Rea, Rayan dan pengasuh naik eskalator ke lantai dua mall. Mereka berjalan bergandengan tangan menuju restoran pizza, ketiganya pun masuk dan Rea memesan."Nyonya, Tuan Rey ingin berjalan-jalan dulu," kata Pengasuh menyampaikan keinginan anak asuhnya itu.Rea yang berada di depan pelayan pun menoleh. "Pesanannya mungkin akan sedikit lama datang. Kalau begitu tolong temani Ray bermain dulu, hati-hati jaga dia. Aku akan cari kalian jika pesanan sudah siap," jawab Rea.Pengasuh pun mengangguk seraya tersenyum. "Baik, Nyonya," jawabnya lantas menoleh pada Rayan. "Ayo, Tuan Ray," ajaknya mengulurkan tangan.Rayan pun mengangguk dan menyambut uluran tangan pengasuhnya, mereka lalu berjalan keluar restoran dan Rea tersenyum melihatnya. "Jadi, ini sudah pesanannya, Nyonya?" tanya Pelayan.Rea menoleh dan mengangguk. "Iya, sudah," jawabnya."Baik, mohon ditunggu beberapa waktu, Nyonya," pinta Pelayan dengan suara dan senyuman ramah.Rea mengangguk dan berjalan ke salah satu meja yang kosong. W
Terlihat Rea menuntun tangan Rayan kembali ke tempat parkir, si Pengasuh juga terus mengikuti. Rea tampak kesal karena tidak tahu siapa orangnya yang sudah memberi putranya es krim.Mereka jadi tidak jadi makan pizza, semuanya Rea minta bungkus dan bawa pulang saja. Mood wanita itu rusak, dan sangat kesal pada orang yang tidak tahu siapa. "Ayo masuk, Ray," pintanya lalu menggendong Rayan masuk mobil.Dari mobil lain tampak Jeno mengerutkan kening kala melihat seorang wanita di balik pintu mobilnya, wajahnya tidak terlalu jelas dari samping terhalang oleh rambut panjang wanita itu juga.Namun, dia tahu wanita itu sedang kesal pada putranya dari sang pengasuh memiliki ekspresi panik. "Namanya juga anak-anak, kalau nakal kan wajar," gumamnya berkomentar seraya berdecak.Saat ia memperhatikan pengasuh, dia pun ingat kalau itu pengasuh Rayan. Jadi, Rayan ke mall bersama wanita itu? Siapa dia, Jeno sangat ingin melihatnya.Maryam yang duduk di belakang pun mengerutkan kening. "Kamu sedang l
Rayan sedang berendam di air hangat, Pengasuh menuang essence pada hathup yang sudah dipenuhi busa sabun. Vanila mint adalah wangi kesukaannya Rayan, tercium wangi dan sangat manis juga segar.Rayan berdiam diri saja, otak pintarnya terus mengingat ucapan Rea yang salah bicara 'ibu ibu ibu' kata itu terus terngiang di kepala Rayan. Kenapa tante itu menyebut dirinya ibu? Apakah dia mau jadi ibunya? Itu yang dia pikirkan saat ini.Setelah beberapa saat berendam, Pengasuh membantu Rayan membersihkan diri dari busa-busa sabun dengan air bersih lantas membalutnya dengan handuk mandi yang halus.Rayan digendong keluar kamar mandi dan masuk ruang tidur, diduduknya di atas sofa dan Pengasuh segera mengambilkan pakian untuk anak kecil itu. Rayan tampak tenang dia pun sudah lapar ingin segera makan pizza di bawah.Pengasuh segera memakaikan pakaian dan menyisir rambut anak kecil itu. "Ray ingin ke bawah, Pengasuh," kata Rayan."Siap, Tuan," jawab Pengasuh lantas menurunkan Rayan dari sofa lanta
