"Pergi! Jangan ganggu aku!"
Farhan kembali berteriak histeris sembari kedua tangannya memeluk lututnya dengan gemetar.Tangan yang terdapat jarum infusnya mengeluarkan darah karena aliran selang infusnya tersendat gara-gara pergerakan Farhan yang tidak beraturan."Farhan, tenang. Ini ada Mas. Mas Arvin di sini," ujar Arvin sambil memeluk tubuh Farhan yang gemetar ketakutan. "Suruh makhluk itu pergi dari sini, Mas. Aku takut!" teriak Farhan yang memilih menyembunyikan wajahnya di dada sang Kakak. Arvin dan perawat itu pun saling melempar pandang dan menatap sekitar yang terlihat sepi. Karena dua pasien yang ada di ruangan itu tengah istirahat. Sementara dua orang lainnya yang menjaga memilih tidak peduli karena mengantuk juga. Mereka memilih untuk tidur."Makhluk? Makhluk apa maksud kamu?" tanya Arvin dengan kening berkerut. Dia bingung dengan makhluk yang disebutkan oleh adiknya. "Itu, Mas! Laki-laki berlumuran darah yang kepalanya hampir terputus!" Jari telunjuk Farhan mengarah pada pojokan ruangan tempat Farhan dirawat. Pandangan Arvin dan perawat itu pun mengarah pada tempat yang ditunjuk oleh Farhan. Di mana mereka hanya melihat dispenser dengan galon berisi air yang tinggal separuhnya. "Mas, itu hanya dispenser. Mas berhalusinasi kali, ya ...," ujar perawat itu menatap Farhan dengan bingung. "Ada apa, Vin? Kok Farhan teriak-teriak seperti orang yang ketakutan?" Anton yang tadinya berjaga di luar pun bergegas menghampiri saat mendengar suara teriakan dari dalam ruang rawat Farhan. "Nggak tahu, Mas. Dia kok kayak orang ketakutan gitu. Terus nunjuk-nunjuk ke arah dispenser itu terus. Katanya ada laki-laki berlumuran darah yang kepalanya hampir putus," jelas Arvin sambil berusaha menenangkan adiknya."Mas, tenang, ya. Jangan gerak terus. Ini tangannya jadi berdarah karena infusnya nggak jalan," ujar perawat sambil membetulkan aliran infus yang sempat tersendat. "Mas suruh orang itu pergi! Dia mau bunuh aku!" Farhan berteriak lagi sembari memeluk erat pinggang sang Kakak yang bertubuh ramping itu. "Mas, istighfar," ujar perawat mengingatkan. "Nggak mau! Aku mau orang itu pergi dan tidak menggangguku lagi!" tolaknya tak peduli. "Farhan ...." Arvin pun bingung harus bagaimana dengan kondisi adiknya. "Saya panggilkan dokter sebentar, ya, Mas!" ujar perawat yang pamit keluar ruangan untuk memanggilkan dokter untuk menangani Farhan. "Dia kenapa sih, Vin? Kenapa jadi begini?" tanya Anto mendekat setelah melihat ke arah dispenser yang memang tidak ada sosok yang diceritakan Arvin tadi yang membuat Farhan sangat ketakutan."Nggak tahu, Mas. Aku saja bingung," jawab Arvin pelan. Pikirannya kini entah kenapa jadi blank saat melihat kondisi adiknya seperti ini. "Apa jangan-jangan, Farhan ini diikuti sosok makhluk penunggu bangunan bekas kebun binatang itu? Soalnya dia kan kecelakaan di dekat tempat angker itu." Anton menerka-nerka.Arvin terdiam sejenak. Membenarkan apa yang dikatakan oleh Anton. "Masuk akal juga sih. Soalnya, sebelumnya Farhan pamit kalau dia mau bikin konten uji nyali di tempat bekas wisata itu," papar Arvin mengingat kejadian sebelum Farhan berangkat. Dia bahkan sempat mempunyai perasaan yang tidak enak tentang rencana adiknya itu. Sudah sempat melarangnya juga, tapi Farhan tidak mengindahkan. Dan ... terjadilah kecelakaan yang membuat dirinya histeris ketakutan. "Nah kan! Jangan-jangan ada sosok yang mengikuti adik kamu ini!" seru Anton. Membuat Farhan kembali berteriak dengan histeris saat dia menoleh ke arah dispenser yang menurut pandangan matanya ada sosok laki-laki yang kepalanya hampir putus dan berlumuran darah.Bersamaan dengan itu, perawat yang tadi kembali bersama dokter dengan langkah tergesa. "Ini, Dok. Dari tadi teriak-teriak terus. Sepertinya dia halusinasi," ujar perawat itu sambil menunjuk ke