Beberapa saat kemudian, Rey datang. Dia mendapatkan info tentang alamat apartemen dan arah rooftop itu dari Edwin. "Athena, aku ... minta maaf," ucap Rey, ragu.Semua menoleh. Edwin mengembuskan napas lega. "Akhirnya lu ke sini juga!" Dia melirik sinis, teringat kejadian beberapa tahun lalu.Rey tak menjawab, karena merasa tak enak pernah membuat fitnah dalam rumah tangga Edwin. Athena menoleh, lalu berdiri dengan badan yang sedikit terhuyung. "Mau apa lu ke sini, brengsek?"Audrey memegang kedua bahu perempuan di sampingnya, agar tidak jatuh."Aku mau tanggung jawab atas anak di dalam perutmu. Tolong, jangan bun*h diri!" pinta Rey, memelas."Halah! Omong kosong!" teriak Athena, dengan mata yang menyorot tajam pada lelaki yang telah menodainya.Rey mencoba mendekat. "Izinkan aku menebus kesalahanku."Tiba-tiba tubuh Athena bergetar hebat, lalu dia seperti ketakutan. "Pergi! Gue belum sanggup lihat lu!" Audrey membaca situasi. "Tolong kamu pergi, sepertinya Athena masih trauma.""T
"Alhamdulillaah, ya, Mas. Satu bulan sejak Athena mau kembali ke jalan yang benar, rumah tangga kita ikut adem-ayem. Nggak ada lagi yang menganggu. Dianti juga lebih mudah diatur, karena sudah semakin besar," kata Audrey, seraya memasangkan dasi ke kemeja kerja suaminya.Edwin menatap lekat istrinya sambil mengangkat kedua sudut bibir ke atas. "Iya, Sayang. Alhamdulillaah. Mungkin, itu berkah sekaligus rezeki dari Allah."Audrey menghentikan aktivitasnya sejenak, dengan dahi berkerut dalam. "Rezeki? Maksudnya, Mas?""Rezeki, kan, nggak harus dalam bentuk uang. Bisa nikmat iman yang baru dirasakan Athena sekarang. Bisa dalam bentuk kesehatan, serta ketenangan atau sakinah dalam rumah tangga. Makanya, seorang muslim itu harus membantu orang lain saat kesulitan, supaya Allah juga memberikan jalan keluar pada kita ketika menghadapi masalah. Nggak peduli dia itu jahat atau tidak. Bahkan, mungkin pernah menyakiti kita," jelas Edwin."Baru paham sekarang. Pantesan Athena itu kelihatan lebih
Acara ijab qabul Rey dan Athena berjalan dengan lancar. Tamu yang diundang sangat sedikit, meliputi keluarga, kerabat dekat dan teman-teman mereka berdua.Setelah itu, acara dilanjutkan dengan makan-makan secara prasmanan. Setelah selesai, para tamu memberikan selamat kepada kedua mempelai."Semoga bahagia, ya, Na! Jaga baik-baik kandunganmu! Dia berhak mempunyai ibu yang salehah, terlepas seperti apa masa lalunya. Semua orang berhak menjadi lebih baik," pesan Audrey, sambil menyalami Athena. "Aamiin. Makasih, Audrey. Kamu adalah jembatan untukku mendapatkan hidayah Allah. Nggak akan aku lepaskan teman sebaik kamu," jawab Athena.Audrey menatap pada temannya itu. "Kamu cantik banget hari ini, beda dari biasanya!""Iish! Ya iya, kan, momen nikah. Kalau dandan kayak biasa, nanti tamunya bingung, pengantinnya mana?""Ahaha, kamu bisa aja. Ya udah, aku pamit dulu, sama Mas Edwin dan Dianti," sahut Audrey.Edwin saling tatap sejenak dengan Rey, karena merasakan sesuatu yang tak nyaman. Na
Audrey melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa semangat sama sekali. Mulai dari mencuci baju serta menjemurnya, mencuci piring dan menyapu lantai. Dia merasa lelah, enggan memasak untuk makan siang, lalu terbaring kembali di kamar."Baiklah, kalau memang Mama mau memanjakan Dianti. Biarkan saja, aku nggak akan mengganggu, sebab kendali pada anakku sendiri perlahan mulai terkikis. Sekalian nanti kalau dia pulang, makan siang di tempat Omanya!" geram Audrey, mulai menitikkan air mata lagi.Dia sadar, seharusnya tugas mendidik anak ada di pundak seorang ibu, tetapi Dianti lebih percaya pada Zofia, karena terlalu dimanjakan sejak kecil. Dia sendiri heran, mengapa Sean dan Syifa tidak diperlakukan demikian. Mungkin karena Papa-Mama mereka orang berada. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari arah depan. "Assalaamu'alaikum. Yang di depan, motor dari Oma buat aku, ya, Ma?" tanya perempuan beranjak remaja itu, sambil mencium punggung tangan Audrey."Wa'alaikumussalaam," jawab Mamanya, tanpa ban
Edwin pulang ke rumah bakda Isya'. Dianti yang sedang duduk di ruang tamu, justru sibuk mengunggah foto motornya di aplikasi Ins****am. "Assalaamu'alaikum," salam Papanya, tetapi tak dijawab.Dianti masih sibuk dengan ponselnya."Nak, kalau Papa salam dijawab!" tegur Edwin, membuat anaknya terperanjat."Eh, Papa? Wa'alaikumussalaam. Baru pulang, Pa?" tanya Dianti santai, sambil berdiri lalu menjabat dan mencium punggung tangan Papanya. Pria itu menggeleng lemah. "Lain kali, jangan terlalu fokus sama HP. Sepenting apa, sih? Menjawab salam itu wajib, Nak." Dia mengalihkan pandangan ke ponsel Dianti di atas meja yang masih menyala."Ma-maaf, Pa. Tadi, lagi upload foto motor baru. Abisnya keren banget, hadiah dari Oma," jawab putrinya, dengan suara pelan."Ya sudah, tapi lain kali jangan diulangi! Sudah kerjakan PR atau belajar buat ulangan?"Dianti tampak berpikir, lalu mukanya ditekuk. "Belum, Pa."Edwin membuang napas kasar. "Kerjakan dulu sana! Prioritaskan mana yang lebih penting.
