Audrey merasa malas untuk melakukan pekerjaan apapun pagi ini. Dia hanya duduk di dekat jendela ruang tamu rumah suaminya, menatap kosong ke arah jalanan. Di luar sedang hujan deras. Lebih tepatnya, wanita itu sedang melamun."Sayang, kamu lagi ngapain? Nggak masak?" tanya Edwin dari ruang tengah.Tak ada sahutan. Audrey tak mendengarnya sebab sedang asyik dengan pikiran yang berkecamuk.Edwin hanya membuang napas kasar saat menemukan istrinya. "Dicariin, aku kira ke mana. Ternyata di sini?"Wanita itu tersadar, lalu menoleh. "Eh? Iya, Mas. Ada apa?""Tuh, aku tanya apa juga kamu nggak dengar. Keasyikan melamun pasti," jawab Edwin, sambil berjalan mendekat."Maaf, tanya apa, Mas?""Aku lapar. Di dapur atau ruang makan, nggak ada lauk. Kamu belum masak?" tanya suaminya lagi.Audrey menggeleng. "Nggak, Mas. Kita beli makanan di luar aja, yuk! Malas banget rasanya.""Ada yang sedang kamu pikirkan? Ayo cerita! Aku siap mendengarkan." Pria itu menangkupkan tangan di kedua pipi sang istri.
Audrey merasa gelisah. Siapa yang bisa menolongnya di saat genting seperti ini? Dianti tak juga mengangkat teleponnya. "Ya Allah, gimana ini? Dianti, angkat telepon Mama, Nak!" gumamnya, sambil mondar-mandir di depan ruang rawat inap yang ditempati Edwin. Terbesit untuk minta tolong pada Fandi dan Lia. Ya, hanya mereka yang bisa membantunya. Semua kakak ipar kini bersikap berbeda, seolah kembali jahat padanya."Bismillaah," gumam wanita berhijab panjang itu, lalu menghubungi nomor Lia.Tak lama kemudian, telepon tersambung."Assalaamu'alaikum. Bu, tolong aku, Bu!" ujar Audrey, sambil mulai menangis.Lia yang mendengar suara sedih itu, menjawab, "Wa'alaikumussalaam. Ada apa, Nak? Dianti lagi?""Bukan, Bu. Tapi Mas Edwin. Beliau dirawat di rumah sakit, sedangkan aku hanya sendiri, melayani semua kebutuhan beliau sekaligus mengurus administrasinya di sini. Hanya saja, uangku kurang," keluh putrinya, dengan suara parau."Edwin sakit? Sejak kapan? Kenapa nggak memberi tahu Ibu, Nak? Ya u
"Sebentar!" ujar Lia, lalu masuk."Bu!" panggil Audrey, yang masih penasaran.Ibunya tak menyahut."Ada apa?" tanya Fandi.Lia menggeleng sambil tersenyum. "Nggak papa. Tadi suster memberi tahu jadwal dokter yang mau mengobati penyakit Edwin. Mm, Ibu lapar, nih!""Di sini ada kantin, Bu," ujar menantunya."Tadi sebelum ke sini, Ibu lihat ada warung makan yang murah tapi kelihatannya enak. Ibu ajak Audrey ke sana, ya, Win?" sahut Lia."Oh, iya. Silakan, Bu." Fandi menimpali, "Bapak belikan nasi goreng bungkus aja yang pedas, Bu. Kalau nggak ada, sate lontong aja nggak papa."Istrinya mengacungkan jempol. "Oke. Siap, Pak!""Aku mau ikut Ibu dulu. Pesan apa, Mas?" pamit Audrey.Papanya Dianti menjawab, "Iya. Hati-hati di jalan, Sayang. Teh hangat aja. Jatah dari rumah sakit udah dingin, nih.""Baik. Assalaamu'alaikum," salam Audrey.Lia berjalan mendahului, diikuti putrinya di belakang. Fandi dan Edwin kembali bercakap, dengan memilih obrolan yang ringan. **Lia dan Audrey berjalan men
Waktu terus berlalu. Kondisi Edwin semakin membaik, karena dokter mengobatinya secara telaten dan tepat waktu. Kini, Fandi dan Lia pulang ke rumah karena administrasi sudah selesai. Audrey juga merasa lebih kuat dalam merawat sang suami. Kadang, juga ditemani Hana saat ada waktu luang.Sore hari selepas Salat 'Asar, Audrey membeli makanan di kantin, lalu dibawa ke ruang rawat inap Edwin. "Kamu mau, Mas?" tawar Mamanya Dianti."Enggak, makasih. Masih kenyang, tadi abis makan jatah dari rumah sakit, kan? Kamu sendiri yang menyuapi," kata Edwin.Audrey menyahut, "Baiklah. Aku makan, ya? Beneran nggak mau?"Edwin menggeleng.Tak lama kemudian, ada suster yang mengucap permisi sambil masuk ke ruangan itu."Maaf, Pak, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa ada kekurangan administrasi yang harus dilunasi. Ini rinciannya," ujar perempuan berseragam serba putih itu, sambil menyerahkan secarik kertas kepada Audrey.Jantung istri Edwin itu berdebar, saat membaca nominal demi nominal yang tertera.
