Arvin kembali meninggalkan Farhan di rumah seorang diri. Sebenarnya berat, mengingat terkadang adik satu-satunya itu berteriak histeris ketakutan seperti semalam. Namun, dia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja.
Mencari pekerjaan bagi Arvin tidaklah gampang. Terlebih, dia hanya memiliki ijazah sekolah menengah pertama. Untung saja, perusahaan tempatnya bekerja sekarang mau menampung anak-anak yang hanya lulusan SMP. Karena rata-rata, perusahaan sekarang hanya akan menerima pekerja yang memiliki ijazah sekolah menengah kejuruan atau sederajat."Mas Arvin, dipanggil bos ke ruangannya," ujar salah satu rekan kerjanya saat dia baru saja sampai di pabrik setelah pulang sesaat untuk memastikan kondisi adiknya di rumah.Laki-laki itu mendesah panjang. Lalu mengangguk. "Ya sudah."Dengan langkah gontai, dia pun berjalan menuju kantor. Otaknya sudah banyak menyimpan dugaan tentang dipanggilnya dia ke ruang kantor untuk menemui atasann
Arvin pun mendadak panik saat mendengar teriakan adiknya saat dalam perjalanan ke rumah ustadz untuk mengobati Farhan. Bahkan, beberapa pasang mata menatap keduanya dengan heran saat melihat Farhan berteriak ketakutan. Dia pun menepikan motornya karena takut menyenggol pengendara lain. Karena Farhan tidak bisa tenang di atas motor dan membuat motor yang dikendarai Arvin sedikit oleng. "Farhan, tenanglah sedikit. Jangan bergerak terus. Mas sudah ini mengendarai motornya," protesnya pada sang Adik. "Aku takut, Mas. Makhluk itu ada di mana-mana. Dia mau bunuh aku. Aku nggak mau mati!" teriaknya sambil menyembunyikan wajahnya di balik punggung kakaknya. Arvin pun terpaksa menghentikan motornya dan mencoba menenangkan adiknya agar tidak berontak lagi. Dia juga menelepon Anton yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. ["Ada apa, Vin? Kamu di mana? Kok nggak kelihatan?"]"Aku berhenti di pinggir jalan, Mas. Di depan counter hp. Arvin tadi berteriak ketakutan pas di motor. Jadi aku pi
Farhan hanya menggelengkan kepalanya dengan napas yang masih terlihat ngos-ngosan. Entah karena apa, Arvin sendiri tidak tahu. Dia hanya khawatir jika Farhan kembali berteriak histeris ketakutan karena melihat sosok yang hanya adiknya saja yang melihat. Anton pun menatap Farhan dengan heran. Dia merasa jika Farhan sedang tertekan hatinya. Dia pun menepuk bahu Farhan dan membuat laki-laki itu menoleh ke arah Anton. Wajahnya terlihat sedikit memerah, begitu juga dengan kedua matanya. "Han, sadar. Jangan seperti itu. Kuasai dirimu," ujar Anton yang lebih paham apa yang sebenarnya terjadi pada Farhan. Laki-laki itu hanya mengembuskan napas kasar. Lalu melirik ke arah Ustaz Zaki dengan tajam. Arvin pun mulai panik saat melihat perubahan yang terjadi pada adiknya. Takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Apalagi, ini di rumah orang lain. Belum lagi nanti mereka masih harus melakukan perjalanan, meski tidak sampai setengah jam, tapi Arvin tetap khawatir. Terlebih tadi saat perjalanan
Farhan mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk menahan rasa terbakar yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia memilih diam dan menikmati semua itu sendiri. Sedangkan Arvin menatap Farhan dengan bingung. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada adiknya. Pasalnya, Farhan malah meletakkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan yang dijadikan bantalan. Membuat wajah Farhan yang memerah itu tak terlihat. "Farhan ...," panggilnya sambil mengguncang tubuh adiknya perlahan. "Apa kita pulang saja? Makanannya biar dibungkus saja," imbuhnya. "Sudah pesan?" tanya Anton yang baru saja kembali dari toilet. Membuat Arvin menoleh ke arah Anton. Sedangkan Anton menatap Farhan dengan kening berekrut. "Farhan kenapa?" tanyanya yang langsung mengambil posisi duduk di dekat Farhan dan mengusap punggungnya. Arvin menggelengkan kepalanya dengan tatapan yang tak dimengerti oleh Anton. "Nggak tahu, Mas. Tiba-tiba dia begini." Anton mengembuskan napas panjang. Lalu membisikkan sesuatu di telinga Farhan. "Fa
