"Yang pertama Candra, anaknya Pak Hilman, orangnya santun, S2 jurusan perguruan. Kalau yang kedua Damar, anaknya temen mancing Bapak, orangnya juga gampang bergaul, murah senyum dan taat juga agamanya. Kalau yang terakhir--" Terdapat jeda cukup panjang. Ibu memeriksa dengan saksama catatan yang ada di tangan, sebelum akhirnya menggeleng pelan. "Kalau yang ini nggak, deh. Kayaknya kamu juga nggak bakalan suka. Katanya orangnya selengean, pernah masuk bui, langganan diuber polisi karena sering balapan liar, rambutnya gondrong dan brewokan, pokoknya beran--"
"Siapa tadi, Bu?" Interupsiku, memotong penjelasan Ibu, saat mendengar tentang tiga kandidat yang akhir-akhir ini datang melamar."Yang mana?" Ibu mengulang pertanyaan. "Candra atau Damar?"Kini giliran aku yang menggeleng, karena dua nama yang dimaksud bukan orang yang membuatku penasaran."Yang terakhir, yang katanya slengean, rambut gondong dan brewokan. Siapa namanya?" ulangku meng-copy semua penjelasan ibu tentang kandidat terakhir. "Dia yang datang terakhir, kan?" Aku menambahkan."Nduk, kamu yakin?" Ibu mengulurkan tangan, lalu meremas pundakku."Suci udah janji sama diri sendiri, Bu. Kalau dalam kurun waktu setahun dia nggak datang, Suci bakal nerima siapa pun yang datang melamar.""Tapi ibu nggak yakin Fariz--""Oh, jadi namanya Fariz."Ibu menghela napas gusar, sebelum mengangguk pelan. "Ya, dia anaknya H. Jamal. Dulu beliau sekeluarga tinggal di daerah kita sebelum hijrah ke Jakarta, karena bisnis sawitnya sukses besar di Palembang.""Bukannya anak Pak Jamal perempuan? Cuma itu yang pernah Suci denger. Sempet mau masuk ke pesantren sini juga, kan? Kalau nggak salah Bapak pernah cerita kita cuma selisih setahun."Entah cuma perasaanku saja, atau tatapan Ibu memang berubah redup."Ya, namanya Farah, dia udah nikah dan punya anak sekarang. Dulu banget, kalian sering main bareng di kebun belakang."Aku tersenyum getir. Lalu mengeluarkan ponsel yang tergeletak di sisi lain ranjang, membuka galeri dan menunjukkan pada Ibu potret keluarga yang kutemukan di sosial media setelah menyelam berkian lama untuk mencari petunjuk akan keberadaannya."Orangnya ini, kan? Keluarga H. Jamal dan Hj. Nurul. Farah, Mas Fariz, juga menantunya Mas Ali!"Bola mata Ibu melebar."Nduk, dari mana kamu tahu?" Hati-hati pertanyaan itu terlontar."Dunia itu sempit, Buk. Keliatannya aja lebar. Serapat apa pun nyembunyiin bangkai, suatu saat pasti bakal kecium juga." Suaraku melemah, berubah parau. Entah sejak bayangan wajah Ibu bahkan sudah memburam oleh air mata yang menggenang."Suci ...." Ibu seolah tak bisa melanjutkan, dia tergugu sembari menarikku dalam dekapan erat."Sebenarnya dari lima tahun lalu Ibu dan Bapak udah tahu, kan? Tega banget kalian nyembunyiin fakta sebesar itu dan biarin anak kalian nunggu dalam ketidakpastian.""Nduk. Saat itu Ibu sama Bapak cuma mau yang terbaik buat kamu. Lagian waktu itu kondisimu masih belum cukup untuk mengetahui kebenaran. Kita cuma takut kamu--""Nggak kuat iman," potongku cepat. "Kembali tenggelam, terus cari pelarian dengan menanggalkan akidah dan norma-norma agama yang tujuh tahun terakhir kalian cekokkan dengan iming-iming calon imam idaman.""Astagfirullah, Nduk." Ibu merapatkan pelukan, sesekali mengelus kepalaku yang terlapisi jilbab instan."Nggak apa-apa. Ibu sama Bapak nggak salah. Suci yang salah karena menggantungkan harapan sebesar gunung pada manusia, bukannya pada Tuhan. Suci tahu, hijrah karena seseorang itu salah. Jadi, inilah konsekuensinya." Kulerai pelukan Ibu, lalu menyeka air mata dan tersenyum kecil ke arahnya. "Kasih tahu Bapak, suruh hubungi keluarga H. Jamal, bilang kalau Suci nerima lamaran Mas Fariz."