Share

Adaptasi

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2023-01-20 09:37:14

"Ci, kamu yakin mau nikah sama yang modelan begini?" Kualihkan pandangan dari cermin di depan pada Lola--sahabat yang sejak subuh tadi menemaniku didandani. "Tingginya bahkan 189,7 centi. Hampir 190! Nggak kebayang segede gimana ... anu, badannya maksudku." Aku memutar bola mata saat Lola meralat ucapannya sendiri.

Tahu akan begini, lebih baik tak kuberi tahu tadi. Biarkan dia melihatnya nanti saat akad beberapa saat lagi.

"Modelan begini itu gimana, La?" Kujawab pertanyaannya dengan pertanyaan lagi.

"Rambut gondrong lurus sebahu, bewok penuh semuka dijamin bikin geli. Alis codet sebelah. Spek preman macam ini kamu yakin bisa jadi pengganti Ali?!"

Dari balik cermin besar di hadapan. Kutatap tajam mata Lola yang menunduk dibuatnya.

"Sorry."

"Kenapa orang selalu mudah menyimpulkan cuma dari penampilan yang sekilas dipindai?"

Ibu satu anak itu diam membisu.

"Setidaknya Mas Fariz memberi harapan pasti, daripada dia yang pergi setelah berjanji, tapi ujungnya malah mengkhianati."

"Ci!" Lola meremas bahuku.

Kutatap pantulan diri berkebaya putih. Wajah yang sudah bubuhi make up minimalis itu tiba-tiba berubah samar saat sesuatu yang menggenang di pelupuk mata berdesakan ingin keluar.

"Sebaik-baiknya lelaki adalah dia yang berani mengikat ikrar suci, bukan yang hanya sekadar pengisi kekosongan hati. Aku udah kecewa dengan jenis lelaki macam Ali." Aku menoleh menatap Lola. Bibir perempuan berambut pirang kemerahan itu mulai bergetar.

"Ingat, kalau jodoh itu cerminan diri? Kadang searah, kadang juga memantul?"

"Ci, please ...." Lola menggenggam jemariku, sesekali meremasnya kuat.

"Kamu yang paling tahu gimana masa laluku, yang nggak sesuci namaku. Dengan Mas Fariz aku akan coba untuk kembali menata hati, lalu sama-sama memperbaiki diri."

.

.

.

"Nggak!" Suara tegas itu kembali menyentak lamunanku. "Gue nggak tahu, dan nggak akan mau tahu. Siapa pun lu di masa lalu, gue cuma tahu lu sebagai Suci, dan kita suami-istri."

Tanpa sadar senyumku mengembang.

"Tapi, kalau Mas masih ngerokok di hadapan saya, saya nggak akan ragu buat bertindak lebih jauh daripada tadi."

Mas Fariz memejamkan mata. "Oke, gue nggak akan ngerokok di hadapan lu lagi. Puas!"

Dia menyisir rambut gondrongnya ke belakang, lalu menggunakan karet di bungkus gorengan untuk mengikatnya.

Aku tertegun.

Dilihat dari dekat seperti ini. Paras Mas Fariz tak seburuk yang orang-orang katakan. Dia lumayan tampan.

"Nggak usah liat-liat. Gue orangnya ge'eran." Meski wajahnya lurus ke depan, tapi sudut mata Mas Fariz sesekali memerhatikan.

Aku tak menjawab, dan memilih terus menatap.

"Apa, sih, Ci!" Mas Fariz tampak kesal sendiri.

"Emang nggak boleh liatin suami sendiri?" cetusku tak peduli.

"Udah dibilang gue ge'eran."

"Ya, terus kenapa?" Gemas dengan tingkahnya, aku sengaja makin mendekatkan diri.

"Sekali lagi begitu beneran gue cium, ya!" Dia mengancam.

"Silakan! Mau di sebelah mana?" Semakin tertantang aku sengaja menyodorkan muka, tapi Mas Fariz justru menarik diri.

"Astagfirullah ini tempat umum, Ci!" Dia mengusap wajah frustrasi. "Entar, kalau cuma berdua, baru gue bera--"

"Abaangg!"

Suara nyaring teriakan seorang perempuan menginterupsi kami.

