Mahesa tiba di kediamannya tepat waktu seperti yang telah dia janjikan. Ketika dia membuka pintu, dia mencium aroma harum masakan.Sembari melonggarkan dasi, serta mengganti sepatu dengan sandal rumahan, ia pergi ke dapur. Ternyata, yang ada di dapur malam itu tak lain dan tak bukan adalah Shena.Pria itu menyanderkan badannya di dinding. Sebuah senyum terbit di bibirnya kala pemandangan indah di hadapannya membuat hatinya menghangat entah mengapa. Mungkin karena dia sadar, bahwa kini, dia tidak sendirian lagi. Bahwa untuk ke depannya, wanita yang sedang sibuk itulah yang akan menemaninya di rumah ini.Shena yang tak tahu kalau aktivitasnya diintip oleh sang suami terus fokus memanaskan makanan yang telah bibi masak. Sesekali senandung lirih terdengar dari bibirnya, serta gerakan acak dari pinggulnya pun ikut bergoyang ke kiri dan kanan.Mati-matian Mahendra menutup mulutnya hanya sekedar untuk menahan tawa. Kalau sampai Shena melihat ekspresi gelinya, pastilah wanita itu tak perlu be
Ada saatnya, kadang-kadang atau lebih sering, Shena akan membuat Mahendra jadi pening mendadak. Misalnya seperti hari ini, ketika Mahendra sedang libur kerja dan memutuskan untuk tinggal di apartemen mereka saja menemani sang wanita.Pria itu duduk santai di balkon, menikmati udara pagi sambil membaca koran bisnis. Secangkir kopi telah siap di atas meja bersama dengan setoples kue yang tentu saja Shena yang bawa tadi.Wanita itu melenggang pergi ke dalam, tanpa memberitahu akan berbuat apa. Pikir Mahendra, mungkin sedang mengobrol dengan bibi pembantu mereka."Aku bawa sesuatu untukmu."Mahendra yang baru saja menyeruput kopinya tersedak begitu Shena tiba-tiba muncul. Panas kopi seketika membuat lidahnya terbakar. Mahendra memelototi Shena yang kini memasang wajah polos tanpa rasa bersalah. Kemunculannya itu sudah mirip jelangkung. "Hati-hati minumnya, tidak ada yang mau merebut kopi itu darimu." katanya seraya menepuk punggung sang suami."Lebih baik kau tak usah bicara, sungguh. Le
Pagi-pagi sekali, di kamar yang lampunya sengaja dimatikan, ponsel di atas nakas terdengar bergetar. Mahendra yang mendengar suara mengganggu itu mengerang. Ia melirik ke samping, dimana Shena lagi-lagi tidur dengan memeluk dirinya serta menjadikan satu tangannya jadi bantal. Pelan-pelan, ia memindahkan kepala sang istri ke bantalnya sendiri. Terdengar gumaman lirih Shena begitu dia dipindahkan. Refleks saja Mahendra mengusap pipinya, seraya bersenandung lirih menyuruh Shena untuk tidur lagi. Detik berikutnya, saat wanita itu tak ada tanda-tanda bangun, ia mengambil ponselnya yang menjadi sebab dirinya terjaga. Tertera di layar nama sang sepupu tengah memanggil, pun datang pula beberapa pesan wassap dari nomor yang sama. Mahendra membuka pesan itu, membaca isinya kemudian terkejut atas berita mendadak yang barusan dia terima. Ia pun segera menghubungi nomor sepupunya itu lagi. Tak butuh waktu lama bagi sang sepupu mengangkat panggilannya. "Kau serius? Dimana kau bilang?" tanya Ma
Sal memperlihatkan senyum gantengnya. Kedua tangannya memangku dagu. "Apa yang kau lihat?" Shena bertanya risih saat menghadapi tatapan panas di belakang punggungnya."Kakak ipar cantik sekali." Pujinya mirip playboy berpengalaman merayu perempuan. "Apa benar kalian sudah menikah?""Ya, beberapa hari lalu pernikahannya." sahut Shena ramah. "Memangnya, kau tidak diberitahu?""Tidak. Aku baru taunya sekarang, saat bertemu denganmu." sahut Sal mencebik kesal. Masih tak habis pikir mengapa dia tidak tahu perihal pernikahan Mahendra. Apa orang tuanya sudah tahu berita penting ini? Kemungkinannya, tidak tahu juga. Pagi hari, waktu dia bangun, dia tidak menemukan keberadaan Mahendra. Ia pikir sang suami sedang pergi olahraga di gym lantai dasar gedung apartemen ini, jadi dia pergi mandi dulu sambil menunggu suaminya itu kembali.Tak sampai kemudian dia tahu kalau ternyata Mahendra baru saja kembali dari bandara. Meski dia tidak tahu alasan dibalik wajah masam Mahendra selama sepagian ini
Jalan perkotaan tidak terlalu padat ketika mobil yang dikendarai oleh Mahendra melaju melintasi jalan tol menuju ke rumah sakit. Seperti janjinya, ia menemani Shena untuk melakukan pemeriksaan rutinan. Ini bukanlah yang pertama kali Mahendra mengantar Shena ke rumah sakit. Walau tak sering juga seperti para suami pada umumnya yang bisa dengan leluasa menemani istri ke dokter kandungan, sekali bisa bersama pria itu ke rumah sakit merupakan keajaiban langka yang patut disyukuri. Beberapa menit kemudian, mereka tiba di rumah sakit swasta dimana pertama kali Shena melakukan pemeriksaan waktu itu. Mahendra dan Shena keluar dari mobil, berjalan menuju lobi.Tanpa mengajak Hedy yang merupakan kaki tangannya, Mahendra harus melakukan semuanya secara pribadi. Ia pergi ke bagian resepsionis, bertanya apakah dokter Siska ada di ruangannya atau tidak. Resepsionis yang berjaga merupakan seorang perempuan muda. Tatkala melihat sosok tampan dan beribawa seperti Mahendra, perempuan itu tersenyum m
Dia bosan.Hal pertama yang Shena pikirkan pada sore hari itu adalah satu kata ini. Bosan.Meskipun kesehariannya hanya berputar di kegiatan itu-itu saja, sungguh melelahkan baginya tinggal di dalam kamar terus. Menonton film atau drama, atau pun membaca buku tak lagi menyenangkan buatnya. Ia turun dari tempat tidur, menarik tirai jendela untuk melihat cuaca. Cerah. Di luar masih kelihatan cerah dan dia ingin sekali jalan-jalan. Shena mengusap perutnya, lalu memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar gedung apartemen. Selain memiliki fasilitas lengkap, gedung apartemen itu memiliki taman umun dan taman bermain khusus anak yang bisa dijadikan alternatif untuk mencari udara segar. Letaknya bersebalahan dengan jogging trek.Bibi sedang menyetrika baju saat dia mendengar suara langkah kaki turun dari lantai atas. Ia pun meletakkan dulu setrikaannya, pergi menghampiri sang nyonya."Anda mau pergi kemana?""Aku mau jalan-jalan di bawah sebentar, Bi. Sekalian mau beli es krim." beritahunya ju
Shena terisak. Permohonannya yang tidak didengar oleh Mahendra membuat dia tidak bisa berhenti menangis. "Apa kau tahu kesalahanmu sekarang?" bisik pria itu dengan suara serak dari belakang Shena. "Aku bertanya padamu, Shena. Jawab aku...." ulangnya seraya mengecup tengkuk sang istri, dan bahkan sedikit menggigitnya. Shena merintih. Satu tangannya yang mencengkram punggung tangan Mahendra di atas perut telanjangnya ikut menguat. Kesenangan yang pria itu berikan terlalu berlebihan, membuatnya kewalahan hingga dia tak sanggup untuk mengeluarkan suara. Seluruh tubuhnya berkeringat, namun pria itu masih belum berhenti mencumbunya. Saling berbaring miring hampir setengah jam lamanya, lengan Shena terasa sakit hampir mati rasa. Meski begitu dia tidak memberitahu Mahendra, tidak jua ingin mengubah posisinya karena tak mau melihat sepasang mata menakutkan itu. "Jangan pergi keluar sendirian tanpa orang lain di masa depan. Kau paham?" Bisik pria itu lagi seraya menghujani pundak Shena de
Shena tercekat, kedua bola matanya hampir keluar dari rongganya saking terkejutnya dia dengan pemandangan tubuhnya sendiri. Tanda-tanda merah ini. Tok! Tok! Tok!"Ndin, kenapa kau lama sekali di dalam?"Suara Mahendra terdengar khawatir karena Shena tak kunjung keluar. Padahal suara air telah dimatikan."A-Aku, aku keluar sekarang."Begitu pintu itu terbuka, keduanya saling bertatapan. Mahendra mengernyitkan kening ketika dilihatnya Shena tengah menatapnya -- kesal?"Ada apa?""Lihat ini," katanya seraya mengangkat lehernya."Ya? Kenapa?""Lihat baik-baik.""Kau minta di cium?" tanya pria itu semakin tak mengerti."Tidakkk ... Lihat baik-baik ulahmu ini tadi malam!" Shena berseru jengkel karena ketidakpekaan sang suami.Mahendra mendekatkan wajahnya, masih tak paham maksud Shena apa. Tidak bisakah wanitanya ini langsung mengatakan dengan jelas apa masalahnya? Mengapa wanita suka sekali membuat sakit kepala para pria?"Lehermu sexy, aku menyukainy--- Aduh," serunya terkejut begitu le