Hera baru saja selesai memasak saat dia mendengar suara pintu diketuk. "Edwin, tolong buka pintu!" teriaknya dari dapur pada sang putra yang ada di kamar. Mendengar suara teriakan ibunya, Edwin keluar dari kamar. Hari ini dia libur kuliah, dan berencana ingin menghabiskan waktu di rumah untuk beristirahat sebelum siangnya berangkat kerja. "Ya, Ma," sahutnya lalu pergi membuka pintu. Ketika pintu telah dibuka, ia terkejut mendapati sang kakak lah yang datang. "Kak?" "Hai, Win. Ngapain bengong di situ?" tanya Shena pada Edwin yang kini nampak membeku. "Kau tidak memberitahuku kalau hari ini bakal pulang," ucap Edwin terdengar menggerutu. Sesekali tatapannya akan melirik ke arah Mahendra yang mana berada di belakang Shena. "Halo," Mahendra menyapa singkat. "Ayo, Mahendra, masuk." Sebelum Shena berhasil mempersilahkan Mahendra agar duduk di sofa di ruang tamu, tangannya lebih dulu ditarik oleh Edwin, dan dibawa ke dapur. "Pria itu siapa?" tanya Edwin dengan sepasang mata melotot
Setibanya Mahendra di kantor, hal pertama yang pria itu perintahkan pada Hedy ialah disuruh pergi ke kantor sipil untuk mengurus surat pernikahannya bersama Shena. Agar setidaknya saat nanti dia ke sana, semuanya sudah siap. Dan yang perlu dia lakukan adalah menikahi wanita itu. "Hannah, ke ruanganku sekarang." Panggil Mahendra melalui telepon. Tak lama kemudian, seorang wanita berpakaian rapi masuk ke kantor Mahendra. "Ya, Pak.""Selagi Hedy tidak ada, aku mau kau temani aku dalam pertemuan kali ini. Alihkan pekerjaanmu pada sekretaris yang lain, minta padanya supaya mengatur ulang jadwalku untuk satu Minggu itu. Hari Jum'at dan Sabtu, kosongkan semua jadwal, pindah ke hari lain." Hannah mencatat dengan serius segala instruksi bos tampannya tersebut. "Mengenai pesta ulang tahun direktur Dippo, aku akan datang. Tidak perlu kau cancel. Apa kau sudah menghubungi pihak mereka?" Tanpa mengangkat kepalanya, Mahendra bertanya. "Belum, Pak. Saya baru saja menyiapkan hadiah seperti yang
Shena rasanya ingin mati. Bagaimana tidak? Apabila seharian ini, ia di seret-seret oleh bibi Mahendra dan juga sang mama pergi ke tempat bridal, ke salon, ke mal. Setelah pertemuan keluarga selesai dilakukan beberapa hari lalu, ibunya dan bibi Mahendra jadi sangat dekat. Mereka dengan antusiasnya mulai merencanakan pesta pernikahan kecil-kecilan yang akan dihadiri oleh sanak keluarga saja.Malam harinya, tepat pada pukul delapan, Shena diturunkan oleh sopir di apartemen.“Tante tidak mau mampir dulu?” tanya Shena pada Rossa.Rossa menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu. Kau pasti capai sekali hari ini, istirahatlah. Tante pun akan beristirahat juga.”Shena melambaikan tangannya sembari mempertahankan senyumnya sampai mobil yang membawa Rossa tak terlihat lagi. Setelah yakin Rossa pergi, Shena langsung masuk ke dalam gedung, lalu menaiki lift, pergi ke lantai atas apartemennya.Selain raut mukanya yang nampak lesu dan tak bersemangat, tak ada yang salah dengan Shena kala sang bibi meli
Pernikahan itu diselenggarakan di sebuah hotel milik keluarga Muneer. Mengusung tema outdoor, serta dijaga oleh banyak bodyguard, beberapa tamu yang kebanyakan merupakan kerabat sudah tampak memenuhi kursi.Di kamar pengantin, Shena yang telah selesai didandani kemudian ditinggal pergi oleh para make-up artis tersebut. Hanya menyisakan Edwin yang sedari tadi menemaninya. Sedangkan Hera kini duduk bersama dengan Rossa."Kakak cantik sekali." puji Edwin sembari menatap pantulan mereka berdua dari cermin di depannya. "Kau pun sama ... ganteng sekali," puji Shena juga melihat sang adik yang telah selesai berganti pakaian menjadi setelan formal. Gaun putih kombinasi kuning yang dikenakan Shena terlihat indah. Membuat kecantikan wanita itu semakin terpancar."Waktu tadi kau keluar, apa melihat Laura dan Maria?" tanya Shena pada Edwin."Mereka sudah tiba. Kakak tahu, kalau tadi itu mereka berdua masih memberondongi aku banyak sekali pertanyaan. Mereka masih belum percaya kalau kakak mau me
