"Laper nggak?" Mas Fariz menoleh padaku yang sejak tadi memeluk diri, sembari memerhatikan lalu-lalang orang dan kendaraan yang hilir-mudik di hadapan.
Saat ini kami tengah menunggu jemputan sambil duduk di salah satu bangku terminal. Kata Mas Fariz, sopir yang hendak menjemput kami terjebak macet di jalan."Dikit," jawabku sekenanya."Kalau laper bilang aja laper. Dikit atau banyak intinya sama-sama pengen makan," tukasnya menekankan.Aku menoleh, menatapnya tajam, lalu balik bertanya. "Jadi, saya salah kalau bilang cuma laper dikit? Salah kalau kenyataannya emang nggak terlalu lapar? Mas bisa bedain, kan mana lapar pengen makan, sama laper cuma pengen camilan?""Oke, gue yang salah. Fine!" Mas Fariz mengacak rambut gondrongnya, kemudian mengusap wajah kasar, sebelum memaksakan seulas senyuman. "Gorengan mau?" Dia menunjuk tukang gorengan yang kebetulan gerobaknya hanya berjarak dua meter dari tempat duduk kami."Boleh." Aku mengangguk mengiyakan."Ya, udah, tunggu bentar."Dia beranjak bangkit. Kutatap punggung lebarnya yang berjalan menuju Tukang Gorengan yang mangkal di dekat pintu masuk terminal. Tanpa sadar senyumku tersungging saat melihat tubuh besar Mas Fariz yang nyaris menutupi badan gerobak, hingga pedagangnya nyaris tak terlihat."Lah, gue mau bayar bukan minta, Mang!"Kupicingkan mata saat menyadari mulai ada emosi dari ucapan yang Mas Fariz lontarkan pada pedagang gorengan."Nggak apa-apa ambil aja. Tapi jangan balik lagi, ya, Bang. Tuh, anak sama ibu-ibu tadi yang mau beli jadi takut karena ngeliat Abang.""Anjir, emangnya gue setan?""Bukan gitu, Bang. Cuma--"Aku memutuskan untuk berjalan menghampiri saat mendengar keributan mulai terjadi. Takut-takut Mas Fariz berulah lagi."Ada apa ini?" Dua orang yang memiliki perbedaan tinggi badan yang mencolok itu menoleh bersamaan."Anu, Neng, Si Bapak ini ...." Tukang Gorengan yang bisa kutaksir berusia akhir empat puluhan itu mulai menjelaskan, tapi kembali dipotong Mas Fariz."Bapak? Sejak kapan gue punya anak tukang gorengan!""Mas!" Kutatap matanya yang semula berkilat tajam, sampai kembali menyorot lembut."Dia yang mulai, Ci. Masa gue dibilang mau malak, padahal, kan gue mau beli. Nih, bawa duit ceban." Dia menyodorkan selembar uang pecahan 10ribu itu ke hadapan. Bibirnya mengerucut bak anak kecil yang meminta perlindungan karena kalah debat dengan sesama teman."Iya, iya, saya percaya." Aku menenangkan sembari sesekali mengusap lengan atasnya agar emosi Mas Fariz berangsur tenang. Kemudian beralih pada Tukang Gorengan."Dia suami saya, Pak," tuturku sembari meraih kantong plastik berisi gorengan yang hampir Mas Fariz lempar ke muka Si Pedagang."Suami." Pedagang gorengan itu menggumam. "Apa nggak nembus sampe jantung."Brak!Kami terlonjak saat Mas Fariz tiba-tiba meninju atap gerobak, sampai alas seng-nya terdapat bekas pukulan."Yang ada ucapan lu yang nembus jantung. Nyeletuk kagak pake bismillah-an, lama-lama gue obrak-obrik juga nih dagangan!""Udah, Mas." Mati-matian aku kembali menenangkan, meskipun hal itu tak cukup mampu membuat emosi Mas Fariz teredam. Tampak beberapa orang yang tak sengaja berpapasan, menjaga jarak karena tak mau jadi pelampiasan kekesalan. "Nih, uangnya, Pak. Makasih, ya!""Sa-sama-sama, Ne-ng." Suaranya tampak gemetar saat mengambil alih uang yang kusodorkan.Setelahnya kugandeng Mas