Para perawat dan dokter berdatangan, Jeno benar-benar merasa panik. "Tolong bantu mertuaku, selamatkan dia, Dok.""Apa yang terjadi, kondisi pasien sebelumnya baik-baik saja, mengapa tiba-tiba mengalami serangan jantung lanjutan? Ini sangat berbahaya bagi pasien, tolong Anda keluar lebih dulu, kami akan lakukan tindakan," kata Dokter seraya mempersiapkan alat medis yang dibutuhkan bersama perawat lainnya."Aku tidak tahu, Dok. Saat aku datang mertuaku sudah seperti ini," jelas Jeno, apa adanya."Iya, iya, tapi sekarang tolong Anda keluar. Perawat tolong bawa Tuan ini keluar dari ruangan!" titah Dokter kemudian."Baik, Dok." Perawat perempuan itu mengangguk dan menyuruh Jeno untuk keluar. "Tuan, silakan keluar." Perawat itu mendorong tubuh Jeno hingga pria itu sampai di luar ruangan dan pintu tertutup.Jeno tidak bisa melihat keadaan di dalam, dan di dalam juga Dokter serta perawat berusaha melakukan penyelamatan yang terbaik.***Rea terbangun dari tidurnya, tenggorokannya tiba-tiba s
Dokter tampak menghela napas. "Pasien sudah melewati masa kritisnya, kita tinggal tunggu pasein sadar, kami sudah berusaha yang terbaik, tapi untuk hasil kita tunggu perkembangannya ketika pasien sudah siuman," jelas Dokter pada Rea."Apakah sekarang aku bisa melihatnya, Dok?" tanya Rea penuh permohonan."Silakan, tapi satu orang saja. Pasien harus istirahat cukup jangan sampai terganggu.""Baik, Dok," sahut Rea dan Jeno."Baiklah, aku permisi," pamit Dokter dan melangkah pergi.Rea menoleh pada Jeno dan pria itu mengangguk. "Pergilah, temui papamu," titah Jeno.Rea mengangguk dan mulai masuk ke ruangan. Jeno mengusap wajahnya tak bisa tenang, dia kembali duduk di kursi dan menopang kepalanya dengan kedua telapak tangan yang bertumpu pada kedua paha. Arya hanya berdiri diam di hadapan Jeno, dia juga bingung tidak punya kalimat penghiburan yang bagus untuk menenangkan bosnya.***Rea perlahan mendekat pada ranjang rumah sakit di mana Surya berada, terbaring tak berdaya dengan jarum inf
Seminggu sudah Surya di rumah sakit, Rea selalu berada di sisinya untuk menjaga sang Papa. Arfan juga sering berkunjung karena tahu kalau Surya dirawat di rumah sakit tempat dia bekerja."Besok Papa boleh pulang, Fan. Dan mungkin dia akan tinggal di rumahku dan Jeno. Papa tidak ada saudara lain di sini." Rea sedang memijat kaki papanya, Surya hanya menyimak saja obrolan sepasang sahabat itu tanpa ada yang bisa ia lakukan.Arfan adalah sahabat baik putrinya, kenapa Rea malah mencintai iblis seperti Jeno? pikir Surya. Lihat saja, Arfan begitu baik dan lembut pada putrinya, sepertinya pria itu menyukai Rea, tapi sayang putrinya tidak sadar. Surya hanya bisa memainkan mata, kerena hanya itu organ tubuh yang masih berfungsi."Kalau kamu mau, Paman Surya bisa tinggal bersamaku, Re. Aku hanya tinggal sendiri di rumah, nanti aku bisa sewa perawat untuk Paman jika aku harus pergi ke rumah sakit," tawar Arfan."Itu tidak diperlukan," sela Jeno yang tiba-tiba saja datang. Rea dan Arfan menoleh p
Sesampainya di rumah, Jeno membantu Rea mendorong kursi roda papanya, kini Surya akan tinggal di sini, saksi bisu kekejaman Jeno terhadap sang istri. Mereka semua masuk saat assitant rumah membukakan pintu. "Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapanya ramah."Bi, tolong bawakan barang-barang ini ke kamar yang ada di lantai bawah, ya," titah Jeno, dan meminta Rea memberikan barang-barang Surya pada pembantu rumahnya."Terima kasih ya, Bi," kata Rea, sopan."Sama-sama, Nyonya." Bibi mengangguk lantas membawa tas milik Surya ke kamar yang Jeno pilihkan.Pria itu lantas menoleh pada istrinya yang berdiri di samping. "Aku pilihkan kamar bawah karena kondisi Ayah, Re," jelasnya.Rea tersenyum dan mengangguk kecil. "Tidak apa-apa, aku paham. Kamu tidak usah merasa tidak enak begitu." Toh kamar bawah tidaklah buruk, rumah mewah ini selalu memiliki fasilitas bagus di setiap kamarnya.Jeno balas tersenyum setelahnya kembali berkata. "Aku antarkan Ayah ke kamarnya, Ayah harus istirahat. Kamu juga har
