Laki-laki berjenggot putih itu tak langsung menjawab pertanyaan Arvin. Dia malah membuka telapak tangannya lebar-lebar. Lalu menggerakkannya dari ujung kepala hingga sampai di ujung kaki Farhan, dia seperti membuang sesuatu dan terlihat sedikit berat. Mbah Jenggot mengulanginya hingga beberapa kali.
Keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori kulit wajahnya yang sudah mengeriput. Dia seperti mengeluarkan sebuah energi yang bersemayam di dalam tubuh Farhan.
"Mas, apa yang dilakukan Mbah Jenggot sebenarnya?" tanya Arvin yang mendekatkan bibirnya pada telinga Anton. Dia memang terlalu awam dengan hal seperti itu. Karena memang tidak pernah mengalaminya.
"Mengeluarkan jin," balas Anton asal. Bahkan tanpa mengalihkan perhatiannya dari apa yang sedang dilakukan oleh Mbah Jenggot pada Farhan.
Arvin mengerutkan keningnya mendengar jawaban yang keluar dari mulut Anton. "Jadi, Farhan benar-benar kerasukan jin?" tanya Arvin menatap sang Adik dengan tatapan tak percaya.
Dia pikir, Farhan hanya diganggu saja. Karena setahu dia, jika sudah ada jin di tubuh manusia ya kerasukan. Dia memang benar-benar awam dan tidak tahu perihal seputar hal gaib.
"Diam! Kalian mengganggu konsentrasi saya!" bentak Mbah Jenggot sambil menatap Arvin dan Anton dengan sedikit tajam. Membuat kedua laki-laki itu sedikit tekejut dan nyalinya seketika itu ciut. Arvin memilih untuk mengubur rasa ingin tahunya tentang sang Adik dalam-dalam. Lebih menunggu Mbah Jenggot yang nanti menjelaskan atau menunggu ritual selesai.
"Maaf, Mbah," cicit Anton dengan kepala tertunduk. Takut dengan sosok laki-laki yang terkenal dengan kesaktiannya sebagai dukun kampung itu. Begitu juga dengan Arvin.
Mbah Jenggot tidak lagi menanggapi. Tangannya sibuk mengeluarkan sebotol air yang dia bawa dari rumahnya. Membuka tutup botolnya, lalu mendekatkannya pada mulutnya yang komat-kamit membacakan sebuah mantra yang Arvin maupun Anton tidak tahu maksudnya apa.
Mereka pun tidak lagi berani mengeluarkan suara, takut dimarahi lagi oleh Mbah Jenggot seperti tadi. Meski Arvin sangat penasaran.
Usai membacakan mantra pada air dalam botol tersebut, Mbah Jenggot menuangkannya sedikit ke telapak tangannya. Lalu mencipratkannya pada wajah Farhan. Membuat laki-laki yang tengah tertidur itu sedikit menggeliat tidak nyaman. Arvin pun menatapnya dengan cemas, takut jika sampai Farhan terbangun dan teriak ketakutan seperti tadi.
Hingga Arvin bisa bernapas lega karena sang Adik masih terlelap dalam tidurnya. Mbah Jenggot pun menutup kembali botol berisi air yang sudah diberi jampi-jampi olehnya. Kemudian sorot mata tajamnya mengarah pada Arvin dan Anton yang mendadak kembali diserbu rasa takut saat melihat sorot matanya.
"Aku sudah memberikan doa pada air ini. Nanti tolong diminumkan pada adik sampean," ujar Mbah Jenggot sambil menyodorkan botol air tersebut pada Arvin.
"I-iya, Mbah." Tanpa banyak bantahan dan pertanyaan lagi. Dengan tangan sedikit gemetar, Arvin menerima botol tersebut. "T-te-rima kasih," imbuhnya dengan sedikit terbata.
"Iya," sahutnya. Lalu menarik napas dalam-dalam. "Setelah sadar nanti, suruh adik kamu untuk mengembalikan barang milik laki-laki itu yang diambil olehnya," titahnya sambil menoleh ke arah Farhan yang kembali tenang.
"Barang apa memang, Mbah?" tanya Arvin penasaran.
"Adik kamu lebih tahu!" jawabnya dengan tatapan tajam. "Dia sudah bersikap sembrono dengan mengambil barang itu. Makanya, penunggu tempat itu marah dan meneror adik kamu itu!"
Hati Arvin mencelos seketika mendengar penuturan dari Mbah Jenggot. Entah apa yang dilakukannya selama di tempat angker itu hingga membuat penunggu tempat angker itu merasa terganggu dengan kehadiran Farhan.
"I-iya, Mbah." Anton menjawab sambil mencolek lengan tangan Arvin. Membuat lamunan laki-laki bertubuh jangkung itu tersadar. Dia pun hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Pikirannya masih kalut dengan keadaan yang dia tidak tahu apa penyebabnya. Karena Farhan sendiri masih belum bisa ditanya-tanya.
"Kamu tenang saja. Setelah ini, adik kamu akan baik-baik saja. Asal barang itu dikembalikan."
Mbah Jenggot kembali bersuara. Kali ini lebih terdengar lembut dari sebelumnya.
"Kalau begitu, aku pamit. Air itu jangan lupa diberikan pada adikmu!" ujarnya sambil menepuk bahu Arvin.
"Terima kasih, Mbah."
"Sama-sama."
"Aku antar Mbah Jenggot dulu," ujar Anton sambil menepuk bahu Arvin.
"Iya, Mas."
Mbah Jenggot pun keluar ruang rawat Farhan diikuti oleh Anton. Kemudian, Anton memberikan amplop berisi selembar uang lima puluh ribuan yang Arvin berikan untuk upah Mbah Jenggot.
Anton kembali mengantar Mbah Jenggot pulang. Kini, tinggal Arvin dan Farhan berdua saja.
Tatapan mata Arvin terus mengarah pada wajah sang Adik yang kini terlihat lebih segar dari sebelumnya. Terlihat dari wajahnya yang sedikit memerah, tanda aliran darah telah berjalan dengan lancar.
Kemudian menggenggam telapak tangannya dengan lembut.
"Kamu harus kuat, Han. Mas akan selalu di sini untukmu," gumamnya.
Dia merasa tangan Farhan membalas genggamannya. Perlahan, matanya yang terpejam terbuka.
"Mas," panggilnya lemah.
"Kamu sudah bangun," balasnya dengan senyum tipis.
Berusaha untuk selalu tegar di depan sang Adik. Meski dalam hati teramat teriris melihat satu-satunya keluarga yang dia miliki harus tersandung masalah dengan makhluk astral.
"Tadi sepertinya ada orang?" tanyanya pelan.
Arvin mengembuskan napas lega. Setidaknya, adiknya bangun dalam kondisi sadar. Tidak lagi berteriak histeris ketakutan seperti sebelumnya.
"Iya. Tadi ada Mas Anton dan temannya yang menjenguk kamu."
"Oh," sahutnya dengan mulut membulat sempurna. "Mas, tolong minum. Aku haus," pintanya sambil mengusap tenggorokannya yang terasa kering.
"Iya, sebentar. Mas ambilkan dulu."
Arvin menuangkan air yang tadi diberikan oleh Mbah Jenggot ke dalam gelas. Lalu memberikannya pada Farhan yang kini sudah berada pada posisi duduk.
"Air apa itu, Mas? Kok kayaknya aneh?" tanya Farhan menatap curiga pada botol pemberian dari Mbah Jenggot karena dibungkus oleh plastik hitam.
"Bukan apa-apa kok. Air biasa saja. Biar kamu cepat sembuh," jawab Arvin sedikit menutupi apa yang ada di balik air itu.
Karena jika tahu itu adalah air yang sudah diberi mantra oleh Mbah Jenggot, takut jika dia menolak. Jadi, demi kebaikan sang Adik, Arvin terpaksa sedikit tak jujur.
"Yakin?" Farhan menatap segelas air yang masih di tangan Arvin dengan ragu.
"Mas nggak akan tega meracuni adik kandung sendiri, Farhan," sahut Arvin sedikit kesal. "Sudah, minumlah. Katanya haus." Arvin kembali mengangsurkan gelas berisi air putih itu kembali pada sang Adik.
Melihat reaksi Arvin yang sedikit kesal karena dituduh yang tidak-tidak, Farhan pun menerima segelas air yang menurutnya sedikit aneh itu. Kemudian meneguknya dengan terpaksa. Namun, saat dirasa tidak ada yang aneh, dia pun akhirnya meneguknya hingga tandas.
"Nggak ada yang aneh kan? Atau kamu jadi keracunan?" tanya Arvin menatap Farhan dengan menyipitkan kedua matanya.
Farhan hanya memamerkan deretan giginya yang tersusun rapi. "Maaf, Mas," lirihnya.
Hanya anggukan kepala yang diberikan oleh Arvin sebagai jawaban.
***
Keadaan Farhan pun semakin membaik. Dia tidak lagi berteriak ketakutan lagi. Komunikasi pun sudah lancar seperti biasa. Karena itu, dia diizinkan pulang oleh dokter.
Sesampainya di rumah, Arvin baru teringat akan pesan yang dikatakan oleh Mbah Jenggot.
"Oh, ya, Han. Mas mau tanya sesuatu sama kamu deh," ucapnya menatap adiknya serius.
Mereka baru saja menghabiskan makan malam berdua di rumah, setelah dua hari Farhan dirawat di rumah sakit.
"Tanya apa, Mas? Serius banget kayaknya," balasnya sambil mengelap mulutnya dengan tisu.
"Kamu kemarin waktu ke tempat bekas wisata itu menemukan sesuatu atau mengambil sesuatu dari tempat itu?"
Farhan terdiam sejenak. Bola matanya menerawang jauh, dia mencoba mengingat apa saja yang dia lakukan selama membuat konten uji nyali di tempat angker itu.
"Sepertinya ... tidak, Mas. Aku tidak merasa mengambil sesuatu dari sana," jawabnya. "Bagaimana mau mengambil sesuatu, orang aku saja diteror sampai lari kalang kabut dan akhirnya nabrak pohon," imbuhnya.
"Tapi, kata teman Mas Anton kemarin, kamu itu diminta mengembalikan barang yang sudah kamu ambil di tempat angker itu, Han? Coba jujur sama Mas," pinta menatap adiknya penuh harap.
"Sumpah, Mas! Aku nggak mengambil apapun dari tempat itu!" tegasnya kemudian berdiri dan meninggalkan ruang makan. Farhan kembali masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya sedikit keras.
Membuat Arvin menghela napas panjang dan berat. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh adiknya.
"Oke, Mas akan cari tahu sendiri, Han," gumamnya menatap pintu kamar Farhan yang tertutup rapat.
Arvin mulai memikirkan cara bagaimana menguak apa yang terjadi pada adiknya sehingga dia bisa seperti itu. Karena menuntut cerita dari adiknya pun percuma, Farhan malah terlihat kesal padanya. Padahal, Arvin telah mengorbankan banyak hal untuk adik satu-satunya.Dia menoleh saat mendapati pintu kamar Farhan terbuka. Sang empunya keluar dari sana sembari meletakkan tas selempang di bahu kanannya. Entah apa isinya."Kamu mau ke mana, Han?" tanyanya seraya berdiri dari duduknya."Ke basecamp sebentar," jawabnya tanpa menoleh ke arah sang Kakak yang mengikuti langkahnya ke luar rumah."Han, kamu baru pulang dari rumah sakit. Istirahat saja lah dulu," katanya mengingatkan Farhan. Takut terjadi apa-apa dengannya."Aku sudah besar, Mas. Bisa jaga diri," jawabnya menoleh sekilas ke arah Arvin yang akhirnya hanya bisa mengembuskan napas panjang."Sebelum Maghrib sudah harus pulang!" teriaknya sedikit kencang menatap punggung adiknya yang menjauh bersama dengan laju motornya.Farhan hanya menja