..."Ci, hei, lu masih idup, kan?" Lambaian tangan yang berayun di hadapan sontak menarikku dari lamunan. "Eh, lu nangis, ya?" Mas Fariz menangkup wajahku, lalu menyeka cairan hangat yang entah sejak kapan lolos dari pelupuk mata.Refleks aku menarik diri, lalu menggeleng pelan, sembari menurunkan kedua tangan besarnya. "Nggak apa-apa, Mas. Saya cuma agak sedih karena sebentar lagi bakal ninggalin Bapak, Ibu, juga tempat di mana saya dilahirkan," terangku tak sepenuhnya bohong."Oh, kirain. Tadinya mau gue cium biar sadar, tapi takutnya kena tampol." Dia menegakkan tubuhnya. Berdiri menjulang di hadapan yang membuatku harus mendongak tinggi saat menatapnya. Hal itu kulakukan bukan tanpa alasan, mengingat perbedaan tinggi kami yang bisa dibilang cukup jauh membentang. Bayangkan saja, dengan tinggi 162 sentimeter aku harus bersanding dengan Mas Fariz yang memiliki tinggi nyaris 190-an. Tinggi tubuh yang jelas sangat jarang bagi orang Indonesia kebanyakan. Tak heran memang, kebetulan H. Jamal dan Hj. Nurul juga memiliki tinggi di atas rata-rata. Apalagi mereka memiliki darah Pakistan.Aku hanya tersenyum tipis untuk menanggapi."Oh, iya untuk sementara nanti kita tinggal sama Bokap-Nyokap gue, ya! Katanya sebelum gue bener-bener sadar mereka nggak ngizinin kita cuma tinggal berdua di salah satu rumah mereka yang lainnya. Agak ngeselin emang, beda sama Si Farah dan Si Ali yang udah dapet jatah rumah sebagai kado pernikahan."Saat ini kami memang sedang packing untuk pindah ke kediaman keluarga Mas Fariz yang ada di Jakarta setelah kurang lebih dua hari tinggal di salah satu kontrakan milik Bapak, di daerah kami, Lumajang Jawa Timur.Dengan kesepakatan bersama, akad dan resepsi memang diadakan di sini. Tak banyak kerabat dan keluarga Mas Fariz dari Jakarta maupun Palembang yang datang. Farah dan ... dia juga bahkan berhalangan hadir karena satu dan lain hal. Jujur, aku mensyukurinya. Jadi, di hari yang kata orang spesial tak ada alasan yang merusak mental.Akhirnya, untuk pertama kalinya aku meninggalkan tempat di mana aku lahir dan dibesarkan, lalu tinggal di Pusat kota dengan status menikah."Iya, nggak apa-apa, Mas.""Cakep. Sekarang mending pamitan dulu sama Ibu dan Bapak. Kangen-kangenan. Soalnya kita masih belum tahu kapan balik ke Lumanjang."Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Saat hendak beranjak dari ranjang tiba-tiba tubuhku limbung dan kembali terjatuh di sisi pembaringan."Kenapa?" Dengan panik Mas Fariz memeriksa keadaanku."Nggak apa-apa, kayaknya cuma efek belum sarapan.""Kirain. Jangan bikin Mak-Bapak lu salah paham. Orang dua hari ini kita nggak ngapa-ngapain. Entar gue yang disalahin."Aku terkekeh pelan, lalu kembali bangkit dibantunya perlahan.***Setelah menempuh 11 jam 15 menit perjalanan menggunakan Travel Bus. Akhirnya kami sampai di Jantung Kota Metropolitan. Kepadatan, panas, dan polusi udara menyambut kala Bus sampai di tempat pemberhentian terakhir.Jdug!"Aw."Aku menoleh ke belakang saat melihat Mas Fariz mengaduh kesakitan sembari memegang kepalanya yang sekali lagi terbentur pintu keluar Bus."Bang, udah gue bilang pintunya kudu dilebarin. Kekecilan. Udah dua kali pala gue kepentok, nih," protesnya sembari melongokkan kepala ke dalam."Bukan pintunya yang kekecilan. Tapi, badan lo yang kegedean, Jamal," sahut sang sopir dengan santai."Jamal nama bapak gue, ya. Nggak usah sok akrab. Kita nggak kenal.""Dih, dasar bocah prik. Dah, ah. Minggir sana! Jangan lupa digandeng adeknya. Entar ilang!""Ini bini gue, Setan!""Mas!" Kutarik tangan Mas Fariz sebelum sempat dia melompat kembali ke dalam, dan menghadang sopir Bus yang sejak tadi memang seolah sengaja menyulut emosinya. Sepanjang perjalanan pria paruh baya itu bahkan tak henti melontarkan berbagai pertanyaan yang menurutku tak etis. Mulai dari size sepatu, celana, sampai dalaman.Mas Fariz menoleh padaku sejenak. Lalu menghela napas panjang."Lu selamet karena ada bini gue sekarang, Bang. Kalau enggak dah abis tuh muka gue hajar.""Sialan. Gue kira mantan binaragawan, ternyata Kang Jagal!" gumam sang sopir dengan wajah pias."Apa lu bilang?""Nggak jadi." Bus itu pun tancap gas, masuk ke terminal. Meninggalkan kami dengan asap mengepul pekat yang tepat mengenai wajah Mas Fariz."Kampret ... inilah alasan gue benci naik kendaraan umum. Membago--" Ucapan Mas Fariz tiba-tiba terhenti. Dia mengusap tengkuk salah tingkah, padahal aku hanya menatap datar, sembari mencengkeram pergelangan tangannya."Canda, Ci. Lu nggak salah milih travel, kok. Gue yang salah. Iya, gue. Harusnya gue lempar aja tuh sopir sialan di jalan Tol Salatiga."...Bersambung."Laper nggak?" Mas Fariz menoleh padaku yang sejak tadi memeluk diri, sembari memerhatikan lalu-lalang orang dan kendaraan yang hilir-mudik di hadapan.Saat ini kami tengah menunggu jemputan sambil duduk di salah satu bangku terminal. Kata Mas Fariz, sopir yang hendak menjemput kami terjebak macet di jalan. "Dikit," jawabku sekenanya."Kalau laper bilang aja laper. Dikit atau banyak intinya sama-sama pengen makan," tukasnya menekankan.Aku menoleh, menatapnya tajam, lalu balik bertanya. "Jadi, saya salah kalau bilang cuma laper dikit? Salah kalau kenyataannya emang nggak terlalu lapar? Mas bisa bedain, kan mana lapar pengen makan, sama laper cuma pengen camilan?""Oke, gue yang salah. Fine!" Mas Fariz mengacak rambut gondrongnya, kemudian mengusap wajah kasar, sebelum memaksakan seulas senyuman. "Gorengan mau?" Dia menunjuk tukang gorengan yang kebetulan gerobaknya hanya berjarak dua meter dari tempat duduk kami."Boleh." Aku mengangguk mengiyakan."Ya, udah, tunggu bentar."Dia bera
"Ci, kamu yakin mau nikah sama yang modelan begini?" Kualihkan pandangan dari cermin di depan pada Lola--sahabat yang sejak subuh tadi menemaniku didandani. "Tingginya bahkan 189,7 centi. Hampir 190! Nggak kebayang segede gimana ... anu, badannya maksudku." Aku memutar bola mata saat Lola meralat ucapannya sendiri.Tahu akan begini, lebih baik tak kuberi tahu tadi. Biarkan dia melihatnya nanti saat akad beberapa saat lagi."Modelan begini itu gimana, La?" Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan lagi."Rambut gondrong lurus sebahu, bewok penuh semuka dijamin bikin geli. Alis codet sebelah. Spek preman macam ini kamu yakin bisa jadi pengganti Ali?!" Dari balik cermin besar di hadapan. Kutatap tajam mata Lola yang menunduk dibuatnya."Sorry." "Kenapa orang selalu mudah menyimpulkan cuma dari penampilan yang sekilas dipindai?"Ibu satu anak itu diam membisu. "Setidaknya Mas Fariz memberi harapan pasti, daripada dia yang pergi setelah berjanji, tapi ujungnya malah mengkhianati.""Ci!" L
Terkadang, takdir hidup memang begitu lucu. Dua insan yang pernah sedekat nadi, tiba-tiba terpisah sejauh mentari. Saling mengenalkan diri bak orang asing yang tahu posisi. Namun, kadang kala kita juga lupa, mulut mungkin bisa berbohong, tapi hati tidak. Dalam beberapa situasi mulut bisa mengkhiati hati, hingga yang terucap berdasarkan yang diingat, bukan apa yang telah dirancang otak.Dua tahun kebersamaanku dan Mas Ali, tentu membawa kesan tersendiri yang terpatri. Baik-buruk kami sama-sama saling mengetahui. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi tak akan pernah bisa dikehendaki, meskipun kini kami saling menghindari.Masa lalu hanyalah bumbu, pelajaran hidup yang tak akan bisa diulang lagi. Saat Mas Fariz mengatakan bahwa dia tak peduli dengan masa laluku, saat itu juga aku kembali berjanji pada diri sendiri untuk tak pernah mengungkitnya lagi."Jawab, Li! Kenapa lu tahu tentang alergi Suci?" Suara tegas Mas Fariz memecah keheningan yang sesaat lalu mengisi ruangan ini. Mungkin sek
"Sorry, bukannya bermaksud mau cari simpati, kenyataannya emang begini." Aku mengangguk sekali lagi, menatapnya lekat nyaris tanpa berkedip. "Lu dengerin nggak, sih, Ci? Dari tadi cuma ngangguk-ngangguk, senyam-senyum udah kayak mainan dasboard." Mas Fariz mengernyitkan dahi. Sepertinya berusaha memindai ekspresi wajahku yang tak dia mengerti."Saya denger, kok. Paham banget lagi. Cuma saking takjubnya sampe kehilangan kata-kata," akuku, dengan senyum yang masih belum sirna.Mas Fariz memalingkan muka. Gerakan yang biasa dia lakukan untuk menutupi kegugupan. Tak seperti tampang yang biasa dia tunjukkan pada orang-orang. Jujur, di hadapanku lelaki ini justru terlihat sangat menggemaskan."Nggak usah ngeledek. Soalnya muka lu sama sekali nggak nunjukkin ekspresi takjub itu.""Emang wajah saya kenapa?" Aku bertanya, sembari beringsut mendekatinya."Cantik, tapi kurang ekspresif. Kadang bibir lu senyum, tapi mata lu enggak. Kosong," tuturnya.Aku tersenyum getir.Itu karena ada luka yang
"Djalu, pakabar, lu? Kangen gue nggak?" Aku mengangkat sebelah alis saat Mas Fariz mengeluarkan sebuah motor Yamaha XSR 155 yang sepertinya sudah banyak dimodifikasi, dari dalam garasi. Kendaraan roda dua yang memang tren di kalangan anak motor karena penampilannya maskulin itu dia elus penuh sayang tak ubahnya kekasih sendiri."Maaf kalau dua bulan ini lu dimusiumkan. Tahu sendiri gimana bokap gue. Gimana keadaan di dalem sini? Apa Mang Dani perlakuin lu dengan lembut sama kek motor dan mobil papa yang laen?" Dia masih bicara sendiri pada benda mati berwarna gabungan hitam dan cokelat muda itu."Mas, kapan kita berangkat? Kalau terus-terusan kangen-kangenan sama pacar besimu. Keburu subuh nanti," tegurku yang membuat Mas Fariz menoleh seketika."Sorry. Gue cuma sedikit terharu tadi. Soalnya udah cukup lama nggak ketemu Djalu. Dua bulan terakhir cuma duduk manis di balik kemudi. Soalnya ademnya AC beda sama ademnya angin alami," paparnya seraya memasang helm.Aku mengangguk memaklumi
Sepanjang perjalanan Mas Fariz sesekali teriak panik saat aku berhasil mendahului truk-truk besar dengan kecepatan tinggi. Pertama kali sejak tujuh tahun terakhir aku benar-benar merasakan sebebas ini. Jujur, menghabiskan waktu di rumah dan di balik meja kasir toko Bapak yang kukelola, memang kadang mengundang rasa bosan. Meski sesekali keluar menyusuri jalan pedesaan dengan motor matix yang dikenakan. Rasanya jelas jauh berbeda dengan saat mengendarai XSR 155, menyusuri jalanan ibukota, di tengah malam dengan ditemani lelaki bertubuh tinggi besar yang teriak-teriak sejak tadi.Hingga sampai di lokasi, aku melihat dengkul Mas Fariz masih gemetar dengan gemelatuk gigi yang beradu. Menggigil. "Nggak, pokoknya gue nggak mau lagi." Dengan napas yang masih terengah Mas Fariz menunjuk wajahku. "Gue pikir cewek sarap yang bawa motor gila-gilaan cuma Si Mona, ternyata ada yang lebih parah."Aku mengernyitkan dahi."Siapa Mona?""Temen gue. Satu-satu cewek di genk ini." Bersamaan dengan kuli
"Papa sama Mama tahu, Bi?" Kulontarkan pertanyaan setelah cukup lama memikirkan alasan kepedulian yang tiba-tiba lelaki itu tunjukkan dalam situasi kami yang sekarang."Nggak ada yang tahu, Non. Bibi cuma baru bilang sama Non Suci sekarang."Kuhela napas lega mendengar penjelasan Bi Surti."Kalau gitu, bisa minta tolong sesuatu?"Bi Surti mengangguk, lalu melangkah lebih dekat."Tolong jangan bilang ke siapa pun tentang in--""Mau minta tolong apa lu sama Bibi, Ci?"Deg!Suara berat dan tegas itu menginterupsi."Bibi boleh pergi!" Sebelum menjelaskannya pada Mas Fariz, lebih dulu aku meminta Bi Surti pergi. Kemudian menyembunyikan plastik berisi obat tadi, di antara sajadah dan mukena yang digenggam. "Saya cuma minta tolong Bi Surti buat rahasiain tentang alergi, biar mama sama papa nggak khawatir." Sembari menatapnya lurus, kuusahakan diri agar tetap terlihat tenang.Awalnya Mas Fariz mengernyitkan dahi, kemudian berjalan menghampiri. Merendahkan tubuh, lalu lekat meneliti ekspresi w
"Pantesan dari tadi ngung-ngung mulu di telinga. Rupanya ada yang ghibahin di sini."Bersamaan dengan itu Mas Fariz tiba-tiba datang entah dari mana. Menumpukan sebelah tangan di pintu masuk dapur. Menatapku dan Mama bergantian."Bisa pinjem mantunya bentar? Fariz mau aja Suci jalan-jalan sebelum Mama bongkar semua aib Fariz selama ini."Mama menatap ke arahku, lalu menaik-turunkan alis. "Pinjemin nggak, ya? Soalnya, sebentarnya kamu itu bisa jadi seharian."Mas Fariz mendekat, lalu memeluk tubuh Mama dari belakang, sebelum bergumam. "Mama kek yang nggak tahu aja manten baru."Senyum Mama melebar. Dia berbalik menghadap Mas Fariz."Tunjukan keperkasaanmu Anak Beruang, Mama tunggu cucu Beruang launching tahun ini."Aku memalingkan pandangan, entah kenapa pembahasan ini membuat wajahku tiba menghangat."Aamiin. Mama doain Fariz goal malam ini.""Loh, emangnya?" Mama tampak kebingungan. Namun, sebelum pertanyaan lain sempat terlontar. Mas Fariz lebih dulu mengecup pipinya dan menarik tan
"Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam
DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat
Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang
Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me
"Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini
Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu
Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me
Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz
Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"