arah Farhan yang masih menyembunyikan wajahnya di perut rata sang Kakak. "Astaghfirullah ... Mas tenang, ya," ujar dokter perempuan berhijab merah mudah itu pelan sambil mengusap lengannya dengan lembut. Saat tubuh Farhan sudah tidak bergerak-gerak lagi, dokter itu pun langsung menyuntikkan obat penenang di lengan Farhan. Tak butuh waktu lama, tubuh Farhan melemah dengan dengkuran napas yang teratur. "Dok, adik saya kenapa ini?" tanya Arvin yang panik saat cengkeraman tangan adiknya di pinggangnya mulai melemas. Dia takut jika terjadi sesuatu pada saudara satu-satunya itu. "Tidak apa, Mas. Ini hanya diberi obat penenang saja. Biar adiknya ini istirahat," jelas dokter menatap Arvin. Arvin mengembuskan napas lega. "Syukurlah.""Diletakkan saja pelan-pelan. Biar infusnya dibetulkan sama suster. Sudah berdarah itu soalnya." "Iya, Dok."Perlahan, Arvin meletakkan tubuh Farhan kembali ke tempat tidur. Kemudian suster mulai memperbaiki alat infus yang sempat tersendat karena pergerakan Farhan yang sedikit brutal."Adik saya sebenarnya kenapa, Dok?" tanya Arvin dengan tatapan cemas. "Mungkin dia hanya berhalusinasi, Mas. Semoga besok sudah membaik, ya. Kita lihat perkembangannya besok."Arvin mengangguk paham. Dokter dan perawat itu pun pamit keluar ruangan. Membiarkan pasien istirahat dengan tenang. "Aku yakin, jika adikmu ini ada yang mengikuti, Vin," bisik Anton sambil menepuk bahu Arvin."Terus bagaimana, Mas?" tanya Arvin menatap Anton dengan bingung. "Udah, kamu tenang saja. Besok aku akan minta bantuan sama Mbah Jenggot." "Mbah Jenggot?" Kedua kening Arvin berkerut. Merasa asing dengan nama yang baru saja disebutkan oleh Anton. "Iya. Dia orang pintar yang sering mengobati orang-orang yang terkena gangguan jin seperti adik kamu. Udah gampang, besok aku panggilkan dia. Tapi, ya agak sorean mungkin, ya.""Kalau bisa secepatnya, Mas. Soalnya saya khawatir kalau Farhan bakal seperti tadi.""Dia bisanya sore. Kecuali kalau Farhan dibawa ke rumahnya. Itu bebas mau kapan saja." Arvin mengembuskan napas panjang. Lalu menoleh pada Farhan yang kini terlelap dalam ketenangan. Setelah disuntik obat penenang oleh dokter. Tidak berontak seperti tadi. "Ya sudah, sore saja. Tidak mungkin juga Arvin di bawa pergi, orang masih menjalani perawatan," kata Arvin yang akhirnya pasrah. "Ya sudah. Lanjut tidur lagi saja. Mumpung adik kamu sudah tenang. Jangan sampai kamu jadi ikut sakit," katanya menepuk bahu Arvin. Laki-laki itu pun mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Mas Anton. Semoga sehat selalu," balasnya. "Aamiin ... kalau begitu, aku keluar lagi. Soalnya nggak boleh dua orang yang menunggu di dalam.""Iya, Mas."Setelah kepergian Anto, Arvin kembali duduk di dekat tempat tidur sang Adik sambil mengusap telapak tangannya yang terbebas dari selang infus. Dia merebahkan kepalanya di atas tempat tidur saat rasa kantuk kembali menyerang kedua matanya.Arvin pun memutuskan untuk kembali terlelap. Namun, sesaat dia tidak sengaja melihat sosok yang dimaksud oleh Farhan. Laki-laki berlumuran darah dengan kepala yang hampir putus itu berdiri mematung di dekat dispenser sembari membawa kotak kecil berwarna hitam.Refleks, Arvin kembali membuka matanya dan menoleh dengan sempurna pada tempat dispenser itu berdiri. Namun dia tidak mendapati apapun di sana. Hanya seonggok disepenser yang airnya hampir habis. "Apa aku salah lihat?" gumamnya pelan."Arvin, aku pamit pulang dulu. Mau mandi sama ke rumah Mbah Jenggot untuk membantu menyembuhkan adik kamu.""Sarapan dulu, Mas. Nanti baru pulang.""Nantilah gampang. Aku sarapa di rumah saja. Kamu tuh jangan sampai telat sarapan biar tetap sehat supaya bisa merawat adik kamu," ujar Anton memberi sedikit perhatian pada tetangganya. "Iya, Mas. Terima kasih banyak atas bantuannya." "Sama-sama. Nanti