Arvin terdiam sejenak mendengar apa yang dikatakan oleh Anton. Dia pun pernah mendengar kisah serupa. Keangkeran tempat yang pernah dijadikan tempat wisata itu memang bukan main-main. Rata-rata, mereka yang sudah pernah masuk ke tempat itu meninggal dengan cara yang mengenaskan. Mungkin awalnya sama seperti adiknya, diteror oleh sosok laki-laki yang kepalanya hampir putus. Dia jadi teringat jika Farhan pun sering ketakutan saat sosok itu datang, katanya dia akan membunuh adiknya karena sering melihat sosok itu membawa golok, kapak, atau parang.Mengerikan memang. Arvin terkesiap saat mendengar suara lonceng yang menandakan waktu istirahat telah selesai. Dia mengerjapkan kedua matanya. Mencoba menghapus pikiran buruk yang sempat mengganggu pikirannya. Padahal, dia baru saja mulai lega karena Farhan sudah mulai membaik. "Sudah bel. Aku masuk kantor dulu," ujar Anton sambil menepuk bahu Arvin. Laki-laki bertubuh jakung itu menoleh dan menatap ke arah Anton dengan senyuman. "Iya, Mas.
Arvin mengendarai motornya dengan kecepatan tujuh puluh kilometer perjam. Berharap bisa sampai di rumah dengan cepat. Meski hanya memakan waktu lima belas menit, namun kali ini dia ingin sesegera mungkin sampai di rumah. Namun, baru saja dia hendak berbelok masuk gang yang menuju rumahnya, tiba-tiba dia terjatuh karena motor bagian belakang yang dikendarainya tidak sengaja ditabrak oleh pengguna motor lain. Beruntung tidak ada luka serius. Karena Arvin selalu memakai pakaian lengkap jika mengendarai motor, seperti jaket, celana panjang, sepatu, dan tentunya helm. Dia pun langsung bangkit dan menoleh ke arah pengendara motor yang menabraknya, seorang perempuan berhijab yang masih terduduk di sebelah motornya. Untung saja jalanan malam ini sedang sepi, sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun yang bisa berakibat fatal. "Astaghfirullah ...," rintih perempuan yang menabrak motor Arvin sembari mengibaskan tangan kanannya yang berdarah karena bersenggolan dengan aspal. "Mbak nggak papa
Arvin terus berusaha menyadarkan Farhan jika yang dilakukannya itu tidak baik. Namun, Farhan seolah tak peduli. Tatapan matanya semakin tajam seiring dengan tangannya yang semakin kencang mencekik leher Arvin. Membuat laki-laki berperawakan tinggi kurus itu semakin merasa sesak dadanya karena oksigen yang masuk ke dalam rongga paru-parunya semakin menipis. Dia pun terus menggedor lemari kayunya dengan sisa tenaga yang masih dimiliki. Berharap ada tetangga atau orang yang melintas di depan rumahnya dan mendengar apa yang menjadi pertanda Arvin meminta bantuan. Terlebih, dia tadi belum sempat menutup pintu depan karena saking paniknya mencari keberadaan adiknya. "Fa-r-han ... he-n-ti-kan ...." Kedua matanya menatap sang Adik dengan mengiba. Berharap Farhan sadar dan menghentikan apa yang tengah dilakukannya. Namun, cara itu pun sia-sia. Justru Farhan terlihat sangat marah dan mengangkat tubuh Arvin yang menempel pada lemari kayu. Tak i
