Arvin mengurungkan niatnya untuk bangkit dari tempat duduk. Tatapannya mengarah pada laki-laki yang baru saja berbicara dengannya.
"Maksud Mas?" tanyanya dengan kerutan dikeningnya. "Saya tahu jika adik kamu dirawat di rumah sakit ini karena kecelakaan setelah membuat konten uji nyali di kebun binatang yang terbengakalai itu kan? Tempat yang sedang viral keangkerannya," ujarnya menatap Arvin dengan senyum tipis. Arvin semakin mengerutkan keningnya. "Dari mana Mas tahu?" tanyanya penasaran. Laki-laki itu tersenyum kecil. Dia meneguk sisa air putih yang tinggal seperempat gelas dengan tandas. Lalu menjawab pertanyaan Arvin. "Tidak penting dari mana saya tahu. Yang jelas, saya bisa bantu kamu untuk menyembuhkan adik kamu seperti semula," katanya dengan penuh keyakinan. "Bagaimana bisa?" tanya Arvin penasaran. "Eh, tapi ...." Dia teringat jika sore ini, Mas Anton akan mendatangkan Mbah Jenggot seorang dukun kampung untuk mencoba menyembuhkan Farhan."Saya juga tahu, jika kamu sudah akan memanggil orang pintar untuk mengobati adik kamu kan?" tanyanya lagi dengan senyuman. Membuat Arvin kembali melebarkan kedua matanya. Terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan oleh laki-laki yang duduk di hadapannya kini. "Bagaimana Mas bisa tahu?" tanyanya penasaran. Laki-laki itu menyulut sebatang tembakau. Kemudian menyesapnya perlahan dan mengepulkan asap putihnya di hadapan wajah Arvin.Laki-laki itu sedikit mengibaskan tangannya di depan wajah. Dia yang seorang perokok pasif sedikit terganggu dengan asap putih yang berasal dari tembakau itu."Kamu tidak merokok?" Laki-laki itu malah balik bertanya.Arvin hanya menggelengkan kepalanya. Lalu kembali berkata. "Mas belum jawab pertanyaan saya.""Pertanyaan yang mana?" tanyanya lagi menatap Arvin dengan kening berkerut.Membuat Arvin mengembuskan napas sedikit kasar. "Dari mana Mas tahu kalau adik saya sedang tidak baik-baik saja? Juga bagaimana Mas tahu kalau teman saya sudah memanggilkan orang pintar untuk mencoba mengobati adik saya?"Bukannya menjawab. Laki-laki bertubuh gempal itu malah terkekeh pelan. Hingga tubuhnya sedikit berguncang."Kamu tidak perlu tahu saya tahu dari mana. Yang jelas, saya bisa bantu kamu," tegasnya. "Tapi-""Nggak apa-apa," potongnya cepat. Lalu, laki-laki itu mengambil dompet dari sakunya. Kemudian mengeluarkan secarik kertas dan menyerahkannya pada Arvin. "Ini kartu nama saya. Ada nomor teleponnya juga. Kamu bisa hubungi nomor saya jika suatu saat membutuhkan." Sedikit ragu, Arvin menerima kartu nama tersebut dan membacanya. "Namanya Mas Cipto?" "Iya. Kamu bisa panggil saya Kang Cipto seperti orang-orang yang mengenal saya," sahutnya. Lalu kembali menghisap rokok. Kemudian mengepulkan asapnya. "Oh, baik, Kang Cipto." Arvin mengangguk dan tersenyum. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Kang. Adik saya sendirian soalnya." "Iya, silakan. Itu makanan kamu sudah saya bayar." Arvin melebarkan kedua matanya. Menatap laki-laki dengan perut buncit itu tidak percaya. "Eh, tapi-" "Sudah, tidak apa-apa. Sudah sana, katanya mau balik ke rumah sakit." "I-iya. Sekali lagi terima kasih, Kang." "Sama-sama." Arvin pun bergegas kembali ke ruang rawat Farhan. Takut jika adiknya bangun dan berulah seperti sebelumnya. Dia melangkahkan kaki panjangnya sedikit tergesa. Menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Sesekali balas menyapa orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya. Hingga dia sampai di ruang rawat Farhan dan akhirnya bisa bernapas lega saat mendapati Farhan masih tertidur pulas. "Huh, syukurlah ...." Dia pun mengambil posisi duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur Farhan. Tatapannya menatap wajah adiknya yang pucat dengan iba. Terkadang dia sadar, tapi kadang juga berteriak histeris ketakutan. Sebenarnya, lukanya tidak terlalu parah. Hanya lecet-lecet di bagian tangan dan kaki. Luka sobek di kepalanya juga tidak sampai mengenai syaraf. Sehingga tidak mungkin juga halusinasi yang Farhan alami bukan karena luka sobek di kepalanya. Namun, dokter ingin memantau perkembangan Farhan dengan melakukan beberapa pemeriksaan ulang untuk memastikan. Juga dihadirkan dokter psikolong untuk menangani trauma yang mungkin dialami Farhan. "Kenapa jadi seperti ini sih, Han?" gumamnya lirih sambil menatap adiknya yang perlahan mulai membuka kedua matanya. "Farhan ...," panggilnya dengan lembut. Sepasang mata dengan bola mata hitam legam itu menatap Arvin dengan tatapan sayu. "Aku di mana, Mas?" tanya Farhan menatap sekeliling yang terasa asing baginya."Kamu di rumah sakit." Terkadang, Farhan seperti orang yang linglung. Terkadang ingat juga. Namun, beberapa waktu lagi, dia lupa."Kenapa, Mas?" tanyanya lemah. Tatapan matanya kembali mengitari sekitar. Kemudian berhenti pada saudara satu-satunya yang dia miliki."Kamu ... kecelakaan, Han.""Kecelakaan?" tanyanya tampak mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi padanya."Iya. Tapi, sekarang kondisimu sudah membaik. Insyaallah besok kamu sudah boleh pulang," sahut Arvin mencoba menghibur adiknya.Kondisi fisik Farhan memang sudah membaik. Hanya psikisnya saja yang terlihat seperti orang trauma."Mas!"Seketika itu jemari Farhan menggenggam erat lengan tangan Arvin. Tatapan matanya mengarah pada dispenser dengan raut wajah ketakutan. Kemudian menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya."Ada apa?" Arvin menoleh, mengikuti arah telunjuk Farhan. Namun, dia tidak mendapati apapun kecuali dispenser yang airnya sudah benar-benar habis sekarang."Makhluk itu datang lagi, Mas," ucapnya dengan suara yang bergetar.Memahami apa yang dirasakan sang Adik, Arvin langsung memeluk pinggang Farhan. Mencoba menenangkannya. Hingga akhirnya, tubuh Farhan yang tadinya menegang, kini perlahan melemas. Dia kembali tertidur.Kini dia memang lebih banyak tertidur karena pengaruh obat. Karena jika Farhan terbangun, dia akan merancau yang tidak jelas. Bahkan menjerit histeris hingga membuat pasien lain terganggu.***Setelah ashar, Cipto kembali dengan bersama dengan seorang laki-laki paruh baya. Laki-laki berjenggot putih itu memakain setelan kaos hitam yang dipadu dengan baju lurik juga celana bahan berwarna hitam. Arvin berdiri dari duduknya dan menyalami laki-laki itu. Seakan tak fokus pada Arvin, mata Mbah Jenggot menatap tajam tubuh Farhan yang masih dengan kedua matanya yang terpejam. Kemudian, dia memejamkan kedua matanya disertai geraman. Membuat Arvin memilih beringsut dari hadapan Mbah Jenggot dan menatap Anton, menuntut penjelasan. "Nanti bakal dijelasin kok sama Mbah Jenggot. Kamu diam saja," sahut Anton yang berbisik di sebelah telinga Arvin. Arvin mengangguk paham. Lalu kembali memperhatikan apa yang dilakukan Mbah Jenggot pada adiknya. Selama hampir sepuluh menit, Mbah Jenggot hanya berdiri mematung di dengan tatapan lurus pada Farhan yang sesekali tubuhnya bergerak setiap kali Mbah Jenggot mengeluarkan geraman. Setelahnya cukup lama, lelaki berjenggot putih itu merentangkan kedua tangannya ke samping sembari menarik napas dalam, menyatukan kedua telapak tangannya di atas kepala. Lalu membuang napasnya perlahan. Tubuh laki-laki itu berbalik dan menatap Arvin dan Anton yang berdiri dengan tegang di belakangnya. "Apa yang terjadi dengan adik saya, Mbah?" tanya Arvin. Dia tidak sabar dan ingin segera tahu apa yang membuat Arvin seperti itu. "Adik kamu ini diikuti oleh sosok laki-laki dengan kepala yang hampir putus. Dia adalah salah satu korban yang meninggal dunia di bekas kebun binatang yang terbengkalai itu karena diterkam harimau. Dia ingin barangnya kembali," paparnya dengan tenang. "Barang? Barang apa?" tanya Arvin dengan kening berkerut.Laki-laki berjenggot putih itu tak langsung menjawab pertanyaan Arvin. Dia malah membuka telapak tangannya lebar-lebar. Lalu menggerakkannya dari ujung kepala hingga sampai di ujung kaki Farhan, dia seperti membuang sesuatu dan terlihat sedikit berat. Mbah Jenggot mengulanginya hingga beberapa kali. Keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori kulit wajahnya yang sudah mengeriput. Dia seperti mengeluarkan sebuah energi yang bersemayam di dalam tubuh Farhan. "Mas, apa yang dilakukan Mbah Jenggot sebenarnya?" tanya Arvin yang mendekatkan bibirnya pada telinga Anton. Dia memang terlalu awam dengan hal seperti itu. Karena memang tidak pernah mengalaminya. "Mengeluarkan jin," balas Anton asal. Bahkan tanpa mengalihkan perhatiannya dari apa yang sedang dilakukan oleh Mbah Jenggot pada Farhan. Arvin mengerutkan keningnya mendengar jawaban yang keluar dari mulut Anton. "Jadi, Farhan benar-benar kerasukan jin?" tanya Arvin menatap sang Adik dengan tatapan tak percaya. Dia pikir, Far
Arvin mulai memikirkan cara bagaimana menguak apa yang terjadi pada adiknya sehingga dia bisa seperti itu. Karena menuntut cerita dari adiknya pun percuma, Farhan malah terlihat kesal padanya. Padahal, Arvin telah mengorbankan banyak hal untuk adik satu-satunya.Dia menoleh saat mendapati pintu kamar Farhan terbuka. Sang empunya keluar dari sana sembari meletakkan tas selempang di bahu kanannya. Entah apa isinya."Kamu mau ke mana, Han?" tanyanya seraya berdiri dari duduknya."Ke basecamp sebentar," jawabnya tanpa menoleh ke arah sang Kakak yang mengikuti langkahnya ke luar rumah."Han, kamu baru pulang dari rumah sakit. Istirahat saja lah dulu," katanya mengingatkan Farhan. Takut terjadi apa-apa dengannya."Aku sudah besar, Mas. Bisa jaga diri," jawabnya menoleh sekilas ke arah Arvin yang akhirnya hanya bisa mengembuskan napas panjang."Sebelum Maghrib sudah harus pulang!" teriaknya sedikit kencang menatap punggung adiknya yang menjauh bersama dengan laju motornya.Farhan hanya menja
Arvin menggedor pintu kamar Farhan yang ternyata terkunci dari dalam. Sementara sang Adik masih berteriak histeris dari dalam kamarnya. Arvin pun semakin cemas saat terdengar suara barang-barang yang dibuang, bahkan suara pecahan kaca. Dia khawatir terjadi sesuatu pada adiknya. "Farhan, buka pintunya!" panggil Arvin dengan bibir sedikit gemetar. Sungguh dia mencemaskan kondisi adiknya.Tak ada pilihan lain, karena dipanggil-paggil sejak tadi pun tidak ada respon membuka pintu. Akhirnya laki-laki bertubuh jangkung itu mundur lima langkah. Kemudian dia berlari dan membenturkan tubuhnya pada pintu kamar. Mencoba mendobrak pintunya secara paksa. Percobaan pertama tidak berhasil. Pintu masih tertutup rapat. Dia pun mencoba lagi, mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk mendobrak pintu kamar Farhan hingga akhirnya pintu tersebut berhasil terbuka lebar. Kedua netranya pun gegas mengedarkan pandangannya, menyapu seisi kamar Farhan yang persis seperti kapal pecah. Semua barang-barangny
Jika harus ganti orang, dia khawatir tidak sesuai dengan yang seperti Mbah Jenggot kemarin. Karena Farhan sudah cocok dengan laki-laki berjenggot panjang itu."Gimana, Vin?"Pertanyaan yang terlontar dari mulut Anton membuat Arvin tersadar dari lamunannya. Dia menatap Anton serius."Apa nggak apa-apa ganti orang, Mas? Secara Farhan kemarin sudah cocok dengan Mbah Jenggot," tanyanya ragu."Orang ini kan kenalan Mbah Jenggot, jadi pasti kemampuannya pun sama dengan Mbah Jenggot.""Mas Anton yakin?""Sudahlah, dicoba dulu saja, Vin. Dari pada adik kamu semakin menjadi. Memang kamu mau?"Arvin menggeleng cepat. Tidak. Dia tidak ingin melihat adiknya terus menerus dalam kondisi seperti ini. Dia merasa asing dengan adiknya. Pun kasihan melihat sang Adik harus menderita karena mentalnya terus menerus diteror oleh kedatangan makhluk yang hanya Farhan saja yang melihat.Terkadang, Arvin berpikiran jika Farhan hanya halusinasi. Karena dia juga tidak melihat wujud dari makhluk yang sering dikata
Anton dan Arvin kembali melempar pandang dengan tatapan heran. Anton hanya membalasnya dengan mengangkat kedua bahunya, tanda dia juga tidak tahu. Bersamaan dengan itu, pintu kamar Farhan terbuka lebar. Sang empunya kamar pun sempat mundur lagi dengan tubuh sedikit berjingkrak. Terkejut dengan kehadiran sosok laki-laki yang memakai pakaian serba hitam itu. "Siapa kamu?" tanya menatap Mbah Tejo dingin.Merasa tidak terlalu suka jika ada seseorang yang hendak masuk ke dalam kamarnya. Karena menurutnya, kamar itu adalah privasi. Tidak sembarangan orang boleh memasukinya."Farhan." Arvin mendekat dan berdiri di samping adiknya. "Dia itu Mbah Tejo. Orang yang akan membantumu terbebas dari gangguan makhluk itu," jelasnya hati-hati. Tatapan mata Farhan langsung memindai penampilan Mbah Tejo dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya. Dari tatapannya, Arvin bisa menangkap jika adiknya itu kurang suka dengan kedatangan Mbah Tejo. Padahal, saat dia memberitahu jika akan ada tamu yang datang
Jantung Arvin seketika berdegup kencang saat melihat adiknya kembali melempar semua barang-barangnya ke arah lemari sambil berteriak histeris. Begitulah Farhan mengisi malam-malamnya sejak nekat melakukan uji nyali. Dia seperti orang yang terkena halusinasi. Atau memang hanya dia yang melihat. Karena baik Arvin ataupun Anton tidak melihat apapun di kamar Farhan."Farhan, hentikan!" Arvin berlari dan langsung memeluk tubuh adiknya agar tenang dan tidak berontak serta histeris lagi. "Makhluk itu datang lagi, Mas! Suruh dia pergi!" rancaunya sambil berusaha melepaskan diri dari dekapan sang Kakak dan kembali melempari barang yang dia pegang ke arah lemari. "Farhan, tenang, ya. Di sini tuh nggak ada apa-apa," ucap Anton ikut menimpali. "Apa kalian tidak lihat? Makhluk itu datang lagi dan dia bilang ingin membunuhku! Aku tidak mau, Mas! Aku tidak mau!" teriaknya lagi dengan tatapan tertuju pada lemari pakaiannya. "Farhan!" Bentakan Arvin membuat Farhan seketika berhenti memberontak. M
Arvin kembali meninggalkan Farhan di rumah seorang diri. Sebenarnya berat, mengingat terkadang adik satu-satunya itu berteriak histeris ketakutan seperti semalam. Namun, dia pun tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja. Mencari pekerjaan bagi Arvin tidaklah gampang. Terlebih, dia hanya memiliki ijazah sekolah menengah pertama. Untung saja, perusahaan tempatnya bekerja sekarang mau menampung anak-anak yang hanya lulusan SMP. Karena rata-rata, perusahaan sekarang hanya akan menerima pekerja yang memiliki ijazah sekolah menengah kejuruan atau sederajat."Mas Arvin, dipanggil bos ke ruangannya," ujar salah satu rekan kerjanya saat dia baru saja sampai di pabrik setelah pulang sesaat untuk memastikan kondisi adiknya di rumah. Laki-laki itu mendesah panjang. Lalu mengangguk. "Ya sudah."Dengan langkah gontai, dia pun berjalan menuju kantor. Otaknya sudah banyak menyimpan dugaan tentang dipanggilnya dia ke ruang kantor untuk menemui atasann
Arvin pun mendadak panik saat mendengar teriakan adiknya saat dalam perjalanan ke rumah ustadz untuk mengobati Farhan. Bahkan, beberapa pasang mata menatap keduanya dengan heran saat melihat Farhan berteriak ketakutan. Dia pun menepikan motornya karena takut menyenggol pengendara lain. Karena Farhan tidak bisa tenang di atas motor dan membuat motor yang dikendarai Arvin sedikit oleng. "Farhan, tenanglah sedikit. Jangan bergerak terus. Mas sudah ini mengendarai motornya," protesnya pada sang Adik. "Aku takut, Mas. Makhluk itu ada di mana-mana. Dia mau bunuh aku. Aku nggak mau mati!" teriaknya sambil menyembunyikan wajahnya di balik punggung kakaknya. Arvin pun terpaksa menghentikan motornya dan mencoba menenangkan adiknya agar tidak berontak lagi. Dia juga menelepon Anton yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. ["Ada apa, Vin? Kamu di mana? Kok nggak kelihatan?"]"Aku berhenti di pinggir jalan, Mas. Di depan counter hp. Arvin tadi berteriak ketakutan pas di motor. Jadi aku pi