aku ke sini sorean, ya. Pamit dulu. Assalamualaikum.""Wa'alaikumsalam. Hati-hati, Mas." Arvin mengangkat telapak tangannya menatap kepergian Anton meninggalkan ruang rawat. Kini hanya tinggal dirinya dan Farhan yang kembali tertidur usai sarapan dan meneguk obat pemberian dokter. Tadi saat bangun, dia sempat kembali berteriak histeris. Hingga membuat pasien lain yang di kamar itu sedikit terganggu dengan ulah Farhan.Namun untungnya, Arvin bisa menenangkan adiknya.Arvin pun memutuskan untuk tidur sesaat ketika Farhan kembali tidur setelah disuntik obat penenang oleh dokter. Semalam di
Arvin mengurungkan niatnya untuk bangkit dari tempat duduk. Tatapannya mengarah pada laki-laki yang baru saja berbicara dengannya. "Maksud Mas?" tanyanya dengan kerutan dikeningnya. "Saya tahu jika adik kamu dirawat di rumah sakit ini karena kecelakaan setelah membuat konten uji nyali di kebun binatang yang terbengakalai itu kan? Tempat yang sedang viral keangkerannya," ujarnya menatap Arvin dengan senyum tipis. Arvin semakin mengerutkan keningnya. "Dari mana Mas tahu?" tanyanya penasaran. Laki-laki itu tersenyum kecil. Dia meneguk sisa air putih yang tinggal seperempat gelas dengan tandas. Lalu menjawab pertanyaan Arvin. "Tidak penting dari mana saya tahu. Yang jelas, saya bisa bantu kamu untuk menyembuhkan adik kamu seperti semula," katanya dengan penuh keyakinan. "Bagaimana bisa?" tanya Arvin penasaran. "Eh, tapi ...." Dia teringat jika sore ini, Mas Anton akan mendatangkan Mbah Jenggot seorang dukun kampung untuk mencoba menyembuhkan Farhan."Saya juga tahu, jika kamu sudah
Laki-laki berjenggot putih itu tak langsung menjawab pertanyaan Arvin. Dia malah membuka telapak tangannya lebar-lebar. Lalu menggerakkannya dari ujung kepala hingga sampai di ujung kaki Farhan, dia seperti membuang sesuatu dan terlihat sedikit berat. Mbah Jenggot mengulanginya hingga beberapa kali. Keringat sebesar biji jagung keluar dari pori-pori kulit wajahnya yang sudah mengeriput. Dia seperti mengeluarkan sebuah energi yang bersemayam di dalam tubuh Farhan. "Mas, apa yang dilakukan Mbah Jenggot sebenarnya?" tanya Arvin yang mendekatkan bibirnya pada telinga Anton. Dia memang terlalu awam dengan hal seperti itu. Karena memang tidak pernah mengalaminya. "Mengeluarkan jin," balas Anton asal. Bahkan tanpa mengalihkan perhatiannya dari apa yang sedang dilakukan oleh Mbah Jenggot pada Farhan. Arvin mengerutkan keningnya mendengar jawaban yang keluar dari mulut Anton. "Jadi, Farhan benar-benar kerasukan jin?" tanya Arvin menatap sang Adik dengan tatapan tak percaya. Dia pikir, Far
Arvin mulai memikirkan cara bagaimana menguak apa yang terjadi pada adiknya sehingga dia bisa seperti itu. Karena menuntut cerita dari adiknya pun percuma, Farhan malah terlihat kesal padanya. Padahal, Arvin telah mengorbankan banyak hal untuk adik satu-satunya.Dia menoleh saat mendapati pintu kamar Farhan terbuka. Sang empunya keluar dari sana sembari meletakkan tas selempang di bahu kanannya. Entah apa isinya."Kamu mau ke mana, Han?" tanyanya seraya berdiri dari duduknya."Ke basecamp sebentar," jawabnya tanpa menoleh ke arah sang Kakak yang mengikuti langkahnya ke luar rumah."Han, kamu baru pulang dari rumah sakit. Istirahat saja lah dulu," katanya mengingatkan Farhan. Takut terjadi apa-apa dengannya."Aku sudah besar, Mas. Bisa jaga diri," jawabnya menoleh sekilas ke arah Arvin yang akhirnya hanya bisa mengembuskan napas panjang."Sebelum Maghrib sudah harus pulang!" teriaknya sedikit kencang menatap punggung adiknya yang menjauh bersama dengan laju motornya.Farhan hanya menja
