Di dalam kabin pesawat, Shena melihat ke luar jendela. Pagi ini, dia dan Mahendra berangkat ke Singapura. Seperti yang pria itu janjikan, mengajaknya jalan-jalan agar dia tidak stres. Namun nyatanya, setelah tadi malam Mahendra selesai bercerita tentang kehidupan di masa lalunya, ia masih belum bisa melupakan segala hal yang diberitahukan Mahendra padanya. Di dapur, di pantry. Mahendra dan Shena sedang makan makan malam mereka. Shena buru-buru menyelesaikan makannya karena sudah tak sabar mendengar cerita sang suami. Menyisakan sayuran yang tak disukai di piring. Melihat kelakuan Shena, Mahendra menghela napas tak berdaya. "Soal Jennie," mulainya, "Dia pernah diculik, tepatnya kami. Waktu itu, aku dan dia bersekolah di sekolah yang sama. Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, dan karena itu menjaganya merupakan tanggung jawabku. Aku tidak terlalu ingat detailnya, karena kejadian tersebut sudah terjadi lama sekali. Yang aku ingat, kami diculik. Penculik itu membawa kami ke
Pukul dua siang, Shena dibangunkan oleh Mahendra yang baru saja keluar dari kamar mandi. Harum sabun yang menyegarkan masuk ke dalam penciuman wanita itu. Mahendra duduk di tepi kasur, tangannya mengusap bahu sang istri. "Shena, bangun. Makan dulu." Mendapati suara familiar melayang-layang di benaknya, Shena membuka mata separuh. Saat dilihatnya kalau itu sang suami, ia menggeser tubuhnya, mendekati Mahendra lalu memeluk pinggang pria itu manja. Sepasang matanya kembali terpejam. "Kau tidak lapar?" "Um," "Mau makan apa?" "Mm...."Geli dengan jawabannya, ia pun dengan gemas menoel pipi wanita itu, "tidak ada yang jual makanan mm di sini. Jawab yang jelas,"Risih sebab pipinya jadi pelampiasan telunjuk Mahendra, Shena menepisnya, "Apa pun," "Itu pun tidak ada." Shena membuka matanya sebelah, kemudian menyipit. "Menyebalkan."Mahendra tertawa, "Terima kasih pujiannya. Kau pun sama menyebalkannya." balas pria itu seraya membungkuk, mencium pipi gembul istrinya itu kuat. Bukannya
Sepulangnya Shena dan Mahendra dari Esplanade, mereka memutuskan pulang ke penthouse untuk beristirahat. Seperti biasa, pria itu sangat ketat menyuruh sang istri membersihkan muka sebelum tidur. Sedangkan Mahendra, kembali mandi lagi.Namun malam itu, ada yang berbeda dari Shena. Tanpa perlu disuruh, wanita itu pergi ke kamar mandi. Saat Mahendra mengira kalau Shena hanya mencuci muka dan kakinya saja seperti biasa, setelah keluar dia dikejutkan dengan harum sabun yang menguar ke kamar. "Kau mandi?" tanya pria itu menganga takjub. Shena mengangguk, tampak tersipu karena tatapan yang dilayangkan sang suami seolah-olah dirinya jarang sekali membersihkan badan. Merasa malu ditatap terus, Shena naik ke tempat tidur. Mahendra melirik punggung sang istri itu terheran-heran. Lalu dia kembali menatap laptopnya, mengecek laporan yang dikirim oleh Hedy tadi Sore. "Kenapa belum tidur?" tanpa mengangkat kepalanya dari laptop, suara Mahendra terdengar. Pasalnya, dia mendengar gerak-gerik sang
Selama seminggu liburan mereka, Mahendra mengajak Shena ke banyak tempat. Menjelajahi berbagai tempat wisata di Singapura. Banyak kenangan telah mereka torehkan di negara itu, lalu diabadikan ke dalam potret agar tak lekang oleh waktu. Shena baru saja menyelesaikan sarapannya, ketika dia melihat sosok Mahendra berjalan menuju ke pantry dari balkon. Di tangan pria itu masih ada telepon tersambung yang berasal dari perusahaan. "Penerbangannya hari ini. Aku bisa datang menemuinya nanti Sore sesuai jadwal. Jangan di batalkan. Aku akan datang." kata Mahendra selagi dia menghampiri Shena. Mengedarkan pandangannya ke atas meja, raut wajahnya tampak puas tatkala dia lihat sang istri menghabiskan makannya. "Kalau tidak ada lagi yang mau kau bicarakan, aku tutup teleponnya sekarang." Shena mengawasi sang suami yang tampak sibuk di pagi hari itu. Seperti biasa, ia duduk dengan sikap patuh dan tampak menurut yang cukup menggemaskan untuk dilihat. Begitu telepon itu terputus, Mahendra mengus
Langit tampak gelap saat Mahendra keluar dari lift dan para karyawan yang melihat sosoknya menyapa dengan ramah. Ia menanggapi dengan sikap biasa. Terus berjalan menuju ke halaman perusahaan dimana mobilnya sudah siap sedia di sana. Ia sudah menghubungi Shena, mengirim pesan pada sang istri kalau malam ini dia akan pulang terlambat. Lagi-lagi dia mengingkari janjinya pada Shena, tapi untungnya istrinya itu pengertian. Mahendra mengendarai mobilnya ke sebuah bar yang ada di pinggiran kota. Bar itu merupakan bar biasa, tidak cukup terkenal tapi dibuka sudah lama sekali. Salah satu tempat tongkrongan Mahendra bersama dengan teman-temannya waktu pria itu masih remaja. Mahendra memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, kemudian memasuki gang dan masuk ke dalam bar. Bar tampaknya baru saja dibuka, karena saat dia masuk, dia melihat pelayan sedang mengelap meja maupun kursi. Ia celingak-celinguk, mencari keberadaan temannya. Punggung membungkuk seorang pria dilihatnya dan itu tampak akrab.
"Tidak ada yang bisa aku katakan selain mendukung segala keputusanmu. Kalau kau memang sudah membulatkan tekad untuk kembali ke kelurgamu, silakan, aku tak akan mencegatmu. Tetapi, kau harus ingat, kalau kau ada masalah, segera hubungi aku, aku akan berusaha untuk membantu." Kata Mahendra panjang lebar. Gerry yang baru selesai membuatkan minum untuk salah satu pelanggan tersenyum begitu mendengar perkataan Mahendra. Begitulah seharusnya teman itu, saling membantu, saling mensupport satu sama lain. Tepat pada tengah malam, Angga sudah tepar. Sedangkan Mahendra yang menghabiskan dua gelas minuman meletakkan gelas kosong terakhirnya di atas meja. Pria itu melihat jam di pergelangan tangannya, lalu menghela napas panjang saat menyadari bahwa malam ini dia bakal terlambat pulang. "Kau mau pergi?" tanya Gerry berdiri di depan Mahendra. "Ya, istriku sendirian di rumah." jawab Mahendra seraya mengeluarkan dompetnya dari saku, mengambil kartu dan menyerahkannya pada Gerry. "Biar aku yang b
"Pesta yang aku beritahukan padamu, kau yakin tak mau ikut?" Mahendra bertanya di depan cermin selagi dia mengenakan kemejanya. Pria itu bersiap pergi bekerja dan Shena yang sudah mandi juga kini duduk di meja rias. Menatap punggung sang suami. "Dengan kehamilan besar begini, kau mau aku ikut?" tanya wanita itu balik. Mahendra memutar tubuhnya, menghadap Shena, "Aku tak masalah. Justru aku berharap kau bisa ikut dan temani aku.""Tidak, aku takut apabila ikut denganmu ada seseorang yang akan mengenali aku." Tolaknya dengan ngeri. Memikirkan dirinya ketahuan hamil saja membuat dia takut setengah mati. Mahendra menghela napas panjang. Tampak tertekan bila berkaitan dengan kecemasan sang istri tentang kehamilannya. Dia sungguh berharap bisa keluar dari masalah berbelit-belit ini. Agar setidaknya, dapat meringankan ketakutan serta paranoia sang istri yang dianggapnya hanya merugikan diri sendiri. Setelah selesai mengenakan kemeja biru mudanya, Mahendra berjalan mendekat. Pria itu sete
Pukul sepuluh pagi, Shena duduk di atas karpet tebal di dalam kamarnya seraya mengamati oleh-oleh dari perjalanannya ke Singapura, yang telah dia pisahkan dan rencananya akan dibagikannya pada orang-orang terdekatnya. Tetapi masalahnya, dia menemui jalan buntu disini. Wanita itu kemudian melihat ke perut besarnya. Terdengar lagi helaan napasnya yang panjang. Merasa frustasi, ia mengambil bantal empuk lalu ia pun rebah di sana. Kedua matanya memandang langit-langit kamar. Percakapannya dengan Mahendra tadi pagi terlintas. Pikirannya kemudian berkeliaran jauh mengingat masa mudanya. Waktu dimana dia mengetahui rahasia besar sang ibu. Dia ingat baru pulang sekolah saat ibunya itu menangis sesenggukan di dalam kamar kos mereka. Terdapat bibi pengasuh yang telah bersama mereka dalam beberapa tahun terakhir di kamar itu. Duduk berhadapan dengan sang ibu sambil memeluk mamanya yang tengah menangis. Mulanya dia tak berniat mencuri dengar kedua orang dewasa itu bicara, tapi langkahnya terh