Benar saja, Jeno di sepanjang jalan didiamkan oleh Rea, sampai sekarang mereka di atas tempat tidur pun Rea tetap diam. Kesal sekali Rea rupanya, setiap kali ia membahas Aruna, Jeno selalu menganggapnya lain, padahal Rea bersungguh-sunggu. Rea mengerti sekarang, di mata Jeno, Aruna memang masih seperti wanita polos dan baik hati.Ucapan saja tidak akan dipercaya jika tidak ada bukti, sia-sia saja jika membicarakan hal ini pada Jeno, dia tidak akan percaya."Sayang." Jeno menyentuh pundak Rea yang tidur miring membelakanginya."Jangan sentuh aku, kamu menyebalkan!" ketus Rea, seraya menggerakkan bahu atas hingga Jeno terpaksa melepaskan tangannya."Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu marah, Sayang." Jeno masih menatap punggung Rea, berharap wanita itu mau membalik tubuh dan menatap dirinya, tapi wanita itu tetap pada posisinya."Aku mau tidur, capek. Tolong jangan ganggu aku!" sahut Rea, wanita itu memejamkan matanya dan tak ingin mempedulikan Jeno yang merengek minta maaf sejak
Jeno baru saja sampai di kantor dan langsung dihadapkan dengan pekerjaan, sehingga ia tidak sempat mengecek ponselnya. "Kalau begitu, aku pelajari dulu dokumentnya, dan kamu bisa suruh mereka tunggu sebentar," kata Jeno pada Arya."Baik, Tuan. Permisi," pamit Arya, pria berkacamata itu segera keluar ruangan menuju ruang meeting, sementara Jeno fokus membaca dokument yang akan ia bawa di dalam meeting pagi ini.***"Lepas! Lepaskan aku, aku mohon. Kalian mau apa?" Rea terus meronta di dalam mobil yang melaju membawa dirinya dan juga sang Pengawal yang telah tak sadarkan diri."Berisik! Buat dia diam!" perintah pria yang memegang setir, dan dua pria di samping Rea mengangguk, salah satunya mengambil sapu tangan dan membubuhkan obat bius."Tolong lepaskan aku, kalian siapa-- mmph!"Rea pun tak sadarkan diri setelah penjahat membekapnya dengan sapu tangan, sementara pengawal yang penuh luka lebam di wajahnya masih tak sadarkan diri di bagasi mobil.Kendaraan itu pun berhenti pada sebuah r
Seluruh luka yang Pengawal alami sudah berhasil ditangani para perawat rumah sakit, Rea juga menemuinya untuk membicarakan sesuatu. "Nyonya," sapa Pengawal saat melihat Rea masuk ruang rawatnya, tidak menyangka kalau istri bosnya masih berada di sini menungguinya."Bagaimana keadaanmu, Pengawal?" tanya Rea seraya berdiri di samping ranjang tempat pengawal berbaring."Aku sudah baik-baik saja, Nyonya. Bagaimana keadaan Anda sendiri? Apakah ada yang terluka? Maafkan aku tidak bisa melindungi Anda dengan baik," kata Pengawal benar-benar merasa bersalah."Kamu sudah melakukan yang terbaik, mereka berjumlah banyak orang, sementara kamu hanya seorang diri. Beruntung mereka pergi setelahnya, tapi apakah kamu tahu siapa mereka?" tanya Rea.Pengawal menggeleng, dia tidak tahu persis musuh-musuh Jeno, dia hanya berpikir. "Mungkin itu salah satu saingan bisnis tuan, Nyonya."Mendengar dugaan Pengawal, Rea pun terdiam dan berusaha mengingat sesuatu. "Aku mengenal sekilas satu pria dari keempatnya
Jeno membawa kendaraannya bak kekuatan angin, tubuh kecil Rea seolah menyusut di tempatnya karena takut. "Jeno, bisakah kamu pelan sedikit, kamu harus dengarkan penjelasanku.""Penjelasan apa? Mataku sudah cukup melihatnya, Rea! Kamu wanita menjijikan dan murahan!"Rea melebarkan kelopak matanya tak mengerti. "Apa karena hal tadi kamu berpikir serendah itu tentang aku? Hah!""Memang begitu kan kenyataannya? Dulu juga begitu, demi menikah denganku kamu menukar ginjalmu." Jeno tersenyum sinis.Rea diam, seolah banyak ratusan kerak es tajam menusuk jantungnya, membuat seluruh aliran darah di dalam tubuh Rea membeku, rasanya mati rasa. Rea lelah lagi-lagi menerima penghinan dan tuduhan ini. Jeno melirik istrinya yang tidak menjawab apa-apa, dia pun kembali berkata. "Kenapa diam? Apa sekarang kamu lelah mengelak? Dan memilih mengakuinya saja, lalu berhenti berkata cinta bodohmu itu?"Cinta bodoh? Jeno mengatakan cintanya bodoh? Ya, Rea memang bodoh, sangat bodoh!"Ya," jawab Rea dingin. "
