama pinggang bisa encok.Amar sebenarnya masih ingin beristirahat. Dia masih lelah. Cuma menatap wanita yang ada di hadapannya, lagi-lagi ada hasrat ingin memenuhi semua keinginan wanita itu, makanya dia kembali mengangguk.Bocah kecilku yang lugu. Sekarang sampai sebesar ini kau masih terus saja memaksaku melakukan apa saja yang kau inginkan.Ada geli di dalam diri Amar karena yang dipandangnya sebenarnya adalah seorang wanita cantik, tapi entah kenapa pikirannya juga melayang ke masa-masa dia mengajak putrinya Rania pergi bersama. Mengajak wanita itu pergi bermain. Amar juga tak paham. Satu sisi, dia melihat istrinya sebagai wanita dewasa, tapi disisi lain, dia tidak bisa bersikap layaknya pada seorang istri, tapi lebih memanjakan seperti kepada seorang anak. Sungguh membingungkan bagi dirinya."Aaakh, enak Amar."Rasa-rasanya, kalau ak
"Caca, kita lagi berdansa, kenapa kau malah memelukku?"Amar tentu tidak tahu apa yang ada di dalam pikiran Caca. Yang dia tahu sekarang, wanitanya sedang memeluknya entah karena apa, tapi yang pasti, pelukan itu cukup erat. Ini yang membuatnya yakin kalau Caca juga mencintainya.Dia tak tahu kalau Caca menyembunyikan sesuatu selama beberapa hari ini.Flashback on"Caca, kau tidak apa-apa?""Aku tidak apa-apa.""Kalau kau tidak apa-apa, buka matamu. Kenapa kau masih terus memejamkan matamu? Kita sudah ada di kamar kita. Tidak akan ada yang melukaimu.”Ragu, tapi Caca yang kini sudah berada di dalam kamar bersama dengan Amar dan sudah meninggalkan restoran, akhirnya memberanikan diri membuka matanya perlahan."Kau tidak apa-apa kan? Lihat kita ada di kamar dan kau tenanglah. Tidak ada yang menyakitimu. Apa yang kau pikirkan?"Cuma Amar tidak bisa berpura-pura kalau dia memang ingin tahu apa yang ada dalam benak Caca yang membuat dirinya tidak mau membuka mata, bahkan tadi di dalam mobil
"Sampai jumpa besok, Alila.""Hmm … makasih ya, Shaun. Sampai jumpa besok pagi. Dan terima kasih sudah mengantarkanku belanja.""Ya, tidak masalah, Alila. Kau berjanji padaku, besok kau akan membuat spinach chicken cannelloni untukku. Jangan pernah lupa. Besok pagi aku tidak akan sarapan.""Hehehe. Tenang saja, aku pasti akan membuatkannya untukmu. Aku tidak akan pernah lupa."Wanita bernama Alila itu pun melambaikan tangan pada pria yang ada di dalam mobil dan itu adalah perpisahan mereka. Dia tak menyadari siapa yang di belakang mobil itu. Lagi pula, dia juga tidak tahu apa saja mobil yang dimiliki oleh pria yang kini masih memperhatikannya.Kau bilang, kau menikah denganku dan kau akan setia denganku. Tapi siapa itu? Kekasihmu, kah? Jadi selama ini kau ingin mempermainkanku, kah?Pria itu pun menyipitkan matanya. Hatinya sedang gundah gulana karena perasaannya yang tak jelas selalu, sekarang dia dihadapi dengan satu keadaan yang membuat dirinya berpikir negatif dengan emosinya yang
"Tidak, kau bilang padaku kau ….""Bagus, kalau kau tahu! Dan aku juga bukan orang bodoh yang percaya dengan satu drama. Kalau kau pikir aku percaya dengan perubahanmu, lalu aku memberikan feeling padamu, maka kau salah. Aku tidak akan pernah mencintaimu."Sampai di sana, Arthur bicara dan dia langsung meninggalkan Alila begitu saja tanpa rasa bersalah. Bahkan dia membanting pintu kamarnya untuk menumpahkan semua rasa kesalnya lagi.Cih! Lagi-lagi aku buang-buang waktu. Ngapain juga aku mau ngomel pada anak itu? Dia juga tidak mengerti apa yang kumaksud! Arthur berbisik lagi dalam hatinya masih dengan emosi yang sama."Rich, andai kau tahu seberapa murahan adikmu itu, ini akan sangat melukaimu kurasa." Yang mengingat sahabatnya tiba-tiba juga berpikir begini."Memusingkan saja. Sekarang dia jalan dengan siapa, aku juga tidak tahu. Tapi aku sudah muak dengan semua ini. Aku akan mencari tahu dan nanti kau akan tahu sendiri. Aku tidak main-main dengan ancamanku dan aku mengembalikanmu pa
Sial! Tadi itu aku memukul wajahnya kencang tidak, ya? Arthur bertanya pada dirinya sendiri sambil dia meringis.Telepon yang baru dimatikannya juga masih dipegang di tangannya. Dia mencoba mengingat-ingat, apa yang tadi dilakukannya.Sebenarnya bukan salahku, sih. Dia yang mulai duluan membuat masalah. Kenapa juga dia jalan dengan pria lain dan masih tetap menginginkan aku bersama dengannya? Harusnya dia sudah memutuskan untuk tidak menggangguku lagi dan memilih untuk pulang ke rumahnya. Tapi kenapa dia masih tetap bertahan di sini? Bagaimana tidak membuatku kesal? Apa sih, maunya?Menurut pikiran orang waras, seharusnya setelah Arthur bicara dan mengatakan kalau dia melihat Alila pulang diantar oleh mobil orang lain, seharusnya wanita itu menyerah dan pergi tidak mengganggunya lagi. Tapi kenapa Alila masih tetap berada di sana? Apa yang dia harapkan? Bukankah itu sudah jelas mengatakan, kalau dia tidak mencintai Alila? Lalu kenapa dia masih tetap bertahan?Aish, memusingkan! Arthur l
"Dasar kau egois!"Dan seseorang yang di kamar mandi itu terus saja mengomel tanpa dia sadari, ada celah sedikit di pintu itu yang tidak ditutupnya rapat dan membuat orang bisa mendengar apa yang dikatakan olehnya."Apa selama ini kau menipuku? Kulihat kau sangat baik sekali. Perhatian dan kau terlihat mengagumkan. Tapi nyatanya apa? Kau kejam sekali padaku. Kau bahkan berani menamparku. Papaku saja tidak pernah melakukan itu. Tapi ... ah, biarlah. Aku tidak akan menyerah darimu. Akan kutunjukkan kalau kau akan menyesal menghinaku. Aku tidak seperti yang kau pikirkan dan aku bukan sampah."Masih sambil menghanduki tubuhnya, dia masih bicara sendirian. Membuat orang yang berada di pintu itu kembali tersenyum dan merasa bersyukur karena dia sudah kembali lagi pada kesadarannya."Dan kau tahu? Kakiku ini benar-benar sakit. Gara-gara kau, aku jadi terjatuh. Kalau bukan karenamu, aku tidak akan sial seperti ini! Apa kau tidak bisa sedikit saja berbaik hati padaku? Dan apakah akan menguji s
"Inilah kenapa aku bilang kau tidak pernah bisa move on. Kau terus saja berpikir kalau aku membully-mu. Kau tahu? Aku memberitahukanmu supaya bisa menjadi wanita yang lebih baik. Bukan menjadi anak kecil terus-terusan.”"Jadi menurutmu, tubuhku seperti anak kecil?" Alila kembali berpikir saat bertanya.Dan Arthur kini menghempaskan nafas sambil dia terpaksa merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone-nya."Lihat ini!" Dia membuka sesuatu yang membuat Alila membuang wajahnya."Kau tidak boleh melihat yang seperti itu, Arthur.""Aku ini pria dewasa, bukan anak kecil. Kau yang tidak boleh, karena kau masih kecil. Tapi sekarang, kau istriku, jadi kau sudah termasuk wanita dewasa karena kau sudah berani menikah.""Memang ada aturan begitu?" Alila masih membuang wajahnya saat bertanya macam tadi pada Arthur."Sini, lihat." Arthur pun menggerakkan jarinya di dagu Alila, membuat Alila menatap sesuatu."Arthur, kau jorok. Tangan itu tadi sudah masuk ke sana. Harusnya kau cuci tangan dulu.""Itu