Audrey sudah kembali ke ruangan Edwin dirawat. Dia mengucap salam."Wa'alaikumussalaam wa rahmatullaah. Rudi mana?" tanya Edwin."Udah pulang, Mas. Beliau buru-buru, mau ada meeting katanya. O ya, Pak Rudi meminta alamat rumah kita sama nomor ponselmu, biar lebih mudah, kalau kelak mau menagih hutang," jelas Audrey, duduk di kursi, di hadapan Edwin yang masih setengah berbaring."Oh, iya benar. Aku belum minta nomor HP-nya. Syukurlah kalau Rudi udah tahu di mana rumah kita. Alhamdulillaah, Allah masih menolong kita." Edwin memegang tangan sang istri."Iya, Mas. Alhamdulillaah. Aku heran, masih ada orang sebaik Pak Rudi, padahal nominal uang yang kita pinjam itu nggak sedikit, loh, Mas. Masa mau gitu aja, tanpa pakai syarat apapun?" Audrey penasaran.Suaminya menyahut, "Itu mungkin karena Rudi sendiri pernah mengalami masa-masa keuangan lagi susah. Jadi, dia berusaha untuk menolong orang lain yang sedang kesulitan, terutama soal ekonomi keluarga."Audrey mengerutkan dahi. "Kok, Mas tahu
Perlahan, Audrey membuka matanya. Kepalanya terasa sangat pusing, badan pun seperti remuk semua."Alhamdulillaah, kamu sudah sadar, Nak?" Sayup-sayup terdengar suara ibunya, Lia."Apa yang terjadi, Bu?" tanya Audrey sambil memegangi kepalanya."Kata perawat, kamu tadi pingsan saat memeluk tubuh Edwin yang sudah tak bernyawa. Bapak, Ibu sama kedua mertuamu langsung menyusul ke rumah sakit." Lia berbicara dengan suara parau.Audrey menitikkan air mata. "Mas Edwin benar-benar meninggalkanku, ya, Bu?" Ibunya menghela napas berat, lalu mengembuskannya kembali. "Sabar, ya, Nak. Ini sudah waktunya Allah mengambil Edwin dari kita semua.""Tapi, Bu ... aku nggak percaya!"Audrey berusaha bangun, tetapi badannya lemas sekali. Punggung telapak tangannya berdenyut hebat dan terasa sakit, ternyata itu disebabkan oleh infus yang telah terpasang."Sabar, Nak! Sabar! Kamu masih dalam perawatan di rumah sakit. Nanti, kalau dokter sudah memperbolehkan pulang, baru kamu boleh bangun dan melihat almarh
Audrey menangis di pelukan sang ibu. Setelah dirasa cukup, dia bangkit dan menghapus air matanya."Biaya pemakaman untuk orang yang meninggal di sini memang mahal, Bu, mengingat sekarang jarang ada orang yang mau jadi penggali kubur. Aku ada uang, alhamdulillaah, tapi uang pinjaman," ujar Audrey, jujur."Pinjaman?" Lia penasaran.Mamanya Dianti menceritakan tentang kesepakatan dengan Edwin di rumah sakit kemarin sore, tentang meminjam uang kepada Rudi, salah satu teman Edwin."Ya sudah, kamu gunakan itu dulu. Beberapa hari ke depan, kita pikirkan bersama solusi untuk melunasinya, karena membayar hutangnya almarhum itu kewajiban keluarga, agar suamimu tenang di sana," saran Lia."Baik, Bu. InsyaaAllaah, akan segera aku lunasi," jawab Audrey, lalu segera mengambil uang di dalam lemari.Keduanya keluar dari kamar untuk menemui Bu RT.**Saatnya pemberangkatan jenazah Edwin. Semua orang berdiri, menunggu seorang pemuka agama membuka acara, lalu dilanjutkan mendoakan almarhum.Audrey yang
Audrey menghitung uang yang jumlahnya cukup banyak milik almarhum suaminya di lemari, yang merupakan hasil dari perusahaan Juna dalam beberapa hari terakhir. Penghasilan itu dikirimkan langsung ke rumah oleh seorang bendahara kantor.Beberapa hari kemudian, ada dua orang rekan kerja Edwin yang datang untuk menagih utang. Besoknya ada lagi, lalu beberapa hari berikutnya.Audrey menggunakan uang Edwin untuk melunasi hutang-hutang itu. Setelah lewat dua pekan, tak ada lagi yang menagih, Audrey membagi-bagi uang di dalam tas milik almarhum suaminya.Sepertiga untuk membayar hutang pada Rudi, sepertiga lagi untuk Dianti dan sepertiga sisanya Audrey pakai untuk menyambung hidup.Sementara surat tanah tempat berdiri rumah megah milik Edwin, Audrey biarkan supaya diambil oleh Juna, karena ada bagian warisan untuk keluarga almarhum suaminya.Beberapa hari kemudian, Rudi memberi pesan ke Audrey bahwa dia ingin datang ke rumah. Mamanya Dianti pun mengundang Hana untuk datang juga, supaya terhind