Seketika keheningan pekat menyelimuti kami, di saat yang bersamaan napasku masih memburu. Sekuat tenaga kutahan keinginan diri untuk melayangkan tamparan di wajah Mas Ali."Maaf, ya, Ma, Pa. Suci ikut pergi sama Mas Fariz karena keinginan sendiri. Wallahi di sana dia cuma ngobrolin tentang projek usahanya baru. Mereka janjian malem, karena emang sama-sama sibuk." Aku melanjutkan setelah dirasa amarah mulai teredam. "Sementara di puncak, rumah yang kita singgahi itu sebenarnya rumah Mas Fariz sendiri! Apa perlu saya jelasin juga detail kejadiannya biar Mas Ali yang terhormat ini puas dan nggak suudzon sama iparnya lagi?!""Ci, udah!" Sentuhan lembut di pundak itu sontak membuatku tersadar dengan batasan yang baru saja kulanggar, ketika berteriak tepat di depan wajah Mas Ali. Mama terus mengusap punggung dan kepalaku, sementara Papa hanya menghela napas gusar.Mas Fariz yang sejak tadi berdiri terpaku akhirnya menghampiri. Dia menarik tanganku meninggalkan ruang tengah menuju kamar kami
Selepas Isya, kutatap lelaki yang mendengkur halus di sisi lain ranjang. Sepertinya dia benar-benar lelah. Bukan hanya fisik tapi juga mental. Hingga tak sanggup melewati waktu yang tersisa dan memilih lelap dalam tidurnya setelah puas memaki-maki Mas Ali di hadapanku. Aku bahkan tak tega membangunkannya, karena sejak kembali dia bahkan belum menyentuh nasi.Sekali lagi aku dibuat terpana dengan lelaki ini. Bagaimana pun posisinya, Mas Fariz tetap mendengarkan apa kata Pak Jamal, tanpa berniat menyangkal ataupun membela diri.Haruskah kukatakan, meskipun Mas Fariz berakhir seperti ini, orangtuanya tetap tak gagal mendidiknya. Tanpa mereka sadari, sebenarnya dia adalah gamparan lelaki sejati.Aku beranjak dari bibir ranjang untuk meletakkan mukena yang semula dikenakan di atas rak samping TV. Sejenak meraih ponsel saat melihat satu pesan masuk dari Lola.Katanya besok dia akan mampir ke Jakarta, dan berharap aku bisa menyempatkan waktu untuk bertemu.[ InsyaAllah, La. Share aja lokasin
"Makasih penjelasannya. Tapi, saya udah nggak peduli!"Aku berlalu meninggalkannya yang masih berdiri mematung di tempat.Apa pun penjelasan yang terlontar, pergi tanpa kepastian selama lebih dari lima tahun bukan sesuatu yang patut dimaklumi. Dan lagi, entah kenapa firasatku mengatakan bahwa penjelasan Bapak dan Ibu akan jauh lebih kuat daripada alasan Mas Ali. Bisa jadi ada yang janggal di balik lamaran kedua yang dia ajukan setelah sebelumnya meminta waktu empat tahun untuk menyelesaikan study.Kupercepat langkah menaiki tangga dengan piring berisi nasi di tangan. Sesampai di kamar, kuempaskan tubuh di samping Mas Fariz yang tengah memainkan ponsel, lalu menyodorkan piring yang tadi.Lelaki itu menatapku kebingungan."Cuma nasi? Lauknya mana?"Aku menepuk dahi. Karena kehadiran Mas Ali, dan obrolan yang cukup menguras emosi tadi, aku sama sekali tak ingat dengan lauk yang seharusnya menjadi teman nasi.Karena tak mau mengambil risiko bila balik ke bawah, dan lelaki itu masih ada di
"Loh, seprenya mau dicuci lagi, Neng? Perasaan baru kemaren bibi ganti." Pertanyaan Bi Surti sontak membuat wajahku menghangat."Ng, anu, Bi--""Hei, psstt ... Bibi!" Mama terdengar heboh sendiri di belakang, beberapa kali dia mencubit pelan perut Bi Surti."Oalah, aduh maaf, Neng. Bibi suka lupa kalau pernah muda." Bi Surti menepuk dahi. "Udah biarin, biar bibi yang lanjutin, Neng istirahat aja di kamar." Bi Surti mengambil alih botol deterjen dari tanganku."Eh, nggak apa-apa, kok, Bi.""Udah, kamu mah diem aja. Mending banyakin makan buah sama minum air putih. Nih!" Mama menimpali sembari menyodorkan sebuah apel.Aku meraihnya dengan sungkan."Dah, sana!" Mama mendorong pelan tubuhku agar meninggalkan ruang cuci.Akhirnya aku menurut dan memutuskan untuk kembali ke atas."Kalau butuh sepre baru lagi bilang aja, ya! Stok punya Mama masih banyak. Mulai dari My Love, My Honey, Bunny, Sweety!"Masih bisa kudengar teriakan Mama di sana.Aku menggeleng pelan.Ibu dan anak memang hampir t
Lima tahun sebelumnya ...."Suci!"Kualihkan pandangan dari deretan mie instan yang baru saja ditata di atas rak khusus, dalam Toko Sembako Bapak yang setahun terakhir ini kukelola. Sembari berdiri tegak di balik etalase, kutatap lelaki berkulit putih yang baru saja datang dengan ransel besar yang melekat di punggung lebarnya.Aku terdiam sejenak, menatap wajah dan barang bawaannya bergantian. Perasaanku tiba-tiba tak enak. Aku merasa dia datang dengan kabar yang kurang menyenangkan."Ada apa, Mas? Mau ke mana, kok tumben banyak bawaannya?"Lelaki itu mengusap tengkuk salah tingkah, tampaknya ia ragu untuk mengutarakan maksud sebenarnya."Nggak apa-apa, Mas. Bilang aja!" Melihat keraguan dalam dirinya, akhirnya aku berinisiatif untuk memulainya.Mas Ali maju selangkah, lelaki yang dua tahun terakhir membimbingku menuju jalan hijrah itu tampak semakin gelisah."Jadi, gini, Ci ... hari ini saya dan semua keluarga mau pindah ke Jakarta."Deg!"Dan rencananya saya juga mau ambil beasiswa
Tak terasa waktu terus bergulir. Ini adalah tahun keempat setelah perpisahan itu terjadi. Tak ada kabar, surat, pesan, atau telepon yang datang. Ekspektasiku berakhir tak sesuai harapan. Ketika rasa sepi mulai menyerang, hanya doa yang bisa kulangitkan di sepertiga malam. Memohon pada Tuhan, meski dengan segala halang dan rintangan kami tetap dijodohkan.Tak mau menyerah terlalu dini, motivasiku untuk berubah semakin terpacu. Jilbab yang semula hanya kulilit di leher, kini sudah diturunkan. Terjulur menutup dada dengan beberapa gamis yang mulai kukoleksi. Baju-baju haram-ku telah dihibahkan semua, hanya menyisakan beberapa celana longgar, dan jaket yang cukup menyimpan banyak kenangan.Selain menjaga toko, aku juga mulai aktif mengikuti berbagai kajian, beberapa seminar yang diadakan di aula pesantren juga membuatku banyak mengenal teman dengan berbagai kalangan. Teman-teman yang membawa aura positif agar hidup berangsur lebih baik.Gunjingan tetangga yang seringkali mengungkit tentan
"Saya terima nikah dan kawinnya Suci Puspitasari binti Ahmad Dabawi dengan seperangkat alat salat dan sepuluh gram emas. Tunai!""Sah!"Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Nazar yang terucap setahun silam malah berubah menjadi bumerang yang menghadang, kala satu-satunya lelaki yang menjanjikan surga di ujung penantian, justru tak kunjung datang. Harapan yang berkian tahun kugantungkan pada akhirnya berakhir kekecewaan.Dalam sisa harapan, kuterima pinangan dari lelaki yang tak pernah dikenal. Calon imam dengan sifat yang bertolak belakang dari 'dia' yang nyaris sempurna. Versi terburuk yang mungkin tak akan wanita lain pilih untuk mengikat ikrar di atas pelaminan.Fariz Darmawan. Lelaki yang baru saja mengucap akad dengan lantang hanya dengan satu kali helaan napas.Bertumbuh tinggi besar dalam balutan jas hitam. Rahang yang dipenuhi jambang, luka gores di sebelah alisnya yang tebal, dengan rambut panjang diikat dan disembunyikan di balik kopiah.Kami berpandangan. Dia menatapku dengan
"Astagfirullahaladzim ... Guci kesayangan mama!" Dari lantai dua, aku melihat Mama berlari kecil menghampiri serpihan guci yang sudah berserak di lantai. Mas Fariz yang menyadari apa yang baru saja dia lakukan langsung mundur tiga langkah."Ya Allah, Guci antik ini Mama beli di Mall Dubai, waktu pulang haji. Barang langka ini. Ukiran kaligrafinya bahkan lebih rapi daripada potongan bewok kamu." Mama mendelik pada Mas Fariz yang hanya bisa meringis."Ya udah naik haji lagi aja, Ma. Siapa tahu nemu yang baru," tanggapnya santai yang mengundang omelan Mama."Kamu pikir segampang itu?! Antrian haji itu panjang banget, Fariz!" Mas Fariz hanya bisa menghela napas, mendengar omelan Mamanya. Jujur, aku mengapresiasi tindakannya. Di saat seperti ini dia bahkan tak berniat membela diri. "Pokoknya mama nggak mau tahu. Kumpulin serpihannya, terus susun dan lem sampe utuh lagi!""Busyet. Fariz masih harus balik kerja lagi, Ma!" sanggahnya memelas."Mama nggak peduli. Bukannya toko kamu ada penang