Setelah makan malam Jeno dan Rea mengantarkan Surya kembali ke kamar, setelah itu Rea juga membantu papanya minum obat yang disarankan dokter. "Papa istirahat ya," kata Rea seraya mencium pipi kanan dan kiri papanya.Dia lalu tersenyum pada suaminya, dan Jeno segera membantu Surya untuk naik ke tempat tidur. Rea menyelimuti papanya, dan mencium punggung tangan pria paruh baya itu. "Kami pergi dulu," pamitnya lantas mereka berdua melangkah keluar.Sepeninggalan Rea dan Jeno tampak sudut mata Surya mencair, putrinya adalah wanita yang manja dan lemah lembut. Tidaklah pantas bersanding bersama Jeno yang licik dan kejam, tak bisa membayangkan hidup putrinya dulu bagaimana. "Perasaanmu pasti akan hancur jika tahu semuanya, Re. Papa ingin sekali mengatakan semuanya padamu sekarang, agar kamu tidak terlalu terlena akan kebaikan pria itu," batin Surya.Pria paruh baya itu hanya terisak-isak meratapi nasibnya sekarang, tanpa bisa menyeka air mata yang membasahi pelipisnya. Dia ingin sembuh dan
Melihat tulisan di kertas itu Rea tertegun, lantas menatap Arfan di hadapannya. "Apakah masih ada yang perlu ditanyakan?" tanya pria itu dengan santai.Rea menggeleng. "Ti-tidak sama sekali, aku hanya ingin katakan terima kasih banyak atas bantuanmu." Rea semakin merasa kaku dan canggung karenanya."Tidak masalah, ini sudah pekerjaanku. Jika ada apa-apa segera hubungi aku."Rea tersenyum dan mengangguk kaku. "Kalau begitu aku permisi, terima kasih sekali lagi." Rea berdiri dan Arfan mengangguk.Rea segera keluar ruangan dan diikuti pengawal. "Sudah matikan saja," pinta Jeno pada pengawalnya."Baik, Tuan," jawab pria yang memakai setelan jas hitam-hitam itu.Layar ponsel menjadi gelap, Jeno meletakan benda pipih itu kembali ke atas meja dan menghela napas lega. Saat ini pintu ruangan Jeno diketuk dan tak lama terbuka, Aruna masuk dengan senyuman manisnya dan di tangannya terdapat kotak bekal seperti biasa ia bawa."Sayang, kamu pasti belum sarapan. Ini aku bawakan sarapan untukmu seper
Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, sudah sangat jauh dari jam makan siang. Setelah menemani Jeno meeting pria itu kembali ke ruangannya, lantas melihat kotak bekal yang tadi Jeno berikan. Itu pemberian dari Aruna, dan wanita itu saat ini tidak terlihat di kantor. Bahkan tadi saja dia tidak hadir dalam meeting penting.Arya mengambil kotak itu dan perlahan membukanya, pria itu melihat masakan yang tak asing lagi, pria itu lantas tersenyum miring. "Apa tuan Bramantio tidak bisa membedakan masakan rumah dengan masakan restoran? Wanita itu memang wanita ular, aku bersyukur nona Rea sudah bisa membuat tuan sadar dan akhirnya mencintainya."Arya lantas menutup kotak bekal itu lagi, meraih gagang telefon dan menghubungi seseorang. Setelah selesai menelefon tak lama pintu diketuk. "Masuk!" sahutnya, dan tak lama seorang office boy membuka pintu."Permisi, Tuan. Apa Tuan membutuhkanku?" tanyanya sopan."Ya, masuklah," pinta Arya.Office Boy itu masuk dan berdiri di depan meja Arya, Arya meny
Rea mematut diri di cermin, wajahnya sangat pucat. Padahal dia sudah berusaha menurut pada dokter agar rutin minum obat, tapi mengapa masih suka kambuh? Mungkin karena penyakitnya ini sudah sangat parah, akan butuh waktu lama untuk memulihkannya.Ini pertama kalinya Jeno mengajaknya ke suatu tempat, dia tidak tahu mau dibawa ke mana. Dipolesnya wajah cantik yang semakin tirus, dulu Rea memiliki wajah imut dan sedikit berisi, sekarang wajahnya semakin menirus.Diraihnya alat make up yang ada di atas meja rias, mengulas sedikit bedak dan memberi perona wajah agar tidak terlalu pucat, tak lupa juga ia mengulas bibir agar lebih terlihat segar, dia tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, lantas mengambil jepit rambut mutiara dan menggunakan di rambutnya yang tergerai indah hingga punggung.Rea menggunakan dress warna pink dengan kerah sabrina, sehingga menunjukkan tulang selangkanya yang indah meski terlihat lebih kurus. Dia wanita sempurna sehingga sedikit polesan saja sudah cukup m
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama