"Aku heran hatimu itu terbuat dari apa, Re. Sudah banyak tersakiti, tapi masih saja mau menerima suamimu yang gila itu. Rasanya aku ingin memukulnya sampai tidak bisa berdiri lagi," kata Arfan, saat ia menemui Rea di ruangannya.Keadaan Rea semakin baik, terlebih hatinya merasa bahagia. Wanita itu hanya tersenyum saja melihat Arfan yang marah-marah. "Dia marah karena aku seperti menjual ginjal demi pernikahan, Fan. Dia menganggap aku wanita licik dan murahan karena meminta imbalan sesuatu yang dianggap serakah. Semua orang tahu siapa dia, dia adalah pewaris tunggal. Banyak wanita yang mengincar dia, tentu saja. Mungkin seperti itulah nilaiku di matanya.Belum lagi sebelum menikah aku meminta dibuatkan perjanjian pra nikah yang menyatakan kalau Jeno tidak berhak menceraikanku, kecuali aku yang tidak menjalankan kewajibanku sebagai istri. Kami bisa bercerai, jika aku yang meminta cerai tanpa syarat. Saat selama 2 Tahun rasanya aku mulai putus asa, karena sikap Jeno tidak juga berubah, j
Memang tidak ada persahabatan yang benar-benat murni di antara laki-laki dan perempuan, pasti ada saja terselip perasaan lain di antaranya meski tidak memiliki tekanan yang banyak. Ada ketulusan di dalamnya, tidak ada rasa egois yang mendominasi.Seperti kalimat pujangga cinta berkata 'Aku Akan Bahagia Jika Melihatmu Bahagia' atau 'Cinta Tak Harus Memiliki' atau 'Asal Kau Bahagia' ada banyak kata-kata mutiara yang menggambarkan bahwa memang ada pengorbanan di dalam cinta.Arfan telah menyukai Rea sejak mereka duduk di bangku SMA, kebersamaan membuat pria itu merasa nyaman, dan terbiasa dengan tingkah polah Rea yang manja padanya, jika orang lain yang tidak tahu, pasti sudah mengira kalau mereka itu sepasang kekasih.Bagaimana tidak bawa perasaan? Rea selalu menempel padanya di setiap waktu, menggandeng lengannya saat di mall, tersenyum manis padanya saat berdua, memberi suapan saat makan bersama, bahkan bahunya sering sekali dijadikan sandaran kepala wanita itu.Namun, Arfan tak perna
Jeno dan Rea baru saja sampai di rumah, keadaan rumah juga terasa sepi dan terlihat bersih karena Jeno memang sudah menyuruh Aruna memanggil asistant rumah tangga kali ini, dia tidak mau membuat Rea bekerja di rumah lagi."Selamat datang, Tuan dan Nyonya." Ternyata Jeno memang mempekerjakan pembantu rumah yang harus bersedia tinggal di rumahnya untuk 24 jam melayani dan menjaga Rea. "Kamu menyewa asistant rumah?" tanya Rea pada suaminya.Jeno mengangguk. "Iya, aku tidak mau membuatmu bekerja berat lagi. Kalau begitu ayo masuk," ajaknya dan Rea memperhatikan suasana rumahnya."Ke mana Aruna?" tanya Rea, karena dia tidak melihat keberadaan wanita itu."Aruna sudah tinggal di tempat lain, aku sudah sewakan rumah untuknya," jawab Jeno apa adanya, karena ia ingin lebih menjaga perasaan Rea maka dia pun menyiapkan tempat tinggal lain dan menyuruh wanita itu pindah, tentu saja hal itu membuat Aruna sangat tersinggung.Rea mengangguk paham, meski bagaimana pun Jeno masih memberi kepedulian p
Para perawat dan dokter berdatangan, Jeno benar-benar merasa panik. "Tolong bantu mertuaku, selamatkan dia, Dok.""Apa yang terjadi, kondisi pasien sebelumnya baik-baik saja, mengapa tiba-tiba mengalami serangan jantung lanjutan? Ini sangat berbahaya bagi pasien, tolong Anda keluar lebih dulu, kami akan lakukan tindakan," kata Dokter seraya mempersiapkan alat medis yang dibutuhkan bersama perawat lainnya."Aku tidak tahu, Dok. Saat aku datang mertuaku sudah seperti ini," jelas Jeno, apa adanya."Iya, iya, tapi sekarang tolong Anda keluar. Perawat tolong bawa Tuan ini keluar dari ruangan!" titah Dokter kemudian."Baik, Dok." Perawat perempuan itu mengangguk dan menyuruh Jeno untuk keluar. "Tuan, silakan keluar." Perawat itu mendorong tubuh Jeno hingga pria itu sampai di luar ruangan dan pintu tertutup.Jeno tidak bisa melihat keadaan di dalam, dan di dalam juga Dokter serta perawat berusaha melakukan penyelamatan yang terbaik.***Rea terbangun dari tidurnya, tenggorokannya tiba-tiba s
Dokter tampak menghela napas. "Pasien sudah melewati masa kritisnya, kita tinggal tunggu pasein sadar, kami sudah berusaha yang terbaik, tapi untuk hasil kita tunggu perkembangannya ketika pasien sudah siuman," jelas Dokter pada Rea."Apakah sekarang aku bisa melihatnya, Dok?" tanya Rea penuh permohonan."Silakan, tapi satu orang saja. Pasien harus istirahat cukup jangan sampai terganggu.""Baik, Dok," sahut Rea dan Jeno."Baiklah, aku permisi," pamit Dokter dan melangkah pergi.Rea menoleh pada Jeno dan pria itu mengangguk. "Pergilah, temui papamu," titah Jeno.Rea mengangguk dan mulai masuk ke ruangan. Jeno mengusap wajahnya tak bisa tenang, dia kembali duduk di kursi dan menopang kepalanya dengan kedua telapak tangan yang bertumpu pada kedua paha. Arya hanya berdiri diam di hadapan Jeno, dia juga bingung tidak punya kalimat penghiburan yang bagus untuk menenangkan bosnya.***Rea perlahan mendekat pada ranjang rumah sakit di mana Surya berada, terbaring tak berdaya dengan jarum inf
Seminggu sudah Surya di rumah sakit, Rea selalu berada di sisinya untuk menjaga sang Papa. Arfan juga sering berkunjung karena tahu kalau Surya dirawat di rumah sakit tempat dia bekerja."Besok Papa boleh pulang, Fan. Dan mungkin dia akan tinggal di rumahku dan Jeno. Papa tidak ada saudara lain di sini." Rea sedang memijat kaki papanya, Surya hanya menyimak saja obrolan sepasang sahabat itu tanpa ada yang bisa ia lakukan.Arfan adalah sahabat baik putrinya, kenapa Rea malah mencintai iblis seperti Jeno? pikir Surya. Lihat saja, Arfan begitu baik dan lembut pada putrinya, sepertinya pria itu menyukai Rea, tapi sayang putrinya tidak sadar. Surya hanya bisa memainkan mata, kerena hanya itu organ tubuh yang masih berfungsi."Kalau kamu mau, Paman Surya bisa tinggal bersamaku, Re. Aku hanya tinggal sendiri di rumah, nanti aku bisa sewa perawat untuk Paman jika aku harus pergi ke rumah sakit," tawar Arfan."Itu tidak diperlukan," sela Jeno yang tiba-tiba saja datang. Rea dan Arfan menoleh p
Sesampainya di rumah, Jeno membantu Rea mendorong kursi roda papanya, kini Surya akan tinggal di sini, saksi bisu kekejaman Jeno terhadap sang istri. Mereka semua masuk saat assitant rumah membukakan pintu. "Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapanya ramah."Bi, tolong bawakan barang-barang ini ke kamar yang ada di lantai bawah, ya," titah Jeno, dan meminta Rea memberikan barang-barang Surya pada pembantu rumahnya."Terima kasih ya, Bi," kata Rea, sopan."Sama-sama, Nyonya." Bibi mengangguk lantas membawa tas milik Surya ke kamar yang Jeno pilihkan.Pria itu lantas menoleh pada istrinya yang berdiri di samping. "Aku pilihkan kamar bawah karena kondisi Ayah, Re," jelasnya.Rea tersenyum dan mengangguk kecil. "Tidak apa-apa, aku paham. Kamu tidak usah merasa tidak enak begitu." Toh kamar bawah tidaklah buruk, rumah mewah ini selalu memiliki fasilitas bagus di setiap kamarnya.Jeno balas tersenyum setelahnya kembali berkata. "Aku antarkan Ayah ke kamarnya, Ayah harus istirahat. Kamu juga har
Setelah makan malam Jeno dan Rea mengantarkan Surya kembali ke kamar, setelah itu Rea juga membantu papanya minum obat yang disarankan dokter. "Papa istirahat ya," kata Rea seraya mencium pipi kanan dan kiri papanya.Dia lalu tersenyum pada suaminya, dan Jeno segera membantu Surya untuk naik ke tempat tidur. Rea menyelimuti papanya, dan mencium punggung tangan pria paruh baya itu. "Kami pergi dulu," pamitnya lantas mereka berdua melangkah keluar.Sepeninggalan Rea dan Jeno tampak sudut mata Surya mencair, putrinya adalah wanita yang manja dan lemah lembut. Tidaklah pantas bersanding bersama Jeno yang licik dan kejam, tak bisa membayangkan hidup putrinya dulu bagaimana. "Perasaanmu pasti akan hancur jika tahu semuanya, Re. Papa ingin sekali mengatakan semuanya padamu sekarang, agar kamu tidak terlalu terlena akan kebaikan pria itu," batin Surya.Pria paruh baya itu hanya terisak-isak meratapi nasibnya sekarang, tanpa bisa menyeka air mata yang membasahi pelipisnya. Dia ingin sembuh dan