Arvin pun menceritakan tentang pertemuannya dengan laki-laki bertubuh gempal yang tak sengaja di kantin rumah sakit saat dia menunggui adiknya yang sedang di rawat di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Dia juga menceritakan jika laki-laki yang memperkenalkan diri dengan nama Cipto itu tahu bagaimana keadaan Farhan saat di rumah sakit. Padahal, Arvin sendiri tidak tahu dan tidak melihat keberadaan Cipto ada di dekatnya saat itu. "Dia tahu dari mana?" tanya Anton mengernyit heran. Arvin hanya mengendikkan kedua bahunya. "Entah, Mas. Aku sendiri heran, kok bisa dia tahu gitu?" "Apa jangan-jangan dia ada di sekitar kamu dan melihat bagaimana Farhan saat itu, tapi kamu nggak lihat." Anton mencoba menerka-nerka. "Mungkin saja. Atau ... entahlah. Dia bilang, dia bisa bantu Farhan," katanya serius. Bibirnya tersenyum tipis, merasa jika ada setitik harapan bagi kesembuhan Farhan setelah berbagai cara ditempuhnya untuk menyembuhkan adiknya, membebaskannya dari
Setelah percakapan dengan Cipto di telepon malam itu, Arvin pun akhirnya menyanggupi apa yang diperintahkan oleh Cipto. Dia akan datang menemui laki-laki itu jam sepuluh pagi di kaki Gunung Ungaran. Dia pun akhirnya merelakan bolos bekerja demi mengupayakan agar adiknya bisa hidup normal kembali. Tanpa mengatakan tujuannya akan ke mana, Arvin membawa Farhan menemui laki-laki bertubuh gempal yang tak sengaja bertemu dengan Arvin di rumah salah satu rumah makan yang ada di sekitar rumah sakit seminggu yang lalu. Dengan mengendarai motornya, Arvin memacu motor matic-nya dengan kecepatan sedang. Mengingat jalur yang mereka tempuh memakan waktu hingga kurang lebih satu jam dengan jalur yang lika-liku karena tempat yang mereka tuju adalah sebuah rumah yang ada di lereng Gunung Ungaran, Semarang. "Mas, kita mau ke mana sih?" Entah sudah keberapa kali Farhan melontarkan pertanyaan itu pada kakak laki-lakinya. Namun baru kali ini Arvin mejawab.
Arvin menatap Kiyai Fathur dengan tak percaya. Dia masih sedikit syok mendengar kalimat yang keluar dari mulut orang yang paling dia percaya saat ini.“I-ini sungguhan, Kiyai?” tanyanya memastikan. Dia khawatir jika ini adalah prank. Tapi tidak mungkin jika Kiyai Fathur mengerjai Arvin tentang lamaran. Bahkan itu lamaran anaknya sendiri.Laki-laki setengah baya itu membetulkan letak sorbannya yang agak jatuh dari bahunya. Lalu mengangguk dan membalas tatapan Arvin dengan seulas senyum.“Arvin, saya tidak pernah bercanda soal pernikahan. Apalagi, pernikahan itu sesuatu yang sacral. Tanggung jawabnya besar di hadapan Allah,” katanya sungguh-sungguh.“T-tapi, Kiyai. Ap-apa Kiyai yakin menyerahkan putri bungsu Kiyai pada saya?” tanyanya sedikit ragu. “Ma-maksud saya, Kiyai Fathur tahu sendiri kondisi saya seperti apa saat ini. Tidak punya pekerjaan tetap. Bahkan … ilmu agama pun saya masih harus belajar banyak. Saya takut tidak bisa menjadi imam rumah tangga yang baik untuk Dek Latifah. S
Belum habis keterkejutan Farhan dengan memberikannya fasilitas gratis selama memperdalam ilmu agama di pesantren ini. Sekarang, dia kembali dikejutkan dengan niat Kiayi Fathur untuk menikahkan anak sulungnya dengan kakak tercintanya.Dia masih tertegun. Merasa tidak percaya jika Kiyai Fathur, seorang pemuka agama yang terkenal di daerahnya ingin menikahkan putri kesayangannya dengan orang biasa macam Arvin? Bahkan kerjaan pun Arvin tidak punya pasca dipecat gara-gara dirinya.“Farhan!” panggilan dan tepukan kecil tangan Kiyai Fathur menyadarkan laki-laki berusia dua puluh tiga tahun dari lamunannya.Farhan mengerjapakan kedua matanya beberapa kali. Lalu berkata, “Apa saya mimpi, Kiyai?” tanyanya setelah sadar beberapa saat. “Barangkali saya masih berada di tempat Eyang Adiwangsa dan tengah bermimpi indah dalam tidur saya?” tanyanya lagi menatap Kiyai Fathur serius.“Saya tidak pernah main-main soal pernikahan , Fa
Satu Minggu di pondok pesantren, kondisi Farhan berangsur membaik. Meski dia yang paling mendapat terapi paling eksklusif untuk mengendalikan dirinya.Jiwanya yang kosong mulai terisi dengan mendengarkan tausyiah-tausyiah juga bacaan-bacaan ayat suci Al-Quran.Ibadah mereka pun semakin baik. Arvin bahagia melihat perubahan adiknya itu.Arvin baru saja keluar dari kamar mandi usai mandi karena hendak salat ashar berjamaah. Sengaja dia mandi lebih awal agar tidak terlalu antre.Saat dia hendak kembali ke kamarnya, dia tak sengaja bertemu dengan Kiyai Fathur yang baru saja pulang dakwah di luar pondok pesantren. Dua santri yang mengawalnya terlihat masing-masing membawa dua kantong plastic hitam besar.“Assalamu’alaikum, Kiyai,” sapanya sambil sedikit membungkukkan punggungnya. Mengikuti kebiasaan para santri jika bertemu dengan Kiyai Fathur atau guru-gurunya yang lain sebagai bentuk penghormatan.“Wa’alaikumsalam,” balas Kiyai Fathur menatap Arvin dengan senyuman. Mereka pun berjabat ta
Pihak kepolisian mendatangi lokasi pesantren yang akan menampung para korban kebejatan Eyang Adiwangsa. Tentu setelah mendapat persetujuan dari keluarga korban. Ada yang menurut, ada juga yang membawanya pulang dan merasa trauma karena takut mengalami hal yang sama.Tak apa, polisi tidak akan memaksa. Toh, itu hak mereka. Pihak kepolisian hanya akan memasukkan yang mau saja.“Assalamu’alaikum,” sapa seorang polisi bernama Suseno. Dia diantar oleh seorang santri menuju rumah dari pemilik pondok pesantren yang kini semakin banyak saja muridnya.“Wa’alaikumsalam,” sahut seorang laki-laki dari dalam.Sosok laki-laki setengah baya yang memakai kemeja warna merah bata yang dipadu dengan sarung polos berwarna hitam. Tidak lupa, sebagian kepalanya tertutup peci hitam. Senyum laki-laki bermata teduh itu menghiasi wajahnya.Sebelumnya, dia sudah diberitahu oleh besannya, dokter yang menangani kasus Eyang Adiwangsa di rumah sakit jika akan ada pihak kepolisian yang datang ke pesantrennya karena
Pintu pun didobrak secara paksa. Cipto dan Eyang Adiwangsa yang tidak bisa kabur pun akhirnya pasrah saat ditangkap dan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan bersama beberapa anak buah Eyang Adiwangsa. Pasien lain pun merasa ketakutan dan kebingungan. Ada yang langsung disambut keluarganya, ada juga yang sempat ditenangkan dan disadarkan oleh warga sekitar karena keluarganya belum mengetahuinya. Polisi yang tersisa juga masyarakat setempat menggeledah ruang pribadi milik Eyang Adiwangsa dan menemukan bukti-bukti kebusukan laki-laki paruh baya itu, berupad bukti transfer yang banyak dari para pasiennya. “Pak, katanya di sini ada penjara yang digunakan Eyang Adiwangsa untuk mengurung orang-orang yang sudah mengetahui kebusuukkannya,” ujar salah satu warga yang diberi info oleh salah satu pasien yang keluarganya juga dimasukkan ke dalam penjara, tapi sudah meninggal karena kelaparan. Dan mirisnya, dia tidak tahu akan hal itu. Polisi pun langsung mencari tempat tersebut dan
Semakin hari, kondisi Farhan semakin parah. Meski ada yang bisa mengobati, namun Farhan bisa sampai tiga kali kerasukan setiap harinya. Tubuhnya yang tadinya berisi pun kini terlihat kurus. Beban mental yang terus menggerogoti hati dan pikirannya membuatnya semakin tertekan dengan kondisi sekarang ini.Bukan hanya Farhan yang mengalaminya, Arvin pun demikian. Dia tidak bisa berbuat apapun demi menyelamatkan adiknya. Yang ada hanya rasa bersalah karena telah menjebloskan adiknya ke dalam penjara seperti ini dan membuat hidupnya semakin menderita.Sesama penghuni penjara pun tidak bisa membantu banyak. Karena mereka juga sudah begitu lama berada di ruangan pengap tersebut dan tidak bisa keluar karena tidak ada akses keluar dari sana.“Maafkan Mas, Farhan ….” Arvin mengusap rambut kepala adiknya yang sudah gondrong karena tak dirawat. Padahal, Farhan adalah tipe orang yang paling rajn dengan rambut.Dia baru saja tenang setelah hampir setengah jam meraung-raung karena kerasukan makhluk
Farhan pun akhirnya mengaku dan dia merasa sangat hina karena sudah dinodai. Dia pun menangis dan merasa sangat menyesal. Arvin sendiri langsung mencelos. Dia pun merasa sangat menyesal juga merasa paling bersalah karena telah membawa adiknya pada tempat mengerikan seperti ini. Dia pun ikut menangis menyesali apa yang sudah terjadi. Bukannya menyembuhkan sang Adik, dia malah justru semakin menjerumuskan adiknya pada lembah kenistaan. Bahkan mereka malah tersesat pada ajaran sesat. Beruntung, mereka cepat menyadari. Tidak seperti pasien lain yang sudah berbulan-bulan berada di padepokan yang menganut ajaran sesat itu. “Maafkan Mas, ya, Han. Maafkan Mas …,” lirih Arvin sambill memeluk adiknya dengan isak tangis. Farhan menggeleng pelan. “Nggak, Mas. Mas nggak salah,” sahutnya diikuti isakan kecil. “Mas sudah berusaha untuk menyembuhkanku,” sambungnya. “Harusnya Mas nggak langsung percaya saja sama Mas Cipto. Brengsek memang itu orang!” geramnya sambil menatap lurus ke arah dinding
Tubuh lemah Farhan didorong begitu saja masuk ke dalam ruangan khusus terapi. Eyang Adiwangsa pun sudah menunggunya di sana. Senyum penuh kemenangan menyambut kehadiran Farhan.Laki-laki itu pun hanya diam dengan tatapan kosong. Farhan ada dalam pengaruh hipnotis yang dilakukan oleh salah satu anak buah Eyang Adiwangsa.“Keluar!” titah laki-laki berjubah itu sambil menatap kedua anak buahnya.Tanpa menjawab. Kedua anak buahnya itu menganggukkan kepalanya cepat. Lalu memutar tubuhnya dan keluar dari ruangan tersebut. Membiarkan Eyang Adiwangsa bersama dengan Farhan berdua saja.Mereka pun tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan oleh Eyang Adiwangsa pada Farhan. Terpenting, tugasnya sudah selesai.Tatapan Eyang Adiwangsa mengelilingi tubuh Farhan. Senyumnya mengembang sempurna. Dia kini merasa menang karena bisa melemahkan orang-orang yang sudah mengetahui kebusukkannya.“Sekarang kamu sudah tahu apa yang aku lakukan saat ini, Farhan,” ujarnya sambil berjalan mengitari tubuh Farhan
“Kalian nggak dengar suara iqomah apa? Malah ngobrol di sini!” ujar Cipto sembari menatap keduanya dengan sedikit sinis. Karena dia mendengar apa yang tengah kakak beradik itu bicarakan. Meski tidak semua, paling tidak, dia mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. Seketika itu Arvin dan Farhan menatap ke sekitar dan memang hanya tinggal mereka berdua yang masih ada di depan. Para jamaah sudah bersiap untuk salat Subuh pada tempatnya masing-masing. Kali ini, shaf antara laki-laki terpisah dengan perempuan. Baik pasien maupun yang menemani berbaur menjadi satu. Tidak seperti saat selepas ashar yang dipisah agar lebih mudah membedakan mana pasien dan keluarga yang menemani. “I-iya, Mas,” sahut Arvin yang langsung menarik ujung baju Farhan agar segera masuk ke dalam mushola dan bergabung dengan lainnya untuk salat subuh.Mereka berjalan melewati Cipto begitu saja. Membuat laki-laki bertubuh gempal itu berdecak kesal. “Sudah mulai berani rupanya kalian? Eyang harus tahu agar lebih hat