"Pantes lama kek nunggu antrian Bansos. Orang yang bawa mobil anak bunting," celetuk Mas Fariz saat melihat adiknya berjalan hati-hati sembari memegangi perut yang kutaksir sudah berjalan lima bulan.

Sesaat setelah sampai di hadapan kami, Farah memelukku dan Mas Fariz bergantian.

"Nggak usah pake peluk-pelukan! Kita buka teletubis." Mas Fariz mendorong wajah Farah dengan jari telunjuknya. "Kalau mau nyambut itu mending bawa kado, duit, atau paling enggak makanan."

Farah mengerucutkan bibirnya.

"Udah ada, tuh di mobil."

"Sip, dah."

"Oh, iya. Selamat menembuh hidup baru, semoga jadi keluarga yang sawama. Maaf nggak bisa hadir waktu akad sama resepsi. Mas Ali tiba-tiba diare," ungkapnya kemudian.

"Aamiin." Aku hanya menanggapi doanya, tanpa peduli tentang alasan yang membuat mereka tak menghadiri acara pernikahan kami.

Alasan yang cukup klise sebenarnya. Padahal itu bukan hal yang fatal. Komunitas Moge Mas Fariz saja bahkan menyempatkan diri datang. Arak-arakan menempuh perjalanan roda dua hampir seharian. Sedangkan mereka yang notabennya keluarga justru malah berhalangan. Entahlah.

Ternyata sosok Farah tak sesuai ekspektasi. Kukira dia tipe orang yang pendiam dan tenang. Ternyata berisik dan ceria juga.

"Halah, alasan. Palingan Si Ali nggak mau datang karena disuruh ngasih sambutan, tapi nggak dikasih amplop."

"Astagfirullah. Kebiasaan Abang, ih. Suudzon mulu sama ipar." Farah memukul pelan lengan Mas Fariz yang hanya bisa mengedikkan bahu tak peduli.

"Omong-omong kenapa lu yang jemput, Far. Mang Dani, atau laki lu mana? Masa orang bunting disuruh nyetir. Kita nunggu hampir sejaman dari tadi."

"Aku yang minta gantiin Mang Dani. Itung-itung bayar rasa bersalah karena nggak datang ke Lumanjang. Kalau Mas Ali ada jadwal ngisi kajian hari ini," tutur Farah sembari menuntun kami menuju mobik mewah yang terparkir di ujung sana.

"Tapi dia tahu, kan lu mau jemput kita?" tanya Mas Fariz lagi.

"Tahu, kok."

"Terus masih aja izinin lu pergi sendirian? Sebenarnya lebih penting mana, sih keluarga atau pekerjaan?"

Farah terdiam mendengar kalimat tajam yang diucapkan kakaknya.

"Bilang sama laki lu, nggak perlu terlalu banyak pencitraan. Heran, kek haus banget pujian sama pengakuan Si Ali--"

"Mas!" Aku menengahi. Mencengkeram lengan Mas Fariz, karena menyadari Farah sama sekali tak menanggapi.

"Bukannya akhir-akhir ini dia bahkan jarang pulang? Kesian tuh Si Hafiz, nanyain Bapaknya mulu saban hari. Dakwah, sih dakwah, tapi tahu jalan pulang juga kali--"

"Kenapa, sih, Bang!" sentak Farah tiba-tiba. "Repot banget ngurusin Mas Ali. Kalau sirik bilang aja kali. Nggak perlu sampe nyindir dan mojokin kayak gini. Pantes aja Papa lebih respek sama suamiku daripada anaknya sendiri. Kelakuan Abang yang begini emang kadang bikin jiji--"

"Farah!" Sekali lagi aku menengahi karena sadar perdebatan ini sudah terlampau jauh. Bisa kulihat wajah Farah memerah, sementara kepalan tangan dan rahang Mas Fariz mengetat.

Ya, ampun padahal kami baru saja bertemu. Mereka juga sempat berpelukan tadi.

"Maaf, kalau saya ikut campur. Tapi kayaknya bentar lagi ujan. Kalau kalian terus begini, bisa-bisa kita nginep di terminal."

Farah mendengkus keras, setelah itu membuka pintu belakang, mengempaskan bokong sembari memangku tangan.

"Lah, terus siapa yang nyet--" Belum sempat Mas Fariz menyelesaikan kalimat, Farah sudah lebih dulu melempar kunci mobil ke dasboard.

Mas Fariz menggertakkan gigi. "Sialan. Adek kurang aj--" Dia langsung melunak, dan menghela napas panjang hanya dengan tatapan tajamku. "Oke, kita pulang!"

***

"MasyaAllah. Anak-anak Ma--" Belum sempat Bu Nurul menyelesaikan kalimat, menyambut kedatangan kami--Mas Fariz dan Farah sudah nyelonong masuk begitu saja setelah mengecup pipi Papa dan Mamanya.

Sementara aku yang mengekor di belakang mereka sontak mencium punggung tangan kedua mertuaku bergantian, yang entah sejak kapan sudah berdiri di teras rumah besar lantai tiga ini.

"Mereka pasti berantem lagi," cetus Pak Jamal tepat sasaran.

Aku hanya meringis menanggapinya.

"Maklum, ya, Ci. Mereka kadang emang suka nggak inget umur," terang Bu Nurul sembari menggandeng tanganku masuk ke dalam. "Mama udah siapin makan. Kita makan dulu, ya. Habis itu baru ngobrol-ngobrol di ruang tengah."

Aku hanya mengangguk menanggapi. Kemudian mengedarkan pandangan ke kanan kiri, memindai rumah besar ini hingga tatapan terjatuh pada sepasang suami-istri yang tengah duduk di sofa ruang tengah, bersama putra kecilnya.

"Mas!" Farah mengguncang pelan bahu lelaki itu.

Dia menoleh, kami bersitatap. Cukup lama sampai tak sadar Farah kembali berujar.

"Untuk sementara Mbak Suci bakal tinggal di sini."

Lelaki itu mengangguk, tak lepas pandangannya saat beranjak menghampiri dan berdiri tepat di hadapanku saat ini.

"Saya Ali, suaminya Farah. Kita pernah ketemu di acara lamaran terakhir kali. Maaf, kami nggak bisa menghadiri pernikahan kalian beberapa hari lalu. Semoga betah, ya. Kalau ada yang bisa dibantu jangan sungkan buat kasih tahu."

Entah sejak kapan kedua tanganku sudah terkepal di sisi tubuh. Sempurna sekali skenario yang sudah dia rancang seolah kita memang dua orang asing yang tak pernah saling mengenal.

Sebenarnya apa yang ada di balik wajah tenang tanpa dosa itu? Sampai detik ini aku masih tak mengerti kenapa kamu bisa meninggalkanku seperti, Mas Ali!

"Ci, nih ada pecel enak kali. Seger banget buat ngilangin mabuk darat habis perjalanan jauh tadi." Mas Fariz tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami, membawa piring kecil berisi pecel yang hendak ia suapi.

"Mas, saya--"

"Dia alergi kacang," sahut Mas Ali yang membuat semua orang langsung mengalihkan pandangan ke arahnya.

"Lah, kok lu tahu?" tanya Mas Fariz heran.

.

.

.

Bersambung.

Related chapters

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Alergi

    Terkadang, takdir hidup memang begitu lucu. Dua insan yang pernah sedekat nadi, tiba-tiba terpisah sejauh mentari. Saling mengenalkan diri bak orang asing yang tahu posisi. Namun, kadang kala kita juga lupa, mulut mungkin bisa berbohong, tapi hati tidak. Dalam beberapa situasi mulut bisa mengkhiati hati, hingga yang terucap berdasarkan yang diingat, bukan apa yang telah dirancang otak.Dua tahun kebersamaanku dan Mas Ali, tentu membawa kesan tersendiri yang terpatri. Baik-buruk kami sama-sama saling mengetahui. Akan tetapi, apa yang sudah terjadi tak akan pernah bisa dikehendaki, meskipun kini kami saling menghindari.Masa lalu hanyalah bumbu, pelajaran hidup yang tak akan bisa diulang lagi. Saat Mas Fariz mengatakan bahwa dia tak peduli dengan masa laluku, saat itu juga aku kembali berjanji pada diri sendiri untuk tak pernah mengungkitnya lagi."Jawab, Li! Kenapa lu tahu tentang alergi Suci?" Suara tegas Mas Fariz memecah keheningan yang sesaat lalu mengisi ruangan ini. Mungkin sek

    Last Updated : 2023-01-20
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Kabur Tengah Malam

    "Sorry, bukannya bermaksud mau cari simpati, kenyataannya emang begini." Aku mengangguk sekali lagi, menatapnya lekat nyaris tanpa berkedip. "Lu dengerin nggak, sih, Ci? Dari tadi cuma ngangguk-ngangguk, senyam-senyum udah kayak mainan dasboard." Mas Fariz mengernyitkan dahi. Sepertinya berusaha memindai ekspresi wajahku yang tak dia mengerti."Saya denger, kok. Paham banget lagi. Cuma saking takjubnya sampe kehilangan kata-kata," akuku, dengan senyum yang masih belum sirna.Mas Fariz memalingkan muka. Gerakan yang biasa dia lakukan untuk menutupi kegugupan. Tak seperti tampang yang biasa dia tunjukkan pada orang-orang. Jujur, di hadapanku lelaki ini justru terlihat sangat menggemaskan."Nggak usah ngeledek. Soalnya muka lu sama sekali nggak nunjukkin ekspresi takjub itu.""Emang wajah saya kenapa?" Aku bertanya, sembari beringsut mendekatinya."Cantik, tapi kurang ekspresif. Kadang bibir lu senyum, tapi mata lu enggak. Kosong," tuturnya.Aku tersenyum getir.Itu karena ada luka yang

    Last Updated : 2023-02-11
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Boncengan

    "Djalu, pakabar, lu? Kangen gue nggak?" Aku mengangkat sebelah alis saat Mas Fariz mengeluarkan sebuah motor Yamaha XSR 155 yang sepertinya sudah banyak dimodifikasi, dari dalam garasi. Kendaraan roda dua yang memang tren di kalangan anak motor karena penampilannya maskulin itu dia elus penuh sayang tak ubahnya kekasih sendiri."Maaf kalau dua bulan ini lu dimusiumkan. Tahu sendiri gimana bokap gue. Gimana keadaan di dalem sini? Apa Mang Dani perlakuin lu dengan lembut sama kek motor dan mobil papa yang laen?" Dia masih bicara sendiri pada benda mati berwarna gabungan hitam dan cokelat muda itu."Mas, kapan kita berangkat? Kalau terus-terusan kangen-kangenan sama pacar besimu. Keburu subuh nanti," tegurku yang membuat Mas Fariz menoleh seketika."Sorry. Gue cuma sedikit terharu tadi. Soalnya udah cukup lama nggak ketemu Djalu. Dua bulan terakhir cuma duduk manis di balik kemudi. Soalnya ademnya AC beda sama ademnya angin alami," paparnya seraya memasang helm.Aku mengangguk memaklumi

    Last Updated : 2023-02-11
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Sok Peduli

    Sepanjang perjalanan Mas Fariz sesekali teriak panik saat aku berhasil mendahului truk-truk besar dengan kecepatan tinggi. Pertama kali sejak tujuh tahun terakhir aku benar-benar merasakan sebebas ini. Jujur, menghabiskan waktu di rumah dan di balik meja kasir toko Bapak yang kukelola, memang kadang mengundang rasa bosan. Meski sesekali keluar menyusuri jalan pedesaan dengan motor matix yang dikenakan. Rasanya jelas jauh berbeda dengan saat mengendarai XSR 155, menyusuri jalanan ibukota, di tengah malam dengan ditemani lelaki bertubuh tinggi besar yang teriak-teriak sejak tadi.Hingga sampai di lokasi, aku melihat dengkul Mas Fariz masih gemetar dengan gemelatuk gigi yang beradu. Menggigil. "Nggak, pokoknya gue nggak mau lagi." Dengan napas yang masih terengah Mas Fariz menunjuk wajahku. "Gue pikir cewek sarap yang bawa motor gila-gilaan cuma Si Mona, ternyata ada yang lebih parah."Aku mengernyitkan dahi."Siapa Mona?""Temen gue. Satu-satu cewek di genk ini." Bersamaan dengan kuli

    Last Updated : 2023-02-11
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Mulai Nyaman

    "Papa sama Mama tahu, Bi?" Kulontarkan pertanyaan setelah cukup lama memikirkan alasan kepedulian yang tiba-tiba lelaki itu tunjukkan dalam situasi kami yang sekarang."Nggak ada yang tahu, Non. Bibi cuma baru bilang sama Non Suci sekarang."Kuhela napas lega mendengar penjelasan Bi Surti."Kalau gitu, bisa minta tolong sesuatu?"Bi Surti mengangguk, lalu melangkah lebih dekat."Tolong jangan bilang ke siapa pun tentang in--""Mau minta tolong apa lu sama Bibi, Ci?"Deg!Suara berat dan tegas itu menginterupsi."Bibi boleh pergi!" Sebelum menjelaskannya pada Mas Fariz, lebih dulu aku meminta Bi Surti pergi. Kemudian menyembunyikan plastik berisi obat tadi, di antara sajadah dan mukena yang digenggam. "Saya cuma minta tolong Bi Surti buat rahasiain tentang alergi, biar mama sama papa nggak khawatir." Sembari menatapnya lurus, kuusahakan diri agar tetap terlihat tenang.Awalnya Mas Fariz mengernyitkan dahi, kemudian berjalan menghampiri. Merendahkan tubuh, lalu lekat meneliti ekspresi w

    Last Updated : 2023-02-12
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Puncak

    "Pantesan dari tadi ngung-ngung mulu di telinga. Rupanya ada yang ghibahin di sini."Bersamaan dengan itu Mas Fariz tiba-tiba datang entah dari mana. Menumpukan sebelah tangan di pintu masuk dapur. Menatapku dan Mama bergantian."Bisa pinjem mantunya bentar? Fariz mau aja Suci jalan-jalan sebelum Mama bongkar semua aib Fariz selama ini."Mama menatap ke arahku, lalu menaik-turunkan alis. "Pinjemin nggak, ya? Soalnya, sebentarnya kamu itu bisa jadi seharian."Mas Fariz mendekat, lalu memeluk tubuh Mama dari belakang, sebelum bergumam. "Mama kek yang nggak tahu aja manten baru."Senyum Mama melebar. Dia berbalik menghadap Mas Fariz."Tunjukan keperkasaanmu Anak Beruang, Mama tunggu cucu Beruang launching tahun ini."Aku memalingkan pandangan, entah kenapa pembahasan ini membuat wajahku tiba menghangat."Aamiin. Mama doain Fariz goal malam ini.""Loh, emangnya?" Mama tampak kebingungan. Namun, sebelum pertanyaan lain sempat terlontar. Mas Fariz lebih dulu mengecup pipinya dan menarik tan

    Last Updated : 2023-02-12
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Menyerahkan Diri

    Setelah melewati berbagai sesi penyatuan, kami terjaga melewati panjangnya malam yang berlalu tak seperti beberapa malam sebelumnya. Akhirnya aku benar-benar menyerahkan diri seutuhnya di atas ikrar yang semula terjalin hanya berdasarkan nazar.Dingin yang semula menggigil, menguap diganti kehangatan yang menjalar dalam dekapan lelaki yang sejak tadi menatap dengan gumaman yang tak henti dia lantunkan, saat untuk pertama kalinya kami berakhir di atas pembaringan menunaikan kewajiban sebagai pasangan halal."Cantik. Menurut gue semua yang ada di diri lu itu sempurna, Ci. Apalagi rambut ini. Gue nggak peduli sama orang lain sebelum gue. Tapi, mulai detik ini cuma gue yang boleh liat semuanya sampe akhir!" Dengan pandangan yang masih lekat menatap, Mas Fariz memainkan rambutku yang terurai panjang sampai punggung.Aku mengangguk pelan, sembari mengulurkan tangan menyusuri struktur rahangnya yang kasar, karena jambang yang tak pernah dia pangkas habis.Tak pernah kubayangkan sebelumnya. D

    Last Updated : 2023-02-12
  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Godaan

    Setelah menempuh kurang lebih satu jam tiga puluh menit perjalanan dari Bogor melalui Tol Jagorawi. Kami sampai di Kebayoran Baru, tepatnya Blok M. Karena masih bertempat di Jakarta Selatan, Toko otomotif Mas Fariz memang bisa dibilang cukup dekat dari kediaman utama keluarga Mas Fariz yang ada di perumahan elite Cilandak. Jadi, kami tak perlu khawatir terjebak macet saat perjalanan pulang.Terletak di tempat yang bisa dibilang mudah dijangkau. Dengan diapit dua ruko lain, Toko otomotif Mas Fariz berada. Surga onderdil yang menyediakan hampir semua kebutuhan kendaraan. Mulai dari velg, shockbreaker, ban, dan aksesoris lainnya. Selain menjual onderdil, tempat-tempat ini juga menyediakan perlengkapan berkendara lain. Sebut saja seperti helm dan aneka jaket."Ayo masuk! Nggak usah malu-malu. Si Tebe nggak gigit, kok." Mas Fariz menarik tanganku saat tengah asik memerhatikan sekitar."Tebe?" Refleks pertanyaan itu terlontar."Tendi Subandi. Nama panggilannya Tebe. Dia penanggung jawab di

    Last Updated : 2023-02-13

Latest chapter

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Doa yang Menyertai

    "Assalamualaikum.""Waalaikumsallam."Faqih menyambut kedua sepupunya yang baru saja datang berkunjung. Dengan kaki yang tak lagi pincang, dia menuntun Akmal dan Hafiz masuk, lalu menjamu mereka seadanya karena kebetulan Suci memang ada jadwal mengisi materi akhir pekan ini."Om Fariz ke mana, Qih?" tanya Hafiz. Pandangannya menyapu sekeliling rumah sederhana milik orang tua Suci yang hampir sebulan keluarga Omnya tempati."Ada, tuh di kamar. Nggak tahu dah si Bapak ngapain? Begitu Ibuk pergi dia nggak keluar-keluar, padahal toko udah seharusnya buka dari tadi.""Bapak bisa denger, Faqih ...!" Terdengar suara teriakan Fariz dari dalam kamar. "Bapaknya lagi sibuk bukannya dibantuin, malah lu omelin."Faqih nyengir, lalu mengusap tengkuk. "Faqih tahu Bapak lagi ngapain juga enggak," elaknya."Bapak lagi packing. Dahlah, lu kasih orson atau teh manis aja dulu tuh anak berdua. Bentar lagi bapak kelar," titahnya kemudian."Iya, ini juga lagi." Faqih berlalu ke dapur dan kembali dengan nam

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Pensiun Dini

    DiaperDynamo : Bangke! Ngetik begitu doang ampe setengah jam.SleepyRingleader : Sebenernya gue nggak sanggup melakukan ini (emot nangis)Winni Tiny Bunny : Dah, bubar-bubar! Susah kalau berhubungan sama Bavak-bavak bucin dan laperanSleepyRingleader : Diem lu, Terong! Makanya kawin, biar tahu enaknya. Bukan nyevongin mesin tato mulu. Madesu, lu!Fariz melempar ponselnya ke samping kursi yang diduduki dengan perasaan dongkol. Bukannya mendapat solusi dari permasalahan yang terjadi, mereka justru saling adu argumen dan saling menyalahkan siapa yang salah di sini.Tak lama ponselnya berbunyi. Panggilan video dari Bobby tampak di layar."Halu.""Gud morning, Brother!" Wajah Bobby memenuhi layar ponsel Fariz saat sambungan video call tersambung. Terlihat, lelaki di seberang sana tengah asik menyeruput kopi dengan baground Sherly yang sibuk momong adik Salsa yang tahun ini baru masuk TK."Gue mau ngobrol tentang hal penting, bisa pindah dari sono? Backgroundnya kurang sedep di pandang mat

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Sebuah Rencana

    Suci dan Fariz saling melempar pandang. Sesekali mereka memerhatikan Ainun yang tampak canggung. Perempuan 22 tahun itu memilin-milin ujung kerudungnya yang lebar setelah menyaksikan kejadian melorotnya sarung yang Faqih kenakan, hingga berakhir dengan mengurung dirinya dia kamar."Ekhem, uhuk, hatchi!""Mas!" Suci menyikut perut buncit suaminya saat Fariz mencoba mencairkan suasana dengan cara yang cukup berlebihan."Jadi, Ainu--""Ini ada titipan--"Suci dan Ainun membuka percakapan secara bersamaan. Mereka terkekeh setelahnya. Begitulah perempuan."Maaf kalau saya datang nggak kasih kabar dulu, ya, Bu, Pak. Jadi, nggak enak." Ainun tersenyum kikuk, entah kenapa dia merasa tak enak dengan apa yang baru saja terjadi. Faqih pasti malu sekali."Nggak apa-apa, Nun. Kalau tentang si Faqih-- dia mah udah biasa mempermalukan diri kali!" Enteng sekali Fariz mengatakan."Mas!" Sekali lagi Suci menegur sang suami. Matanya menyipit mengingatkan.Ainun tertunduk, kulit wajahnya yang kuning lang

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Melorot

    Sepulangnya check up. Suci langsung mempersiapkan makan siang untuk keluarga kecilnya. Sementara kedua orang tuanya langsung pamit pulang setelah berbincang-bincang sebentar tentang kondisi kesehatan Pak Ahmad. Di sela menyiapkan makan, Suci langsung menceritakan tentang keresahannya setelah mendapati kondisi kedua orang tuanya yang tak lagi bugar. Perempuan itu juga mengatakan tentang undangan H. Sulton yang jatuh pada lusa. Setelah membaca situasi, Suci merasa tak yakin bisa kembali ke Jakarta untuk waktu yang cukup lama.Mendengar penjelasan istrinya, Fariz mulai memutar otak. Di satu sisi dia tak sanggup Ldr dengan anak dan istrinya, tapi di sisi lain ada pekerjaan yang tak sepenuhnya bisa dia tinggalkan. Setelah cukup lama memikirkan di sela makan siang. Dia memutuskan untuk mendiskusikannya dengan Bobby."Bapak beneran nggak makan lagi Ikan setelah tragedi Denok dipepes Ibuk?" Pertanyaan Faqih memecah lamunan Fariz dan Suci yang masih bergelut dengan pikiran masing-masing. "Me

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Nasehat Keluarga

    "Loh, ada Ibu!" Suci keheranan heran saat melihat ibunya tengah duduk di samping Faqih. Tanpa basa-basi perempuan dengan kerudung instan dan gamis biru itu langsung menyambar tangan Bu Sulis. "Kapan ibu dateng?" tanyanya kemudian."Belum lama, Nduk!" Senyum dari wajah teduh itu masih sama hangatnya. Dia mengelus punggung tangan Suci yang masih erat digenggamnya. "Kenapa nggak kasih tahu ibu kalau nenek dateng?" Suci yang merasa tak enak, langsung beralih pada Faqih yang masih santai menyeruput es teh manis."Faqih udah nawarin, Buk. Tapi nenek nggak mau, katanya biarin aja, takutnya ganggu." Lembut dan terarah Faqih menjelaskan."Padahal ibu nggak lagi ngapa-ngapain juga di belakang." Ibu kandung Faqih itu duduk di kursi kosong samping Bu Sulis. Ketiga memilih untuk berbincang-bincang sejenak di depan teras, sebelum beranjak masuk. "Bukannya kamu lagi mandiin burung kata Faqih?" Kali ini giliran ibunya yang bertanya pada Suci."Oh, iya. Bentar aja tadi. Terus lanjut jemur baju. Ini

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Salah Paham

    Pagi hari di Pesantren Al-Huda. Terlihat Salsa dan Aisha celingukan di depan ruangan pengurus asrama putri."Kok, nggak ada, ya, Sha?" tanya Salsa sembari mengintip dari balik kaca. "Belum dateng kali," terka Aisha yang mengikuti Salsa di belakangnya. "Tapi, ini udah jam setengah sembilan." Salsa melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan. Karena ustadzah yang mengajar sedang berhalangan, dia dan Aisha izin sebentar untuk menemui seseorang. "Salsa, Aisha!"Refleks, dua remaja putri itu menoleh bersamaan. Terlihat di sana, Ainun tengah menggendong seorang bayi berusia enam belas bulan. "Eh, Mbak Ai!" seru Salsa dan Aisha hampir bersamaan. "Cari siapa?" Bergantian Ainun menatap gadis-gadis remaja di hadapannya. "Ini, loh, Mbak. Kita lagi cari Tante Suci," tutur Salsa. "Huum, mau nitip sesuatu," tambah Aisha yang langsung disikut Salsa. Anak sulung Bobby-Sherly itu memberiku kode agar Salsa tak membocorkan rencananya untuk memberi sesuatu pada untuk Faqih. "Loh, bukannya Bu

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Gara-Gara Burung

    Suci melipat tangan di atas dada menatap bapak dan anak yang sedang sibuk menangkap burung berjenis Murai Batu yang terbang di sekeliling kamar Faqih. Di ambang pintu, perempuan empat puluhan tahun itu memerhatikan Fariz yang tak berhenti mengoceh mempertanyakan, kenapa bisa burung yang baru saja dia beli seharga tiga setengah juta itu tiba-tiba keluar dari sangkarnya? Beruntung kamar yang Faqih tempati mempunyai sirkulasi udara yang rapat dan terhalang teralis kawat. Jadi, burung mungil itu tak sampai kabur keluar. Di tengah kepanikan yang ada, Fariz masih harus dihadapkan dengan sang istri, serta hutang penjelasannya pada Suci terkait keberadaan burung yang ia beri nama Inem itu. Kalau bukan karena mulut polos Faqih yang asal nyeplos. Mungkin keadaannya tak akan serunyam ini. "Kamu nggak ada niat bantu, Buk?" cicit Fariz yang mulai menyerah dalam kukungan tatapan tajam Suci. "Emang kehadiran Inem udah berdasarkan persetujuanku?" Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan lagi, me

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Simpanan Bapak

    Baru sehari sejak kepindahannya ke rumah ini. Niat hati ingin bermanja-manja dengan sang istri tanpa halang dan rintangan setelah sebelumnya menanggung malu karena salah mengenali. Fariz masih harus dihadapkan dengan Faqih yang kecelakaan sebab kecerobohannya sendiri. Mendapati Suci melimpahkan semua perhatiannya pada sang putra sejak mereka kembali kemarin. Pagi ini Fariz memutuskan untuk menenangkan diri dengan nongkrong di teras depan ditemani secangkir kopi. "Eh, baru ya, Mas?" Seorang tetangga yang tak sengaja melintas, menyapa Fariz yang masih sarungan hanya dengan kaus kutang. "Iya, baru keluar." Santai saja dia menjawab dengan cengiran khasnya. "Bukan, maksud saya baru di sini." Ralat bapak-bapak yang hanya sedikit lebih tua dari Fariz. "Oh, iya. Saya sekeluarga baru pindah kemarin," terangnya. "Oalah, mantune Pak Ahmad, ya? Yang dari Jakarta?""Iya, Pak.""Ngomong-ngomong kesibukannya apa?" Tanpa diminta lelaki bertubuh tambun itu sudah mengambil tempat di samping Fariz

  • Akibat Sumpah Sebelum Menikah   Dirawat di Rumah

    Mendengar celetukan Salsa yang ditujukan untuk membela dirinya, Faqih tersenyum lebar, lalu menyodorkan jari membentuk hati, lalu bergumam tanpa suara seolah merangkai satu kata. "Alapyu."Salsa yang menyadari itu langsung membuang muka padahal hatinya amat berbunga-bunga."Astagfirullah si Salsa. Mau marah, tapi, kok bener, ya." Sementara Fariz yang masih tak percaya hanya bisa menggaruk rambutnya. "Mau heran, tapi ini anaknya si Bobby.""Mas!" Suci menyikut lengan Fariz, menegurnya.Sesaat keheningan menyelimuti, sampai saat ponsel Fariz yang berbunyi di dalam saku, menginterupsi."Siapa?" tanya suci begitu melihat Fariz menatap layar ponselnya."Papa.""Ya udah buruan angkat!" pinta Suci. Fariz menurut dan bergegas menyambungkan panggilan dengan orangtuanya yang kini menetap di Palembang."Halo, assalamualaikum." Panggilan dari seberang Fariz loundspeaker agar bisa didengar semuanya."Waalaikumsallam. Gimana kabar Faqih?""Bok, ya sebelum cucu yang ditanya anaknya dulu, to, Pa!"

DMCA.com Protection Status