Arvin terus berusaha menyadarkan Farhan jika yang dilakukannya itu tidak baik. Namun, Farhan seolah tak peduli. Tatapan matanya semakin tajam seiring dengan tangannya yang semakin kencang mencekik leher Arvin.
Membuat laki-laki berperawakan tinggi kurus itu semakin merasa sesak dadanya karena oksigen yang masuk ke dalam rongga paru-parunya semakin menipis.Dia pun terus menggedor lemari kayunya dengan sisa tenaga yang masih dimiliki. Berharap ada tetangga atau orang yang melintas di depan rumahnya dan mendengar apa yang menjadi pertanda Arvin meminta bantuan. Terlebih, dia tadi belum sempat menutup pintu depan karena saking paniknya mencari keberadaan adiknya."Fa-r-han ... he-n-ti-kan ...."Kedua matanya menatap sang Adik dengan mengiba. Berharap Farhan sadar dan menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Namun, cara itu pun sia-sia. Justru Farhan terlihat sangat marah dan mengangkat tubuh Arvin yang menempel pada lemari kayu.Tak iArvin pun menceritakan tentang pertemuannya dengan laki-laki bertubuh gempal yang tak sengaja di kantin rumah sakit saat dia menunggui adiknya yang sedang di rawat di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dia juga menceritakan jika laki-laki yang memperkenalkan diri dengan nama Cipto itu tahu bagaimana keadaan Farhan saat di rumah sakit. Padahal, Arvin sendiri tidak tahu dan tidak melihat keberadaan Cipto ada di dekatnya saat itu. "Dia tahu dari mana?" tanya Anton mengernyit heran. Arvin hanya mengendikkan kedua bahunya. "Entah, Mas. Aku sendiri heran, kok bisa dia tahu gitu?" "Apa jangan-jangan dia ada di sekitar kamu dan melihat bagaimana Farhan saat itu, tapi kamu nggak lihat." Anton mencoba menerka-nerka. "Mungkin saja. Atau ... entahlah. Dia bilang, dia bisa bantu Farhan," katanya serius. Bibirnya tersenyum tipis, merasa jika ada setitik harapan bagi kesembuhan Farhan setelah berbagai cara ditempuhnya untuk menyembuhkan adiknya, membebaskannya dari
Setelah percakapan dengan Cipto di telepon malam itu, Arvin pun akhirnya menyanggupi apa yang diperintahkan oleh Cipto. Dia akan datang menemui laki-laki itu jam sepuluh pagi di kaki Gunung Ungaran. Dia pun akhirnya merelakan bolos bekerja demi mengupayakan agar adiknya bisa hidup normal kembali. Tanpa mengatakan tujuannya akan ke mana, Arvin membawa Farhan menemui laki-laki bertubuh gempal yang tak sengaja bertemu dengan Arvin di rumah salah satu rumah makan yang ada di sekitar rumah sakit seminggu yang lalu. Dengan mengendarai motornya, Arvin memacu motor matic-nya dengan kecepatan sedang. Mengingat jalur yang mereka tempuh memakan waktu hingga kurang lebih satu jam dengan jalur yang lika-liku karena tempat yang mereka tuju adalah sebuah rumah yang ada di lereng Gunung Ungaran, Semarang. "Mas, kita mau ke mana sih?" Entah sudah keberapa kali Farhan melontarkan pertanyaan itu pada kakak laki-lakinya. Namun baru kali ini Arvin mejawab.
