Senja sore menyapa, Rea duduk di kursi dekat jendela rumah sakit. Dia melihat matahari berwarna jingga, indah tapi pemandangan itu tak lama sirna berganti gelap. Rea sudah lama menjadi siang yang menghangatkan hari-hari Jeno selama 2 Tahun ini, kini pada saat dirinya menjadi senja, Jeno datang membawa cinta. Kekutan apa yang mampu menahan waktu agar malam tidak pernah kunjung tiba? Setidaknya satu tahun saja untuk Rea hidup.Tanpa terasa air matanya menetes, membuat garis lurus di pipi dan jatuh tak berkesan, Rea bahagia karena pada akhirnya Jeno mencintainya, tapi dia bersedih karena sakitnya ini akan berada di tubuhnya dan merenggut nyawanya sewaktu-waktu.Awalnya dia menutupi penyakitnya dari Jeno karena dia mau tahu sifat asli pria itu, tapi saat ini dia akan tetap menutupi penyakitnya karena tidak mau membuat suaminya bersedih dan khawatir dengan kondisinya. Rea akan tetap bersemangat untuk berobat pada Arfan, menurut pada dokter itu demi kesembuhannya, asalkan Jeno selalu member
"Aku heran hatimu itu terbuat dari apa, Re. Sudah banyak tersakiti, tapi masih saja mau menerima suamimu yang gila itu. Rasanya aku ingin memukulnya sampai tidak bisa berdiri lagi," kata Arfan, saat ia menemui Rea di ruangannya.Keadaan Rea semakin baik, terlebih hatinya merasa bahagia. Wanita itu hanya tersenyum saja melihat Arfan yang marah-marah. "Dia marah karena aku seperti menjual ginjal demi pernikahan, Fan. Dia menganggap aku wanita licik dan murahan karena meminta imbalan sesuatu yang dianggap serakah. Semua orang tahu siapa dia, dia adalah pewaris tunggal. Banyak wanita yang mengincar dia, tentu saja. Mungkin seperti itulah nilaiku di matanya.Belum lagi sebelum menikah aku meminta dibuatkan perjanjian pra nikah yang menyatakan kalau Jeno tidak berhak menceraikanku, kecuali aku yang tidak menjalankan kewajibanku sebagai istri. Kami bisa bercerai, jika aku yang meminta cerai tanpa syarat. Saat selama 2 Tahun rasanya aku mulai putus asa, karena sikap Jeno tidak juga berubah, j
Memang tidak ada persahabatan yang benar-benat murni di antara laki-laki dan perempuan, pasti ada saja terselip perasaan lain di antaranya meski tidak memiliki tekanan yang banyak. Ada ketulusan di dalamnya, tidak ada rasa egois yang mendominasi.Seperti kalimat pujangga cinta berkata 'Aku Akan Bahagia Jika Melihatmu Bahagia' atau 'Cinta Tak Harus Memiliki' atau 'Asal Kau Bahagia' ada banyak kata-kata mutiara yang menggambarkan bahwa memang ada pengorbanan di dalam cinta.Arfan telah menyukai Rea sejak mereka duduk di bangku SMA, kebersamaan membuat pria itu merasa nyaman, dan terbiasa dengan tingkah polah Rea yang manja padanya, jika orang lain yang tidak tahu, pasti sudah mengira kalau mereka itu sepasang kekasih.Bagaimana tidak bawa perasaan? Rea selalu menempel padanya di setiap waktu, menggandeng lengannya saat di mall, tersenyum manis padanya saat berdua, memberi suapan saat makan bersama, bahkan bahunya sering sekali dijadikan sandaran kepala wanita itu.Namun, Arfan tak perna
Jeno dan Rea baru saja sampai di rumah, keadaan rumah juga terasa sepi dan terlihat bersih karena Jeno memang sudah menyuruh Aruna memanggil asistant rumah tangga kali ini, dia tidak mau membuat Rea bekerja di rumah lagi."Selamat datang, Tuan dan Nyonya." Ternyata Jeno memang mempekerjakan pembantu rumah yang harus bersedia tinggal di rumahnya untuk 24 jam melayani dan menjaga Rea. "Kamu menyewa asistant rumah?" tanya Rea pada suaminya.Jeno mengangguk. "Iya, aku tidak mau membuatmu bekerja berat lagi. Kalau begitu ayo masuk," ajaknya dan Rea memperhatikan suasana rumahnya."Ke mana Aruna?" tanya Rea, karena dia tidak melihat keberadaan wanita itu."Aruna sudah tinggal di tempat lain, aku sudah sewakan rumah untuknya," jawab Jeno apa adanya, karena ia ingin lebih menjaga perasaan Rea maka dia pun menyiapkan tempat tinggal lain dan menyuruh wanita itu pindah, tentu saja hal itu membuat Aruna sangat tersinggung.Rea mengangguk paham, meski bagaimana pun Jeno masih memberi kepedulian p
Para perawat dan dokter berdatangan, Jeno benar-benar merasa panik. "Tolong bantu mertuaku, selamatkan dia, Dok.""Apa yang terjadi, kondisi pasien sebelumnya baik-baik saja, mengapa tiba-tiba mengalami serangan jantung lanjutan? Ini sangat berbahaya bagi pasien, tolong Anda keluar lebih dulu, kami akan lakukan tindakan," kata Dokter seraya mempersiapkan alat medis yang dibutuhkan bersama perawat lainnya."Aku tidak tahu, Dok. Saat aku datang mertuaku sudah seperti ini," jelas Jeno, apa adanya."Iya, iya, tapi sekarang tolong Anda keluar. Perawat tolong bawa Tuan ini keluar dari ruangan!" titah Dokter kemudian."Baik, Dok." Perawat perempuan itu mengangguk dan menyuruh Jeno untuk keluar. "Tuan, silakan keluar." Perawat itu mendorong tubuh Jeno hingga pria itu sampai di luar ruangan dan pintu tertutup.Jeno tidak bisa melihat keadaan di dalam, dan di dalam juga Dokter serta perawat berusaha melakukan penyelamatan yang terbaik.***Rea terbangun dari tidurnya, tenggorokannya tiba-tiba s
Dokter tampak menghela napas. "Pasien sudah melewati masa kritisnya, kita tinggal tunggu pasein sadar, kami sudah berusaha yang terbaik, tapi untuk hasil kita tunggu perkembangannya ketika pasien sudah siuman," jelas Dokter pada Rea."Apakah sekarang aku bisa melihatnya, Dok?" tanya Rea penuh permohonan."Silakan, tapi satu orang saja. Pasien harus istirahat cukup jangan sampai terganggu.""Baik, Dok," sahut Rea dan Jeno."Baiklah, aku permisi," pamit Dokter dan melangkah pergi.Rea menoleh pada Jeno dan pria itu mengangguk. "Pergilah, temui papamu," titah Jeno.Rea mengangguk dan mulai masuk ke ruangan. Jeno mengusap wajahnya tak bisa tenang, dia kembali duduk di kursi dan menopang kepalanya dengan kedua telapak tangan yang bertumpu pada kedua paha. Arya hanya berdiri diam di hadapan Jeno, dia juga bingung tidak punya kalimat penghiburan yang bagus untuk menenangkan bosnya.***Rea perlahan mendekat pada ranjang rumah sakit di mana Surya berada, terbaring tak berdaya dengan jarum inf
Seminggu sudah Surya di rumah sakit, Rea selalu berada di sisinya untuk menjaga sang Papa. Arfan juga sering berkunjung karena tahu kalau Surya dirawat di rumah sakit tempat dia bekerja."Besok Papa boleh pulang, Fan. Dan mungkin dia akan tinggal di rumahku dan Jeno. Papa tidak ada saudara lain di sini." Rea sedang memijat kaki papanya, Surya hanya menyimak saja obrolan sepasang sahabat itu tanpa ada yang bisa ia lakukan.Arfan adalah sahabat baik putrinya, kenapa Rea malah mencintai iblis seperti Jeno? pikir Surya. Lihat saja, Arfan begitu baik dan lembut pada putrinya, sepertinya pria itu menyukai Rea, tapi sayang putrinya tidak sadar. Surya hanya bisa memainkan mata, kerena hanya itu organ tubuh yang masih berfungsi."Kalau kamu mau, Paman Surya bisa tinggal bersamaku, Re. Aku hanya tinggal sendiri di rumah, nanti aku bisa sewa perawat untuk Paman jika aku harus pergi ke rumah sakit," tawar Arfan."Itu tidak diperlukan," sela Jeno yang tiba-tiba saja datang. Rea dan Arfan menoleh p
Sesampainya di rumah, Jeno membantu Rea mendorong kursi roda papanya, kini Surya akan tinggal di sini, saksi bisu kekejaman Jeno terhadap sang istri. Mereka semua masuk saat assitant rumah membukakan pintu. "Selamat datang, Tuan, Nyonya," sapanya ramah."Bi, tolong bawakan barang-barang ini ke kamar yang ada di lantai bawah, ya," titah Jeno, dan meminta Rea memberikan barang-barang Surya pada pembantu rumahnya."Terima kasih ya, Bi," kata Rea, sopan."Sama-sama, Nyonya." Bibi mengangguk lantas membawa tas milik Surya ke kamar yang Jeno pilihkan.Pria itu lantas menoleh pada istrinya yang berdiri di samping. "Aku pilihkan kamar bawah karena kondisi Ayah, Re," jelasnya.Rea tersenyum dan mengangguk kecil. "Tidak apa-apa, aku paham. Kamu tidak usah merasa tidak enak begitu." Toh kamar bawah tidaklah buruk, rumah mewah ini selalu memiliki fasilitas bagus di setiap kamarnya.Jeno balas tersenyum setelahnya kembali berkata. "Aku antarkan Ayah ke kamarnya, Ayah harus istirahat. Kamu juga har
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama