Ting-tong!Terdengar bunyi bel di pintu rumah Natasha. Sean dan Dianti yang sedang belajar menggambar, menoleh ke arah depan. Begitu juga Natasha, menghentikan kegiatannya berselancar di sosial media "Siapa yang datang, Tan? Apa Om Evan?" tanya Dianti.Sean mengernyitkan dahi, sambil menatap ke arahnya. "Kurasa bukan, deh. Papa itu pulangnya selalu malam hari.""Aku coba ke depan dulu. Kalian lanjutkan belajarnya, ya!" ujar Natasha, lalu mengangkat tubuhnya dari kursi."Oke, Ma," jawab Sean.Suara sepatu hak tinggi mengiringi langkah Natasha yang berjalan ke depan. Dia membuka pintu."Hai, Tante!" seru dua orang di depan Natasha dengan riang.Mereka adalah Syifa dan Sinta."Oh, kalian. Hai juga! Aku kira siapa," sahut istri Evan, antusias."Aku punya hadiah buat Dianti dan Sean, Tante," ucap Syifa."O ya? Masuk dulu, yuk!"Mereka langsung menuju ruang belajar."Halo, Sean dan Dianti!" sapa Sinta, ramah."Halo juga, Tante!" seru kedua anak itu, senang.Syifa duduk bersama mereka denga
"Iya, Kak. Sepertinya, bukan cuma gaji untukku yang berkurang, tetapi upahmu juga," jawab Edwin, dengan wajah lesu."Gimana bisa kayak gini? Haduh, nyebelin banget!" keluh Sinta, merasa sangat syok.Sesaat suasana hening. Edwin melihat dahi kakak sulungnya yang mulai berkeringat. "Ada apa, Kak? AC-nya kurang dingin, kah? Kok, keringetan gitu," tegur Edwin.Perempuan yang berdiri di sampingnya, terdiam. Tak menjawab sepatah kata pun. Sinta sudah berjanji akan memberi bantuan finansial untuk Edwin, agar adiknya itu semakin percaya padanya dan bisa bebas mencuci otak Dianti. Namun, ternyata penurunan omset perusahaan kali ini sangat drastis."Nggak papa, Win. Gue cuma syok aja, biasanya nggak anjlok gini turunnya. O ya, soal tawaran gue mau bantu kamu dengan uang ditunda dulu, ya? Mesti diskusi dulu sama Joe," kata Sinta, dengan nada menyesal.Edwin mengangguk. "Oh. Itu, Kak. Nggak papa, nanti aku juga mau bicara sama Audrey. Semoga dia mengerti. Ya udah, aku lanjut kirim laporan ini ke
Pagi hari saat sarapan, Audrey memandangi putrinya yang begitu lahap memakan masakannya, walaupun sederhana. "Enak, Sayang?" tanya Audrey."Iya, enak banget, Ma!" sahut Dianti, antusias.Mamanya tersenyum. "Nambah, dong, kalau gitu."Dianti menggeleng. "Enggak, Ma. Udah kenyang.""Minum susu dulu, kalau nggak nambah," saran Edwin, yang sedang memakai kaus kaki dan sepatu, karena tadi sarapan terlebih dahulu, saat putrinya sedang mandi."Iya, Pa."Beberapa detik kemudian, Dianti selesai minum. Ratmi datang, lalu mengambil piring kotor untuk dicuci di wastafel.Audrey merasa tak nyaman, lalu melirik ke arah suaminya. "Nak, tolong kamu tunggu Papa di depan dulu, ya? Baca-baca buku cerita yang ada di meja pojok ruang tamu. Mama mau bicara masalah penting dulu sama Papa.""Oh. Masalah orang dewasa, ya, Ma? Oke! Tadi malam juga lupa belum dibacakan dongeng sama Mama. Hehe," jawab Dianti, mengembangkan senyum."Maaf, Mama lupa, Sayang." Audrey mengelus rambut anaknya dengan lembut.Dianti me
Edwin dan keluarganya menunggu azan masjid sembari memakan camilan hangat yang baru dibeli pria itu. Dianti menjauh, tak mau dekat-dekat dengan Mamanya. Audrey hanya bisa menahan sesak di dada, sambil berusaha untuk tidak menangis, karena tak mau menarik perhatian orang banyak."Sudah, Nyonya. Biarkan saja, Dianti masih belajar merasakan emosi dan kekesalannya. Dia belum paham tentang kesibukan orang tua," usul Ratmi.Audrey diam, tak membalas. Dia memilih menghabiskan camilan di tangannya, berharap mood baik segera menghampiri, agar tak sampai marah besar seperti tadi. "Pa, aku mau beli minum. Haus, nih! Minta uang, dong!" pinta Dianti.Edwin tersenyum, sambil memberikan sejumlah uang padanya dan gadis kecil itu berlari ke sebuah toko dekat masjid, diikuti oleh Ratmi."Namanya juga anak-anak, wajar kalau emosinya masih berubah-ubah, Audrey. Lagi pula, seharusnya kamu bisa kontrol kemarahan kamu tadi. Introspeksi diri, barangkali yang dibilang Dianti itu benar," saran Edwin, setelah
