. . . Dalam 30 menit, ciuman panas itu akhirnya berakhir. Mu Shenan menarik paksa bibirnya sendiri karena ia tahu bahwa pasti akan sangat sulit untuk mengendalikan dirinya sendiri apabila dia tidak menghentikannya saat itu juga. Dengan nafas yang masih memburu, pria itu lantas melihat ke beberapa tanda merah pada leher isterinya. Dia cukup puas! Setidaknya, beberapa tanda kebiruan itu akan tetap berada disana selama beberapa hari ke depan. “Em, Yiyi. Pakailah jaketmu,” ucap Mu Shenan seraya melirik kebagian dada milik wanita itu. Kancing itu sudah lepas dua dengan untaian benang yang masih menjulai diujungnya. Entah kemana dua kancing berwarna biru itu terlempar, Mu Shenan tidak tahu. Tetapi yang jelas, dia sudah cukup puas menikmati sebagian kecil apa yang ada didalamnya tanpa perlawanan yang berarti dari isteri yang mengharapkan bantuannya itu. Mu Shenan melihat kedua pipi Shen Yiyi yang masih memerah. Meskipun gadis itu kesal, tapi pipi merona diwajahnya cukup menunjukkan bah
. . . Sinar matahari telah tenggelam di kota S. Dentang suara jam dinding yang ada di kediaman Shen telah menunjukkan tepat pukul 18.00 petang. Orang-orang mulai berdatangan dan sesekali mereka memuji apa yang mereka lihat. Halaman rumah berukuran besar disana tampak begitu mewah dengan dekorasi lampu-lampu kristal berwarna putih kekuningan. Meja-meja perjamuan telah disiapkan, penuh dengan menu-menu terkenal yang dipesan dari Shangri La, salah satu tempat termahal di kota S. Ditambah, rangkaian-rangkaian bunga yang ditata begitu menawan, semakin menyemarakkan acara ulang tahun yang ditujukan bagi seorang kakek tua berusia lebih dari 80 tahun itu. Suasana di halaman kediaman Shen nampaknya sangat berbeda dengan sebuah kamar dilantai dua. Pintu pada kamar itu masih tertutup rapat. Tidak ada suara sedikitpun selain deru nafas lembut seorang wanita yang saat ini masih berbaring di tempat tidurnya. Sesekali bulu mata lentiknya mengerjap. Suara gedoran pada pintu kamarnya terdengar su
...Mendekati pukul 19.00 malam, halaman rumah kediaman Shen semakin ramai. Orang-orang terlihat menikmati jamuan di seluruh halaman mewah disana. Namun tidak sedikit pula yang memilih untuk berada di ruang utama keluarga Shen yang ditata layaknya ballroom sebuah hotel."Pestanya meriah sekali meskipun diadakan di rumah," kata salah satu tamu disana."Benar. Aku dengar pesta keluarga Shen awalnya akan diadakan di hotel Shang Ri La. Tapi presidir Shen sedang tidak enak badan, jadi cucunya yang bernama Wei Yuna memindah acara itu disini," terang yang lainnya."Wei Yuna? Apakah dia adalah wanita cantik berbaju merah di depan?" tanya tamu itu kembali."Iya... itu dia," sahut yang lainnya."Benar-benar cantik. Mungkin setelah ini aku akan memberitahukan pada putraku untuk berkencan dengannya," sahut orang itu lagi.Kemeriahan disana begitu nampak manakala orang-orang mulai berkelompok dan berbincang-bincang dengan orang-orang yang mereka kenal. Canda tawa ada dimana-mana. Mereka saling b
...Acara megah itu telah dimulai. Beberapa penyanyi ternama seperti Li Hua, Chen Yan, beserta group musik mereka, nampak menyanyikan lagu-lagu klasik yang membuat suasana pada malam itu terlihat begitu hidup.Semua orang bergembira. Tanpa sungkan, para pasangan paruh baya dan tetua disana mulai berdansa untuk mengenang memori kebahagiaan mereka di masa silam. Ketua Li dengan isterinya, Mayor Tan dengan kekasih tua-nya, dan bahkan teman veteran presidir Shen juga maju untuk menunjukkan kepiawaian mereka.Wei Dong nampak menginginkan juga kemesraan yang ditampilkan oleh para tamu undngan itu. Dari sisi sayap kanan halaman luas disana, dia melirik sang isteri yang terlihat anggun malam ini dalam balutan kain Cheongsam berwarna merah keemasan. Dia berpikir untuk mengajak wanita itu berdansa sehingga dia menyeberang para kerumunan tamu untuk segera menghampirinya."Isteriku... berdansa-lah denganku," ucap Wei Dong sambil mengulurkan tangannya.Shen Ara nampak terdiam. Dalam hati dia mer
...Kedua kakinya bergetar dan keringat dingin mulai membasahi paras cantik gadis bergaun hitam di sudut halaman kediaman Shen. Entah mengapa, sekelebat memori dalam benaknya mulai bermunculan seakan memberinya peringatan kepada jiwanya yang sedang resah."Shen Yiyi, aku akan membunuhmu!" teriak suara itu di dalam ingatannya.Pisau yang berlumuran darah kembali mencuat pada otaknya yang seketika membuatnya merasakan sensasi sakit pada perutnya. Kala itu, sebilah pisau benar-benar menikamnya hingga ia mati dalam kengerian dan kegelapan malam.Shen Yiyi sedikit goyah. Pijakan kakinya mulai lemah akibat serangan psikologis yang mendadak diterimanya. Benar-benar sakit hingga dadanya terasa penuh sesak!"Nona, anda kenapa?" tanya bibi Zhang segera menghampirinya.Shen Yiyi tersadar. Dia menggelengkan kepalanya dan memegang lengan kepala pelayan itu untuk sedikit menenangkan dirinya."Nona, jika anda kurang nyaman, naiklah ke atas," pinta bibi Zhang merasa iba.Shen Yiyi tersenyum hangat.
......Para petugas itu akhirnya turun dari mobilnya. Mereka berseragam lengkap dengan senjata yang melekat pada tangan mereka masing-masing.Shen Haoran lalu memperhatian para petugas yang sedang berjalan disana. Dia mengernyitkan alisnya karena kebingungan. Seingatnya, keluarga Shen tidak mengundang perwakilan dari kepolisian untuk datang di acara besar mereka. Lalu mengapa mereka datang? batinnya sebelum dia memandang kepada putri kecil yang ada disampingnya."Yiyi, apa yang terjadi?" tanya Shen Haoran.Shen Yiyi tidak bergeming. Sorot matanya masih sama seperti sebelumnya, begitu dingin dan kaku layaknya seorang wanita yang menyimpan dendam di dalam hatinya.“Ayah akan tahu nanti," jawabnyanya singkat sambil memperhatikan gerak-gerik pamannya.Wei Dong mulai mengeluarkan keringat dingin pada dahinya. Tubuhnya terlihat tidak tenang dan kedua kakinya terus mengetuk-ngetuk lantai karena dia merasa resah. Hal itu, tentu menarik perhatian Wei Yuna, putrinya yang berada disampingny
. . . Hari hampir tengah malam, suasana di dalam sebuah kamar VVIP di rumah sakit terbesar di kota itu nampak sunyi. Suara jarum jam yang melekat pada dinding kamar disanapun terdengar cukup keras di-iringi oleh suara gesekan kertas yang beberapa kali masih sempat terdengar. Mu Shenan, pria dengan tubuh atletis itu saat ini masih membaca majalah dengan halaman kertas yang menyoroti sebuah mesin V12 yang menarik perhatiannya. Sekilas, dia melirik jam dinding yang ada di atasnya untuk mendapati bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 23.50. Itu berarti, apakah tokonya masih buka? Batinnya sebelum dia mendengar sebuah suara gedoran yang memekikkan gendang telinganya. “Mu Shenan!!!!!” seru sebuah suara mengejutkannya. “Brengsek!!!! Ayo cepat buka pintunya!” tambah suara itu yang membuat Mu Shenan langsung terdiam dan menghentikan gerakannya. “Nyonya, maaf. Tuan sudah tidur… Mohon anda kembalilah ke kediaman Shen. Sopir Li akan mengantar anda,” ucap asisten Bai yang terdengar mencoba untu
...Matahari pagi mulai menyoroti ruang dengan lampu tidur yang sudah dimatikan. Di atas ranjang yang ada disana, seorang pria nampak sedang duduk sembari memegang secangkir kopi hangat ditangannya. Sesekali, pria itu nampak melirik ponsel miliknya yang sejak semalam terus berdering. Hanya saja, dia mengabaikannya karena sedikit takut kepada omelan yang akan diterimanya.“Tuan Mu, apakah ponsel milik anda tidak ingin diangkat?” tanya asisten pribadi yang berdiri disamping ranjangnya.Pria tampan itu nampak melirik ponsel itu kembali. Sekilas, dia dapat melihat notifikasi pesan yang juga tertera disana.Brengsek! ..Beraninya kau!..Sialan!Penuh makian dan luapan amarah. Begitulah isi notifikasi yang sekilas terus bergulir namun tidak dibukanya. Mu Shenan nampak hanya meliriknya. Lalu setelahnya, dia meletakkan cangkir miliknya ke atas meja sembari berbicara kepada sang asisten.“Apakah semalam dia sampai ke rumah dengan baik?” tanya pria itu dengan serius.“Iya, Tuan. Semalam s