Malam telah larut, hujan di luar pun telah reda seiring keringnya air mata di pipi Rea. Jeno dan Rea tidur saling membelakangi, setelah percintaan panas dan kasar yang Jeno lakukan pada istrinya, mereka tak lagi bertegur sapa.Perasaan Jeno bercampur aduk menjadi satu, mengingat rasa sakit wanita itu hingga air matanya tak kunjung mengering di setiap hentakan tubuh mereka tadi, membuat Jeno merasa tak nyaman. Dia sempat gamang saat melihat tatapan wanita itu, meski kedua netranya basah air mata yang menggenanginya, sorot teduhnya kini redup dan berganti kejam.Jeno memutuskan turun dari tempat tidur untuk menenangkan diri di dalam kamar mandi, dia tidak tahu harus merenung atau apa, yang pasti saat ini hati, otak dan tubuhnya begitu terasa panas. Pria itu memutar tuas shower yang mengucurkan air dingin, meski di luar udara masih sejuk, tapi tidak dengan dirinya.Rea perlahan menoleh ke belakang, melihat Jeno sudah tidak ada di tempat tidur dan terdengar suara air jatuh di lantai dia t
"Dok, tolong selamatkan istri dan ayah mertuaku!" Jeno memberi pesan saat kedua brankar di dorong memasuki ruang ICU."Kami akan lakukan yang terbaik, Tuan. Permisi," jawab Dokter, lantas masuk dan perawat menutup pintu rapat.Jeno sangat panik, bisa dibayangkan seberapa paniknya dia saat ini? Dada pria itu terasa sesak seolah banyak udara di dalamnya, membuat detak jantungnya berdebar kuat, hingga membuat kepalanya menjadi pusing.Belum pernah ia berada dalam situasi seburuk ini, Jeno takut sesuatu yang buruk terjadi pada istri dan mertuanya. Dia akan sangat merasa bersalah jika itu terjadi. "Aku harus telefon Arya," gumamnya, lantas segera merogoh ponselnya di saku celana. Namun, sialnya tadi dia lupa bawa ponsel.Pria itu akhirnya pergi ke bagian informasi untuk meminjam alat komunikasi. "Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?" tanya Petugas informasi."Bisakah aku pinjam ponselmu, aku butuh menghubungi seseorang," jawab Jeno."Tentu saja, silakan." Petugas memberikan ponse
BYUUURR!Aruna dan Alex gelagapan saat seember air dingin jatuh mengguyur tubuh mereka berdua. Suara langkah kaki terdengar semakin mendekat dan keduanya melihat sosok pria yang tidak pernah mereka duga akan datang. Suasana ruangan yang gelap perlahan timbul cahaya dari lampu yang berada di atas kepala mereka."Je-jeno, Sa-sayang. Ka-kamu datang untuk selamatkan aku, kan?" Aruna berusaha melepaskan kedua tangannya dari ikatan tali yang tergantung di atas. "Sayang, cepat lepaskan aku," pintanya menatap pada Jeno yang terus berjalan mendekat.Namun, pria itu bukannya melepaskan ikatan tali di tangan perempuan itu, dia malah mencengkram rahang sang wanita dan menatapnya geram. "Apa? Lepaskan? Ini pantas untukmu. Wanita pengkhianat sepertimu pantas aku perlakukan seperti ini, Aruna." Jeno melepas kasar rahang wanita itu hingga berpaling ke samping.Aruna masih tidak mengerti dengan apa yang Jeno katakan. "A-apa yang kamu katakan, Sayang? Aku tidak mengerti, aku mohon cepat kamu lepaskan a
Ruangan ICU, di mana Rea selama seminggu ini terbaring koma, sejak malam itu Rea tak mau bangun hingga pemakaman papanya saja dia tidak ikut menghadiri. Rea seolah tidak punya semangat hidup lagi setelah tahu semua kejahatan Jeno terhadap dirinya dan juga pada orang yang paling wanita itu kasihi.Rasanya sakit sekali, penderitaan Surya disebabkan oleh cintanya pada pria yang salah. Bahkan, kematian papanya tepat di hadapan dirinya malam itu. Rea tidak sanggup menghadapi dunia lagi, dia ingin tidur dan tidak ingin bangun lagi.Jeno masuk dengan membawa sesuatu di tangannya, dia berjalan mendekat dan berdiri di samping ranjang. "Hai, selamat sore, istriku tercinta," sapanya dengan nada bergetar.Jeno lemah, selama seminggu ini tak bisa tidur siang dan malam memikirkan keadaan Rea yang tak juga bangun. "Kamu pasti sangat marah padaku, Rea. Hingga kamu tidak sudi bangun untuk sedikit berbicara padaku. Maafkan aku, Sayang. Karena aku begitu sangat terlambat menyadari kebodohanku. Jeno menu
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama