Arvin terdiam sejenak mendengar apa yang dikatakan oleh Anton. Dia pun pernah mendengar kisah serupa. Keangkeran tempat yang pernah dijadikan tempat wisata itu memang bukan main-main. Rata-rata, mereka yang sudah pernah masuk ke tempat itu meninggal dengan cara yang mengenaskan. Mungkin awalnya sama seperti adiknya, diteror oleh sosok laki-laki yang kepalanya hampir putus. Dia jadi teringat jika Farhan pun sering ketakutan saat sosok itu datang, katanya dia akan membunuh adiknya karena sering melihat sosok itu membawa golok, kapak, atau parang.Mengerikan memang. Arvin terkesiap saat mendengar suara lonceng yang menandakan waktu istirahat telah selesai. Dia mengerjapkan kedua matanya. Mencoba menghapus pikiran buruk yang sempat mengganggu pikirannya. Padahal, dia baru saja mulai lega karena Farhan sudah mulai membaik. "Sudah bel. Aku masuk kantor dulu," ujar Anton sambil menepuk bahu Arvin. Laki-laki bertubuh jakung itu menoleh dan menatap ke arah Anton dengan senyuman. "Iya, Mas.
Arvin mengendarai motornya dengan kecepatan tujuh puluh kilometer perjam. Berharap bisa sampai di rumah dengan cepat. Meski hanya memakan waktu lima belas menit, namun kali ini dia ingin sesegera mungkin sampai di rumah. Namun, baru saja dia hendak berbelok masuk gang yang menuju rumahnya, tiba-tiba dia terjatuh karena motor bagian belakang yang dikendarainya tidak sengaja ditabrak oleh pengguna motor lain. Beruntung tidak ada luka serius. Karena Arvin selalu memakai pakaian lengkap jika mengendarai motor, seperti jaket, celana panjang, sepatu, dan tentunya helm. Dia pun langsung bangkit dan menoleh ke arah pengendara motor yang menabraknya, seorang perempuan berhijab yang masih terduduk di sebelah motornya. Untung saja jalanan malam ini sedang sepi, sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun yang bisa berakibat fatal. "Astaghfirullah ...," rintih perempuan yang menabrak motor Arvin sembari mengibaskan tangan kanannya yang berdarah karena bersenggolan dengan aspal. "Mbak nggak papa
Arvin terus berusaha menyadarkan Farhan jika yang dilakukannya itu tidak baik. Namun, Farhan seolah tak peduli. Tatapan matanya semakin tajam seiring dengan tangannya yang semakin kencang mencekik leher Arvin. Membuat laki-laki berperawakan tinggi kurus itu semakin merasa sesak dadanya karena oksigen yang masuk ke dalam rongga paru-parunya semakin menipis. Dia pun terus menggedor lemari kayunya dengan sisa tenaga yang masih dimiliki. Berharap ada tetangga atau orang yang melintas di depan rumahnya dan mendengar apa yang menjadi pertanda Arvin meminta bantuan. Terlebih, dia tadi belum sempat menutup pintu depan karena saking paniknya mencari keberadaan adiknya. "Fa-r-han ... he-n-ti-kan ...." Kedua matanya menatap sang Adik dengan mengiba. Berharap Farhan sadar dan menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Namun, cara itu pun sia-sia. Justru Farhan terlihat sangat marah dan mengangkat tubuh Arvin yang menempel pada lemari kayu. Tak i
Arvin pun menceritakan tentang pertemuannya dengan laki-laki bertubuh gempal yang tak sengaja di kantin rumah sakit saat dia menunggui adiknya yang sedang di rawat di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dia juga menceritakan jika laki-laki yang memperkenalkan diri dengan nama Cipto itu tahu bagaimana keadaan Farhan saat di rumah sakit. Padahal, Arvin sendiri tidak tahu dan tidak melihat keberadaan Cipto ada di dekatnya saat itu. "Dia tahu dari mana?" tanya Anton mengernyit heran. Arvin hanya mengendikkan kedua bahunya. "Entah, Mas. Aku sendiri heran, kok bisa dia tahu gitu?" "Apa jangan-jangan dia ada di sekitar kamu dan melihat bagaimana Farhan saat itu, tapi kamu nggak lihat." Anton mencoba menerka-nerka. "Mungkin saja. Atau ... entahlah. Dia bilang, dia bisa bantu Farhan," katanya serius. Bibirnya tersenyum tipis, merasa jika ada setitik harapan bagi kesembuhan Farhan setelah berbagai cara ditempuhnya untuk menyembuhkan adiknya, membebaskannya dari
Setelah percakapan dengan Cipto di telepon malam itu, Arvin pun akhirnya menyanggupi apa yang diperintahkan oleh Cipto. Dia akan datang menemui laki-laki itu jam sepuluh pagi di kaki Gunung Ungaran. Dia pun akhirnya merelakan bolos bekerja demi mengupayakan agar adiknya bisa hidup normal kembali. Tanpa mengatakan tujuannya akan ke mana, Arvin membawa Farhan menemui laki-laki bertubuh gempal yang tak sengaja bertemu dengan Arvin di rumah salah satu rumah makan yang ada di sekitar rumah sakit seminggu yang lalu. Dengan mengendarai motornya, Arvin memacu motor matic-nya dengan kecepatan sedang. Mengingat jalur yang mereka tempuh memakan waktu hingga kurang lebih satu jam dengan jalur yang lika-liku karena tempat yang mereka tuju adalah sebuah rumah yang ada di lereng Gunung Ungaran, Semarang. "Mas, kita mau ke mana sih?" Entah sudah keberapa kali Farhan melontarkan pertanyaan itu pada kakak laki-lakinya. Namun baru kali ini Arvin mejawab.