Tak sampai lima belas menit, motor yang dikendarai Arvin bersama dengan Farhan berhenti di depan sebuah rumah yang dindingnya dicat dengan warna biru muda. Arvin memandangi rumah itu sesaat, halaman yang tak seberapa luas itu ditumbuhi berbagai macam tanaman sayur yang ditanam dalam media polybag. Terdapat juga beberapa tanaman buah strawbery yang sudah berwarna merah buahnya. Arvin pun terlebih dulu menghubungi Cipto, memberitahu laki-laki berubuh gempal itu jika dia telah sampai di depan rumah yang dimaksud oleh Cipto tadi melalui lokasi yang dikirimnya. "Aku sudah di depan rumah yang Mas Cipto tunjukkan tadi," katanya melalui sambungan telepon. ["Oke. Aku keluar sekarang,"] Dari jarak dua meter, Arvin bisa melihat jika pintu kayu rumah itu perlahan terbuka lebar. Dari baliknya keluar seorang laki-laki yang memiliki perut bak wanita hamil yang usia kehamilannya sudah memasuki tujuh bulan. "Itu orangnya, Mas? Teman Mas?" Telunjuk Fa
Cipto pun menjelaskan apa saja yang perlu dipersiapkan untuk bisa ke Padepokan Tapak Medi. Dia juga berusaha meyakinkan pada Arvin dan Farhan jika banyak pasien yang sembuh setelah berobat dan menjalani terapi di padepokan tersebut. Sejenak, kedua kakak adik itu saling menghargai. Saling menanyakan keputusan lewat mata. "Jangan khawatir. Aku kan kerja di sana. Jadi, kalau kalian memang berminat mau ke sana, kalian bisa datang sendiri ke Padepokan Tapak Medi." Cipto menarik napas sejenak. “Sudah tidak diragukan lagi kesaktian dari Eyang Adiwangsa. Orang-orang yang sudah menjalani terapi di sana dijamin sembuh,” katanya dengan sangat meyakinkan. “Padepokan itu memang ada di mana, Mas?” tanya Arvin membuka suara setelah beberapa saat terdiam."Ada di kaki Gunung Ungaran. Tidak jauh dari sini. Cuma memang letaknya agak jauh dari pemukiman. Ada di perbatasan hutan. Jadi, kalau kalian mau ke sana harus mendaki bukit kecil dulu selama tiga puluh menit," jelasnya. "Kecillah bagi kalian yang
Kata-kata atasannya itu masih terngiang-ngiang di telinga Arvin. Dia tidak menyangka jika atasan yang sudah begitu mempercayainya bisa memecatnya juga. Dia pikir, dengan dedikasinya di perusahaan tempatnya mengundi nasib selama hampir tujuh tahun itu bisa sedikit memberinya kesempatan atas sedikit kesalahan yang diperbuatnya. Namun, nyatanya, bagi sang Atasan, kesalahan yang dibuat Arvin justru merugikan perusahaan. Itu alasan yang membuat Arvin dipecat.Entah sudah berapa kali Arvin mengembuskan napas panjang dan berat. Dia terus memutar otak untuk bisa dapat pekerjaan lagi agar bisa membiayai hidupnya ke depan. Tatapan matanya lurus ke depan. Menyaksikan beberapa orang yang lalu lalang di hadapannya. Dia sendiri kini masih duduk termangu dia depan perusahaan tempatnya bekerja. Tepatnya di warung kopi yang ada di depan perusahaan tempatnya bekerja.Suara dering ponsel membuat Arvin mengerjapkan kedua matanya. Memaksa laki-laki berhidung bangir itu untuk memecah lamunannya. Dia mero
Sesaat mereka saling beradu pandang. Hingga akhirnya, Arvin masuk ke dalam kamar dan memutus pandangan mereka. Khawatir terjadi sesuatu terhadap sang Kakak, Farhan kembali menyusulnya meski pintu kamar sudah terlebih dulu ditutup oleh Arvin. Beruntung tidak dikunci. Dia duduk di tepi tempat tidur, sedangkan Arvin berdiri di dekat jendela. Disulutnya sebatang rokok yang sudah lama tak disesapnya. Farhan mengembuskan napas panjang. Tidak biasanya kakaknya seperti ini. Bahkan, yang dia tahu, Arvin telah memutuskan berhenti merokok sejak satu tahun yang lalu. Tapi kenapa sekarang benda itu kembali disesapnya? "Ada apa sebenarnya, Mas? Cobalah cerita sama aku," pinta Farhan sambil terus menatap punggung kakaknya. Cukup lama Arvin tak menyahut, hatinya masih terlalu kacau. Sedangkan pikirannya berkelana, menjajahi berbagai tempat. Di sisi lain, dia memikirkan bagaimana nasib adiknya, apakah pengobatan kali ini berhasil atau tidak? Di sisi lain, dia juga bingung memikirkan harus men
Tanpa pikir panjang lagi, Arvin segera menceburkan diri ke sungai. Dia berusaha mengejar adiknya yang sudah terbawa arus cukup deras. Sedangkan kedua tangan Farhan masih terlihat melambai-lambai. Bukan hal yang mudah bagi Arvin. Terlebih, arusnya memang cukup kuat dan Arvin harus berenang dengan tenang agar tidak ikut terbawa arus. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa menggapai tubuh Farhan yang tersangkut pada tiang penyangga jembatan.Beberapa orang yang melihatnya pun bergegas membantu Arvin. Tiga orang nekat turun ke sungai demi bisa mengambil tubuh Farhan yang kini tak terlihat. Namun, masih tersangkut pada tiang penyangga jembatan. "Mas, naik saja! Arusnya deras sekali!" teriak salah satu dari mereka sembari melemparkan tali yang sudah diikat dengan kuat pada salah satu pohon yang ada di pinggir sungai. "Adik saya tenggelam, Pak. Dia tidak bisa berenang!" sahut Arvin sambil mengusap wajahnya yang basah. "Iya. Masnya pegangan pada tali itu. Nanti kita bantu. Biar tida
Keduanya pun menoleh dan saling melempar pandang. Merasa ada sesuatu yang janggal. Namun, entah apa. Hingga lamunan mereka terpecah saat Kang Sukir kembali mengatakan sesuatu. "Saya bawakan kalian senter, takutnya terjebak malam di sana. Syukur-syukur sih sebelum adzan maghrib berkumandang, kalian sudah sampai di padepokan dan bertemu dengan Mas Cipto," katanya sambil memberikan dua senter berukuran kecil pada Arvin dan Farhan. Namun, saat dicoba, cahaya yang keluar sangatlah terang. "Iya, Kang. Terima kasih. Kalau begitu, kita langsung berangkat sekarang saja sebelum keburu maghrib," ujar Arvin. Laki-laki paruh baya itu mengangguk. "Hati-hati dan ikuti petunjuk yang ada di peta saja. Karena banyak percabangan di sana." Dia kembali mengingatkan. Kali ini giliran Arvin dan Farhan yang mengangguk. Kemudian mereka pamit untuk memulai pendakian. Mereka memulai pendakian dengan jalur tanah campur batu dengan jalur yang lumayan landai. Sehingga tampak mudah untuk didaki. Sedangkan ka
Arvin menatap Kiyai Fathur dengan tak percaya. Dia masih sedikit syok mendengar kalimat yang keluar dari mulut orang yang paling dia percaya saat ini.“I-ini sungguhan, Kiyai?” tanyanya memastikan. Dia khawatir jika ini adalah prank. Tapi tidak mungkin jika Kiyai Fathur mengerjai Arvin tentang lamaran. Bahkan itu lamaran anaknya sendiri.Laki-laki setengah baya itu membetulkan letak sorbannya yang agak jatuh dari bahunya. Lalu mengangguk dan membalas tatapan Arvin dengan seulas senyum.“Arvin, saya tidak pernah bercanda soal pernikahan. Apalagi, pernikahan itu sesuatu yang sacral. Tanggung jawabnya besar di hadapan Allah,” katanya sungguh-sungguh.“T-tapi, Kiyai. Ap-apa Kiyai yakin menyerahkan putri bungsu Kiyai pada saya?” tanyanya sedikit ragu. “Ma-maksud saya, Kiyai Fathur tahu sendiri kondisi saya seperti apa saat ini. Tidak punya pekerjaan tetap. Bahkan … ilmu agama pun saya masih harus belajar banyak. Saya takut tidak bisa menjadi imam rumah tangga yang baik untuk Dek Latifah. S
Belum habis keterkejutan Farhan dengan memberikannya fasilitas gratis selama memperdalam ilmu agama di pesantren ini. Sekarang, dia kembali dikejutkan dengan niat Kiayi Fathur untuk menikahkan anak sulungnya dengan kakak tercintanya.Dia masih tertegun. Merasa tidak percaya jika Kiyai Fathur, seorang pemuka agama yang terkenal di daerahnya ingin menikahkan putri kesayangannya dengan orang biasa macam Arvin? Bahkan kerjaan pun Arvin tidak punya pasca dipecat gara-gara dirinya.“Farhan!” panggilan dan tepukan kecil tangan Kiyai Fathur menyadarkan laki-laki berusia dua puluh tiga tahun dari lamunannya.Farhan mengerjapakan kedua matanya beberapa kali. Lalu berkata, “Apa saya mimpi, Kiyai?” tanyanya setelah sadar beberapa saat. “Barangkali saya masih berada di tempat Eyang Adiwangsa dan tengah bermimpi indah dalam tidur saya?” tanyanya lagi menatap Kiyai Fathur serius.“Saya tidak pernah main-main soal pernikahan , Fa
Satu Minggu di pondok pesantren, kondisi Farhan berangsur membaik. Meski dia yang paling mendapat terapi paling eksklusif untuk mengendalikan dirinya.Jiwanya yang kosong mulai terisi dengan mendengarkan tausyiah-tausyiah juga bacaan-bacaan ayat suci Al-Quran.Ibadah mereka pun semakin baik. Arvin bahagia melihat perubahan adiknya itu.Arvin baru saja keluar dari kamar mandi usai mandi karena hendak salat ashar berjamaah. Sengaja dia mandi lebih awal agar tidak terlalu antre.Saat dia hendak kembali ke kamarnya, dia tak sengaja bertemu dengan Kiyai Fathur yang baru saja pulang dakwah di luar pondok pesantren. Dua santri yang mengawalnya terlihat masing-masing membawa dua kantong plastic hitam besar.“Assalamu’alaikum, Kiyai,” sapanya sambil sedikit membungkukkan punggungnya. Mengikuti kebiasaan para santri jika bertemu dengan Kiyai Fathur atau guru-gurunya yang lain sebagai bentuk penghormatan.“Wa’alaikumsalam,” balas Kiyai Fathur menatap Arvin dengan senyuman. Mereka pun berjabat ta
Pihak kepolisian mendatangi lokasi pesantren yang akan menampung para korban kebejatan Eyang Adiwangsa. Tentu setelah mendapat persetujuan dari keluarga korban. Ada yang menurut, ada juga yang membawanya pulang dan merasa trauma karena takut mengalami hal yang sama.Tak apa, polisi tidak akan memaksa. Toh, itu hak mereka. Pihak kepolisian hanya akan memasukkan yang mau saja.“Assalamu’alaikum,” sapa seorang polisi bernama Suseno. Dia diantar oleh seorang santri menuju rumah dari pemilik pondok pesantren yang kini semakin banyak saja muridnya.“Wa’alaikumsalam,” sahut seorang laki-laki dari dalam.Sosok laki-laki setengah baya yang memakai kemeja warna merah bata yang dipadu dengan sarung polos berwarna hitam. Tidak lupa, sebagian kepalanya tertutup peci hitam. Senyum laki-laki bermata teduh itu menghiasi wajahnya.Sebelumnya, dia sudah diberitahu oleh besannya, dokter yang menangani kasus Eyang Adiwangsa di rumah sakit jika akan ada pihak kepolisian yang datang ke pesantrennya karena
Pintu pun didobrak secara paksa. Cipto dan Eyang Adiwangsa yang tidak bisa kabur pun akhirnya pasrah saat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan bersama beberapa anak buah Eyang Adiwangsa. Pasien lain pun merasa ketakutan dan kebingungan. Ada yang langsung disambut keluarganya, ada juga yang sempat ditenangkan dan disadarkan oleh warga sekitar karena keluarganya belum mengetahuinya. Polisi yang tersisa juga masyarakat setempat menggeledah ruang pribadi milik Eyang Adiwangsa dan menemukan bukti-bukti kebusukan laki-laki paruh baya itu, berupad bukti transfer yang banyak dari para pasiennya. “Pak, katanya di sini ada penjara yang digunakan Eyang Adiwangsa untuk mengurung orang-orang yang sudah mengetahui kebusuukkannya,” ujar salah satu warga yang diberi info oleh salah satu pasien yang keluarganya juga dimasukkan ke dalam penjara, tapi sudah meninggal karena kelaparan. Dan mirisnya, dia tidak tahu akan hal itu. Polisi pun langsung mencari tempat tersebut dan
Semakin hari, kondisi Farhan semakin parah. Meski ada yang bisa mengobati, namun Farhan bisa sampai tiga kali kerasukan setiap harinya. Tubuhnya yang tadinya berisi pun kini terlihat kurus. Beban mental yang terus menggerogoti hati dan pikirannya membuatnya semakin tertekan dengan kondisi sekarang ini.Bukan hanya Farhan yang mengalaminya, Arvin pun demikian. Dia tidak bisa berbuat apapun demi menyelamatkan adiknya. Yang ada hanya rasa bersalah karena telah menjebloskan adiknya ke dalam penjara seperti ini dan membuat hidupnya semakin menderita.Sesama penghuni penjara pun tidak bisa membantu banyak. Karena mereka juga sudah begitu lama berada di ruangan pengap tersebut dan tidak bisa keluar karena tidak ada akses keluar dari sana.“Maafkan Mas, Farhan ….” Arvin mengusap rambut kepala adiknya yang sudah gondrong karena tak dirawat. Padahal, Farhan adalah tipe orang yang paling rajn dengan rambut.Dia baru saja tenang setelah hampir setengah jam meraung-raung karena kerasukan makhluk
Farhan pun akhirnya mengaku dan dia merasa sangat hina karena sudah dinodai. Dia pun menangis dan merasa sangat menyesal. Arvin sendiri langsung mencelos. Dia pun merasa sangat menyesal juga merasa paling bersalah karena telah membawa adiknya pada tempat mengerikan seperti ini. Dia pun ikut menangis menyesali apa yang sudah terjadi. Bukannya menyembuhkan sang Adik, dia malah justru semakin menjerumuskan adiknya pada lembah kenistaan. Bahkan mereka malah tersesat pada ajaran sesat. Beruntung, mereka cepat menyadari. Tidak seperti pasien lain yang sudah berbulan-bulan berada di padepokan yang menganut ajaran sesat itu. “Maafkan Mas, ya, Han. Maafkan Mas …,” lirih Arvin sambill memeluk adiknya dengan isak tangis. Farhan menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Mas nggak salah,” sahutnya diikuti isakan kecil. “Mas sudah berusaha untuk menyembuhkanku,” sambungnya. “Harusnya Mas nggak langsung percaya saja sama Mas Cipto. Brengsek memang itu orang!” geramnya sambil menatap lurus ke arah dinding
Tubuh lemah Farhan didorong begitu saja masuk ke dalam ruangan khusus terapi. Eyang Adiwangsa pun sudah menunggunya di sana. Senyum penuh kemenangan menyambut kehadiran Farhan.Laki-laki itu pun hanya diam dengan tatapan kosong. Farhan ada dalam pengaruh hipnotis yang dilakukan oleh salah satu anak buah Eyang Adiwangsa.“Keluar!” titah laki-laki berjubah itu sambil menatap kedua anak buahnya.Tanpa menjawab. Kedua anak buahnya itu menganggukkan kepalanya cepat. Lalu memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. Membiarkan Eyang Adiwangsa bersama dengan Farhan berdua saja.Mereka pun tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Eyang Adiwangsa pada Farhan. Terpenting, tugasnya sudah selesai.Tatapan Eyang Adiwangsa mengelilingi tubuh Farhan. Senyumnya mengembang sempurna. Dia kini merasa menang karena bisa melemahkan orang-orang yang sudah mengetahui kebusukkannya.“Sekarang kamu sudah tahu apa yang aku lakukan saat ini, Farhan,” ujarnya sambil berjalan mengitari tubuh Farhan
“Kalian nggak dengar suara iqomah apa? Malah ngobrol di sini!” ujar Cipto sembari menatap keduanya dengan sedikit sinis. Karena dia mendengar apa yang tengah kakak beradik itu bicarakan. Meski tidak semua, paling tidak, dia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Seketika itu Arvin dan Farhan menatap ke sekitar dan memang hanya tinggal mereka berdua yang masih ada di depan. Para jamaah sudah bersiap untuk salat Subuh pada tempatnya masing-masing. Kali ini, shaf antara laki-laki terpisah dengan perempuan. Baik pasien maupun yang menemani berbaur menjadi satu. Tidak seperti saat selepas ashar yang dipisah agar lebih mudah membedakan mana pasien dan keluarga yang menemani. “I-iya, Mas,” sahut Arvin yang langsung menarik ujung baju Farhan agar segera masuk ke dalam mushola dan bergabung dengan lainnya untuk salat subuh.Mereka berjalan melewati Cipto begitu saja. Membuat laki-laki bertubuh gempal itu berdecak kesal. “Sudah mulai berani rupanya kalian? Eyang harus tahu agar lebih hat