"Makasih penjelasannya. Tapi, saya udah nggak peduli!"Aku berlalu meninggalkannya yang masih berdiri mematung di tempat.Apa pun penjelasan yang terlontar, pergi tanpa kepastian selama lebih dari lima tahun bukan sesuatu yang patut dimaklumi. Dan lagi, entah kenapa firasatku mengatakan bahwa penjelasan Bapak dan Ibu akan jauh lebih kuat daripada alasan Mas Ali. Bisa jadi ada yang janggal di balik lamaran kedua yang dia ajukan setelah sebelumnya meminta waktu empat tahun untuk menyelesaikan study.Kupercepat langkah menaiki tangga dengan piring berisi nasi di tangan. Sesampai di kamar, kuempaskan tubuh di samping Mas Fariz yang tengah memainkan ponsel, lalu menyodorkan piring yang tadi.Lelaki itu menatapku kebingungan."Cuma nasi? Lauknya mana?"Aku menepuk dahi. Karena kehadiran Mas Ali, dan obrolan yang cukup menguras emosi tadi, aku sama sekali tak ingat dengan lauk yang seharusnya menjadi teman nasi.Karena tak mau mengambil risiko bila balik ke bawah, dan lelaki itu masih ada di
"Loh, seprenya mau dicuci lagi, Neng? Perasaan baru kemaren bibi ganti." Pertanyaan Bi Surti sontak membuat wajahku menghangat."Ng, anu, Bi--""Hei, psstt ... Bibi!" Mama terdengar heboh sendiri di belakang, beberapa kali dia mencubit pelan perut Bi Surti."Oalah, aduh maaf, Neng. Bibi suka lupa kalau pernah muda." Bi Surti menepuk dahi. "Udah biarin, biar bibi yang lanjutin, Neng istirahat aja di kamar." Bi Surti mengambil alih botol deterjen dari tanganku."Eh, nggak apa-apa, kok, Bi.""Udah, kamu mah diem aja. Mending banyakin makan buah sama minum air putih. Nih!" Mama menimpali sembari menyodorkan sebuah apel.Aku meraihnya dengan sungkan."Dah, sana!" Mama mendorong pelan tubuhku agar meninggalkan ruang cuci.Akhirnya aku menurut dan memutuskan untuk kembali ke atas."Kalau butuh sepre baru lagi bilang aja, ya! Stok punya Mama masih banyak. Mulai dari My Love, My Honey, Bunny, Sweety!"Masih bisa kudengar teriakan Mama di sana.Aku menggeleng pelan.Ibu dan anak memang hampir t
Lima tahun sebelumnya ...."Suci!"Kualihkan pandangan dari deretan mie instan yang baru saja ditata di atas rak khusus, dalam Toko Sembako Bapak yang setahun terakhir ini kukelola. Sembari berdiri tegak di balik etalase, kutatap lelaki berkulit putih yang baru saja datang dengan ransel besar yang melekat di punggung lebarnya.Aku terdiam sejenak, menatap wajah dan barang bawaannya bergantian. Perasaanku tiba-tiba tak enak. Aku merasa dia datang dengan kabar yang kurang menyenangkan."Ada apa, Mas? Mau ke mana, kok tumben banyak bawaannya?"Lelaki itu mengusap tengkuk salah tingkah, tampaknya ia ragu untuk mengutarakan maksud sebenarnya."Nggak apa-apa, Mas. Bilang aja!" Melihat keraguan dalam dirinya, akhirnya aku berinisiatif untuk memulainya.Mas Ali maju selangkah, lelaki yang dua tahun terakhir membimbingku menuju jalan hijrah itu tampak semakin gelisah."Jadi, gini, Ci ... hari ini saya dan semua keluarga mau pindah ke Jakarta."Deg!"Dan rencananya saya juga mau ambil beasiswa
Tak terasa waktu terus bergulir. Ini adalah tahun keempat setelah perpisahan itu terjadi. Tak ada kabar, surat, pesan, atau telepon yang datang. Ekspektasiku berakhir tak sesuai harapan. Ketika rasa sepi mulai menyerang, hanya doa yang bisa kulangitkan di sepertiga malam. Memohon pada Tuhan, meski dengan segala halang dan rintangan kami tetap dijodohkan.Tak mau menyerah terlalu dini, motivasiku untuk berubah semakin terpacu. Jilbab yang semula hanya kulilit di leher, kini sudah diturunkan. Terjulur menutup dada dengan beberapa gamis yang mulai kukoleksi. Baju-baju haram-ku telah dihibahkan semua, hanya menyisakan beberapa celana longgar, dan jaket yang cukup menyimpan banyak kenangan.Selain menjaga toko, aku juga mulai aktif mengikuti berbagai kajian, beberapa seminar yang diadakan di aula pesantren juga membuatku banyak mengenal teman dengan berbagai kalangan. Teman-teman yang membawa aura positif agar hidup berangsur lebih baik.Gunjingan tetangga yang seringkali mengungkit tentan
"Saya terima nikah dan kawinnya Suci Puspitasari binti Ahmad Dabawi dengan seperangkat alat salat dan sepuluh gram emas. Tunai!""Sah!"Tak pernah kubayangkan sebelumnya. Nazar yang terucap setahun silam malah berubah menjadi bumerang yang menghadang, kala satu-satunya lelaki yang menjanjikan surga di ujung penantian, justru tak kunjung datang. Harapan yang berkian tahun kugantungkan pada akhirnya berakhir kekecewaan.Dalam sisa harapan, kuterima pinangan dari lelaki yang tak pernah dikenal. Calon imam dengan sifat yang bertolak belakang dari 'dia' yang nyaris sempurna. Versi terburuk yang mungkin tak akan wanita lain pilih untuk mengikat ikrar di atas pelaminan.Fariz Darmawan. Lelaki yang baru saja mengucap akad dengan lantang hanya dengan satu kali helaan napas.Bertumbuh tinggi besar dalam balutan jas hitam. Rahang yang dipenuhi jambang, luka gores di sebelah alisnya yang tebal, dengan rambut panjang diikat dan disembunyikan di balik kopiah.Kami berpandangan. Dia menatapku dengan
"Astagfirullahaladzim ... Guci kesayangan mama!" Dari lantai dua, aku melihat Mama berlari kecil menghampiri serpihan guci yang sudah berserak di lantai. Mas Fariz yang menyadari apa yang baru saja dia lakukan langsung mundur tiga langkah."Ya Allah, Guci antik ini Mama beli di Mall Dubai, waktu pulang haji. Barang langka ini. Ukiran kaligrafinya bahkan lebih rapi daripada potongan bewok kamu." Mama mendelik pada Mas Fariz yang hanya bisa meringis."Ya udah naik haji lagi aja, Ma. Siapa tahu nemu yang baru," tanggapnya santai yang mengundang omelan Mama."Kamu pikir segampang itu?! Antrian haji itu panjang banget, Fariz!" Mas Fariz hanya bisa menghela napas, mendengar omelan Mamanya. Jujur, aku mengapresiasi tindakannya. Di saat seperti ini dia bahkan tak berniat membela diri. "Pokoknya mama nggak mau tahu. Kumpulin serpihannya, terus susun dan lem sampe utuh lagi!""Busyet. Fariz masih harus balik kerja lagi, Ma!" sanggahnya memelas."Mama nggak peduli. Bukannya toko kamu ada penang
"Yaelah nih anak berdua suruh benerin Guci malah uwu-uwuan di sini." Mama muncul entah dari mana. Menenteng dua totebag berukuran senang.Aku langsung membenahi posisi, sementara Mas Fariz masih saja rebahan di lantai, belum menyadari.Tuk!Terdengar bunyi nyaring saat Mama mengetukkan punggung tangannya di dahi Mas Fariz."Sadarlah, Balita Kadaluwarsa! Meleyot sampe nggak kira-kira."Mas Fariz langsung terlonjak. Refleks dia bangkit, lalu duduk bersila, meraih kembali serpihan Guci dan lem yang tadi."Nih, pulang dari arisan mama sempet beli pizza. Dimakan mumpumg masih anget. Bobanya juga." Mama mengeluarkan satu box pizza, lalu tiga cup minuman boba. "Itung-itung imbalan benerin Guci!""Duh, tau aja Mama kalau Fariz lagi lape--" Plak!Mama memukul tangan Mas Fariz."Cuci tangan dulu. Habis pegang lem juga."Mas Fariz menghela napas, lalu bangkit dengan sedikit enggan."Kamu juga, Sayang!" Mama beralih padaku dengan nada yang lebih lembut.Aku mengangguk, lalu mengekori Mas Fariz u
Masa laluku memang bukan sesuatu yang patut dikenang. Kelamnya bahkan mengalahkan pekatnya malam. Belenggu yang mengekang sebagai seorang anak perempuan tunggal dari keluarga yang paham, justru malah menjadikanku sosok yang pembangkang.Dunia yang berbahaya kujadikan tempat pelarian. Kuhirup udara kebebasan hingga nyaris tak tahu jalan pulang. Tak ada lagi batasan atau larangan, keingintahuan yang besar menjerumuskanku pada pusara lembah hitam yang berputar. Saat itu duniaku bahkan hanya berpusat pada satu orang. Ferry Septian. Dia bak oase di tengah ladang gurun yang gersang, hiburan saat hari-hari yang kulewati di lingkungan pedesaan terasa amat membosankan. Dia mengenalkanku dengan dunia, dunia luas yang sebelumnya tak pernah kukenal. Juga kenikmatan duniawi yang seolah tak ada habisnya. Bersamanya aku bertualang, meninggalkan tempat kelahiran di Lumajang. Menyusuri tiap tempat di Jawa Timur, bahkan dengan motornya kami sampai ke Jakarta. Kota besar yang tak pernah kusambangi sebe