Tak sampai lima belas menit, motor yang dikendarai Arvin bersama dengan Farhan berhenti di depan sebuah rumah yang dindingnya dicat dengan warna biru muda. Arvin memandangi rumah itu sesaat, halaman yang tak seberapa luas itu ditumbuhi berbagai macam tanaman sayur yang ditanam dalam media polybag. Terdapat juga beberapa tanaman buah strawbery yang sudah berwarna merah buahnya. Arvin pun terlebih dulu menghubungi Cipto, memberitahu laki-laki berubuh gempal itu jika dia telah sampai di depan rumah yang dimaksud oleh Cipto tadi melalui lokasi yang dikirimnya. "Aku sudah di depan rumah yang Mas Cipto tunjukkan tadi," katanya melalui sambungan telepon. ["Oke. Aku keluar sekarang,"] Dari jarak dua meter, Arvin bisa melihat jika pintu kayu rumah itu perlahan terbuka lebar. Dari baliknya keluar seorang laki-laki yang memiliki perut bak wanita hamil yang usia kehamilannya sudah memasuki tujuh bulan. "Itu orangnya, Mas? Teman Mas?" Telunjuk Fa
Cipto pun menjelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk bisa ke Padepokan Tapak Medi. Dia juga berusaha meyakinkan pada Arvin dan Farhan jika banyak pasien yang sembuh setelah berobat dan menjalani terapi di padepokan tersebut. Sejenak, kedua kakak adik itu saling menghargai. Saling menanyakan keputusan lewat mata. "Jangan khawatir. Aku kan kerja di sana. Jadi, kalau kalian memang berminat mau ke sana, kalian bisa datang sendiri ke Padepokan Tapak Medi." Cipto menarik napas sejenak. “Sudah tidak diragukan lagi kesaktian dari Eyang Adiwangsa. Orang-orang yang sudah menjalani terapi di sana dijamin sembuh,” katanya dengan sangat meyakinkan. “Padepokan itu memang ada di mana, Mas?” tanya Arvin membuka suara setelah beberapa saat terdiam."Ada di kaki Gunung Ungaran. Tidak jauh dari sini. Cuma memang letaknya agak jauh dari pemukiman. Ada di perbatasan hutan. Jadi, kalau kalian mau ke sana harus mendaki bukit kecil dulu selama tiga puluh menit," jelasnya. "Kecillah bagi kalian yang
Kata-kata atasannya itu masih terngiang-ngiang di telinga Arvin. Dia tidak menyangka jika atasan yang sudah begitu mempercayainya bisa memecatnya juga. Dia pikir, dengan dedikasinya di perusahaan tempatnya mengundi nasib selama hampir tujuh tahun itu bisa sedikit memberinya kesempatan atas sedikit kesalahan yang diperbuatnya. Namun, nyatanya, bagi sang Atasan, kesalahan yang dibuat Arvin justru merugikan perusahaan. Itu alasan yang membuat Arvin dipecat.Entah sudah berapa kali Arvin mengembuskan napas panjang dan berat. Dia terus memutar otak untuk bisa dapat pekerjaan lagi agar bisa membiayai hidupnya ke depan. Tatapan matanya lurus ke depan. Menyaksikan beberapa orang yang lalu lalang di hadapannya. Dia sendiri kini masih duduk termangu dia depan perusahaan tempatnya bekerja. Tepatnya di warung kopi yang ada di depan perusahaan tempatnya bekerja.Suara dering ponsel membuat Arvin mengerjapkan kedua matanya. Memaksa laki-laki berhidung bangir itu untuk memecah lamunannya. Dia mero