"Ma," panggil Dianti, pelan."Iya, Nak?" Audrey menanggapi, duduk di hadapan putrinya.Dianti meraih tangan Audrey, lalu menciumnya. "Aku minta maaf, Ma. Udah ngambek sama Mama, padahal kata Bu Guru, harus menghormati orang tua."Istri Edwin mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. "Iya, Sayang. Alhamdulillaah, akhirnya kamu mau berdamai. Mama juga minta maaf atas kesalahan Mama, yang mungkin menyakiti hati Dianti.""Tapi Mama janji, nggak akan mengabaikan aku lagi? Sepi nggak ada Bi Ratmi. Maka gantinya, Mama harus selalu ada buat aku. Ya, meskipun ada Tante Natasha sama Tante Sinta yang baik banget.""InsyaaAllaah, Mama minta maaf, masih mengulangi kesalahan yang kemarin, yaitu mengabaikan Nak Dianti. Sekarang, boleh minta peluk?" pinta Audrey, lembut.Dianti mengangguk sambil merentangkan tangan. Mereka berpelukan. Putri Fandi itu menitikkan air mata, akhirnya Dianti bisa memaafkannya.Setelah itu, mereka Salat Subuh berjamaah. Edwin pulang, lalu mereka saling menyimak bacaan Alqur
Akhirnya, Audey dan Edwin sampai di rumah, setelah tadi sempat mampir di sebuah warung makan. Tak lupa, mereka menjemput anaknya di tempat Opanya."Udah ngantuk? Boleh Mama temani tidur?" tanya Audrey.Dianti mengangguk. "Boleh, Ma. Bacakan dongeng dulu, ya!"Mamanya mengembangkan senyum. "Siap, Sayang. Gimana kalau kisah Nabi?""Kisah Nabi? Memangnya punya bukunya, Ma?"Audrey mengeluarkan buku yang masih bersampul plastik bening, dari dalam tasnya. "Tadaaaa! Buku baru, buat bacaan anak Mama yang paling pintar ini!"Mata Dianti berbinar. "Wih! MaasyaaAllaah! Makasih, Mama sayang.""Sama-sama, anak cantik! Kita bersih-bersih dulu, ganti baju, terus ke kamar," ajak Audrey, lalu meletakkan tas dan buku ke atas meja."Oke, Mama sayang!"Mereka berjalan menuju toilet untuk membasuh muka, cuci kaki dan tangan. Sementara itu, Edwin masih sibuk memasukkan belanjaan Audrey yang banyak sekali, ke dalam rumah."Kamu bisa ganti baju sendiri, kan?" tanya putri Fandi dan Lia itu.Dianti mengangguk
"Aku mau minta maaf sama kamu," ujar Athena tiba-tiba, sambil bersimpuh di kaki Audrey. "Ih! Apa-apaan, sih! Lepas!" teriak perempuan berjilbab itu.Athena menggeleng. "Enggak, Audrey. Nggak akan aku lepaskan, sebelum kamu maafin aku!"Mamanya Dianti pun membuang napas kasar. "Hei! Sadar! Kamu itu pelakor, nggak usah pura-pura baik. Aku nggak akan percaya. Paling ini akal bulusmu aja, untuk merebut Mas Edwin. Iya, kan?" balas Audrey, dengan badas."Aku beneran mau minta maaf sama kamu, nggak ada maksud apa-apa. Justru aku melakukan ini, saat Edwin nggak ada, supaya kamu percaya." Athena menangis, entah sungguhan atau pura-pura saja."Udah! Minggir! Buat apa kamu minta maaf? Merasa kalah, karena dulu perbuatan menjijikkan itu viral? Berusaha menggoda suami orang, waktu dinner! Sekarang, lagi berusaha memperbaiki nama baik, ya?" kata Audrey."Enggak! Ngapain bikin citra bagus di depan orang banyak? Ini khusus permintaan buatmu. Kalau mau cari muka, seharusnya di depan Edwin. Buktinya,
"Mau minum apa kalian?" tanya Natasha, setelah berbalik badan."Apa aja boleh," jawab Audrey, sambil duduk dekat Dianti, di ruang tamu.Natasha mengembangkan senyum palsu. "Oke. Kalau mau langsung belajar, masuk aja! Sean udah ada di dalam, lagi nggambar."Dianti pun berseru, "Asyik! Siap, Tante." "Ya udah, aku ke belakang dulu." Natasha berjalan ke arah dapur."Ma, aku masuk dulu, ya? Mama mau ikut?" tanya Dianti."Boleh, Nak. Hari ini mau belajar apa?" Audrey balik bertanya.Anak gadis itu tampak sedang berpikir. "Besok, ada PR menggambar dari Bu Guru.""Ayo!"Keduanya pun beranjak, lalu menuju ruang tengah. "Assalaamu'alaikum. Lagi gambar apa, Nak? Tante boleh gabung di sini?" sapa Audrey, ramah.Sean mendongak sejenak. "Halo, Tante! Gambar pemandangan ini. Boleh, silakan."Senyum di pipi istri Edwin memudar, karena Sean tak menjawab salamnya. Apa Natasha dan suaminya tidak membiasakan ucapan itu? "Kalau Sean gambar pemandangan, aku gambar apa, ya, Ma? Biar nggak sama?" Dianti m