Fariz untuk kembali ke bangku yang semula kami dudukki."Sabar! Kalau ada ucapan yang nggak ngenakin jangan diambil hati. Istigfar, nggak semua masalah bisa diselesain pake otot." Kugenggam sebelah tangannya yang terkepal.Sejauh ini satu sifat buruknya yang paling melekat adalah temperamental dan mudah tersinggung.Mas Fariz menoleh, tatapannya yang semula berkilat tajam, kembali melunak. Dia menghela napas panjang, sebelum mencomot pisang goreng yang sudah kugigit sedikit, lalu menyantapnya hanya dengan satu suapan."Gwue umah bewusaha, Chi. Chuma mewekanya aja wang--""Abisin dulu, baru lanjut jelasin!" tegurku saat melihatnya berbicara dengan keadaan mulut penuh makanan.Dia menurut, selesai menelan, dilanjutkan menegak air kemudian menyeka mulut."Lu yang sempurna dari lahir tahu apa, sih, Ci? Gimana rasanya saban hari di-body shaming, bahkan sama keluarga sendiri. Nggak jarang juga dibanding-bandingkan sama menantu yang katanya kebanggaan. Cih, mentang-mentang ilmu agamanya tinggi, lulusan Pesantren, suka ngisi kajian. Menghasilkan buntut yang menggemaskan. Cih, sialan. Ternyata sejauh ini kehadiran Si Alibaba emang bawa pengaruh besar buat kehidupan gue sekarang." Pandangan Mas Fariz menerawang, dia mengeluarkan bungkus rokok dan pematik dari dalam saku jaketnya.Sepuntung rokok dia selipkan di sela bibir. Bara api menyala di ujungnya, sebelum sempat Mas Faris menghisapnya--kurebut paksa benda bernikotin itu dari mulutnya, lalu menyesapnya lebih dulu."Astagfirullah, lu ngapain, sih, Ci?!" Mas Fariz mengambil alih puntung rokok itu lagi. Terkejut bukan main melihat aksi nekad yang baru saja kulakukan."Saya nggak sesempurna yang Mas pikir." Kuembuskan asap rokok yang sempat kusesap tadi. "Kita cuma berbeda cara dalam memilih dosa."Dia tertegun."Lu gila, ya?"Aku tertawa menanggapi ucapannya."Mau adu nasib? Tapi sebungkus rokok itu mungkin nggak akan cukup buat menceritakan pahit dan manisnya perjalanan hidup saya sebelum hijrah."...Bersambung."Ci, kamu yakin mau nikah sama yang modelan begini?" Kualihkan pandangan dari cermin di depan pada Lola--sahabat yang sejak subuh tadi menemaniku didandani. "Tingginya bahkan 189,7 centi. Hampir 190! Nggak kebayang segede gimana ... anu, badannya maksudku." Aku memutar bola mata saat Lola meralat ucapannya sendiri.Tahu akan begini, lebih baik tak kuberi tahu tadi. Biarkan dia melihatnya nanti saat akad beberapa saat lagi."Modelan begini itu gimana, La?" Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan lagi."Rambut gondrong lurus sebahu, bewok penuh semuka dijamin bikin geli. Alis codet sebelah. Spek preman macam ini kamu yakin bisa jadi pengganti Ali?!" Dari balik cermin besar di hadapan. Kutatap tajam mata Lola yang menunduk dibuatnya."Sorry." "Kenapa orang selalu mudah menyimpulkan cuma dari penampilan yang sekilas dipindai?"Ibu satu anak itu diam membisu. "Setidaknya Mas Fariz memberi harapan pasti, daripada dia yang pergi setelah berjanji, tapi ujungnya malah mengkhianati.""Ci!" L
Terkadang, takdir hidup memang begitu lucu. Dua insan yang pernah sedekat nadi, tiba-tiba terpisah sejauh mentari. Saling mengenalkan diri bak orang asing yang tahu posisi. Namun, kadang kala kita juga lupa, mulut mungkin bisa berbohong, tapi hati tidak. Dalam beberapa situasi mulut bisa mengkhiati hati, hingga yang terucap berdasarkan yang diingat, bukan apa yang telah dirancang otak.Dua tahun kebersamaanku dan Mas Ali, tentu membawa kesan tersendiri yang terpatri. Baik-buruk kami sama-sama saling mengetahui. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi tak akan pernah bisa dikehendaki, meskipun kini kami saling menghindari.Masa lalu hanyalah bumbu, pelajaran hidup yang tak akan bisa diulang lagi. Saat Mas Fariz mengatakan bahwa dia tak peduli dengan masa laluku, saat itu juga aku kembali berjanji pada diri sendiri untuk tak pernah mengungkitnya lagi."Jawab, Li! Kenapa lu tahu tentang alergi Suci?" Suara tegas Mas Fariz memecah keheningan yang sesaat lalu mengisi ruangan ini. Mungkin sek
"Sorry, bukannya bermaksud mau cari simpati, kenyataannya emang begini." Aku mengangguk sekali lagi, menatapnya lekat nyaris tanpa berkedip. "Lu dengerin nggak, sih, Ci? Dari tadi cuma ngangguk-ngangguk, senyam-senyum udah kayak mainan dasboard." Mas Fariz mengernyitkan dahi. Sepertinya berusaha memindai ekspresi wajahku yang tak dia mengerti."Saya denger, kok. Paham banget lagi. Cuma saking takjubnya sampe kehilangan kata-kata," akuku, dengan senyum yang masih belum sirna.Mas Fariz memalingkan muka. Gerakan yang biasa dia lakukan untuk menutupi kegugupan. Tak seperti tampang yang biasa dia tunjukkan pada orang-orang. Jujur, di hadapanku lelaki ini justru terlihat sangat menggemaskan."Nggak usah ngeledek. Soalnya muka lu sama sekali nggak nunjukkin ekspresi takjub itu.""Emang wajah saya kenapa?" Aku bertanya, sembari beringsut mendekatinya."Cantik, tapi kurang ekspresif. Kadang bibir lu senyum, tapi mata lu enggak. Kosong," tuturnya.Aku tersenyum getir.Itu karena ada luka yang
"Djalu, pakabar, lu? Kangen gue nggak?" Aku mengangkat sebelah alis saat Mas Fariz mengeluarkan sebuah motor Yamaha XSR 155 yang sepertinya sudah banyak dimodifikasi, dari dalam garasi. Kendaraan roda dua yang memang tren di kalangan anak motor karena penampilannya maskulin itu dia elus penuh sayang tak ubahnya kekasih sendiri."Maaf kalau dua bulan ini lu dimusiumkan. Tahu sendiri gimana bokap gue. Gimana keadaan di dalem sini? Apa Mang Dani perlakuin lu dengan lembut sama kek motor dan mobil papa yang laen?" Dia masih bicara sendiri pada benda mati berwarna gabungan hitam dan cokelat muda itu."Mas, kapan kita berangkat? Kalau terus-terusan kangen-kangenan sama pacar besimu. Keburu subuh nanti," tegurku yang membuat Mas Fariz menoleh seketika."Sorry. Gue cuma sedikit terharu tadi. Soalnya udah cukup lama nggak ketemu Djalu. Dua bulan terakhir cuma duduk manis di balik kemudi. Soalnya ademnya AC beda sama ademnya angin alami," paparnya seraya memasang helm.Aku mengangguk memaklumi
Sepanjang perjalanan Mas Fariz sesekali teriak panik saat aku berhasil mendahului truk-truk besar dengan kecepatan tinggi. Pertama kali sejak tujuh tahun terakhir aku benar-benar merasakan sebebas ini. Jujur, menghabiskan waktu di rumah dan di balik meja kasir toko Bapak yang kukelola, memang kadang mengundang rasa bosan. Meski sesekali keluar menyusuri jalan pedesaan dengan motor matix yang dikenakan. Rasanya jelas jauh berbeda dengan saat mengendarai XSR 155, menyusuri jalanan ibukota, di tengah malam dengan ditemani lelaki bertubuh tinggi besar yang teriak-teriak sejak tadi.Hingga sampai di lokasi, aku melihat dengkul Mas Fariz masih gemetar dengan gemelatuk gigi yang beradu. Menggigil. "Nggak, pokoknya gue nggak mau lagi." Dengan napas yang masih terengah Mas Fariz menunjuk wajahku. "Gue pikir cewek sarap yang bawa motor gila-gilaan cuma Si Mona, ternyata ada yang lebih parah."Aku mengernyitkan dahi."Siapa Mona?""Temen gue. Satu-satu cewek di genk ini." Bersamaan dengan kuli
"Papa sama Mama tahu, Bi?" Kulontarkan pertanyaan setelah cukup lama memikirkan alasan kepedulian yang tiba-tiba lelaki itu tunjukkan dalam situasi kami yang sekarang."Nggak ada yang tahu, Non. Bibi cuma baru bilang sama Non Suci sekarang."Kuhela napas lega mendengar penjelasan Bi Surti."Kalau gitu, bisa minta tolong sesuatu?"Bi Surti mengangguk, lalu melangkah lebih dekat."Tolong jangan bilang ke siapa pun tentang in--""Mau minta tolong apa lu sama Bibi, Ci?"Deg!Suara berat dan tegas itu menginterupsi."Bibi boleh pergi!" Sebelum menjelaskannya pada Mas Fariz, lebih dulu aku meminta Bi Surti pergi. Kemudian menyembunyikan plastik berisi obat tadi, di antara sajadah dan mukena yang digenggam. "Saya cuma minta tolong Bi Surti buat rahasiain tentang alergi, biar mama sama papa nggak khawatir." Sembari menatapnya lurus, kuusahakan diri agar tetap terlihat tenang.Awalnya Mas Fariz mengernyitkan dahi, kemudian berjalan menghampiri. Merendahkan tubuh, lalu lekat meneliti ekspresi w
"Pantesan dari tadi ngung-ngung mulu di telinga. Rupanya ada yang ghibahin di sini."Bersamaan dengan itu Mas Fariz tiba-tiba datang entah dari mana. Menumpukan sebelah tangan di pintu masuk dapur. Menatapku dan Mama bergantian."Bisa pinjem mantunya bentar? Fariz mau aja Suci jalan-jalan sebelum Mama bongkar semua aib Fariz selama ini."Mama menatap ke arahku, lalu menaik-turunkan alis. "Pinjemin nggak, ya? Soalnya, sebentarnya kamu itu bisa jadi seharian."Mas Fariz mendekat, lalu memeluk tubuh Mama dari belakang, sebelum bergumam. "Mama kek yang nggak tahu aja manten baru."Senyum Mama melebar. Dia berbalik menghadap Mas Fariz."Tunjukan keperkasaanmu Anak Beruang, Mama tunggu cucu Beruang launching tahun ini."Aku memalingkan pandangan, entah kenapa pembahasan ini membuat wajahku tiba menghangat."Aamiin. Mama doain Fariz goal malam ini.""Loh, emangnya?" Mama tampak kebingungan. Namun, sebelum pertanyaan lain sempat terlontar. Mas Fariz lebih dulu mengecup pipinya dan menarik tan
Setelah melewati berbagai sesi penyatuan, kami terjaga melewati panjangnya malam yang berlalu tak seperti beberapa malam sebelumnya. Akhirnya aku benar-benar menyerahkan diri seutuhnya di atas ikrar yang semula terjalin hanya berdasarkan nazar.Dingin yang semula menggigil, menguap diganti kehangatan yang menjalar dalam dekapan lelaki yang sejak tadi menatap dengan gumaman yang tak henti dia lantunkan, saat untuk pertama kalinya kami berakhir di atas pembaringan menunaikan kewajiban sebagai pasangan halal."Cantik. Menurut gue semua yang ada di diri lu itu sempurna, Ci. Apalagi rambut ini. Gue nggak peduli sama orang lain sebelum gue. Tapi, mulai detik ini cuma gue yang boleh liat semuanya sampe akhir!" Dengan pandangan yang masih lekat menatap, Mas Fariz memainkan rambutku yang terurai panjang sampai punggung.Aku mengangguk pelan, sembari mengulurkan tangan menyusuri struktur rahangnya yang kasar, karena jambang yang tak pernah dia pangkas habis.Tak pernah kubayangkan sebelumnya. D