Jam sudah menunjukkan pukul 2 siang, sudah sangat jauh dari jam makan siang. Setelah menemani Jeno meeting pria itu kembali ke ruangannya, lantas melihat kotak bekal yang tadi Jeno berikan. Itu pemberian dari Aruna, dan wanita itu saat ini tidak terlihat di kantor. Bahkan tadi saja dia tidak hadir dalam meeting penting.Arya mengambil kotak itu dan perlahan membukanya, pria itu melihat masakan yang tak asing lagi, pria itu lantas tersenyum miring. "Apa tuan Bramantio tidak bisa membedakan masakan rumah dengan masakan restoran? Wanita itu memang wanita ular, aku bersyukur nona Rea sudah bisa membuat tuan sadar dan akhirnya mencintainya."Arya lantas menutup kotak bekal itu lagi, meraih gagang telefon dan menghubungi seseorang. Setelah selesai menelefon tak lama pintu diketuk. "Masuk!" sahutnya, dan tak lama seorang office boy membuka pintu."Permisi, Tuan. Apa Tuan membutuhkanku?" tanyanya sopan."Ya, masuklah," pinta Arya.Office Boy itu masuk dan berdiri di depan meja Arya, Arya meny
Rea mematut diri di cermin, wajahnya sangat pucat. Padahal dia sudah berusaha menurut pada dokter agar rutin minum obat, tapi mengapa masih suka kambuh? Mungkin karena penyakitnya ini sudah sangat parah, akan butuh waktu lama untuk memulihkannya.Ini pertama kalinya Jeno mengajaknya ke suatu tempat, dia tidak tahu mau dibawa ke mana. Dipolesnya wajah cantik yang semakin tirus, dulu Rea memiliki wajah imut dan sedikit berisi, sekarang wajahnya semakin menirus.Diraihnya alat make up yang ada di atas meja rias, mengulas sedikit bedak dan memberi perona wajah agar tidak terlalu pucat, tak lupa juga ia mengulas bibir agar lebih terlihat segar, dia tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin, lantas mengambil jepit rambut mutiara dan menggunakan di rambutnya yang tergerai indah hingga punggung.Rea menggunakan dress warna pink dengan kerah sabrina, sehingga menunjukkan tulang selangkanya yang indah meski terlihat lebih kurus. Dia wanita sempurna sehingga sedikit polesan saja sudah cukup m
Deruan napas yang berbaur aroma mint mengikat ingatan waras Rea, wanita itu mencengkram seprai putih bertabur kelopak bunga mawar tempat keduanya berbaring. Setelah makan malam romantis tadi pasangan ini menghabiskan malam di kamar hotel yang sudah Jeno pesan sebelumnya.Lampu temaram dengan aroma lilin menguar bersama irama desahan, kalimat cinta dan panggilan sayang memenuhi ruangan kamar sweetroom yang disetting begitu sempurna. Jeno tenggelam dalam indahnya asmara, Rea bagai candu yang tak dapat ia lewatkan lebih lama lagi. Dirinya selalu ingin mendekat dan menikmati manisnya cinta berdua, menghabiskan sisa malam gelap hingga fajar terbit membawa terang."Terima kasih." Suara parau Jeno masuk ke telinga Rea, wanita itu perlahan membuka mata dan memberi senyuman lembut.Hatinya selalu hangat, dia wanita berhati lembut yang selalu dipenuhi cinta. Sebanyak apa luka yang Jeno beri untuk dirinya, tak mampu menghapus cinta di hatinya. Rea pernah marah pada dirinya sendiri, mengapa dia s
Sesampainya di rumah, Jeno segera keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Rea. "Aku masih bisa jalan," tolak Rea, saat Jeno membungkuk untuk menggendongnya kembali."Biarkan aku membantumu," jawab pria itu, Jeno tidak bisa dibantah apalagi ditolak, apapun yang dia ingin lakukan akan dia lakukan, dan Rea cukup menerimanya saja.Rea terpaksa menurut, Jeno menggendongnya ke dalam rumah. Sebenarnya dia sudah cukup malu saat tadi digendong di hotel, dan di sini juga. Rea terlebih takut papanya melihatnya dan akan berpikir kalau dia sedang tidak sehat, meski itu pada kenyataannya.Benar saja saat mereka masuk, Surya ada di ruang tamu. Assistant rumah tangga sedang memberinya sarapan. "Selamat pagi, Tuan, Nyonya. Tuan, Nyonya Rea kenapa?" tanya Assisatant.Pertanyaan wanita paruh baya itu juga menjadi pertanyaan yang ingin Surya tanyakan saat ini, dia tidak bisa bergerak apalagi berkata-kata, hanya sorot matanya saja yang menggambarkan kecemasan. "Jeno! Apa yang terjadi pada putriku?!"
Hari-hari berlalu begitu cepat. 2 Bulan telah terlewati, kehidupan Jeno dan Rea selalu harmonis dan bahagia. Rea juga terus meminum obat dari Arfan, meski masih sering sakit, tapi dia tetap semangat untuk sembuh.Hari ini jadwal Surya terapi pada ahli syaraf yang khusus Jeno datangkan setiap minggunya untuk melatih otot organ tubuh Ayah mertuanya. Jeno memang bersungguh-sungguh mengurus Surya dan memberikan pengobatan yang terbaik.Berharap, Surya bisa melihat kesungguhannya dalam menebus setiap kesalahan yang.pernah ia lakukan di masa lalu. Namun, usaha Jeno menyembuhkan sepertinya tiada hasil, keadaan Surya tetap sama seperti awal, tak sama sekali menunjukkan kemajuan sedikit pun."Kenapa tidak ada hasil dari terapi ini, Dok? Apakah sudah tidak ada harapan Ayah mertuaku untuk sembuh?" tanya Jeno, pria itu seolah putus asa, dia mau Surya sembuh dan membuat hatinya tenang tidak merasa bersalah lagi pada istri dan mertuanya ini, setelah semuanya membaik Jeno ingin keadaan seperti semul
Sesungguhnya sudah 2 Minggu ini Surya mengalami kemajuan, dia bisa menggerakkan bibir juga jari-jari tangannya meski tidak bisa maksimal. Dia ingin berusaha mengatakan rahasianya pada Rea, tapi tidak pernah diberi kesempatan.Saat putrinya datang menemuinya, perawat selalu ada di kamarnya, atau kadang Jeno juga ikut serta berada bersama Rea. Surya benar-benar tidak diberikan kesempatan berdua saja dengan sang putri di rumah ini. Dia tak mau kemajuan kondisinya diketahui Jeno, dia takut kalau dirinya nanti didesak untuk diam. Dia tidak mau kewaspadaan menantunya semakin kuat yang bisa saja semakin mempersulit pertemuannya dengan sang putri jika saja Surya tidak setuju untuk menurut pada keinginan Jeno.Surya masih menilai kalau Jeno tidak akan pernah berubah. Jeno adalah pria yang kasar dan arugan dan tidak akan pernah berubah jika jalan tujuannya tidak mulus, Jeno bisa melakukan apa saja untuk menuju tujuannya.Tak lama perawat datang setelah dari toilet, perempuan muda itu lalu mengh
Karena merasa istrinya terlalu lama di toilet Jeno pun akhirnya menyusul dan mengetuk pintu toilet, tak lama Rea keluar dengan wajah panik membuat Jeno mengerutkan kening. "Rea, ada apa? Kenapa kamu terlihat ketakutan?" tanya Jeno, pria itu mencoba melongok ke dalam, tapi Aruna sepertinya masuk ke bilik toilet.Rea tersenyum gugup. "Ti-tidak apa-apa, Jeno. Tadi aku kaget saja melihat kecoa di dalam," jawab Rea beralasan.Jeno mengangguk dan meraih pinggang istrinya. "Ayo, filmnya sudah mau mulai."Rea mengangguk dan ikut melangkah bersama Jeno memasuki gedung teater. Mereka mengambil tempat duduk di tengah-tengah, jauh dari orang kanan kiri, depan dan belakang.Film yang menampilkan adegan romantis membuat Rea jadi terhanyut, Jeno tersenyum melihat ekspresi istrinya yang merona. "Dasar wanita, mudah sekali bawa perasaan," batin Jeno.Pria itu lebih suka memperhatikan wajah Rea dibanding menonton layar, hingga dirinya sendiri tidak sadar kalau wajahnya semakin mendekat ke pipi Rea. Rea
Benar saja, Jeno di sepanjang jalan didiamkan oleh Rea, sampai sekarang mereka di atas tempat tidur pun Rea tetap diam. Kesal sekali Rea rupanya, setiap kali ia membahas Aruna, Jeno selalu menganggapnya lain, padahal Rea bersungguh-sunggu. Rea mengerti sekarang, di mata Jeno, Aruna memang masih seperti wanita polos dan baik hati.Ucapan saja tidak akan dipercaya jika tidak ada bukti, sia-sia saja jika membicarakan hal ini pada Jeno, dia tidak akan percaya."Sayang." Jeno menyentuh pundak Rea yang tidur miring membelakanginya."Jangan sentuh aku, kamu menyebalkan!" ketus Rea, seraya menggerakkan bahu atas hingga Jeno terpaksa melepaskan tangannya."Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu marah, Sayang." Jeno masih menatap punggung Rea, berharap wanita itu mau membalik tubuh dan menatap dirinya, tapi wanita itu tetap pada posisinya."Aku mau tidur, capek. Tolong jangan ganggu aku!" sahut Rea, wanita itu memejamkan matanya dan tak ingin mempedulikan Jeno yang merengek minta maaf sejak
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama