Selepas menyelesaikan pekerjaannya, Mahendra memutuskan pulang langsung ke apartemen demi menemui Shena. Ketika dia membuka pintu apartemennya, dia melihat sang wanita sedang berada di balkon.Mahendra mengamati cuaca di luar, memang mendung, jadi sepertinya tidak masalah kalau wanita itu bersantai di luar. Ia pun berjalan menghampiri, menggeser pintu kaca.Karena aksinya itu membuat Shena yang menyibukkan diri dengan laptop di atas meja seketika menoleh. Raut wajahnya nampak terkejut mendapati Mahendra berada di rumah di jam kerja."Kenapa Anda sudah pulang?" tanyanya kebingungan."Aku dengar kakekku datang kemari tadi pagi. Kau tidak apa-apa?" tanya Mahendra balik seraya duduk di depan Shena."Ya, memang benar kalau tadi ayah Anda datang kemari. Tapi hanya itu saja. Tidak ada yang terjadi." beritahunya. Ia pun menghentikan pekerjaannya demi bisa fokus bicara pada Mahendra."Jadi, karena alasan itu Anda pulang lebih awal?" lanjutnya. "Aku hanya khawatir kau merasa tak nyaman. Kau yak
Rossa menarik lengan Mahendra menuju ke ruangan samping, meninggalkan Shena sendirian di ruang keluarga. "Sayang, yang kau bawa itu siapa?" tanya wanita anggun itu penasaran."Calon mantu keluarga ini," balasnya singkat."Aduh, kok bukannya Jessica yang kamu bawa kemari? Perempuan itu siapa ... ah, maksud bibi, kenapa malah dia?""Sedari awal memang seharusnya dia yang aku perkenalkan pada publik." sahut Mahendra lagi sabar."Terus yang di berita itu?""Tidak benar. Untuk masalah ini, bisakah bibi dengarkan penjelasanku dulu?" kata Mahendra dengan tatapan serius. "Apa penting?"Mahendra mengangguk."Yah, baiklah. Mau bicara di mana?" "Bibi tunggu saja di kamar tamu. Aku mau bicara sebentar pada Shena."Rossa pun setuju. Wanita itu kemudian berjalan menuju ke kamar tamu yang ada di lantai satu. Ketika dia melewati Shena, dia hanya melirik penasaran tapi tidak menyapa. Melihat tingkah kekanakan sang bibi, Mahendra cuma bisa menghela napas pasrah."Tolong, jangan marah dan salah paha
Ditinggal seorang diri di ruang keluarga, tidak membuat Shena merasakan kesepian. Justru karena perlakuan para pelayan di rumah itu yang sangat perhatian dan baik padanya, ia tidak kekurangan apa pun. Di hadapannya, di atas meja terdapat banyak camilan ringan serta jus buah yang pelayan buatkan untuknya. Katanya, Mahendra lah yang menyuruh mereka agar memerhatikan dia. Mendengar betapa baiknya Mahendra padanya, masih ingat untuk memerhatikan dia sebelum pria itu pergi, semakin menghangat hatinya kini. Suara TV yang dinyalakan menjadi satu-satunya sumber suara di ruangan itu selagi Shena sibuk mengunyah setiap camilan ringan di atas meja maupun buah-buahan yang telah dikupas. Mulutnya tidak berhenti mengunyah dan pemandangan inilah yang ditemui oleh Mahendra tatkala pria itu selesai bicara dengan Rossa. Pria itu duduk di samping Shena, melirik beberapa piring di atas meja yang telah kosong isinya, lalu melirik pada wanita di sampingnya yang masih fokus menonton TV dan makan. "Kau m
Para pelayan telah selesai menyiapkan makan malam. Bersamaan dengan hidangan terakhir diletakkan di atas meja, Kakek Olsen bersama dengan asistennya masuk ke dalam rumah.Rossa bangun dari duduk, wajahnya masih berseri-seri kala dia menyambut pulang kakek Olsen.“Pa, cepat duduk. Makan malam sudah siap.” Kakek Olsen mengangguk, “Di mana Mahendra?”“Ada di dalam juga bersama Shena. Jangan tunjukkan ekspresi menakutkan begini, nanti Shena takut melihat papa.” Ujar Rossa mengingatkan Kakek Olsen agar mengubah raut wajahnya jadi agak ramah.Bagaimanapun yang menunggu mereka di dalam sana itu bukanlah orang asing, melainkan calon mantu rumah ini.Mendengar nasehat Rossa, kakek Olsen menampilkan senyuman. “Begini?”“Ya, jangan begitu juga dong. Tulus sedikit, memang tidak bisa.” Komentar Rossa lagi. Bahkan untuk masalah sepele pun akan dia ributkan di rumah ini. Baik Mahendra maupun kakek Olsen sudah terbiasa, malah kalau tiba-tiba Rossa itu bersikap lebih pendiam, mereka justru khawatir
Hera baru saja selesai memasak saat dia mendengar suara pintu diketuk. "Edwin, tolong buka pintu!" teriaknya dari dapur pada sang putra yang ada di kamar. Mendengar suara teriakan ibunya, Edwin keluar dari kamar. Hari ini dia libur kuliah, dan berencana ingin menghabiskan waktu di rumah untuk beristirahat sebelum siangnya berangkat kerja. "Ya, Ma," sahutnya lalu pergi membuka pintu. Ketika pintu telah dibuka, ia terkejut mendapati sang kakak lah yang datang. "Kak?" "Hai, Win. Ngapain bengong di situ?" tanya Shena pada Edwin yang kini nampak membeku. "Kau tidak memberitahuku kalau hari ini bakal pulang," ucap Edwin terdengar menggerutu. Sesekali tatapannya akan melirik ke arah Mahendra yang mana berada di belakang Shena. "Halo," Mahendra menyapa singkat. "Ayo, Mahendra, masuk." Sebelum Shena berhasil mempersilahkan Mahendra agar duduk di sofa di ruang tamu, tangannya lebih dulu ditarik oleh Edwin, dan dibawa ke dapur. "Pria itu siapa?" tanya Edwin dengan sepasang mata melotot
Setibanya Mahendra di kantor, hal pertama yang pria itu perintahkan pada Hedy ialah disuruh pergi ke kantor sipil untuk mengurus surat pernikahannya bersama Shena. Agar setidaknya saat nanti dia ke sana, semuanya sudah siap. Dan yang perlu dia lakukan adalah menikahi wanita itu. "Hannah, ke ruanganku sekarang." Panggil Mahendra melalui telepon. Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian rapi masuk ke kantor Mahendra. "Ya, Pak.""Selagi Hedy tidak ada, aku mau kau temani aku dalam pertemuan kali ini. Alihkan pekerjaanmu pada sekretaris yang lain, minta padanya supaya mengatur ulang jadwalku untuk satu Minggu itu. Hari Jum'at dan Sabtu, kosongkan semua jadwal, pindah ke hari lain." Hannah mencatat dengan serius segala instruksi bos tampannya tersebut. "Mengenai pesta ulang tahun direktur Dippo, aku akan datang. Tidak perlu kau cancel. Apa kau sudah menghubungi pihak mereka?" Tanpa mengangkat kepalanya, Mahendra bertanya. "Belum, Pak. Saya baru saja menyiapkan hadiah seperti yang
Shena rasanya ingin mati. Bagaimana tidak? Apabila seharian ini, ia di seret-seret oleh bibi Mahendra dan juga sang mama pergi ke tempat bridal, ke salon, ke mal. Setelah pertemuan keluarga selesai dilakukan beberapa hari lalu, ibunya dan bibi Mahendra jadi sangat dekat. Mereka dengan antusiasnya mulai merencanakan pesta pernikahan kecil-kecilan yang akan dihadiri oleh sanak keluarga saja.Malam harinya, tepat pada pukul delapan, Shena diturunkan oleh sopir di apartemen.“Tante tidak mau mampir dulu?” tanya Shena pada Rossa.Rossa menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu. Kau pasti capai sekali hari ini, istirahatlah. Tante pun akan beristirahat juga.”Shena melambaikan tangannya sembari mempertahankan senyumnya sampai mobil yang membawa Rossa tak terlihat lagi. Setelah yakin Rossa pergi, Shena langsung masuk ke dalam gedung, lalu menaiki lift, pergi ke lantai atas apartemennya.Selain raut mukanya yang nampak lesu dan tak bersemangat, tak ada yang salah dengan Shena kala sang bibi meli
Pernikahan itu diselenggarakan di sebuah hotel milik keluarga Muneer. Mengusung tema outdoor, serta dijaga oleh banyak bodyguard, beberapa tamu yang kebanyakan merupakan kerabat sudah tampak memenuhi kursi.Di kamar pengantin, Shena yang telah selesai didandani kemudian ditinggal pergi oleh para make-up artis tersebut. Hanya menyisakan Edwin yang sedari tadi menemaninya. Sedangkan Hera kini duduk bersama dengan Rossa."Kakak cantik sekali." puji Edwin sembari menatap pantulan mereka berdua dari cermin di depannya. "Kau pun sama ... ganteng sekali," puji Shena juga melihat sang adik yang telah selesai berganti pakaian menjadi setelan formal. Gaun putih kombinasi kuning yang dikenakan Shena terlihat indah. Membuat kecantikan wanita itu semakin terpancar."Waktu tadi kau keluar, apa melihat Laura dan Maria?" tanya Shena pada Edwin."Mereka sudah tiba. Kakak tahu, kalau tadi itu mereka berdua masih memberondongi aku banyak sekali pertanyaan. Mereka masih belum percaya kalau kakak mau me