Pagi ini dengan suka cita Rayan berangkat ke sekolah, teman-temannya dan beberapa orang dewasa di sana menyaksikan betapa gembiranya anak kecil itu. "Dadah, Ibu, Ayah!" seru Rayan seraya melambaikan tangan pada Arfan dan Rea yang kemarin telah diresmikan menjadi Ayah dan Ibu bagi Rayan."Dah, Ray!" balas Rea dengan senyum sumringah, setelahnya Rayan segera berlari masuk gedung.Rea dan Arfan sama-sama menurunkan tangan, mereka lalu saling pandang. Rea sangat merasa tidak enak tentunya karena melibatkan Arfan ke perihal yang seperti ini. "Maafkan Ray ya, Fan. Karena dia, kamu jadi dipanggil ayah, padahal menikah juga belum." Rea tersenyum.Arfan juga balas tersenyum menanggapinya. "Kalau begitu bagaimana kalau kita menikah saja," celetuk Arfan dengan nada canda, tapi sungguh jauh di lubuk hati paling dalam ucapan itu adalah sebuah keseriusan."Arfan! Apa yang kamu katakan!" sentak Rea, lalu tak lama wanita itu tertawa karena menganggap semua ucapan Arfan hanya candaan. "Itu tidak mungk
Rayan terlihat berlari riang menuju Rea yang juga tersenyum melambaikan tangan, sementara Jeno yang melihat adegan itu seperti membeku layaknya patung es.Seperti ada percikan-percikan api yang menghangatkan hatinya, seperti ada debaran-debaran yang ia rasakan setelah sekian lama jantungnya seolah tak berdenyut. Dia benar-benar tidak tahu harus apa saat ini, harus keluar dari mobil dan menemui mereka atau ....Terlihat Rea membawa Rayan memasuki taksi lantas meninggalkan halaman sekolah, sementara Jeno baru tersadar setelah keduanya berlalu. Pria itu segera tancap gas untuk mengikuti taksi yang membawa Rea dan Rayan dengan jantung yang berdebar-debar, sampai-sampai ia menyeka keringat dari keningnya yang bercucuran.Di dalam taksi Rea memeluk kepala putranya dan membelainya penuh kasih, Rayan sangat senang mendapatkan perlakuan ini dari Rea sehingga anak kecil itu terus saja memberikan senyum. "Bagaimana tadi belajarnya?" tanya Rea lantas mengecup puncak kepala putranya yang baru saja
Rea tidak membiarkan pengasuh membantu dirinya dalam mengurus Rayan, selain hanya membantu seperlunya saja. Saat ini juga dia sedang membantu putranya berganti pakaian, meski pikirannya masih melayang pada nama Arya yang disebutkan."Bu, aku ingin minum jus mangga susu." Permintaan Rayan membuyarkan lamunan Rea.Wanita itu lantas tersenyum dan segera menyelesaikan tahap terakhir yakni menarik ujung kaus ke bawah dan selesai. "Oke, sekarang kita ke dapur. Ibu akan buatkan jus mangga susu yang spesial buat Ray." Rea lalu menurunkan tubuh putranya dari ranjang dan anak kecil itu berseru riang.Mereka lalu berjalan keluar kamar, menuruni anak tangga dan berjalan menuju dapur. "Duduk di sini!" Rea mendudukkan Rayan di kursi, dan anak kecil itu menurut duduk manis dengan patuh.Rea segera menuju lemari pendingin untuk mengambil mangga dan es batu, dia juga mengambil susu dan bahan lain yang dibutuhkan. Dengan cekatan ia mengupas dan memotong mangga lantas memasukkannya ke blender beserta ba
Jam sudah menunjukkan waktu jam pulang kantor, tampak Jeno dan Arya keluar dari pintu lift dan langsung disambut oleh para karyawan yang masih berada di lantai dasar. "Selamat sore, Tuan," sapa mereka semua yang kebanyakan kaum hawa."Sore," jawab Arya, sementara Jeno hanya menanggapi mereka dengan anggukan dan senyuman tipis seraya berlalu dengan meninggalkan sejuta pesona bagi yang dilewatinya.Sudah berapa dekade? Senyum seorang Jeno menghiasi wajah tampannya yang selalu dingin, lantas saat ini seperti mentari yang memecah bola es yang tebal membuat banyak hati wanita berdebar kala melihatnya. "Hati-hati di jalan, Tuan!" seru mereka seraya tersipu malu dan senyum-senyum tak jelas.Namun, apapun respon mereka, Jeno seolah tak melihat dan tak peduli. Karena pada kenyataanya apa yang membuatnya terus tersenyum adalah karena hal yang baru ia dapatkan beberapa waktu ini, seolah memberinya hidup untuk yang kedua kalinya.Arya membukakan pintu mobil mempersilakan Jeno untuk masuk, sejak t
"Bu, apakah aku bisa batal ikut?" Jeno langsung melontarkan protes kala ia membuka pintu membuat Maryam sedikit terkejut."Apa yang kamu katakan? Ibu sudah berjanji akan membawamu malam ini. Kenapa ingin batal?" sungut sang Ibu sedikit kesal."Rasanya aneh jika aku ikut ke pertemuan ibu-ibu, Bu." Jeno menyugar rambutnya frustasi, enam tahun tinggal bersama ibunya setelah dua tahun berpisah karena pernikahannya dengan Rea dulu, sikap Maryam semakin menjadi.Enam tahun belakangan wanita paruh baya itu terus saja melibatkan dirinya di dalam segala urusan, jangankan hal penting sampai hal yang tidak penting seperti ini saja ia harus ikut, menyebalkan sekali bagi Jeno."Kata siapa cuma ibu-ibu yang datang? Sok tahu! Di sana ada para gadis dan ada Arya juga," sahut Maryam. "Mungkin saja nanti kamu bisa bersenang-senang dengan gadis-gadis putri teman ibu," lanjutnya berkata.Jeno membuang napas kasar, dia tidak butuh bersenang-senang dengan gadis. Namun, yang terpenting di sana ada Arya, tap
Satu minggu telah berlalu, Jeno tampak tegar untuk menghadiri pesta pernikahan Rea dan Arfan hari ini. Setelan jas tuxedo warna cream membalut tubuhnya yang proporsional. Maryam dan Arya yang sudah siap pun menunggu di lantai bawah, mereka menatap ke arah tangga saat terdengar suara langkah kaki menuruninya.Maryam tampak sedih melihat putranya saat ini, dia tahu betapa hancur hatinya meski terlihat begitu tegar. Arya juga hanya bisa menunduk, dia tak bisa pura-pura tegar seperti bosnya saat ini. "Ibu sudah siap? Kita berangkat sekarang, jangan sampai terlambat," kata pria tampan itu.Maryam benar-benar tak tahan melihat kepedihan sang putra, hingga kini ia menangis di hadapannya. "Nak, apa kamu yakin akan datang? Ibu tidak mau melihatmu terluka lebih dalam lagi, Jeno. Sebaiknya kamu jangan pergi saja," pinta Maryam.Jeno lalu menatap kepada ibunya. "Apa bedanya, Bu? Pada kenyataannya pisau ini sudah melukai jantungku, datang atau tidak, tetap saja aku akan mati perlahan.""Jangan ber
Rea segera berlari keluar dari ruang meja makan yang terasa begitu menyesakkan baginya, meninggalkan Jeno yang tertegun melihat kepergian Rea begitu saja. Jeno merasa sangat terpukul dengan ungkapan perasaan Rea barusan, membuat seluruh yang ada dalam dirinya menjadi luluh lantah tak beraturan.***Rea keluar dari villa, dia ingin menenangkan diri pergi ke taman. Air matanya tak berhenti mengalir, tak bisa ia pungkiri memang masih ada Jeno di dalam hatinya. Melupakan cinta memanglah tidak mudah, tapi bayangan buruk masa lalu membuatnya tak ingin mengulangnya lagi.Saat ia sampai di sana, wanita itu justru melihat Arfan yang duduk sendirian. Arfan juga melihat Rea yang datang sambil menangis, Arfan bergerak berdiri untuk bertanya. "Rea, ada apa denganmu. Apa yang terjadi?""Arfan!" Rea berlari mendekat dan tanpa Arfan duga wanita itu memeluknya.Pria itu tidak tahu apa yang terjadi, apa yang membuat Rea menangis seperti ini. Pria itu hanya membalas pelukan Rea dan menenangkannya, membi
Dengan penuh kebanggaan Jeno membawa ikan hasil tangkapannya menuju area lain, di mana para pengunjung bisa memanggang ikan hasil tangkapannya sendiri setelah dibersihkan oleh pelayan.Kali ini biarkan Rea yang bertugas dengan dibantu Arfan tentunya. Arfan sibuk membolak-balik ikan dan Rea memberi bumbu pada ikan. Sementara Arya dan Rayan tampak asyik bermain game di gawai, beda lagi dengan Jeno yang terus saja memperhatikan kebersamaan Rea dan Arfan di depan matanya.Sungguh hal yang membuat pandangannya sakit dan perih."Fan, sepertinya yang itu sudah matang, tinggal ikan yang besar saja yang belum," kata Rea seraya menunjuk ikan-ikan yang sudah matang di atas panggangan."Iya, yang ini sebentar lagi," timpal Arfan.Rea lantas melangkah pergi untuk mengambil nampan yang sudah dilapisi daun pisang, lalu ia membawanya dan berusaha memindahkan ikan yang sudah matang itu ke atas nampan. "Aku antarkan ini dulu ke meja, Fan. Nanti aku kembali," kata Rea, dan Arfan mengangguk saja.Rea ber
Wajah Arya yang awalnya serius, kini semakin serius saat menatap wajah Jeno membuat pria di hadapannya itu semakin penasaran dan ingin segera tahu apa hal yang sudah terjadi. "Kejadian di hutan itu bukanlah kecelakaan, ini ada unsur kesengajaan seseorang yang ingin mencelakai nyonya Rea."Mendengar hal itu Jeno melebarkan kelopak matanya menatap Arya. "Benarkah?" tanyanya ingin tahu lebih lanjut.Arya mengangguk. "Di hutan bagian utara itu seharusnya tidak ada pemburu yang masuk, tapi mengapa ada luka tembak senapan angin yang ada di salah satu bagian tubuh kuda yang tadi siang nyonya Rea tunggangi. Karena hal itulah kuda yang dia tunggangi tiba-tiba tak dapat terkendalikan," jelas pria berkacamata bening itu.Jeno sejenak terdiam, memikirkan apa yang ia dengar ini. Siapa yang ingin mencelakai Rea?"Mungkin saja ada pengunjung yang tidak tahu, hingga ia masuk ke area hutan yang dilarang untuk berburu?" tanya Jeno, dalam hal ini ia berusaha berpikir positif.Arya tersenyum tipis, lanta
Jeno saat ini menikmati kebersamaannya dengan Rea, duduk berdua menunggangi kuda. Sedekat ini, hingga ia dapat merasakan harum tubuh seseorang yang dulu begitu dekat dengannya. "Apakah bisa lebih cepat? Aku tidak suka terlalu dekat denganmu, Tuan Jeno Bramantio!" ketus Rea dengan wajah kesalnya, sungguh ia sangat risi ada Jeno yang terus menempel padanya saat ini.Jeno tersenyum, tentu saja ia tidak ingin moment ini berlalu terlalu cepat. Kalau bisa ia ingin menghentikan detik waktu agar tetap bisa sedekat ini dengan wanitanya. "Kenapa harus terburu-buru, pemandangannya sangat bagus, apakah kamu tidak mau menikmatinya?""Aku sama sekali tidak dapat menikmati pemandangan bagus ini jika itu bersamamu! Karena jika bersamamu, semua hal adalah seperti neraka bagiku," balas Rea.Jeno termenung sejenak, terbayang perlakuan buruknya di masa lalu membuat hatinya tergores, tanpa Rea tahu kedua bola mata Jeno berubah memerah karena penyesalan. "Aku tahu, aku memang bagai neraka untukmu. Maafkan
Hari kedua di resort hanya bermain tembak jitu, itu pun berakhir dengan Rea yang tiba-tiba kehilangan mood. Sehingga mereka pulang lebih awal. Arfan tidak tahu apa yang terjadi pada Rea karena sejak pulang dari tempat tembak jitu wanita itu sama sekali tidak mau bangun dari tempat tidur bahkan tidak keluar untuk makan malam, membuat Arfan menjadi khawatir.Pria itu membawa nampan yang di atasnya terdapat sepiring makanan juga segelas air putih. Arfan berjalan mendekat dan meletakan nampan di atas nakas, lantas melihat Rea yang hanya tidur miring dengan kedua mata terbuka.Arfan dengan perhatian berjongkok di hadapan wanita itu dan mengusap sisi kepalanya. "Makan malam dulu, nanti kamu sakit. Ingat kamu punya riwayat masalah perut? Meski sudah sembuh kamu tetap harus menjaga kesehatanmu. Tadi Ray juga tanya kenapa kamu tidak keluar makan malam, aku jawab kamu sedang tidak enak badan. Ayolah, sekarang moment liburan Ray, apa kamu ingin merusaknya?"Mendengar kata-kata Arfan, Rea pun bar
Seharian ini cukup dua permainan saja, mereka sudah kelelahan dan memutuskan kembali ke villa karena hari juga sudah hampir sore. Kali ini Jeno membiarkan Rayan bersama ibunya, sementara dia tetap membonceng saja di belakang Arya.Lagian lebih enak membonceng, santai seraya bebas curi-curi pandang ke samping menatap wanitanya yang berada di atas motor bersama pria lain. Rasanya panas, tapi mau bagaimana lagi, tahan saja lah!Setelah dua puluh menit perjalanan akhirnya mereka sampai juga di villa. Arfan segera mengambil alih Rayan dari gendongan Rea karena anak kecil itu tertidur kelelahan. Jeno tidak merebutnya, dia tidak mau egois dalam hal ini."Aku akan membawanya ke kamar kami," kata Arfan meminta izin pada Jeno, Jeno pun melirik Rea yang diam saja, dan dia juga hanya menjawabnya dengan anggukan.Setelah mendapat izin, Arfan segera masuk lebih dulu disusul Rea. Sementara Jeno masih termenung di luar bersama Arya menatap kepergian mereka. "Ini takan berlangsung lama," gumam Jeno y
Selesai sarapan semua orang kini keluar dari villa menggunakan motor racing, seperti biasa Rea bersama dengan Arfan, sementara Jeno bersama dengan Arya yang mengapit Rayan di antaranya.Jeno benar-benar tidak mau lepas dari Rayan, begitupun dengan anak kecil itu yang begitu nyaman dengan Jeno yang ia panggil 'Om'. Mereka berhenti pada tempat pertama yakni area panahan, ada beberapa pengunjung resort yang juga sudah datang untuk melakukan olahraga yang melatih ketepatan, fokus dan ketangkasan ini.Jeno dan semua orang turun dari motor lantas mengambil tempat masing-masing. Jeno tentunya dengan Rayan, begitupun Rea seperti biasa dengan Arfan, dan Assistant Arya seperti biasa hanya asyik seorang diri saja.Dibantu dengan pemandu sekaligus yang membantu pengunjung saat ingin bermain. Rayan dengan gagahnya memegang busur kecil dan Jeno memberikan anak panah kepadanya. "Seperti ini pegangnya," kata Jeno mengarahkan.Rea tersenyum memperhatikan putranya yang terlihat gagah dan tangkas, tapi
Acara jalan-jalan malam di taman sudah selesai, Rayan sampai tertidur di gendongan Jeno kala mereka sampai di villa. Arya yang memang tidak ikut hanya jaga kandang saja, saat mereka kembali pria itulah yang membukakan pintu."Selamat malam," sambut Arya kepada semua orang."Malam," sahut Jeno dan segera masuk villa, sementara Arfan dan Rea hanya menanggapinya dengan senyuman.Setelah semua orang masuk, Arya pun segera menutup pintu dan menguncinya. Saat hendak berpisah Jeno berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Selamat malam dan selamat beristirahat untuk kalian," ucapnya pada Arfan dan Rea seraya tersenyum.Di telinga Rea entah kenapa ucapan Jeno dan senyuman Jeno seperti ejekan, membuatnya sangat kesal sehingga ia tidak ingin menjawabnya sama sekali. "Anda juga, Tuan Bramantio." Hingga pada akhirnya Arfan saja yang menjawab.Jeno tersenyum dan mengangguk lantas berbalik badan kembali dan membawa Rayan masuk kamar. Kini giliran mereka berdua, mereka tampak ragu untuk masuk kama