Mahendra mengaduh kesakitan, tangannya yang tadi mencengkeram rahang Shena kini berpindah memegangi mulutnya. "Hahh... Hahh...." Setelah lepas dari ciuman maut pria itu, Shena menatap cermin, tepatnya memelototi Mahendra. "Kau menggigitku?" Keluh Mahendra saat dia tak sengaja menelan asin darahnya sendiri akibat Shena yang menggigit kulit rapuh bibir dalamnya. "Salah sendiri tidak sadar-sadar juga, padahal sudah aku pukul-pukul tanganmu. Aku butuh bernapas tahu, apalagi leherku sakit kau pegang-pegang begitu!" Kesal karena ulah Shena, Mahendra pergi dari meja rias. Tidak mendengar suara pria itu bahkan sampai Mahendra selesai berganti pakaian, Shena jadi cemas dan takut. Apa tadi dia menggigitnya keras sekali? Memang sakit? "Mahendra, kau marah?" tanya Shena seraya memutar duduknya jadi menghadap Mahendra. Pria itu tidak menjawab. Mengangkat selimut di atas tempat tidur, ia pun naik ke ranjang lalu merebahkan tubuhnya di sana. Shena berdiri, menghampiri Mahendra. Wanita itu i
Tepat pada waktunya makan malam, Shena dan Mahendra keluar kamar. Kedua pasangan yang baru menikah itu saling bergandengan tangan menuju ke restoran. "Kau yakin sudah mendingan?" tanya Mahendra merujuk pada keluhan Shena tadi yang berkata perutnya tak nyaman. Belum tahu kalau dia sudah dibohongi. "Huum," Shena mengangguk tanpa melihat ke arah Mahendra. Dihelanya wanita itu menuju ke meja mereka. Ternyata Rossa dan Hera sudah tiba duluan. "Ma, kemana Edwin?" tanya Shena karena tidak melihat adik laki-lakinya. "Kalian sudah datang. Duduk duduk," Sambut Rossa senang melihat pengantin baru. "Mama tidak tahu. Sedari tadi mama sudah mencari-cari adikmu, tapi tidak ketemu.""Sudah ditelepon?"Hera menggelengkan kepala, "Ponsel adikmu ada di kamar.""Ya sudah, pasti nanti dia kembali. Mungkin Edwin sedang ingin sendiri." kata Shena menenangkan. "Biar aku suruh orang ku untuk mencari adikmu." Bisik Mahendra berinisiatif membantu. Shena tidak menolak, ia berterima kasih pada Mahendra d
Selepas acara pernikahan selesai dilakukan, Mahendra dan Shena kembali ke apartemen mereka. Pada saat mereka tiba, bibi pembantu tidak ada. Bibi itu akan datang apabila mendapat panggilan dari Mahendra.Sebelum kemari, keduanya sudah makan."Mahendra, bolehkah aku pergi menemui temanku besok?""Bisakah itu di tunda? Aku lupa memberitahu kalau besok, bibi mau mengajakmu pergi.""Pergi kemana?" tanya Shena merasa penasaran. Pasalnya, tantenya itu tidak mengatakan apa pun padanya.Mahendra mengangkat bahu, tidak diberitahu juga kemana mereka akan pergi. "Bibi tidak memberitahuku. Dia hanya bilang akan membawamu ke suatu tempat."Pria itu duduk di sisi ranjang, mengulurkan tangannya, "Kemarilah." Shena menaikkan alisnya, tidak paham. Walau begitu dia patuh menghampiri pria itu. Setelah dekat, Mahendra menarik Shena, didudukkannya di depannya agar dia bisa memeluknya dari belakang. Kedua tangannya melingkari perut, mengelusnya dengan lembut."Bagaimana sekarang, tidak ingin makan sesuatu
Pukul sembilan pagi, mobil yang dipakai Rossa terparkir di depan gedung apartemen Mahendra. Wanita setengah baya itu lantas memutar nomor, menghubungi Shena untuk memberitahu kalau dia tiba dan sekarang ada di bawah. Tak butuh waktu lama bagi Shena untuk keluar dari gedung tersebut. Seperti biasa, Shena tetap mengenakan pakaian tebal di cuaca yang lumayan panas. Rossa mengernyit, menatap iba dan sedih pada menantu cantiknya itu yang harus susah payah menyembunyikan kehamilannya. "Tante," panggilnya saat pintu samping terbuka. Shena masuk ke dalam, duduk di samping Rossa. "Kau tidak kepanasan?" Shena menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa. Aku sudah cukup terbiasa." katanya seraya tersenyum. "Jalan, Pak." ucap Rossa pada sopir. "Tante mau mengajakku kemana?" Dalam hatinya, Shena sudah berdoa semoga Rossa tidak membawanya nge-mall lagi atau pergi ke salon yang membuat dia terpaksa duduk berlama-lama. Sudah cukup sekali itu saja dia dibawa ke sana dan dia tidak mau lagi merasaka