Arvin menggedor pintu kamar Farhan yang ternyata terkunci dari dalam. Sementara sang Adik masih berteriak histeris dari dalam kamarnya. Arvin pun semakin cemas saat terdengar suara barang-barang yang dibuang, bahkan suara pecahan kaca. Dia khawatir terjadi sesuatu pada adiknya. "Farhan, buka pintunya!" panggil Arvin dengan bibir sedikit gemetar. Sungguh dia mencemaskan kondisi adiknya.Tak ada pilihan lain, karena dipanggil-paggil sejak tadi pun tidak ada respon membuka pintu. Akhirnya laki-laki bertubuh jangkung itu mundur lima langkah. Kemudian dia berlari dan membenturkan tubuhnya pada pintu kamar. Mencoba mendobrak pintunya secara paksa. Percobaan pertama tidak berhasil. Pintu masih tertutup rapat. Dia pun mencoba lagi, mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa untuk mendobrak pintu kamar Farhan hingga akhirnya pintu tersebut berhasil terbuka lebar. Kedua netranya pun gegas mengedarkan pandangannya, menyapu seisi kamar Farhan yang persis seperti kapal pecah. Semua barang-barangny
Jika harus ganti orang, dia khawatir tidak sesuai dengan yang seperti Mbah Jenggot kemarin. Karena Farhan sudah cocok dengan laki-laki berjenggot panjang itu."Gimana, Vin?"Pertanyaan yang terlontar dari mulut Anton membuat Arvin tersadar dari lamunannya. Dia menatap Anton serius."Apa nggak apa-apa ganti orang, Mas? Secara Farhan kemarin sudah cocok dengan Mbah Jenggot," tanyanya ragu."Orang ini kan kenalan Mbah Jenggot, jadi pasti kemampuannya pun sama dengan Mbah Jenggot.""Mas Anton yakin?""Sudahlah, dicoba dulu saja, Vin. Dari pada adik kamu semakin menjadi. Memang kamu mau?"Arvin menggeleng cepat. Tidak. Dia tidak ingin melihat adiknya terus menerus dalam kondisi seperti ini. Dia merasa asing dengan adiknya. Pun kasihan melihat sang Adik harus menderita karena mentalnya terus menerus diteror oleh kedatangan makhluk yang hanya Farhan saja yang melihat.Terkadang, Arvin berpikiran jika Farhan hanya halusinasi. Karena dia juga tidak melihat wujud dari makhluk yang sering dikata
Anton dan Arvin kembali melempar pandang dengan tatapan heran. Anton hanya membalasnya dengan mengangkat kedua bahunya, tanda dia juga tidak tahu. Bersamaan dengan itu, pintu kamar Farhan terbuka lebar. Sang empunya kamar pun sempat mundur lagi dengan tubuh sedikit berjingkrak. Terkejut dengan kehadiran sosok laki-laki yang memakai pakaian serba hitam itu. "Siapa kamu?" tanya menatap Mbah Tejo dingin.Merasa tidak terlalu suka jika ada seseorang yang hendak masuk ke dalam kamarnya. Karena menurutnya, kamar itu adalah privasi. Tidak sembarangan orang boleh memasukinya."Farhan." Arvin mendekat dan berdiri di samping adiknya. "Dia itu Mbah Tejo. Orang yang akan membantumu terbebas dari gangguan makhluk itu," jelasnya hati-hati. Tatapan mata Farhan langsung memindai penampilan Mbah Tejo dari ujung rambut hingga ujung kuku kakinya. Dari tatapannya, Arvin bisa menangkap jika adiknya itu kurang suka dengan kedatangan Mbah Tejo. Padahal, saat dia memberitahu jika akan ada tamu yang datang
Jantung Arvin seketika berdegup kencang saat melihat adiknya kembali melempar semua barang-barangnya ke arah lemari sambil berteriak histeris. Begitulah Farhan mengisi malam-malamnya sejak nekat melakukan uji nyali. Dia seperti orang yang terkena halusinasi. Atau memang hanya dia yang melihat. Karena baik Arvin ataupun Anton tidak melihat apapun di kamar Farhan."Farhan, hentikan!" Arvin berlari dan langsung memeluk tubuh adiknya agar tenang dan tidak berontak serta histeris lagi. "Makhluk itu datang lagi, Mas! Suruh dia pergi!" rancaunya sambil berusaha melepaskan diri dari dekapan sang Kakak dan kembali melempari barang yang dia pegang ke arah lemari. "Farhan, tenang, ya. Di sini tuh nggak ada apa-apa," ucap Anton ikut menimpali. "Apa kalian tidak lihat? Makhluk itu datang lagi dan dia bilang ingin membunuhku! Aku tidak mau, Mas! Aku tidak mau!" teriaknya lagi dengan tatapan tertuju pada lemari pakaiannya. "Farhan!" Bentakan Arvin membuat Farhan seketika berhenti memberontak. M