"Arvin, aku pamit pulang dulu. Mau mandi sama ke rumah Mbah Jenggot untuk membantu menyembuhkan adik kamu."
"Sarapan dulu, Mas. Nanti baru pulang.""Nantilah gampang. Aku sarapa di rumah saja. Kamu tuh jangan sampai telat sarapan biar tetap sehat supaya bisa merawat adik kamu," ujar Anton memberi sedikit perhatian pada tetangganya. "Iya, Mas. Terima kasih banyak atas bantuannya." "Sama-sama. Nanti aku ke sini sorean, ya. Pamit dulu. Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Mas." Arvin mengangkat telapak tangannya menatap kepergian Anton meninggalkan ruang rawat. Kini hanya tinggal dirinya dan Farhan yang kembali tertidur usai sarapan dan meneguk obat pemberian dokter. Tadi saat bangun, dia sempat kembali berteriak histeris. Hingga membuat pasien lain yang di kamar itu sedikit terganggu dengan ulah Farhan.Namun untungnya, Arvin bisa menenangkan adiknya.Arvin pun memutuskan untuk tidur sesaat ketika Farhan kembali tidur setelah disuntik obat penenang oleh dokter. Semalam dia tidak bisa tidur karena mengalami beberapa gangguan gaib. Belum lagi Farhan yang sering histeris jika terbangun. Membuat kepala Arvin berdenyut karena kurang tidur.Namun, baru saja dia memejamkan kedua matanya, Arvin kembali membuka matanya sambil bibirnya meringis saat perutnya terasa dipelintir. "Asam lambungnya kambuh," keluhnya sembari menyentuh bagian dadanya yang terasa panas juga perih. Arvin memang memiliki riwayat penyakit asam lambung. Biasanya akan kambuh jika dia kurang tidur, terlalu banyak pikiran, juga telat makan.Persis seperti apa yang dialaminya sejak semalam. Dia pun mengurungkan niatnya untuk tidur. Arvin bangkit dari duduknya sambil membawa tasnya. Kakinya melangkah keluar ruangan setelah menitipkan Farhan pada suster yang jaga."Saya mau keluar sebentar, Sus. Tolong jaga adik saya, ya. Ini nomor telepon saya. Hubungi saya saja jika terjadi apa-apa pada adik saya," ujar Arvin sambil memberikan kertas berisi nomor teleponnya yang sudah dia tulis sebelumnya."Oh, ya. Baik, Mas." Suster itu menerima kertas pemberian Arvin. Lalu menyimpannya di saku baju seragamnya. "Terima kasih, Sus.""Sama-sama," balasnya dengan senyum ramah. Setelah menitipkan Farhan pada suster, Arvin pun memilih keluar rumah sakit. Berjalan dengan langkah gontai. Kemudian masuk ke dalam warung makan yang menyediakan makanan prasmanan.Perutnya harus segera diisi dengan makanan sebelum sakit yang dirasakannya semakin bertambah parah."Bu, nasi rames, ya," ucapnya pada penjaga warung."Oh, iya, Mas. Silakan ambil sendiri sesuai selera," balas penjaga warung itu sambil memberikan piring dan sendok pada Arvin. "Terima kasih. Tapi, lauk bebas sama saja sepuluh ribu, Bu?" tanyanya memastikan.Pasalnya, uang yang ada di dompetnya hanya tinggal beberapa lembar saja. Karena gajian masih beberapa hari lagi. Belum lagi, bulan ini banyak tanggal merah, dia menjadi sering libur.Jadi, harus berhemat. Untung saja, biaya pengobatan Farhan ditanggung pihak penyedia jasa jaminan kesehatan. Sehingga, dia tidak perlu pusing memikirkan biaya rumah sakit."Betul. Pakai lauk apa saja hanya sepuluh ribu, Mas," jawab perempuan berhijab abu-abu itu dengan senyum ramah."Oke," sahut Arvin.Kemudian, dia mulai mengambil sedikit nasi, lauk ayam semur dan oseng sayur labu siam. Setelahnya, dia duduk di ujung warung. Karena hanya itu meja yang tidak berpenghuni.Baru saja dia melahap satu suapan. Tiba-tiba suara bariton seorang laki-laki sedikit mengejutkannya karena datangnya yang tiba-tiba."Permisi, boleh saya duduk di sini?" tanyanya pada Arvin. Arvin menghentikan suapannya. Kemudian mengangkat wajah. Penasaran dengan wajah orang yang ada di hadapannya."Boleh, Pak. Silakan," jawab Arvin dengan senyum ramah."Terima kasih," ujarnya. "Sama-sama."Arvin masih berusaha mengukir senyum. Meski hati dan pikirannya sedang tidak sejalan karena masalah yang tengah menimpa dirinya. Mereka pun menghabiskan makanannya masing-masing dalam diam.Hingga saat Arvin hendak membayar makanan yang sudah dihabiskannya, laki-laki dengan perut buncit itu berbicara, "Sepertinya ada masalah denganmu, Anak muda?" tanyanya yang membuat Arvin mengurungkan langkahnya. Dia menatap laki-laki itu dengan kening berkerut."Maksud Mas?" Tanyanya penasaran."Saya tahu apa yang sedang menimpamu," ujarnya lagi. Membuat Arvin menyunggingkan sedikit bibirnya tanpa laki-laki itu tahu. "Jangan meremehkan. Aku bahkan bisa tahu apa isi hatimu tanpa kamu beritahu kepadaku. "Maaf, Pak. Saya harus permisi," kata Arvin yang malah mengabaikan ucapan orang itu. Tidak tertarik sama sekali. Dia hanya menganggap orang itu berbohong saja. "Saya bisa menyembuhkan adik kamu yang terkena gangguan gaib itu," ujarnya. Arvin melebarkan kedua matanya. Menatap laki-laki bertubuh gempal itu dengan rasa penasaran. Bagaimana dia bisa tahu apa yang sedang dia risaukan?Apakah dia bisa membaca hati manusia? Tapi masa iya? Pikiran Arvin semakin dipenuhi oleh tanda tanya. Membuat kepalanya semakin berdenyut. Namun, dia coba untuk bertahan demi kesembuhan adiknya.Arvin mengurungkan niatnya untuk bangkit dari tempat duduk. Tatapannya mengarah pada laki-laki yang baru saja berbicara dengannya. "Maksud Mas?" tanyanya dengan kerutan dikeningnya. "Saya tahu jika adik kamu dirawat di rumah sakit ini karena kecelakaan setelah membuat konten uji nyali di kebun binatang yang terbengakalai itu kan? Tempat yang sedang viral keangkerannya," ujarnya menatap Arvin dengan senyum tipis. Arvin semakin mengerutkan keningnya. "Dari mana Mas tahu?" tanyanya penasaran. Laki-laki itu tersenyum kecil. Dia meneguk sisa air putih yang tinggal seperempat gelas dengan tandas. Lalu menjawab pertanyaan Arvin. "Tidak penting dari mana saya tahu. Yang jelas, saya bisa bantu kamu untuk menyembuhkan adik kamu seperti semula," katanya dengan penuh keyakinan. "Bagaimana bisa?" tanya Arvin penasaran. "Eh, tapi ...." Dia teringat jika sore ini, Mas Anton akan mendatangkan Mbah Jenggot seorang dukun kampung untuk mencoba menyembuhkan Farhan."Saya juga tahu, jika kamu sudah
Laki-laki berjenggot putih itu tak langsung menjawab pertanyaan Arvin. Dia malah membuka telapak tangannya lebar-lebar. Lalu menggerakkannya dari ujung kepala hingga sampai di ujung kaki Farhan, dia seperti membuang sesuatu dan terlihat sedikit berat. Mbah Jenggot mengulanginya hingga beberapa kali. Keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori kulit wajahnya yang sudah mengeriput. Dia seperti mengeluarkan sebuah energi yang bersemayam di dalam tubuh Farhan. "Mas, apa yang dilakukan Mbah Jenggot sebenarnya?" tanya Arvin yang mendekatkan bibirnya pada telinga Anton. Dia memang terlalu awam dengan hal seperti itu. Karena memang tidak pernah mengalaminya. "Mengeluarkan jin," balas Anton asal. Bahkan tanpa mengalihkan perhatiannya dari apa yang sedang dilakukan oleh Mbah Jenggot pada Farhan. Arvin mengerutkan keningnya mendengar jawaban yang keluar dari mulut Anton. "Jadi, Farhan benar-benar kerasukan jin?" tanya Arvin menatap sang Adik dengan tatapan tak percaya. Dia pikir, Far
Arvin mulai memikirkan cara bagaimana menguak apa yang terjadi pada adiknya sehingga dia bisa seperti itu. Karena menuntut cerita dari adiknya pun percuma, Farhan malah terlihat kesal padanya. Padahal, Arvin telah mengorbankan banyak hal untuk adik satu-satunya.Dia menoleh saat mendapati pintu kamar Farhan terbuka. Sang empunya keluar dari sana sembari meletakkan tas selempang di bahu kanannya. Entah apa isinya."Kamu mau ke mana, Han?" tanyanya seraya berdiri dari duduknya."Ke basecamp sebentar," jawabnya tanpa menoleh ke arah sang Kakak yang mengikuti langkahnya ke luar rumah."Han, kamu baru pulang dari rumah sakit. Istirahat saja lah dulu," katanya mengingatkan Farhan. Takut terjadi apa-apa dengannya."Aku sudah besar, Mas. Bisa jaga diri," jawabnya menoleh sekilas ke arah Arvin yang akhirnya hanya bisa mengembuskan napas panjang."Sebelum Maghrib sudah harus pulang!" teriaknya sedikit kencang menatap punggung adiknya yang menjauh bersama dengan laju motornya.Farhan hanya menja
Arvin menggedor pintu kamar Farhan yang ternyata terkunci dari dalam. Sementara sang Adik masih berteriak histeris dari dalam kamarnya. Arvin pun semakin cemas saat terdengar suara barang-barang yang dibuang, bahkan suara pecahan kaca. Dia khawatir terjadi sesuatu pada adiknya. "Farhan, buka pintunya!" panggil Arvin dengan bibir sedikit gemetar. Sungguh dia mencemaskan kondisi adiknya.Tak ada pilihan lain, karena dipanggil-paggil sejak tadi pun tidak ada respon membuka pintu. Akhirnya laki-laki bertubuh jangkung itu mundur lima langkah. Kemudian dia berlari dan membenturkan tubuhnya pada pintu kamar. Mencoba mendobrak pintunya secara paksa. Percobaan pertama tidak berhasil. Pintu masih tertutup rapat. Dia pun mencoba lagi, mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk mendobrak pintu kamar Farhan hingga akhirnya pintu tersebut berhasil terbuka lebar. Kedua netranya pun gegas mengedarkan pandangannya, menyapu seisi kamar Farhan yang persis seperti kapal pecah. Semua barang-barangny
Jika harus ganti orang, dia khawatir tidak sesuai dengan yang seperti Mbah Jenggot kemarin. Karena Farhan sudah cocok dengan laki-laki berjenggot panjang itu."Gimana, Vin?"Pertanyaan yang terlontar dari mulut Anton membuat Arvin tersadar dari lamunannya. Dia menatap Anton serius."Apa nggak apa-apa ganti orang, Mas? Secara Farhan kemarin sudah cocok dengan Mbah Jenggot," tanyanya ragu."Orang ini kan kenalan Mbah Jenggot, jadi pasti kemampuannya pun sama dengan Mbah Jenggot.""Mas Anton yakin?""Sudahlah, dicoba dulu saja, Vin. Dari pada adik kamu semakin menjadi. Memang kamu mau?"Arvin menggeleng cepat. Tidak. Dia tidak ingin melihat adiknya terus menerus dalam kondisi seperti ini. Dia merasa asing dengan adiknya. Pun kasihan melihat sang Adik harus menderita karena mentalnya terus menerus diteror oleh kedatangan makhluk yang hanya Farhan saja yang melihat.Terkadang, Arvin berpikiran jika Farhan hanya halusinasi. Karena dia juga tidak melihat wujud dari makhluk yang sering dikata
Anton dan Arvin kembali melempar pandang dengan tatapan heran. Anton hanya membalasnya dengan mengangkat kedua bahunya, tanda dia juga tidak tahu. Bersamaan dengan itu, pintu kamar Farhan terbuka lebar. Sang empunya kamar pun sempat mundur lagi dengan tubuh sedikit berjingkrak. Terkejut dengan kehadiran sosok laki-laki yang memakai pakaian serba hitam itu. "Siapa kamu?" tanya menatap Mbah Tejo dingin.Merasa tidak terlalu suka jika ada seseorang yang hendak masuk ke dalam kamarnya. Karena menurutnya, kamar itu adalah privasi. Tidak sembarangan orang boleh memasukinya."Farhan." Arvin mendekat dan berdiri di samping adiknya. "Dia itu Mbah Tejo. Orang yang akan membantumu terbebas dari gangguan makhluk itu," jelasnya hati-hati. Tatapan mata Farhan langsung memindai penampilan Mbah Tejo dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya. Dari tatapannya, Arvin bisa menangkap jika adiknya itu kurang suka dengan kedatangan Mbah Tejo. Padahal, saat dia memberitahu jika akan ada tamu yang datang
Jantung Arvin seketika berdegup kencang saat melihat adiknya kembali melempar semua barang-barangnya ke arah lemari sambil berteriak histeris. Begitulah Farhan mengisi malam-malamnya sejak nekat melakukan uji nyali. Dia seperti orang yang terkena halusinasi. Atau memang hanya dia yang melihat. Karena baik Arvin ataupun Anton tidak melihat apapun di kamar Farhan."Farhan, hentikan!" Arvin berlari dan langsung memeluk tubuh adiknya agar tenang dan tidak berontak serta histeris lagi. "Makhluk itu datang lagi, Mas! Suruh dia pergi!" rancaunya sambil berusaha melepaskan diri dari dekapan sang Kakak dan kembali melempari barang yang dia pegang ke arah lemari. "Farhan, tenang, ya. Di sini tuh nggak ada apa-apa," ucap Anton ikut menimpali. "Apa kalian tidak lihat? Makhluk itu datang lagi dan dia bilang ingin membunuhku! Aku tidak mau, Mas! Aku tidak mau!" teriaknya lagi dengan tatapan tertuju pada lemari pakaiannya. "Farhan!" Bentakan Arvin membuat Farhan seketika berhenti memberontak. M
Arvin kembali meninggalkan Farhan di rumah seorang diri. Sebenarnya berat, mengingat terkadang adik satu-satunya itu berteriak histeris ketakutan seperti semalam. Namun, dia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Mencari pekerjaan bagi Arvin tidaklah gampang. Terlebih, dia hanya memiliki ijazah sekolah menengah pertama. Untung saja, perusahaan tempatnya bekerja sekarang mau menampung anak-anak yang hanya lulusan SMP. Karena rata-rata, perusahaan sekarang hanya akan menerima pekerja yang memiliki ijazah sekolah menengah kejuruan atau sederajat."Mas Arvin, dipanggil bos ke ruangannya," ujar salah satu rekan kerjanya saat dia baru saja sampai di pabrik setelah pulang sesaat untuk memastikan kondisi adiknya di rumah. Laki-laki itu mendesah panjang. Lalu mengangguk. "Ya sudah."Dengan langkah gontai, dia pun berjalan menuju kantor. Otaknya sudah banyak menyimpan dugaan tentang dipanggilnya dia ke ruang kantor untuk menemui atasann
Arvin menatap Kiyai Fathur dengan tak percaya. Dia masih sedikit syok mendengar kalimat yang keluar dari mulut orang yang paling dia percaya saat ini.“I-ini sungguhan, Kiyai?” tanyanya memastikan. Dia khawatir jika ini adalah prank. Tapi tidak mungkin jika Kiyai Fathur mengerjai Arvin tentang lamaran. Bahkan itu lamaran anaknya sendiri.Laki-laki setengah baya itu membetulkan letak sorbannya yang agak jatuh dari bahunya. Lalu mengangguk dan membalas tatapan Arvin dengan seulas senyum.“Arvin, saya tidak pernah bercanda soal pernikahan. Apalagi, pernikahan itu sesuatu yang sacral. Tanggung jawabnya besar di hadapan Allah,” katanya sungguh-sungguh.“T-tapi, Kiyai. Ap-apa Kiyai yakin menyerahkan putri bungsu Kiyai pada saya?” tanyanya sedikit ragu. “Ma-maksud saya, Kiyai Fathur tahu sendiri kondisi saya seperti apa saat ini. Tidak punya pekerjaan tetap. Bahkan … ilmu agama pun saya masih harus belajar banyak. Saya takut tidak bisa menjadi imam rumah tangga yang baik untuk Dek Latifah. S
Belum habis keterkejutan Farhan dengan memberikannya fasilitas gratis selama memperdalam ilmu agama di pesantren ini. Sekarang, dia kembali dikejutkan dengan niat Kiayi Fathur untuk menikahkan anak sulungnya dengan kakak tercintanya.Dia masih tertegun. Merasa tidak percaya jika Kiyai Fathur, seorang pemuka agama yang terkenal di daerahnya ingin menikahkan putri kesayangannya dengan orang biasa macam Arvin? Bahkan kerjaan pun Arvin tidak punya pasca dipecat gara-gara dirinya.“Farhan!” panggilan dan tepukan kecil tangan Kiyai Fathur menyadarkan laki-laki berusia dua puluh tiga tahun dari lamunannya.Farhan mengerjapakan kedua matanya beberapa kali. Lalu berkata, “Apa saya mimpi, Kiyai?” tanyanya setelah sadar beberapa saat. “Barangkali saya masih berada di tempat Eyang Adiwangsa dan tengah bermimpi indah dalam tidur saya?” tanyanya lagi menatap Kiyai Fathur serius.“Saya tidak pernah main-main soal pernikahan , Fa
Satu Minggu di pondok pesantren, kondisi Farhan berangsur membaik. Meski dia yang paling mendapat terapi paling eksklusif untuk mengendalikan dirinya.Jiwanya yang kosong mulai terisi dengan mendengarkan tausyiah-tausyiah juga bacaan-bacaan ayat suci Al-Quran.Ibadah mereka pun semakin baik. Arvin bahagia melihat perubahan adiknya itu.Arvin baru saja keluar dari kamar mandi usai mandi karena hendak salat ashar berjamaah. Sengaja dia mandi lebih awal agar tidak terlalu antre.Saat dia hendak kembali ke kamarnya, dia tak sengaja bertemu dengan Kiyai Fathur yang baru saja pulang dakwah di luar pondok pesantren. Dua santri yang mengawalnya terlihat masing-masing membawa dua kantong plastic hitam besar.“Assalamu’alaikum, Kiyai,” sapanya sambil sedikit membungkukkan punggungnya. Mengikuti kebiasaan para santri jika bertemu dengan Kiyai Fathur atau guru-gurunya yang lain sebagai bentuk penghormatan.“Wa’alaikumsalam,” balas Kiyai Fathur menatap Arvin dengan senyuman. Mereka pun berjabat ta
Pihak kepolisian mendatangi lokasi pesantren yang akan menampung para korban kebejatan Eyang Adiwangsa. Tentu setelah mendapat persetujuan dari keluarga korban. Ada yang menurut, ada juga yang membawanya pulang dan merasa trauma karena takut mengalami hal yang sama.Tak apa, polisi tidak akan memaksa. Toh, itu hak mereka. Pihak kepolisian hanya akan memasukkan yang mau saja.“Assalamu’alaikum,” sapa seorang polisi bernama Suseno. Dia diantar oleh seorang santri menuju rumah dari pemilik pondok pesantren yang kini semakin banyak saja muridnya.“Wa’alaikumsalam,” sahut seorang laki-laki dari dalam.Sosok laki-laki setengah baya yang memakai kemeja warna merah bata yang dipadu dengan sarung polos berwarna hitam. Tidak lupa, sebagian kepalanya tertutup peci hitam. Senyum laki-laki bermata teduh itu menghiasi wajahnya.Sebelumnya, dia sudah diberitahu oleh besannya, dokter yang menangani kasus Eyang Adiwangsa di rumah sakit jika akan ada pihak kepolisian yang datang ke pesantrennya karena
Pintu pun didobrak secara paksa. Cipto dan Eyang Adiwangsa yang tidak bisa kabur pun akhirnya pasrah saat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan bersama beberapa anak buah Eyang Adiwangsa. Pasien lain pun merasa ketakutan dan kebingungan. Ada yang langsung disambut keluarganya, ada juga yang sempat ditenangkan dan disadarkan oleh warga sekitar karena keluarganya belum mengetahuinya. Polisi yang tersisa juga masyarakat setempat menggeledah ruang pribadi milik Eyang Adiwangsa dan menemukan bukti-bukti kebusukan laki-laki paruh baya itu, berupad bukti transfer yang banyak dari para pasiennya. “Pak, katanya di sini ada penjara yang digunakan Eyang Adiwangsa untuk mengurung orang-orang yang sudah mengetahui kebusuukkannya,” ujar salah satu warga yang diberi info oleh salah satu pasien yang keluarganya juga dimasukkan ke dalam penjara, tapi sudah meninggal karena kelaparan. Dan mirisnya, dia tidak tahu akan hal itu. Polisi pun langsung mencari tempat tersebut dan
Semakin hari, kondisi Farhan semakin parah. Meski ada yang bisa mengobati, namun Farhan bisa sampai tiga kali kerasukan setiap harinya. Tubuhnya yang tadinya berisi pun kini terlihat kurus. Beban mental yang terus menggerogoti hati dan pikirannya membuatnya semakin tertekan dengan kondisi sekarang ini.Bukan hanya Farhan yang mengalaminya, Arvin pun demikian. Dia tidak bisa berbuat apapun demi menyelamatkan adiknya. Yang ada hanya rasa bersalah karena telah menjebloskan adiknya ke dalam penjara seperti ini dan membuat hidupnya semakin menderita.Sesama penghuni penjara pun tidak bisa membantu banyak. Karena mereka juga sudah begitu lama berada di ruangan pengap tersebut dan tidak bisa keluar karena tidak ada akses keluar dari sana.“Maafkan Mas, Farhan ….” Arvin mengusap rambut kepala adiknya yang sudah gondrong karena tak dirawat. Padahal, Farhan adalah tipe orang yang paling rajn dengan rambut.Dia baru saja tenang setelah hampir setengah jam meraung-raung karena kerasukan makhluk
Farhan pun akhirnya mengaku dan dia merasa sangat hina karena sudah dinodai. Dia pun menangis dan merasa sangat menyesal. Arvin sendiri langsung mencelos. Dia pun merasa sangat menyesal juga merasa paling bersalah karena telah membawa adiknya pada tempat mengerikan seperti ini. Dia pun ikut menangis menyesali apa yang sudah terjadi. Bukannya menyembuhkan sang Adik, dia malah justru semakin menjerumuskan adiknya pada lembah kenistaan. Bahkan mereka malah tersesat pada ajaran sesat. Beruntung, mereka cepat menyadari. Tidak seperti pasien lain yang sudah berbulan-bulan berada di padepokan yang menganut ajaran sesat itu. “Maafkan Mas, ya, Han. Maafkan Mas …,” lirih Arvin sambill memeluk adiknya dengan isak tangis. Farhan menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Mas nggak salah,” sahutnya diikuti isakan kecil. “Mas sudah berusaha untuk menyembuhkanku,” sambungnya. “Harusnya Mas nggak langsung percaya saja sama Mas Cipto. Brengsek memang itu orang!” geramnya sambil menatap lurus ke arah dinding
Tubuh lemah Farhan didorong begitu saja masuk ke dalam ruangan khusus terapi. Eyang Adiwangsa pun sudah menunggunya di sana. Senyum penuh kemenangan menyambut kehadiran Farhan.Laki-laki itu pun hanya diam dengan tatapan kosong. Farhan ada dalam pengaruh hipnotis yang dilakukan oleh salah satu anak buah Eyang Adiwangsa.“Keluar!” titah laki-laki berjubah itu sambil menatap kedua anak buahnya.Tanpa menjawab. Kedua anak buahnya itu menganggukkan kepalanya cepat. Lalu memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. Membiarkan Eyang Adiwangsa bersama dengan Farhan berdua saja.Mereka pun tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Eyang Adiwangsa pada Farhan. Terpenting, tugasnya sudah selesai.Tatapan Eyang Adiwangsa mengelilingi tubuh Farhan. Senyumnya mengembang sempurna. Dia kini merasa menang karena bisa melemahkan orang-orang yang sudah mengetahui kebusukkannya.“Sekarang kamu sudah tahu apa yang aku lakukan saat ini, Farhan,” ujarnya sambil berjalan mengitari tubuh Farhan
“Kalian nggak dengar suara iqomah apa? Malah ngobrol di sini!” ujar Cipto sembari menatap keduanya dengan sedikit sinis. Karena dia mendengar apa yang tengah kakak beradik itu bicarakan. Meski tidak semua, paling tidak, dia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Seketika itu Arvin dan Farhan menatap ke sekitar dan memang hanya tinggal mereka berdua yang masih ada di depan. Para jamaah sudah bersiap untuk salat Subuh pada tempatnya masing-masing. Kali ini, shaf antara laki-laki terpisah dengan perempuan. Baik pasien maupun yang menemani berbaur menjadi satu. Tidak seperti saat selepas ashar yang dipisah agar lebih mudah membedakan mana pasien dan keluarga yang menemani. “I-iya, Mas,” sahut Arvin yang langsung menarik ujung baju Farhan agar segera masuk ke dalam mushola dan bergabung dengan lainnya untuk salat subuh.Mereka berjalan melewati Cipto begitu saja. Membuat laki-laki bertubuh gempal itu berdecak kesal. “Sudah mulai berani rupanya kalian? Eyang harus tahu agar lebih hat