Kira-kira, Farhan bakal nolak lagi nggak, ya? :)
Arvin kembali meninggalkan Farhan di rumah seorang diri. Sebenarnya berat, mengingat terkadang adik satu-satunya itu berteriak histeris ketakutan seperti semalam. Namun, dia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Mencari pekerjaan bagi Arvin tidaklah gampang. Terlebih, dia hanya memiliki ijazah sekolah menengah pertama. Untung saja, perusahaan tempatnya bekerja sekarang mau menampung anak-anak yang hanya lulusan SMP. Karena rata-rata, perusahaan sekarang hanya akan menerima pekerja yang memiliki ijazah sekolah menengah kejuruan atau sederajat."Mas Arvin, dipanggil bos ke ruangannya," ujar salah satu rekan kerjanya saat dia baru saja sampai di pabrik setelah pulang sesaat untuk memastikan kondisi adiknya di rumah. Laki-laki itu mendesah panjang. Lalu mengangguk. "Ya sudah."Dengan langkah gontai, dia pun berjalan menuju kantor. Otaknya sudah banyak menyimpan dugaan tentang dipanggilnya dia ke ruang kantor untuk menemui atasann
Arvin pun mendadak panik saat mendengar teriakan adiknya saat dalam perjalanan ke rumah ustadz untuk mengobati Farhan. Bahkan, beberapa pasang mata menatap keduanya dengan heran saat melihat Farhan berteriak ketakutan. Dia pun menepikan motornya karena takut menyenggol pengendara lain. Karena Farhan tidak bisa tenang di atas motor dan membuat motor yang dikendarai Arvin sedikit oleng. "Farhan, tenanglah sedikit. Jangan bergerak terus. Mas sudah ini mengendarai motornya," protesnya pada sang Adik. "Aku takut, Mas. Makhluk itu ada di mana-mana. Dia mau bunuh aku. Aku nggak mau mati!" teriaknya sambil menyembunyikan wajahnya di balik punggung kakaknya. Arvin pun terpaksa menghentikan motornya dan mencoba menenangkan adiknya agar tidak berontak lagi. Dia juga menelepon Anton yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. ["Ada apa, Vin? Kamu di mana? Kok nggak kelihatan?"]"Aku berhenti di pinggir jalan, Mas. Di depan counter hp. Arvin tadi berteriak ketakutan pas di motor. Jadi aku pi
Farhan hanya menggelengkan kepalanya dengan napas yang masih terlihat ngos-ngosan. Entah karena apa, Arvin sendiri tidak tahu. Dia hanya khawatir jika Farhan kembali berteriak histeris ketakutan karena melihat sosok yang hanya adiknya saja yang melihat. Anton pun menatap Farhan dengan heran. Dia merasa jika Farhan sedang tertekan hatinya. Dia pun menepuk bahu Farhan dan membuat laki-laki itu menoleh ke arah Anton. Wajahnya terlihat sedikit memerah, begitu juga dengan kedua matanya. "Han, sadar. Jangan seperti itu. Kuasai dirimu," ujar Anton yang lebih paham apa yang sebenarnya terjadi pada Farhan. Laki-laki itu hanya mengembuskan napas kasar. Lalu melirik ke arah Ustaz Zaki dengan tajam. Arvin pun mulai panik saat melihat perubahan yang terjadi pada adiknya. Takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Apalagi, ini di rumah orang lain. Belum lagi nanti mereka masih harus melakukan perjalanan, meski tidak sampai setengah jam, tapi Arvin tetap khawatir. Terlebih tadi saat perjalanan
Farhan mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk menahan rasa terbakar yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia memilih diam dan menikmati semua itu sendiri. Sedangkan Arvin menatap Farhan dengan bingung. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada adiknya. Pasalnya, Farhan malah meletakkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan yang dijadikan bantalan. Membuat wajah Farhan yang memerah itu tak terlihat. "Farhan ...," panggilnya sambil mengguncang tubuh adiknya perlahan. "Apa kita pulang saja? Makanannya biar dibungkus saja," imbuhnya. "Sudah pesan?" tanya Anton yang baru saja kembali dari toilet. Membuat Arvin menoleh ke arah Anton. Sedangkan Anton menatap Farhan dengan kening berekrut. "Farhan kenapa?" tanyanya yang langsung mengambil posisi duduk di dekat Farhan dan mengusap punggungnya. Arvin menggelengkan kepalanya dengan tatapan yang tak dimengerti oleh Anton. "Nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia begini." Anton mengembuskan napas panjang. Lalu membisikkan sesuatu di telinga Farhan. "Fa
Arvin terdiam sejenak mendengar apa yang dikatakan oleh Anton. Dia pun pernah mendengar kisah serupa. Keangkeran tempat yang pernah dijadikan tempat wisata itu memang bukan main-main. Rata-rata, mereka yang sudah pernah masuk ke tempat itu meninggal dengan cara yang mengenaskan. Mungkin awalnya sama seperti adiknya, diteror oleh sosok laki-laki yang kepalanya hampir putus. Dia jadi teringat jika Farhan pun sering ketakutan saat sosok itu datang, katanya dia akan membunuh adiknya karena sering melihat sosok itu membawa golok, kapak, atau parang.Mengerikan memang. Arvin terkesiap saat mendengar suara lonceng yang menandakan waktu istirahat telah selesai. Dia mengerjapkan kedua matanya. Mencoba menghapus pikiran buruk yang sempat mengganggu pikirannya. Padahal, dia baru saja mulai lega karena Farhan sudah mulai membaik. "Sudah bel. Aku masuk kantor dulu," ujar Anton sambil menepuk bahu Arvin. Laki-laki bertubuh jakung itu menoleh dan menatap ke arah Anton dengan senyuman. "Iya, Mas.
Arvin mengendarai motornya dengan kecepatan tujuh puluh kilometer perjam. Berharap bisa sampai di rumah dengan cepat. Meski hanya memakan waktu lima belas menit, namun kali ini dia ingin sesegera mungkin sampai di rumah. Namun, baru saja dia hendak berbelok masuk gang yang menuju rumahnya, tiba-tiba dia terjatuh karena motor bagian belakang yang dikendarainya tidak sengaja ditabrak oleh pengguna motor lain. Beruntung tidak ada luka serius. Karena Arvin selalu memakai pakaian lengkap jika mengendarai motor, seperti jaket, celana panjang, sepatu, dan tentunya helm. Dia pun langsung bangkit dan menoleh ke arah pengendara motor yang menabraknya, seorang perempuan berhijab yang masih terduduk di sebelah motornya. Untung saja jalanan malam ini sedang sepi, sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun yang bisa berakibat fatal. "Astaghfirullah ...," rintih perempuan yang menabrak motor Arvin sembari mengibaskan tangan kanannya yang berdarah karena bersenggolan dengan aspal. "Mbak nggak papa
Arvin terus berusaha menyadarkan Farhan jika yang dilakukannya itu tidak baik. Namun, Farhan seolah tak peduli. Tatapan matanya semakin tajam seiring dengan tangannya yang semakin kencang mencekik leher Arvin. Membuat laki-laki berperawakan tinggi kurus itu semakin merasa sesak dadanya karena oksigen yang masuk ke dalam rongga paru-parunya semakin menipis. Dia pun terus menggedor lemari kayunya dengan sisa tenaga yang masih dimiliki. Berharap ada tetangga atau orang yang melintas di depan rumahnya dan mendengar apa yang menjadi pertanda Arvin meminta bantuan. Terlebih, dia tadi belum sempat menutup pintu depan karena saking paniknya mencari keberadaan adiknya. "Fa-r-han ... he-n-ti-kan ...." Kedua matanya menatap sang Adik dengan mengiba. Berharap Farhan sadar dan menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Namun, cara itu pun sia-sia. Justru Farhan terlihat sangat marah dan mengangkat tubuh Arvin yang menempel pada lemari kayu. Tak i
Arvin pun menceritakan tentang pertemuannya dengan laki-laki bertubuh gempal yang tak sengaja di kantin rumah sakit saat dia menunggui adiknya yang sedang di rawat di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dia juga menceritakan jika laki-laki yang memperkenalkan diri dengan nama Cipto itu tahu bagaimana keadaan Farhan saat di rumah sakit. Padahal, Arvin sendiri tidak tahu dan tidak melihat keberadaan Cipto ada di dekatnya saat itu. "Dia tahu dari mana?" tanya Anton mengernyit heran. Arvin hanya mengendikkan kedua bahunya. "Entah, Mas. Aku sendiri heran, kok bisa dia tahu gitu?" "Apa jangan-jangan dia ada di sekitar kamu dan melihat bagaimana Farhan saat itu, tapi kamu nggak lihat." Anton mencoba menerka-nerka. "Mungkin saja. Atau ... entahlah. Dia bilang, dia bisa bantu Farhan," katanya serius. Bibirnya tersenyum tipis, merasa jika ada setitik harapan bagi kesembuhan Farhan setelah berbagai cara ditempuhnya untuk menyembuhkan adiknya, membebaskannya dari