Mahendra mengaduh kesakitan, tangannya yang tadi mencengkeram rahang Shena kini berpindah memegangi mulutnya. "Hahh... Hahh...." Setelah lepas dari ciuman maut pria itu, Shena menatap cermin, tepatnya memelototi Mahendra. "Kau menggigitku?" Keluh Mahendra saat dia tak sengaja menelan asin darahnya sendiri akibat Shena yang menggigit kulit rapuh bibir dalamnya. "Salah sendiri tidak sadar-sadar juga, padahal sudah aku pukul-pukul tanganmu. Aku butuh bernapas tahu, apalagi leherku sakit kau pegang-pegang begitu!" Kesal karena ulah Shena, Mahendra pergi dari meja rias. Tidak mendengar suara pria itu bahkan sampai Mahendra selesai berganti pakaian, Shena jadi cemas dan takut. Apa tadi dia menggigitnya keras sekali? Memang sakit? "Mahendra, kau marah?" tanya Shena seraya memutar duduknya jadi menghadap Mahendra. Pria itu tidak menjawab. Mengangkat selimut di atas tempat tidur, ia pun naik ke ranjang lalu merebahkan tubuhnya di sana. Shena berdiri, menghampiri Mahendra. Wanita itu i
Tepat pada waktunya makan malam, Shena dan Mahendra keluar kamar. Kedua pasangan yang baru menikah itu saling bergandengan tangan menuju ke restoran. "Kau yakin sudah mendingan?" tanya Mahendra merujuk pada keluhan Shena tadi yang berkata perutnya tak nyaman. Belum tahu kalau dia sudah dibohongi. "Huum," Shena mengangguk tanpa melihat ke arah Mahendra. Dihelanya wanita itu menuju ke meja mereka. Ternyata Rossa dan Hera sudah tiba duluan. "Ma, kemana Edwin?" tanya Shena karena tidak melihat adik laki-lakinya. "Kalian sudah datang. Duduk duduk," Sambut Rossa senang melihat pengantin baru. "Mama tidak tahu. Sedari tadi mama sudah mencari-cari adikmu, tapi tidak ketemu.""Sudah ditelepon?"Hera menggelengkan kepala, "Ponsel adikmu ada di kamar.""Ya sudah, pasti nanti dia kembali. Mungkin Edwin sedang ingin sendiri." kata Shena menenangkan. "Biar aku suruh orang ku untuk mencari adikmu." Bisik Mahendra berinisiatif membantu. Shena tidak menolak, ia berterima kasih pada Mahendra d
Selepas acara pernikahan selesai dilakukan, Mahendra dan Shena kembali ke apartemen mereka. Pada saat mereka tiba, bibi pembantu tidak ada. Bibi itu akan datang apabila mendapat panggilan dari Mahendra.Sebelum kemari, keduanya sudah makan."Mahendra, bolehkah aku pergi menemui temanku besok?""Bisakah itu di tunda? Aku lupa memberitahu kalau besok, bibi mau mengajakmu pergi.""Pergi kemana?" tanya Shena merasa penasaran. Pasalnya, tantenya itu tidak mengatakan apa pun padanya.Mahendra mengangkat bahu, tidak diberitahu juga kemana mereka akan pergi. "Bibi tidak memberitahuku. Dia hanya bilang akan membawamu ke suatu tempat."Pria itu duduk di sisi ranjang, mengulurkan tangannya, "Kemarilah." Shena menaikkan alisnya, tidak paham. Walau begitu dia patuh menghampiri pria itu. Setelah dekat, Mahendra menarik Shena, didudukkannya di depannya agar dia bisa memeluknya dari belakang. Kedua tangannya melingkari perut, mengelusnya dengan lembut."Bagaimana sekarang, tidak ingin makan sesuatu
Pukul sembilan pagi, mobil yang dipakai Rossa terparkir di depan gedung apartemen Mahendra. Wanita setengah baya itu lantas memutar nomor, menghubungi Shena untuk memberitahu kalau dia tiba dan sekarang ada di bawah. Tak butuh waktu lama bagi Shena untuk keluar dari gedung tersebut. Seperti biasa, Shena tetap mengenakan pakaian tebal di cuaca yang lumayan panas. Rossa mengernyit, menatap iba dan sedih pada menantu cantiknya itu yang harus susah payah menyembunyikan kehamilannya. "Tante," panggilnya saat pintu samping terbuka. Shena masuk ke dalam, duduk di samping Rossa. "Kau tidak kepanasan?" Shena menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa. Aku sudah cukup terbiasa." katanya seraya tersenyum. "Jalan, Pak." ucap Rossa pada sopir. "Tante mau mengajakku kemana?" Dalam hatinya, Shena sudah berdoa semoga Rossa tidak membawanya nge-mall lagi atau pergi ke salon yang membuat dia terpaksa duduk berlama-lama. Sudah cukup sekali itu saja dia dibawa ke sana dan dia tidak mau lagi merasaka
Mahesa tiba di kediamannya tepat waktu seperti yang telah dia janjikan. Ketika dia membuka pintu, dia mencium aroma harum masakan.Sembari melonggarkan dasi, serta mengganti sepatu dengan sandal rumahan, ia pergi ke dapur. Ternyata, yang ada di dapur malam itu tak lain dan tak bukan adalah Shena.Pria itu menyanderkan badannya di dinding. Sebuah senyum terbit di bibirnya kala pemandangan indah di hadapannya membuat hatinya menghangat entah mengapa. Mungkin karena dia sadar, bahwa kini, dia tidak sendirian lagi. Bahwa untuk ke depannya, wanita yang sedang sibuk itulah yang akan menemaninya di rumah ini.Shena yang tak tahu kalau aktivitasnya diintip oleh sang suami terus fokus memanaskan makanan yang telah bibi masak. Sesekali senandung lirih terdengar dari bibirnya, serta gerakan acak dari pinggulnya pun ikut bergoyang ke kiri dan kanan.Mati-matian Mahendra menutup mulutnya hanya sekedar untuk menahan tawa. Kalau sampai Shena melihat ekspresi gelinya, pastilah wanita itu tak perlu be
Ada saatnya, kadang-kadang atau lebih sering, Shena akan membuat Mahendra jadi pening mendadak. Misalnya seperti hari ini, ketika Mahendra sedang libur kerja dan memutuskan untuk tinggal di apartemen mereka saja menemani sang wanita.Pria itu duduk santai di balkon, menikmati udara pagi sambil membaca koran bisnis. Secangkir kopi telah siap di atas meja bersama dengan setoples kue yang tentu saja Shena yang bawa tadi.Wanita itu melenggang pergi ke dalam, tanpa memberitahu akan berbuat apa. Pikir Mahendra, mungkin sedang mengobrol dengan bibi pembantu mereka."Aku bawa sesuatu untukmu."Mahendra yang baru saja menyeruput kopinya tersedak begitu Shena tiba-tiba muncul. Panas kopi seketika membuat lidahnya terbakar. Mahendra memelototi Shena yang kini memasang wajah polos tanpa rasa bersalah. Kemunculannya itu sudah mirip jelangkung. "Hati-hati minumnya, tidak ada yang mau merebut kopi itu darimu." katanya seraya menepuk punggung sang suami."Lebih baik kau tak usah bicara, sungguh. Le
Pagi-pagi sekali, di kamar yang lampunya sengaja dimatikan, ponsel di atas nakas terdengar bergetar. Mahendra yang mendengar suara mengganggu itu mengerang. Ia melirik ke samping, dimana Shena lagi-lagi tidur dengan memeluk dirinya serta menjadikan satu tangannya jadi bantal. Pelan-pelan, ia memindahkan kepala sang istri ke bantalnya sendiri. Terdengar gumaman lirih Shena begitu dia dipindahkan. Refleks saja Mahendra mengusap pipinya, seraya bersenandung lirih menyuruh Shena untuk tidur lagi. Detik berikutnya, saat wanita itu tak ada tanda-tanda bangun, ia mengambil ponselnya yang menjadi sebab dirinya terjaga. Tertera di layar nama sang sepupu tengah memanggil, pun datang pula beberapa pesan wassap dari nomor yang sama. Mahendra membuka pesan itu, membaca isinya kemudian terkejut atas berita mendadak yang barusan dia terima. Ia pun segera menghubungi nomor sepupunya itu lagi. Tak butuh waktu lama bagi sang sepupu mengangkat panggilannya. "Kau serius? Dimana kau bilang?" tanya Ma
Sal memperlihatkan senyum gantengnya. Kedua tangannya memangku dagu. "Apa yang kau lihat?" Shena bertanya risih saat menghadapi tatapan panas di belakang punggungnya."Kakak ipar cantik sekali." Pujinya mirip playboy berpengalaman merayu perempuan. "Apa benar kalian sudah menikah?""Ya, beberapa hari lalu pernikahannya." sahut Shena ramah. "Memangnya, kau tidak diberitahu?""Tidak. Aku baru taunya sekarang, saat bertemu denganmu." sahut Sal mencebik kesal. Masih tak habis pikir mengapa dia tidak tahu perihal pernikahan Mahendra. Apa orang tuanya sudah tahu berita penting ini? Kemungkinannya, tidak tahu juga. Pagi hari, waktu dia bangun, dia tidak menemukan keberadaan Mahendra. Ia pikir sang suami sedang pergi olahraga di gym lantai dasar gedung apartemen ini, jadi dia pergi mandi dulu sambil menunggu suaminya itu kembali.Tak sampai kemudian dia tahu kalau ternyata Mahendra baru saja kembali dari bandara. Meski dia tidak tahu alasan dibalik wajah masam Mahendra selama sepagian ini
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan