Jalan perkotaan tidak terlalu padat ketika mobil yang dikendarai oleh Mahendra melaju melintasi jalan tol menuju ke rumah sakit. Seperti janjinya, ia menemani Shena untuk melakukan pemeriksaan rutinan. Ini bukanlah yang pertama kali Mahendra mengantar Shena ke rumah sakit. Walau tak sering juga seperti para suami pada umumnya yang bisa dengan leluasa menemani istri ke dokter kandungan, sekali bisa bersama pria itu ke rumah sakit merupakan keajaiban langka yang patut disyukuri. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah sakit swasta dimana pertama kali Shena melakukan pemeriksaan waktu itu. Mahendra dan Shena keluar dari mobil, berjalan menuju lobi.Tanpa mengajak Hedy yang merupakan kaki tangannya, Mahendra harus melakukan semuanya secara pribadi. Ia pergi ke bagian resepsionis, bertanya apakah dokter Siska ada di ruangannya atau tidak. Resepsionis yang berjaga merupakan seorang perempuan muda. Tatkala melihat sosok tampan dan beribawa seperti Mahendra, perempuan itu tersenyum m
Dia bosan.Hal pertama yang Shena pikirkan pada sore hari itu adalah satu kata ini. Bosan.Meskipun kesehariannya hanya berputar di kegiatan itu-itu saja, sungguh melelahkan baginya tinggal di dalam kamar terus. Menonton film atau drama, atau pun membaca buku tak lagi menyenangkan buatnya. Ia turun dari tempat tidur, menarik tirai jendela untuk melihat cuaca. Cerah. Di luar masih kelihatan cerah dan dia ingin sekali jalan-jalan. Shena mengusap perutnya, lalu memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar gedung apartemen. Selain memiliki fasilitas lengkap, gedung apartemen itu memiliki taman umun dan taman bermain khusus anak yang bisa dijadikan alternatif untuk mencari udara segar. Letaknya bersebalahan dengan jogging trek.Bibi sedang menyetrika baju saat dia mendengar suara langkah kaki turun dari lantai atas. Ia pun meletakkan dulu setrikaannya, pergi menghampiri sang nyonya."Anda mau pergi kemana?""Aku mau jalan-jalan di bawah sebentar, Bi. Sekalian mau beli es krim." beritahunya ju
Shena terisak. Permohonannya yang tidak didengar oleh Mahendra membuat dia tidak bisa berhenti menangis. "Apa kau tahu kesalahanmu sekarang?" bisik pria itu dengan suara serak dari belakang Shena. "Aku bertanya padamu, Shena. Jawab aku...." ulangnya seraya mengecup tengkuk sang istri, dan bahkan sedikit menggigitnya. Shena merintih. Satu tangannya yang mencengkram punggung tangan Mahendra di atas perut telanjangnya ikut menguat. Kesenangan yang pria itu berikan terlalu berlebihan, membuatnya kewalahan hingga dia tak sanggup untuk mengeluarkan suara. Seluruh tubuhnya berkeringat, namun pria itu masih belum berhenti mencumbunya. Saling berbaring miring hampir setengah jam lamanya, lengan Shena terasa sakit hampir mati rasa. Meski begitu dia tidak memberitahu Mahendra, tidak jua ingin mengubah posisinya karena tak mau melihat sepasang mata menakutkan itu. "Jangan pergi keluar sendirian tanpa orang lain di masa depan. Kau paham?" Bisik pria itu lagi seraya menghujani pundak Shena de
Shena tercekat, kedua bola matanya hampir keluar dari rongganya saking terkejutnya dia dengan pemandangan tubuhnya sendiri. Tanda-tanda merah ini. Tok! Tok! Tok!"Ndin, kenapa kau lama sekali di dalam?"Suara Mahendra terdengar khawatir karena Shena tak kunjung keluar. Padahal suara air telah dimatikan."A-Aku, aku keluar sekarang."Begitu pintu itu terbuka, keduanya saling bertatapan. Mahendra mengernyitkan kening ketika dilihatnya Shena tengah menatapnya -- kesal?"Ada apa?""Lihat ini," katanya seraya mengangkat lehernya."Ya? Kenapa?""Lihat baik-baik.""Kau minta di cium?" tanya pria itu semakin tak mengerti."Tidakkk ... Lihat baik-baik ulahmu ini tadi malam!" Shena berseru jengkel karena ketidakpekaan sang suami.Mahendra mendekatkan wajahnya, masih tak paham maksud Shena apa. Tidak bisakah wanitanya ini langsung mengatakan dengan jelas apa masalahnya? Mengapa wanita suka sekali membuat sakit kepala para pria?"Lehermu sexy, aku menyukainy--- Aduh," serunya terkejut begitu le
"Kau berbohong padaku, Laura." Shena mengambil langkah mundur kala temannya itu ingin mendekat padanya. Sepasang netranya memandang kecewa pada sahabatnya yang telah berani membohonginya. Beberapa saat lalu setelah dia selesai dengan sarapannya, seperti yang telah dia katakan pada sang suami, dia akan pergi hari ini untuk bertemu dengan temannya yang tak lain adalah Laura. Laura dan dia sepakat untuk bertemu meski janji temu mereka direncanakan secara mendadak. Sebab alasan yang dikemukakan Laura, membuat Shena khawatir pada temannya itu, ia jadi setuju dengan sangat terpaksa, keluar dari apartemen di saat dia harus menanggung resiko ketahuan akan kehamilannya. "Aku minta maaf," Laura menurunkan tangannya saat uluran tangannya mendapat penolakan dari sang sahabat. "Seandainya aku tahu bukan hanya kau saja yang harus aku temui sekarang, aku tak akan mungkin datang." Tepat saat Shena ingin keluar dari ruangan privat yang disewa oleh Laura, orang lain yang tak ingin dilihatnya tiba
"Anda yakin baik-baik saja, Nya?"Bibi untuk yang kesekian kali bertanya khawatir. Selepas majikannya itu keluar dari restoran, dia menemukan kedua mata dari nyonyanya tampak memerah, seperti orang yang habis menangis.Dia khawatir, semakin cemas karena tidak tahu apa yang terjadi selama nyonyanya itu berada di dalam restoran. Tugasnya adalah memberi kabar pada tuan mudanya perihal kegiatan mereka hari ini. Dan ini pun termasuk melaporkan keadaan istri sang tuan muda yang kelihatannya jadi sendu.Shena mengangguk, "Tidak apa-apa, Bi. Tolong, rahasiakan ini dari Mahendra ya. Saya tidak mau dia berpikir berlebihan nantinya.""Tapi, Nya, saya ... sudah tugas saya untuk memberitahukan semuanya pada tuan muda. Kalau tidak, nanti pasti tetap ketahuan apabila saya berbohong." ujar bibi itu dengan pandangan menyesal. Apa yang dikatakannya memang benar adanya. Entah bagaimana caranya, tuan mudanya itu tidak dapat dibohongi. Seolah mudah bagi sang tuan muda untuk mencari tahu segala hal yang t
Mobil berwarna hitam yang dikenadarainya melaju cepat menuju ke apartemen. Mahendra sudah sangat terlambat pulang ke apartemennya. Sangat terlambat pula untuk menepati janjinya pada Shena yang berkata akan mengajak istrinya itu makan malam. Terjadi kecelakaan tak terduga di perusahaan. Yang mengharuskan dia menanganinya terlebih dulu. Dia sudah telat satu jam dari waktu kepulangannya yang biasanya. Dia harap semoga Shena tidak ngambek nanti. Mahendra memasuki basement, memarkirkan mobilnya di sana, lalu naik lift menuju ke lantai tempatnya tinggal. Ketika dia sudah berada di lorong, ia melihat seorang pria yang tak disangkanya berdiri di depan pintu apartemennya. "Apa yang Anda lakukan disini?" Pria yang sedari tadi berdiri itu, menolehkan kepalanya ke samping. "Aku sudah mengabari asistenmu, memberitahumu kalau aku akan datang kemari. Kenapa kau malah terkejut begitu? Memangnya, bawahanmu tidak memberitahu?" Mahendra berjalan mendekat, menatap datar tanpa ekspresi pada paman di
Shena meletakkan dua cangkir kopi di atas meja, dan satu gelas coklat panas untuk Jennie. Saat dia akan pergi, lengannya di pegang oleh Mahendra. "Hah?""Kau belum makan?" Mahendra bertanya khawatir. Teringat janjinya yang berencana ingin mengajak Shena dinner, tapi gagal dikarenakan hal lain dan sekarang ditambah kedatangan tamu tak di undang. "Sore tadi sebelum bibi pergi aku sudah makan. Kau selesaikan dulu saja urusanmu. Aku akan pergi ke kamar." katanya seraya melepaskan tangan Mahendra. "Shena, tidak keberatan kalau om minta ajak putri om ini bersamamu? Kami perlu bicara berdua. Itu pun kalau kau tidak keberatan." ujar Wiley dengan senyum ramah tapi Shena tahu dia tidak bisa menolak permintaan itu. Ia pun mengangguk, mengiyakan. Dia datang ke hadapan Jennie yang kini menyeruput coklat panasnya sedikit demi sedikit. "Jen, ayo ikut aku.""Tidak mau. Aku mau disini." tolak Jennie menggelengkan kepalanya. "Pergi temani dia, Jen. Kakak itu punya mainan bagus di kamarnya. Dari M