Audrey melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa semangat sama sekali. Mulai dari mencuci baju serta menjemurnya, mencuci piring dan menyapu lantai. Dia merasa lelah, enggan memasak untuk makan siang, lalu terbaring kembali di kamar."Baiklah, kalau memang Mama mau memanjakan Dianti. Biarkan saja, aku nggak akan mengganggu, sebab kendali pada anakku sendiri perlahan mulai terkikis. Sekalian nanti kalau dia pulang, makan siang di tempat Omanya!" geram Audrey, mulai menitikkan air mata lagi.Dia sadar, seharusnya tugas mendidik anak ada di pundak seorang ibu, tetapi Dianti lebih percaya pada Zofia, karena terlalu dimanjakan sejak kecil. Dia sendiri heran, mengapa Sean dan Syifa tidak diperlakukan demikian. Mungkin karena Papa-Mama mereka orang berada. Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari arah depan. "Assalaamu'alaikum. Yang di depan, motor dari Oma buat aku, ya, Ma?" tanya perempuan beranjak remaja itu, sambil mencium punggung tangan Audrey."Wa'alaikumussalaam," jawab Mamanya, tanpa ban
Edwin pulang ke rumah bakda Isya'. Dianti yang sedang duduk di ruang tamu, justru sibuk mengunggah foto motornya di aplikasi Ins****am. "Assalaamu'alaikum," salam Papanya, tetapi tak dijawab.Dianti masih sibuk dengan ponselnya."Nak, kalau Papa salam dijawab!" tegur Edwin, membuat anaknya terperanjat."Eh, Papa? Wa'alaikumussalaam. Baru pulang, Pa?" tanya Dianti santai, sambil berdiri lalu menjabat dan mencium punggung tangan Papanya. Pria itu menggeleng lemah. "Lain kali, jangan terlalu fokus sama HP. Sepenting apa, sih? Menjawab salam itu wajib, Nak." Dia mengalihkan pandangan ke ponsel Dianti di atas meja yang masih menyala."Ma-maaf, Pa. Tadi, lagi upload foto motor baru. Abisnya keren banget, hadiah dari Oma," jawab putrinya, dengan suara pelan."Ya sudah, tapi lain kali jangan diulangi! Sudah kerjakan PR atau belajar buat ulangan?"Dianti tampak berpikir, lalu mukanya ditekuk. "Belum, Pa."Edwin membuang napas kasar. "Kerjakan dulu sana! Prioritaskan mana yang lebih penting.
Sejak saat itu, Dianti selalu bangun lebih awal demi bisa menyetir motor ke sekolah, diikuti Edwin. Bila pulang, kebetulan Papanya sedang senggang sehingga bisa mengawasi anaknya memakai mobil dari belakang, agar dia tetap selamat. Hal itu berlangsung selama tiga hari.Selanjutnya, Dianti sudah dibolehkan berangkat sekolah menyetir motor dan pulangnya, tanpa diikuti lagi oleh Edwin. Audrey hanya bisa mendoakan dari rumah, semoga putrinya selalu diberi keselamatan.Pada Sabtu sore, Dianti mengunjungi Omanya."Assaamu'alaikum, Oma," salamnya.Zofia yang baru selesai menyetrika baju, menuju pintu. "Wa'alaikumussalaam. Tumben, sore-sore udah ke sini? Biasanya bikin tugas terus.""Hehe, iya, nih. Mumpung weekend, mau minta izin pakai Wifi, buat nonton film terbaru di salah satu aplikasi berbayar," jawab Dianti, sambil memamerkan deretan giginya yang rapi."Boleh, dong, Sayang. Masuk aja! Oma mau bicara sesuatu sama kamu," kata Zofia, lalu berjalan masuk.Putrinya Edwin mengerutkan dahi, ke
Edwin dan Audrey sudah berdiri di depan rumah Juna. "Assalaamu'alaikum. Mama!" panggil Edwin, sambil memencet bel.Juna dan Zofia keluar."Wa'alaikumussalaam. Ada apa?" tanya Juna."Maksudnya apa, Ma, menyuruh anak kami beli jajanan malam-malam begini? Memangnya nggak bisa beli di Go f**d?" kesal Edwin, memperlihatkan chat di ponsel Audrey.Zofia tersenyum miring. "Kenapa? Kalian nggak suka? Dia cucuku dan pergi dengan motor yang aku beli. Jadi terserah, mau menyuruh apa!"Juna hanya diam, membiarkan aksi istrinya. Audrey menelan salivanya. "Ma, maaf, bukannya aku lancang. Namun, Dianti itu anak kami. Seharusnya Mama izin dulu ke Mas Edwin atau aku, sebelum menyuruhnya beli jajanan dan jam segini belum pulang."Edwin mengusap wajahnya kasar. "Kenapa nggak minta aku aja buat beli jajanan itu, Ma? Nggak baik anak cewek keluar malam-malam.""Tenang aja! Nggak bakal ada apa-apa. Wong dia perginya juga sama temen cewek. Dianti itu udah gede, remaja yang harusnya bebas dari aturan orang t
Dianti duduk di ruang tamu dalam rumah Papanya. Dia hanya bisa menatap arlojinya yang menunjukkan pukul setengah enam. Masih banyak waktu sebelum naik motor ke sekolah, padahal dia berharap bisa menggunakan alasan takut terlambat, supaya tak dimarahi orang tuanya. Audrey berdiri tak jauh darinya sambil melipat kedua tangan di dada. Edwin mondar-mandir di depan meja. Dia bingung mau memulai dari mana. Sebenarnya merasa kasihan melihat anaknya yang ketakutan, tetapi dia harus tegas. "Katakan kepada Papa yang sejujurnya, Nak!" pinta Audrey, pelan.Putrinya mendongak. "Apanya, Ma? Aku jujur, kok, semalam beli jajanan sama teman. Terus, pas mau pulang, Oma WA, pesan salah satu jenis jajanan. Udah diganti uangnya juga semalam.""Bukan masalah sudah diganti atau belum, Nak!" sela Edwin dengan suara pelan, berusaha supaya tidak emosi. "Namun, lihat jam berapa kamu pulang?""Se-sembilan malam, Pa," jawab Dianti, takut-takut."Nah!" teriak Papanya, membuatnya terkejut. "Itu sudah sangat malam
Sejak saat itu, Zofia bertambah semena-mena dalam mengendalikan Dianti. Edwin sudah kewalahan untuk mengarahkan anaknya. Sementara itu, Audrey menjadi sering curhat melalui WA dan telepon ke ibunya, Lia, sambil terus berusaha sabar.Dianti tumbuh menjadi remaja yang suka keluar malam, meskipun belum mengenal pacaran, karena dia tipe perempuan yang pemalu. Edwin lebih fokus untuk mengembangkan usahanya. Demikian pula Audrey. Penjualan gamisnya meningkat pesat. Dia meneruskan program menabung untuk masa depan, tanpa sepengetahuan Juna atau Zofia.Evan, Natasha, Sinta dan Joe sudah jarang memperhatikan keluarga Edwin lagi. Masing-masing sibuk dengan urusan kantor dan masalah prestasi anak--yakni Sean dan Syifa--di sekolah yang kadang naik-turun peringkat. Bagi keempat kakak ipar Audrey tersebut, yang penting punya anak pintar supaya kelak lebih mudah mendapatkan pekerjaan. Mereka tidak menggunakan parameter Alquran dan Sunnah. **Semua seperti mengalir begitu saja, hingga tiga tahun lam
Hari sudah menjelang siang. Audrey sampai di depan rumah Fandi."Assalaamu'alaikum, Pak, Bu?" salamnya, sambil mengetuk pintu.Dia mengembuskan napas panjang, merasa lega seolah beban yang di pundak hilang begitu saja, meski baru melihat pelataran rumah di mana dia dibesarkan.Seorang perempuan keluar sambil menjawab, "Wa'alaikumussalaam wa rahmatullaah. Eh, kamu, Nak?" Audrey menjabat dan mencium tangan ibunya. "Iya, Bu. Alhamdulillaah perjalanan lancar.""Loh, mana suamimu?" tanya Lia, sambil celingukan."Tadi diantar sampai terminal. Mas Edwin keburu kerja, ada meeting penting. Jadi, aku naik G**b sampai sini," sahut Audrey.Ibunya menatap dengan tatapan kasihan. "Pasti capek, ya? Ayo istirahat dulu!""Nggak terlalu, kok, Bu. Biasanya malah sering naik G**b buat beli bahan kain di kota.""Ya, yang penting kamu sampai di sini dengan sehat dan selamat," timpal Lia, mengantarkan putrinya ke ruang tamu."Duduk di sini aja, Bu. Aku mau cerita," ajak Audrey.Lia mengerutkan kening. "Loh,
Audrey menarik napas panjang, lalu mengembuskannya kembali. "Bagaimana dengan hari tua Ibu dan Bapak nanti? Lebih baik, ini disimpan saja. Kalau aku sama Mas Edwin, kan, masih muda. InsyaaAllaah bisa mengandalkan kesehatan fisik untuk bekerja dalam mencari rezeki-Nya." "MaasyaaAllaah. Bapak kagum sama kamu, Nak. Semakin hari, semakin bertambah dewasa," timpal Fandi, lalu tersenyum lebar. "Iya, Audrey itu perempuan baik dan tulus. Ibu heran, kenapa mertuamu itu bisa berbuat sejahat ini sama kamu. Kurang sabar apa coba?" kesal Lia."Sudah, Bu. Nggak usah diperpanjang. Kalau kita terus mengotori hati dengan kebencian, apa bedanya kita sama mereka yang membenci? Aku cuma mau minta doa sama Bapak dan Ibu, agar aku bisa lebih sabar dalam menghadapi setiap ujian yang Allah berikan," pinta Audrey, dengan suara lembut.Pria yang rambutnya telah berubah itu mengelus pucuk kepala putrinya. "Pasti, Nak. Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu."Lia menatap sendu pada anak semata wayangn