Sejak saat itu, Dianti selalu bangun lebih awal demi bisa menyetir motor ke sekolah, diikuti Edwin. Bila pulang, kebetulan Papanya sedang senggang sehingga bisa mengawasi anaknya memakai mobil dari belakang, agar dia tetap selamat. Hal itu berlangsung selama tiga hari.Selanjutnya, Dianti sudah dibolehkan berangkat sekolah menyetir motor dan pulangnya, tanpa diikuti lagi oleh Edwin. Audrey hanya bisa mendoakan dari rumah, semoga putrinya selalu diberi keselamatan.Pada Sabtu sore, Dianti mengunjungi Omanya."Assaamu'alaikum, Oma," salamnya.Zofia yang baru selesai menyetrika baju, menuju pintu. "Wa'alaikumussalaam. Tumben, sore-sore udah ke sini? Biasanya bikin tugas terus.""Hehe, iya, nih. Mumpung weekend, mau minta izin pakai Wifi, buat nonton film terbaru di salah satu aplikasi berbayar," jawab Dianti, sambil memamerkan deretan giginya yang rapi."Boleh, dong, Sayang. Masuk aja! Oma mau bicara sesuatu sama kamu," kata Zofia, lalu berjalan masuk.Putrinya Edwin mengerutkan dahi, ke
Edwin dan Audrey sudah berdiri di depan rumah Juna. "Assalaamu'alaikum. Mama!" panggil Edwin, sambil memencet bel.Juna dan Zofia keluar."Wa'alaikumussalaam. Ada apa?" tanya Juna."Maksudnya apa, Ma, menyuruh anak kami beli jajanan malam-malam begini? Memangnya nggak bisa beli di Go f**d?" kesal Edwin, memperlihatkan chat di ponsel Audrey.Zofia tersenyum miring. "Kenapa? Kalian nggak suka? Dia cucuku dan pergi dengan motor yang aku beli. Jadi terserah, mau menyuruh apa!"Juna hanya diam, membiarkan aksi istrinya. Audrey menelan salivanya. "Ma, maaf, bukannya aku lancang. Namun, Dianti itu anak kami. Seharusnya Mama izin dulu ke Mas Edwin atau aku, sebelum menyuruhnya beli jajanan dan jam segini belum pulang."Edwin mengusap wajahnya kasar. "Kenapa nggak minta aku aja buat beli jajanan itu, Ma? Nggak baik anak cewek keluar malam-malam.""Tenang aja! Nggak bakal ada apa-apa. Wong dia perginya juga sama temen cewek. Dianti itu udah gede, remaja yang harusnya bebas dari aturan orang t
Dianti duduk di ruang tamu dalam rumah Papanya. Dia hanya bisa menatap arlojinya yang menunjukkan pukul setengah enam. Masih banyak waktu sebelum naik motor ke sekolah, padahal dia berharap bisa menggunakan alasan takut terlambat, supaya tak dimarahi orang tuanya. Audrey berdiri tak jauh darinya sambil melipat kedua tangan di dada. Edwin mondar-mandir di depan meja. Dia bingung mau memulai dari mana. Sebenarnya merasa kasihan melihat anaknya yang ketakutan, tetapi dia harus tegas. "Katakan kepada Papa yang sejujurnya, Nak!" pinta Audrey, pelan.Putrinya mendongak. "Apanya, Ma? Aku jujur, kok, semalam beli jajanan sama teman. Terus, pas mau pulang, Oma WA, pesan salah satu jenis jajanan. Udah diganti uangnya juga semalam.""Bukan masalah sudah diganti atau belum, Nak!" sela Edwin dengan suara pelan, berusaha supaya tidak emosi. "Namun, lihat jam berapa kamu pulang?""Se-sembilan malam, Pa," jawab Dianti, takut-takut."Nah!" teriak Papanya, membuatnya terkejut. "Itu sudah sangat malam