Arvin menggedor pintu kamar Farhan yang ternyata terkunci dari dalam. Sementara sang Adik masih berteriak histeris dari dalam kamarnya. Arvin pun semakin cemas saat terdengar suara barang-barang yang dibuang, bahkan suara pecahan kaca. Dia khawatir terjadi sesuatu pada adiknya. "Farhan, buka pintunya!" panggil Arvin dengan bibir sedikit gemetar. Sungguh dia mencemaskan kondisi adiknya.Tak ada pilihan lain, karena dipanggil-paggil sejak tadi pun tidak ada respon membuka pintu. Akhirnya laki-laki bertubuh jangkung itu mundur lima langkah. Kemudian dia berlari dan membenturkan tubuhnya pada pintu kamar. Mencoba mendobrak pintunya secara paksa. Percobaan pertama tidak berhasil. Pintu masih tertutup rapat. Dia pun mencoba lagi, mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk mendobrak pintu kamar Farhan hingga akhirnya pintu tersebut berhasil terbuka lebar. Kedua netranya pun gegas mengedarkan pandangannya, menyapu seisi kamar Farhan yang persis seperti kapal pecah. Semua barang-barangny
Jika harus ganti orang, dia khawatir tidak sesuai dengan yang seperti Mbah Jenggot kemarin. Karena Farhan sudah cocok dengan laki-laki berjenggot panjang itu."Gimana, Vin?"Pertanyaan yang terlontar dari mulut Anton membuat Arvin tersadar dari lamunannya. Dia menatap Anton serius."Apa nggak apa-apa ganti orang, Mas? Secara Farhan kemarin sudah cocok dengan Mbah Jenggot," tanyanya ragu."Orang ini kan kenalan Mbah Jenggot, jadi pasti kemampuannya pun sama dengan Mbah Jenggot.""Mas Anton yakin?""Sudahlah, dicoba dulu saja, Vin. Dari pada adik kamu semakin menjadi. Memang kamu mau?"Arvin menggeleng cepat. Tidak. Dia tidak ingin melihat adiknya terus menerus dalam kondisi seperti ini. Dia merasa asing dengan adiknya. Pun kasihan melihat sang Adik harus menderita karena mentalnya terus menerus diteror oleh kedatangan makhluk yang hanya Farhan saja yang melihat.Terkadang, Arvin berpikiran jika Farhan hanya halusinasi. Karena dia juga tidak melihat wujud dari makhluk yang sering dikata
Anton dan Arvin kembali melempar pandang dengan tatapan heran. Anton hanya membalasnya dengan mengangkat kedua bahunya, tanda dia juga tidak tahu. Bersamaan dengan itu, pintu kamar Farhan terbuka lebar. Sang empunya kamar pun sempat mundur lagi dengan tubuh sedikit berjingkrak. Terkejut dengan kehadiran sosok laki-laki yang memakai pakaian serba hitam itu. "Siapa kamu?" tanya menatap Mbah Tejo dingin.Merasa tidak terlalu suka jika ada seseorang yang hendak masuk ke dalam kamarnya. Karena menurutnya, kamar itu adalah privasi. Tidak sembarangan orang boleh memasukinya."Farhan." Arvin mendekat dan berdiri di samping adiknya. "Dia itu Mbah Tejo. Orang yang akan membantumu terbebas dari gangguan makhluk itu," jelasnya hati-hati. Tatapan mata Farhan langsung memindai penampilan Mbah Tejo dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya. Dari tatapannya, Arvin bisa menangkap jika adiknya itu kurang suka dengan kedatangan Mbah Tejo. Padahal, saat dia memberitahu jika akan ada tamu yang datang
Jantung Arvin seketika berdegup kencang saat melihat adiknya kembali melempar semua barang-barangnya ke arah lemari sambil berteriak histeris. Begitulah Farhan mengisi malam-malamnya sejak nekat melakukan uji nyali. Dia seperti orang yang terkena halusinasi. Atau memang hanya dia yang melihat. Karena baik Arvin ataupun Anton tidak melihat apapun di kamar Farhan."Farhan, hentikan!" Arvin berlari dan langsung memeluk tubuh adiknya agar tenang dan tidak berontak serta histeris lagi. "Makhluk itu datang lagi, Mas! Suruh dia pergi!" rancaunya sambil berusaha melepaskan diri dari dekapan sang Kakak dan kembali melempari barang yang dia pegang ke arah lemari. "Farhan, tenang, ya. Di sini tuh nggak ada apa-apa," ucap Anton ikut menimpali. "Apa kalian tidak lihat? Makhluk itu datang lagi dan dia bilang ingin membunuhku! Aku tidak mau, Mas! Aku tidak mau!" teriaknya lagi dengan tatapan tertuju pada lemari pakaiannya. "Farhan!" Bentakan Arvin membuat Farhan seketika berhenti memberontak. M
Arvin kembali meninggalkan Farhan di rumah seorang diri. Sebenarnya berat, mengingat terkadang adik satu-satunya itu berteriak histeris ketakutan seperti semalam. Namun, dia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Mencari pekerjaan bagi Arvin tidaklah gampang. Terlebih, dia hanya memiliki ijazah sekolah menengah pertama. Untung saja, perusahaan tempatnya bekerja sekarang mau menampung anak-anak yang hanya lulusan SMP. Karena rata-rata, perusahaan sekarang hanya akan menerima pekerja yang memiliki ijazah sekolah menengah kejuruan atau sederajat."Mas Arvin, dipanggil bos ke ruangannya," ujar salah satu rekan kerjanya saat dia baru saja sampai di pabrik setelah pulang sesaat untuk memastikan kondisi adiknya di rumah. Laki-laki itu mendesah panjang. Lalu mengangguk. "Ya sudah."Dengan langkah gontai, dia pun berjalan menuju kantor. Otaknya sudah banyak menyimpan dugaan tentang dipanggilnya dia ke ruang kantor untuk menemui atasann
Arvin pun mendadak panik saat mendengar teriakan adiknya saat dalam perjalanan ke rumah ustadz untuk mengobati Farhan. Bahkan, beberapa pasang mata menatap keduanya dengan heran saat melihat Farhan berteriak ketakutan. Dia pun menepikan motornya karena takut menyenggol pengendara lain. Karena Farhan tidak bisa tenang di atas motor dan membuat motor yang dikendarai Arvin sedikit oleng. "Farhan, tenanglah sedikit. Jangan bergerak terus. Mas sudah ini mengendarai motornya," protesnya pada sang Adik. "Aku takut, Mas. Makhluk itu ada di mana-mana. Dia mau bunuh aku. Aku nggak mau mati!" teriaknya sambil menyembunyikan wajahnya di balik punggung kakaknya. Arvin pun terpaksa menghentikan motornya dan mencoba menenangkan adiknya agar tidak berontak lagi. Dia juga menelepon Anton yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. ["Ada apa, Vin? Kamu di mana? Kok nggak kelihatan?"]"Aku berhenti di pinggir jalan, Mas. Di depan counter hp. Arvin tadi berteriak ketakutan pas di motor. Jadi aku pi
Farhan hanya menggelengkan kepalanya dengan napas yang masih terlihat ngos-ngosan. Entah karena apa, Arvin sendiri tidak tahu. Dia hanya khawatir jika Farhan kembali berteriak histeris ketakutan karena melihat sosok yang hanya adiknya saja yang melihat. Anton pun menatap Farhan dengan heran. Dia merasa jika Farhan sedang tertekan hatinya. Dia pun menepuk bahu Farhan dan membuat laki-laki itu menoleh ke arah Anton. Wajahnya terlihat sedikit memerah, begitu juga dengan kedua matanya. "Han, sadar. Jangan seperti itu. Kuasai dirimu," ujar Anton yang lebih paham apa yang sebenarnya terjadi pada Farhan. Laki-laki itu hanya mengembuskan napas kasar. Lalu melirik ke arah Ustaz Zaki dengan tajam. Arvin pun mulai panik saat melihat perubahan yang terjadi pada adiknya. Takut terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Apalagi, ini di rumah orang lain. Belum lagi nanti mereka masih harus melakukan perjalanan, meski tidak sampai setengah jam, tapi Arvin tetap khawatir. Terlebih tadi saat perjalanan