Shena terisak. Permohonannya yang tidak didengar oleh Mahendra membuat dia tidak bisa berhenti menangis. "Apa kau tahu kesalahanmu sekarang?" bisik pria itu dengan suara serak dari belakang Shena. "Aku bertanya padamu, Shena. Jawab aku...." ulangnya seraya mengecup tengkuk sang istri, dan bahkan sedikit menggigitnya. Shena merintih. Satu tangannya yang mencengkram punggung tangan Mahendra di atas perut telanjangnya ikut menguat. Kesenangan yang pria itu berikan terlalu berlebihan, membuatnya kewalahan hingga dia tak sanggup untuk mengeluarkan suara. Seluruh tubuhnya berkeringat, namun pria itu masih belum berhenti mencumbunya. Saling berbaring miring hampir setengah jam lamanya, lengan Shena terasa sakit hampir mati rasa. Meski begitu dia tidak memberitahu Mahendra, tidak jua ingin mengubah posisinya karena tak mau melihat sepasang mata menakutkan itu. "Jangan pergi keluar sendirian tanpa orang lain di masa depan. Kau paham?" Bisik pria itu lagi seraya menghujani pundak Shena de
Shena tercekat, kedua bola matanya hampir keluar dari rongganya saking terkejutnya dia dengan pemandangan tubuhnya sendiri. Tanda-tanda merah ini. Tok! Tok! Tok!"Ndin, kenapa kau lama sekali di dalam?"Suara Mahendra terdengar khawatir karena Shena tak kunjung keluar. Padahal suara air telah dimatikan."A-Aku, aku keluar sekarang."Begitu pintu itu terbuka, keduanya saling bertatapan. Mahendra mengernyitkan kening ketika dilihatnya Shena tengah menatapnya -- kesal?"Ada apa?""Lihat ini," katanya seraya mengangkat lehernya."Ya? Kenapa?""Lihat baik-baik.""Kau minta di cium?" tanya pria itu semakin tak mengerti."Tidakkk ... Lihat baik-baik ulahmu ini tadi malam!" Shena berseru jengkel karena ketidakpekaan sang suami.Mahendra mendekatkan wajahnya, masih tak paham maksud Shena apa. Tidak bisakah wanitanya ini langsung mengatakan dengan jelas apa masalahnya? Mengapa wanita suka sekali membuat sakit kepala para pria?"Lehermu sexy, aku menyukainy--- Aduh," serunya terkejut begitu le
"Kau berbohong padaku, Laura." Shena mengambil langkah mundur kala temannya itu ingin mendekat padanya. Sepasang netranya memandang kecewa pada sahabatnya yang telah berani membohonginya. Beberapa saat lalu setelah dia selesai dengan sarapannya, seperti yang telah dia katakan pada sang suami, dia akan pergi hari ini untuk bertemu dengan temannya yang tak lain adalah Laura. Laura dan dia sepakat untuk bertemu meski janji temu mereka direncanakan secara mendadak. Sebab alasan yang dikemukakan Laura, membuat Shena khawatir pada temannya itu, ia jadi setuju dengan sangat terpaksa, keluar dari apartemen di saat dia harus menanggung resiko ketahuan akan kehamilannya. "Aku minta maaf," Laura menurunkan tangannya saat uluran tangannya mendapat penolakan dari sang sahabat. "Seandainya aku tahu bukan hanya kau saja yang harus aku temui sekarang, aku tak akan mungkin datang." Tepat saat Shena ingin keluar dari ruangan privat yang disewa oleh Laura, orang lain yang tak ingin dilihatnya tiba
"Anda yakin baik-baik saja, Nya?"Bibi untuk yang kesekian kali bertanya khawatir. Selepas majikannya itu keluar dari restoran, dia menemukan kedua mata dari nyonyanya tampak memerah, seperti orang yang habis menangis.Dia khawatir, semakin cemas karena tidak tahu apa yang terjadi selama nyonyanya itu berada di dalam restoran. Tugasnya adalah memberi kabar pada tuan mudanya perihal kegiatan mereka hari ini. Dan ini pun termasuk melaporkan keadaan istri sang tuan muda yang kelihatannya jadi sendu.Shena mengangguk, "Tidak apa-apa, Bi. Tolong, rahasiakan ini dari Mahendra ya. Saya tidak mau dia berpikir berlebihan nantinya.""Tapi, Nya, saya ... sudah tugas saya untuk memberitahukan semuanya pada tuan muda. Kalau tidak, nanti pasti tetap ketahuan apabila saya berbohong." ujar bibi itu dengan pandangan menyesal. Apa yang dikatakannya memang benar adanya. Entah bagaimana caranya, tuan mudanya itu tidak dapat dibohongi. Seolah mudah bagi sang tuan muda untuk mencari tahu segala hal yang t
Mobil berwarna hitam yang dikenadarainya melaju cepat menuju ke apartemen. Mahendra sudah sangat terlambat pulang ke apartemennya. Sangat terlambat pula untuk menepati janjinya pada Shena yang berkata akan mengajak istrinya itu makan malam. Terjadi kecelakaan tak terduga di perusahaan. Yang mengharuskan dia menanganinya terlebih dulu. Dia sudah telat satu jam dari waktu kepulangannya yang biasanya. Dia harap semoga Shena tidak ngambek nanti. Mahendra memasuki basement, memarkirkan mobilnya di sana, lalu naik lift menuju ke lantai tempatnya tinggal. Ketika dia sudah berada di lorong, ia melihat seorang pria yang tak disangkanya berdiri di depan pintu apartemennya. "Apa yang Anda lakukan disini?" Pria yang sedari tadi berdiri itu, menolehkan kepalanya ke samping. "Aku sudah mengabari asistenmu, memberitahumu kalau aku akan datang kemari. Kenapa kau malah terkejut begitu? Memangnya, bawahanmu tidak memberitahu?" Mahendra berjalan mendekat, menatap datar tanpa ekspresi pada paman di
Shena meletakkan dua cangkir kopi di atas meja, dan satu gelas coklat panas untuk Jennie. Saat dia akan pergi, lengannya di pegang oleh Mahendra. "Hah?""Kau belum makan?" Mahendra bertanya khawatir. Teringat janjinya yang berencana ingin mengajak Shena dinner, tapi gagal dikarenakan hal lain dan sekarang ditambah kedatangan tamu tak di undang. "Sore tadi sebelum bibi pergi aku sudah makan. Kau selesaikan dulu saja urusanmu. Aku akan pergi ke kamar." katanya seraya melepaskan tangan Mahendra. "Shena, tidak keberatan kalau om minta ajak putri om ini bersamamu? Kami perlu bicara berdua. Itu pun kalau kau tidak keberatan." ujar Wiley dengan senyum ramah tapi Shena tahu dia tidak bisa menolak permintaan itu. Ia pun mengangguk, mengiyakan. Dia datang ke hadapan Jennie yang kini menyeruput coklat panasnya sedikit demi sedikit. "Jen, ayo ikut aku.""Tidak mau. Aku mau disini." tolak Jennie menggelengkan kepalanya. "Pergi temani dia, Jen. Kakak itu punya mainan bagus di kamarnya. Dari M
Di dalam kabin pesawat, Shena melihat ke luar jendela. Pagi ini, dia dan Mahendra berangkat ke Singapura. Seperti yang pria itu janjikan, mengajaknya jalan-jalan agar dia tidak stres. Namun nyatanya, setelah tadi malam Mahendra selesai bercerita tentang kehidupan di masa lalunya, ia masih belum bisa melupakan segala hal yang diberitahukan Mahendra padanya. Di dapur, di pantry. Mahendra dan Shena sedang makan makan malam mereka. Shena buru-buru menyelesaikan makannya karena sudah tak sabar mendengar cerita sang suami. Menyisakan sayuran yang tak disukai di piring. Melihat kelakuan Shena, Mahendra menghela napas tak berdaya. "Soal Jennie," mulainya, "Dia pernah diculik, tepatnya kami. Waktu itu, aku dan dia bersekolah di sekolah yang sama. Aku sudah menganggapnya seperti adikku sendiri, dan karena itu menjaganya merupakan tanggung jawabku. Aku tidak terlalu ingat detailnya, karena kejadian tersebut sudah terjadi lama sekali. Yang aku ingat, kami diculik. Penculik itu membawa kami ke
Pukul dua siang, Shena dibangunkan oleh Mahendra yang baru saja keluar dari kamar mandi. Harum sabun yang menyegarkan masuk ke dalam penciuman wanita itu. Mahendra duduk di tepi kasur, tangannya mengusap bahu sang istri. "Shena, bangun. Makan dulu." Mendapati suara familiar melayang-layang di benaknya, Shena membuka mata separuh. Saat dilihatnya kalau itu sang suami, ia menggeser tubuhnya, mendekati Mahendra lalu memeluk pinggang pria itu manja. Sepasang matanya kembali terpejam. "Kau tidak lapar?" "Um," "Mau makan apa?" "Mm...."Geli dengan jawabannya, ia pun dengan gemas menoel pipi wanita itu, "tidak ada yang jual makanan mm di sini. Jawab yang jelas,"Risih sebab pipinya jadi pelampiasan telunjuk Mahendra, Shena menepisnya, "Apa pun," "Itu pun tidak ada." Shena membuka matanya sebelah, kemudian menyipit. "Menyebalkan."Mahendra tertawa, "Terima kasih pujiannya. Kau pun sama menyebalkannya." balas pria itu seraya membungkuk, mencium pipi gembul istrinya itu kuat. Bukannya
Mahendra menepati janjinya pada Shena. Ia membawa sang istri pergi ke banyak tempat yang memungkinkan wanita itu cukup bersenang-senang. Mereka bersepeda, berjalan-jalan memanjakan mata dengan pemandangan di sekitar yang nampak menakjubkan. Mereka juga melakukan tamasya di setiap kota-kota yang mereka jelajahi. Semua tempat mereka kunjungi. Basel, Bern, Lucerne, Jenewa dan terakhir adalah Zurich. Pada akhirnya, sebelum kota dataran rendah menjadi sibuk karena awal musim dingin, kedua pasangan itu pergi ke pegunungan di mana resort ski telah di buka. Saat mereka mencoba kereta gantung, Shena mendapat kejutan dari Mahendra berupa di daftarkannya sang istri ke salah satu Universitas swasta yang ada di Jakarta. Karena tak sanggup berpisah jauh, Mahendra memutuskan membuat Shena melanjutkan pendidikannya di kota Jakarta saja. "Aku sudah menyelesaikan pendaftarannya untukmu. Langkah selanjutnya yang harus kau persiapkan adalah mengikuti setiap tes bagi mahasiswa baru." Mahendra yang mene
Shena menahan erangannya, berusaha mengalihkan perhatiannya pada apa pun yang dapat membawanya ke kesadaran semula. Namun sulit. Mahendra terlalu terampil menciumnya. "Tunggu, tunggu...." Shena menyela dengan suara serak. Digelengkannya kepalanya ke kiri dan kanan untuk menjauhkan lehernya dari kecupan bibir pria itu yang terasa dingin dan panas."Hum?" Respons pria itu masih sama, acuh tak acuh seolah melihat Shena agak kesusahan merupakan pemandangan nikmat buatnya."Aku perlu makan, Ya Tuhan, Sial! Aku lapar sekali!" Shena berseru keras, hampir jatuh lemas sebab beban berat di belakangnya. Kata-kata tak singkron pun di ucapkannya tanpa sadar. "Kau bisa melanjutkan makan, dan aku juga begitu." kekeh pria itu terdengar menyebalkan."Tapi ...."Keluhan Shena teredam ciuman menuntut lainnya di mulutnya yang terasa kebas. Padahal baru tadi malam mereka berhubungan intim, tapi pria ini seperti sedang kerasukan iblis cabul karena terlalu bersemangat di pagi hari. Walau dia juga menikma
"Aku lapar.""Kau lapar?" Mendengar sang istri berkata lapar, lenyap sudah kekesalannya. Ia menatap ke sisi meja yang ada di depan tempat tidur, di mana hidangan untuk makan malam mereka masih ada di sana, belum terjamah dan pasti sudah dingin pula."Kalau begitu aku panaskan dulu makanannya." ucap Mahendra seraya mengangkat Shena yang berbaring di atas tubuhnya.Shena menggelengkan kepalanya pelan, "Tidak perlu di panaskan, kita bisa langsung makan saja." tolaknya lalu bangun dan duduk.Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari kardigannya untuk menutupi ketelanjangannya di balik selimut. Mahendra berdiri duluan, berjalan menuju ke pinggir jendela di mana mereka memulai dan membungkuk untuk mengambil kardigan merah. "Kardigannya sobek, tidak bisa kau pakai." ujarnya dengan seringai seraya menunjukkan kain compan-camping itu ke arah Shena."Aku sudah ingatkan kau agar jangan merobeknya, tapi kau tidak mendengarkan." balas Shena cemberut.Sebagai gantinya, Mahendra mengambil
"Hati-hati jalannya. Angkat kakimu seperti sebagaimana kau menaiki tangga di rumah." kata Shena di samping telinga sang suami."Masih jauh?" tanya Mahendra penasaran sekaligus lelah. "Sabar. Sebentar lagi kita sampai." jawab Shena sambil menggandeng lengan sang suami menaiki tangga satu persatu.Berjalan sambil ditutup matanya itu benar-benar tak enak sama sekali. Apalagi tadi, dia sudah tersandung kaki meja dan hampir jatuh terjungkang ke depan. Untung Shena langsung menariknya atau kalau tidak, sudah memar wajahnya dikarenakan terantuk lantai.Semuanya bermula dari setengah jam yang lalu. Di mana setelah mereka selesai menghabiskan waktu dengan menonton film, Shena tiba-tiba mengajaknya keluar.Awalnya dia tidak curiga sedikitpun akan permintaan mendadak sang istri, tapi setelah di pertengahan jalan Shena meminta agar kedua matanya di tutup dengan kain segala, ia mulai menaruh curiga bahwa sang istri pasti sudah merencanakan sesuatu untuknya. Dan tampaknya, dia tahu kejutan apa itu
Askara melakukan sesi foto bersama dengan ayah dan ibunya untuk yang pertama kali. Sesi pemotretannya dilakukan di salah satu kamar tamu yang jarang digunakan, meski begitu tetap terawat dengan baik oleh para pembantu di rumah.Tanpa Shena tahu bahwasanya sekarang, sang suami telah berencana membangun rumah impian mereka yang diperkirakan akan rampung dalam satu tahun mendatang. Rumah mewah yang memiliki tiga lantai itu akan diberikan Mahendra pada sang istri tercinta. "Tidak masalah, Kek. Aku juga maunya memberikan hadiah untuk istriku." Sebelum sesi pemotretan dilakukan, pada pagi hari nan cerah pukul sepuluh, kakek dan bibinya berada di rumah. Tidak kemana-mana, karena hari itu juga hari libur. Selagi menunggu Shena selesai di dandani oleh MUA yang dibawa Angga, Mahendra diseret Rossa untuk membicarakan masalah pembangunan rumah baru itu."Lalu nanti bagaimana dengan rumah yang kakekmu berikan padamu?" tanya Rossa dengan kedua mata melotot. Tampak sekali kalau dia gemas dan mar
"I-ini apa artinya?" Shena bertanya bingung. Bolak balik Shena melihat pada Mahendra yang duduk di sampingnya, lalu beralih pada surat-surat kepemilikan restoran dan tanah itu yang mengatasnamakan dirinya. "Sejak kapan?" Pikir Shena. "Sejak kapan Mahendra mempersiapkan kejutan ini? Membeli restoran yang sangat ingin dia kunjungi?" "Bukankah ini terlalu berlebihan?" tanya Shena dengan tatapan bingungnya. Mahendra menautkan alisnya, "Berlebihan?"Wanita itu mengangguk, "Kau tak perlu membelikan aku ini. Aku-- aku hanya ingin melihat glass house itu saja karena kulihat di foto waktu itu bagus sekali tempatnya. Aesthetic. Dan kau---""Kau tidak mau?" "Ya?""Menerima hadiah dariku. Kau keberatan karena aku membelikanmu restoran ini?""Sejujurnya iya. Aku pikir tak usah ... Mahendra, tunggu. Kau mau ke mana?" Shena tersentak kaget melihat prianya beranjak bangun dari duduknya. Dilihat dari sisi wajah Mahendra yang mana rahangnya mengetat, ia langsung sadar telah melakukan kesalahan.
Shena dan Mahendra tiba di restoran tak lama kemudian. Mahendra lebih dulu memarkirkan mobilnya, lalu keluar, menggandeng tangan Shena masuk ke dalam. "Ini tempat yang mau kau kunjungi?" tanya pria itu saat mereka berjalan menuju ke konter, menemui seorang pelayan wanita yang tampaknya seorang karyawan di sana. Shena melihat ke sekeliling, bertanya-tanya di mana tempat yang dia lihat di video itu. "Aku juga tidak yakin, karena ini adalah pertama kalinya bagiku.""Coba sini tunjukkan fotonya. Mungkin kita bisa bertanya pada wanita itu untuk mencari tahu." kata Mahendra sembari meminta ponsel sang istri. Dengan patuh, Shena menyerahkan ponsel miliknya pada sang suami. "Permisi."Wanita yang kelihatan kepala tiga itu berbalik, melihat pada dua orang pelanggan yang baru datang dan menyambutnya dengan senyuman. "Ya, ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Saya ingin bertanya, apakah tempat yang di foto adalah benar tempatnya di sini?" Mahendra lalu menyerahkan ponsel Shena untuk dilihat oleh
Ruangan itu gelap dan hening. Langkah kaki secara perlahan berjalan menginjak lantai, pelan sekali sebab takut keberadaannya dapat mengganggu si penghuni kamar. Setelah tiba di kamar tidur besar yang ada di tengah ruangan, Mahendra menaruh tas kecilnya yang berisikan ponsel dan dompet ke atas meja. Lalu, ia pun berjalan menuju sisi tempat tidur di mana sebuah gundukan yang tertutup selimut terlihat oleh matanya. Di tengah jalan, kakinya tersandung sesuatu. Mahendra memicingkan mata, menatap lekat pada benda itu. Ia membungkukkan pinggang, sedang tangannya meraih benda itu. Sebab gelap, dia tidak tahu benda apa yang diinjaknya, namun setelah dia mengambil benda itu, dia jadi tertegun. Ia pun menaruh benda yang tak lain adalah BH ke sandaran sofa dekat ranjang. Waktu telah menunjukkan pukul tiga pagi dan ruangan kamar itu sangat dingin akibat pendingin ruangan yang menyala. Mahendra mencari-cari remote kontrol AC. Setelah ketemu, dia menyetel kembali suhu supaya tidak terlalu dingin.
Malam itu, setelah Mahendra selesai dengan urusannya, dia memutuskan langsung kembali ke penginapan. Tak disangka, ternyata Angga yang dikiranya akan tinggal lama bersama Jessica, malah dilihatnya sedang menonton film."Kenapa kau ada di sini?" tanyanya langsung dengan ekspresi heran. "Kalau tidak di sini, memang harus di mana?" kata Angga sembari sedikit memiringkan kepalanya biar bisa melihat Mahendra. Mahendra yang awalnya berdiri tak jauh dari tempat Angga sedang menonton film, pun berjalan menghampiri temannya tersebut. Ia duduk di sebelah Angga, sepasang netranya cukup lekat memandangi teman akrabnya itu yang kini tengah asyik menatap televisi. Seolah, memang sengaja mengabaikan keberadaannya. "Aku sudah membantumu agar bisa bertemu dengan Jessica, meninggalkan kalian berdua pula di sana, serta memerintahkan anak buahku agar sungguh-sungguh menjaga lingkungan sekitar restoran dari para pengganggu. Harapanku, supaya kalian berdua punya banyak waktu bersama. Tapi ternyata, yan